HIKAYAT
TANJUNG PURI
DAN
TANGISAN PUTRI GALUH SEWANGI
Cerita
Rakyat Kabupaten Tabalong
Abdul Hanafi
Gusti Indra Setyawan
Lilies MS
Loki Santoso
Mahfuzh Amin
Muhammad Fitriadi
H. Akhmad T. Bacco
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam
Terbitan (KDT)
Hikayat Tanjung Puri dan Tangisan Putri
Galuh Sewangi
Kalimantan
Selatan: Tahura Media
bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tabalong
76 hlm., 14 x 21 cm
Cetakan
ke-1, Oktober 2012
ISBN: 978-602-8414-14-2
Hikayat Tanjung Puri dan Tangisan Putri
Galuh Sewangi
Abdul Hanafi
Gusti Indra
Setyawan
Lilies MS
Loki Santoso
Mahfuzh Amin
Muhammad Fitriadi
H. Akhmad T.
Bacco
Editor: Y.S. Agus
Suseno
Desain isi:
Desain cover:
Ilustrasi cover: Abdul Hanafi
Diterbitkan
oleh
Tahura Media
Jalan Sultan
Adam RT 16 Nomor 46 C Banjarmasin
Telepon (0511)
3302473, Faks. (0511) 3302472
bekerja
sama dengan
Pemerintah
Kabupaten Tabalong
Dinas
Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan
Tanjung Selatan RT VII, Pembataan
Telepon
(0526) 2021597, Tanjung
Kabupaten
Tabalong
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SAMBUTAN BUPATI TABALONG
Marilah kita panjatkan puji dan
syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah kita
masih diberi kesempatan untuk berkiprah dan mengabdikan diri kepada bangsa dan
negara.
Cerita rakyat, dongeng dan legenda yang terangkum dalam
buku bukan hal baru dalam dunia
kepustakaan.
Cerita lisan atau tulisan berupa
cerita rakyat, dongeng dan legenda
selalu
ada
sepanjang sejarah, sepanjang manusia masih menjunjung tinggi adat istiadat,
tradisi dan budayanya.
Saya merasa bersyukur, kagum dan
bangga atas terbitnya buku Hikayat Tanjung Puri dan Tangisan Putri Galuh Sewangi
yang disusun oleh para
penulis
Kabupaten Tabalong ini.
Ini prestasi yang membanggakan, karena buku seperti ini tergolong langka.
Memang, masih banyak cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong yang
belum sepenuhnya digali oleh para penulis kita. Dengan terbitnya buku ini, saya
berharap akan terbit lagi buku lain, baik berupa cerita rakyat maupun
khazanah budaya daerah Kabupaten
Tabalong
lainnya.
Semoga buku ini memperkaya khazanah
budaya daerah kita,
dan dapat
dijadikan sebagai salah satu
pilihan bahan
mata pelajaran
muatan lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Tabalong.
Dengan terbitnya buku ini, diharapkan masyarakat dan generasi muda dapat
mengambil hikmah dan pelajaran berharga. Sebab, cerita rakyat banyak mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebajikan, yang bermanfaat untuk kehidupan.
Tanjung,
Oktober
2012
Drs. H. Rachman Ramsyi, M.Si
SAMBUTAN
KEPALA DINAS SOSIAL
KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA TABALONG
Cerita
rakyat adalah cerita yang berasal dari, oleh, hidup dan berkembang, di
masyarakat. Ada dua jenis cerita rakyat: berbentuk puisi dan prosa. Cerita
rakyat berbentuk prosa terdiri dari mitos, dongeng dan legenda.
Buku
ini berisi selusin cerita
rakyat daerah Kabupaten Tabalong,
Kalimantan Selatan,
dalam dua bahasa: bahasa
Indonesia dan bahasa daerah Banjar. Disajikan dengan bahasa
sederhana, karena memang dimaksudkan
untuk
bacaan anak-anak, remaja, guru dan orangtua.
Pelestarian
bahasa dan sastra
daerah penting, sebab merupakan warisan budaya nenek moyang yang tinggi
nilainya. Upaya pelestarian itu bukan hanya dapat menambah wawasan bahasa, sastra dan budaya
daerah, tapi juga memperkaya khazanah sastra dan budaya Indonesia. Upaya itu
dapat menjadi dialog antarbudaya antardaerah, salah satu unsur penting dalam
mewujudkan wawasan keindonesiaan.
Buku
ini dapat menjadi
salah satu pilihan untuk mengatasi minimnya bahan mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Tabalong. Sebelum ini, buku
cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong
dapat dihitung dengan jari. Tidak heran kalau kemudian
guru-guru di tingkat
pendidikan dasar dan menengah di Bumi Saraba Kawa
kesulitan
dalam
mengajarkan
mata pelajaran muatan lokal. Karena minimnya bahan, langkah yang ditempuh para
pendidik biasanya adalah
dengan mengambil
cerita rakyat daerah lain sebagai bahan ajar. Hal ironis pun terjadi: anak
didik lebih mengenal cerita rakyat daerah lain ketimbang cerita
rakyat daerahnya
sendiri.
Sebagai
langkah awal, buku ini dapat menjadi salah satu pilihan bahan ajar untuk mata
pelajaran muatan lokal. Agar masyarakat
dan anak
didik kita tidak terasing dari khazanah budaya daerahnya sendiri. Seperti kata
pepatah Melayu lama, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Semoga
langkah kecil
ini memberi arti.
Tanjung,
Oktober
2012
H. Suryanadie, S.Sos, M.AP
PENGANTAR
KEPALA BIDANG KEBUDAYAAN
DINAS SOSIAL KEBUDAYAAN
DAN PARIWISATA TABALONG
Selusin cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong yang
terdapat di buku ini, dengan berbagai versi, pernah hidup, tumbuh dan berkembang
di masyarakat, dituturkan dari mulut ke mulut, diwariskan dari generasi ke
generasi. Upaya membukukan cerita rakyat ini dimaksudkan agar
generasi sekarang dan
yang akan datang akrab dengan khazanah budaya
daerahnya sendiri.
Kabupaten Tabalong dihuni beraneka ragam suku bangsa. Banyak cerita rakyat, mitos, dongeng
dan legenda yang penting digali
dan dibukukan, agar khazanah budaya bangsa itu dapat diwariskan.
Dengan buku ini, masyarakat diharapkan lebih
mengenal dan mengetahui cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong. Barangkali ada cerita rakyat daerah Kabupaten Tabalong yang mirip dengan cerita rakyat di daerah lain. Hal itu menunjukkan,
dalam kebhinekaan Indonesia,
di manapun kita berada, selalu ada benang merah yang menghubungkannya.
Barangkali ada yang kurang
sependapat dengan versi cerita
rakyat yang
tertulis di sini.
Andaikan
demikian, dipersilakan untuk menggali, menyusun dan memperkaya lagi, sesuai
dengan versinya. Hal itu amat
positif. Bagi masyarakat, itu akan memperbanyak pilihan, menambah
pustaka cerita rakyat daerah
Kabupaten
Tabalong,
penting diwariskan kepada generasi muda, dan memperkaya khazanah budaya
leluhur kita.
Terima kasih kepada para penulis dan berbagai pihak yang
telah memberikan bantuan dan dukungannya. Kritik
dan saran amat diharapkan, untuk perbaikan di masa depan.
Tanjung,
Oktober
2012
Dra. Lilis Marta Diana, M.Si
DAFTAR ISI
Sambutan Bupati Tabalong
Sambutan Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan
Pariwisata Tabalong
Pengantar
Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Tabalong
Daftar Isi
1. Legenda Tanjung Puri dan Tangisan Putri
Galuh Sewangi (Gusti
Indra Setyawan)
2. Asal Mula Nama Jaro (Loki Santoso)
3. Datu
Pintit (Muhammad
Fitriadi)
4. Legenda Gunung Halat (Loki Santoso)
5. Utuh
Talungkup wan Pilanduk (Gusti Indra Setyawan)
6. Ledakan Tiga Biji Limpasu (Mahfuzh Amin)
7. Asal
Mula Kisah Kambing Takutan lawan Banyu (Gusti Indra Setyawan)
8. Asal Mula Nama Kampung Liang Tapah (Loki Santoso)
9. Puhun
Binjai wan Puhun Jingah (Muhammad Fitriadi)
10.
Si Pujung Jadi
Batu (Lilies MS)
11.
Si Diang Bakut (H. Akhmad T.
Bacco)
12.
Legenda
Arya Tadung Wani (Abdul Hanafi)
Tentang Penulis
HIKAYAT TANJUNG PURI
DAN TANGISAN PUTRI GALUH SEWANGI
Gusti
Indra Setyawan
Dahulu
kala ada kerajaan bernama Kerajaan Tanjung Puri. Rajanya bernama Raja Halim
Mangku Praja, permaisurinya Atika Rara Dirana. Raja dan permaisurinya baik
hati. Mereka
mempunyai dua putri yang cantik jelita:
si sulung bernama Putri Roro Sulastri, si bungsu Putri Galuh Sewangi. Kedua putri itu berbeda sekali
perangainya. Putri Roro Sulastri berwatak keras, angkuh dan sombong. Putri Galuh Sewangi
lemah lembut, baik dan rendah hati.
“Anakku, kalian sudah mulai dewasa.
Sudah saatnya kalian mencari
pendamping hidup. Ayah sudah tua. Takkan selamanya ayah menjadi raja di kerajaan ini,” kata
baginda kepada kedua putrinya.
“Ya, Ayahanda...,” sahut Putri Galuh Mewangi dengan
lemah-lembut.
“Walaupun nanti Ayahanda tak ada lagi, tapi siapa yang lebih kaya dari
kita? Sepeninggal ayahanda, kami tak akan kelaparan.
Aku tak mau kawin dengan rakyat biasa,” Putri Roro Sulastri menimpali
pembicaraan ayahnya dengan sombong.
“Jangan menilai orang dari harta,
pangkat dan kedudukannya
saja,
Roro. Lihatlah hatinya,” sahut ayahnya.
Pandangan
hidup dua putri itu amat bertolak belakang. Putri Roro Sulastri
menganggap nasihat ayahnya hanya
sebagai angin lalu, sedangkan Putri Galuh Sewangi mencamkannya benar-benar, dan
dalam hati berjanji akan mematuhinya.
Berkat
abdi kerajaan yang setia mendampingi dan memberikan petuah, ilmu dan pendidikan
kepada dua orang putri raja itu, tersohorlah nama mereka ke mana-mana. Pangeran
dari kerajaan seberang mendengar, bahwa Kerajaan Tanjung Puri memiliki dua
orang putri yang cantik rupawan. Di kalangan rakyat jelata pun, nama kedua
putri itu sudah tidak asing lagi.
Beberapa
bulan kemudian, Raja Halim Mangku Praja jatuh sakit. Kepada kedua putrinya, ia
beramanat:
“Anak-anakku,
sebelum meninggalkan kalian, kuharap kalian sudah punya suami, sebagai pendamping hidup kalian kelak,”
kata Raja Halim, terbatuk-batuk menahan sakit.
Dilanda
kesedihan,
air
mata Putri Galuh Sewangi menetes perlahan. Putri Galuh Sewangi amat mencintai
ayahnya. Hati kecilnya berkata, kalau
ada orang yang dapat menyembuhkan sakit
ayahnya, jika
perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami.
Lain
Putri Galuh Sewangi, lain pula Putri Roro Sulastri. Putri sulung itu lebih suka
berdandan dan berpesta, tak peduli apa pun yang terjadi, termasuk penyakit ayahnya sendiri.
Wajahnya tak sedikit pun memancarkan kesedihan.
Dengan
napas
satu-satu dan sisa semangat
hidupnya,
Raja Halim bertitah kepada punggawa kerajaan, “Pengawal! Umumkan ke pelosok
negeri, bahwa aku akan mengawinkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka
pilih. Soal syarat, kuserahkan sepenuhnya kepada mereka untuk menentukannya...”
***
Rakyat
kerajaan ramai membicarakan dua putri raja itu. Dalam suasana duka, saat baginda raja sedang sakit, para
pemuda dan rakyat
jelata
berbisik-bisik
membicarakan kecantikan dua
putri
raja itu.
“Duhai,
Putri Roro dan Putri Galuh, maukah kau menjadi istriku?” kata seorang pemuda
kampung kepada
teman-temannya.
“Alaaahhh… Mana mau putri raja sama kamu?!”
“Jangan
bercermin di kaca yang retak!” sahut yang lain.
“Terserah
akulah. Memangnya,
mengkhayal dilarang?”
“Ya,
tidak. Terserah kamulah,
asal jangan sampai gila
saja!”
sahut
temannya yang lain lagi.
Tak
lama berselang,
datang beberapa pengawal kerajaan,
mengumumkan titah raja. Pengawal membacakan titah yang ditulis langsung oleh
Raja Halim Mangku Praja.
“Wahai, rakyat Kerajaan Tanjung Puri... Pengumuman,
pengumuman...! Aku,
Raja Halim Mangku Praja, akan menikahkan kedua putriku dengan siapa pun yang mereka
pilih. Barang siapa yang ingin mengikuti sayembara ini, silakan datang ke istana untuk mengetahui syaratnya.
Tertanda, Raja Halim Mangku Praja...”
***
Sepekan
setelah pengumuman, tak seorang pun berani datang untuk meminang dua putri Raja Halim Mangku Praja.
Bukannya warga tak tertarik, tapi mereka sadar diri.
Sementara
itu, penyakit Raja Halim Mangku Praja semakin sehari semakin memburuk. Beberapa
tabib terkenal sudah didatangkan, tapi tak seorang pun mampu menyembuhkan penyakitnya.
Di
Kampung Haruai, dekat Kerajaan Tanjung Puri, ada pemuda yang berniat datang ke
istana untuk meminang putri raja. Pemuda itu buruk rupa. Karena wajahnya jelek
sekali, senyumannya bukannya enak dipandang, malahan membuat takut orang.
Pemuda itu bernama Joko Jaroli.
Di
kerajaan seberang, ada pula putra mahkota bernama Pangeran Hanung Prabu Cakra.
Wajahnya tampan, bijaksana dan ramah. Pangeran Hanung juga
beniat mempersunting putri Kerajaan Tanjung Puri. Kepergian Hanung dikawal sejumlah prajurit.
Hampir
bersamaan, tibalah kedua pemuda itu di istana Kerajaan Tanjung Puri. Merekaa terpukau dengan kecantikan Putri
Roro Sulastri dan Putri
Galuh Sewangi.
“Wahai,
Putri Galuh Sewangi... Aku ingin
jadi pendamping hidupmu,” kata Pangeran
Hanung
dengan percaya diri.
“Sebentar,
Pangeran Hanung. Ada syarat yang harus engkau penuhi. Apabila pangeran dapat
menyembuhkan penyakit ayahandaku, aku bersedia jadi istrimu,” sahut Putri Galuh Sewangi.
Pangeran
Hanung mengobati Raja Halim Mangku Praja dengan membacakan mantra. Tapi,
setelah beberapa kali berusaha, penyakit raja tak kunjung sembuh. Dengan
menahan rasa malu, penuh sesal dan kecewa, ia mundur ke belakang.
Giliran
Joko Jaroli dipanggil. Setelah
mengucapkan mantra, air suci yang dibawanya direguk dan disemburkannya ke
sekujur tubuh raja. Ajaib, seketika Raja Halim Mangku Praja duduk
di tempat tidur dan sembuh dari sakitnya.
Sesuai
janjinya, dengan tulus iklas Putri Galuh Sewangi menerima Joko Jaroli sebagai
suaminya, menerimanya apa adanya. Pangeran Hanung mengakui kekalahannya, tapi
ia tak sudi menyunting Putri Roro Sulastri. Meskipun cantik, tabiat Putri Roro
Sulastri yang buruk membuat Pangeran Hanung kehilangan selera.
“Maafkan
aku, Putri Roro! Aku tak suka dengan
sifatmu
yang suka menghina dan merendahkan orang lain,” tampik Pangeran Hanung.
“Mengapa
kau tidak mau denganku? Aku cantik dan kaya raya. Semuanya sudah kumiliki. Siapa yang bisa menyaingiku?” sahut Putri Roro.
“Nah,
kesombonganmu itulah
yang yang membuat aku tidak suka.”
Mandengar jawaban itu,
Putri Roro marah dan memaki-maki
Pangeran Hanung beserta
prajurit dan dan orang-orang
di sekitarnya.
“Kurang ajar! Dasar buaya, kamu,
Pangeran Hanung! Bidawang![1] Timpakul![2] Kamu juga, Joko! Kamu jelek, bau,
dekil, berkurap, buaya danau! Aku tak sudi jadi kakak iparmu!”
Putri
Galuh Sewangi hanya dapat menangis melihat sifat kakaknya yang tetap angkuh dan
sombong, apalagi saat menghina calon suaminya, Joko Jaroli.
Seketika itu pula, di siang bolong itu,
tiba-tiba petir membahana
membelah angkasa. Suara gemuruh terdengar di kejauhan, makin lama makin
mendekat. Tiba-tiba, tiang-tiang istana retak, tumbang dan roboh. Pepohonan di
alun-alun tumbang berjatuhan, tanah dan bumi rekah dan terbelah.
Semua
orang panik dan menjerit ketakutan, berlarian lintang pukang meninggalkan istana.
Jerit tangis dan teriakan minta tolong terdengar di mana-mana. Rakyat Kerajaan Tanjung Puri panik
dan tak berdaya di tengah bencana yang mengamuk membabi buta. Gelombang banjir selama berhari-hari menyapu dan
meluluhlantakkan istana, bangunan, kampung-kampung dan permukiman seluruh warga
kerajaan.
***
Alkisah,
Kerajaan Tanjung Puri pun musnah.
Yang
tersisa kemudian hanya sebuah tempat yang kini dikenal sebagai Objek Wisata Tanjung Puri. Air danaunya
konon berasal dari air mata Putri Galuh Sewangi. Setiap malam Jumat, di danau itu konon kadang
tercium bau
wangi.
Konon, danau itu dihuni buaya dan bidawang yang besar sekali, tapi orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Ada juga tabu yang masih dipercaya oleh sebagian warga. Pasangan yang akan menikah, konon tabu datang ke sana, kalau tak
ingin kapuhunan[3],
karena dikariau[4]
buaya.
***
ASAL MULA NAMA JARO
Loki Santoso
Di antara gemerisik daun ilalang di pinggiran jalan setapak, dua
pasang kaki telanjang pria paruh baya melangkah tak kenal lelah menyusuri lereng bukit di sepanjang pesisir sungai.
“Jek
adhoh to kang gone sing diparani kui?”[5]
tanya Muhiman kepada temannya.
“Yo,
embuh, dek. Sing penting, mengko lak wis pethuk uwong, ngaso disek. Karo
te`ko-te`ko, gon endi lemah ombo sing subur lan oleh digarap,“[6]
jawab Marto Kuncung, sambil terus melangkah.
Di kejauhan, tampak kepulan asap di
sebuah gubuk.
“Kae`
koyok enek gubuk. Ayo, mrono,“[7]
sahut Muhiman.
Keduanya bergegas ke gubuk itu.
“Kulo
nuwuuun....“[8] Hampir
bersamaan, Muhiman dan Marto Kuncung mengucapkan salam. Tak ada jawaban. Sekali
lagi, Marto Kuncung mengulangi salam, tapi tetap tak ada sahutan dari gubuk di
tengah sawah yang kering dilanda kemarau itu.
Di kejauhan, tampak seseorang
bergegas menuju pondok. Setiba di depan Marto Kuncung dan Muhiman, ia keheranan
melihat dua pria itu. Saat dua orang asing itu mengucapkan salam, pemilik gubuk
tadi tengah membakar sekam di ladang, bekas panen bulan lalu.
“Kulo
nuwun...,” Muhiman dan Marto Kuncung kembali mengucapkan salam. Pemilik pondok terheran-heran, tak
mengerti sama sekali dengan perkataan tamunya.
“Permisi, Pak...,” kata Marto
Kuncung dalam bahasa Melayu,
mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Kenalkan, saya Marto Kuncung. Ini kawan
saya, Muhiman...“
“Oh, begitu?” sahut pemilik gubuk,
menghela napas panjang. Lega,
karena dapat memahami kata-kata tamunya. “Saya, Milir. Mari ke gubuk saya, Pak,“
katanya sambil menggeser pintu gubuk.
Setelah meletakkan barang bawaannya di halaman, dua pria itu
terbungkuk-bungkuk masuk ke gubuk berukuran
empat meter per segi, yang beratap ilalang dan
berdinding kulit kayu kering itu.
”Barang-barangnya dibawa ke dalam
saja, Pak,” kata Milir kepada dua tamunya yang membawa
buntalan sarung yang ujungnya saling diikatkan.
Dengan kikuk, Muhiman dan Marto
Kuncung mengambil kembali buntalannya, terbungkuk-bungkuk menghormat pemilik
gubuk.
“Umanyaaa...!
Ada tamu, nah! Jarangakan banyu pang. Kasian, urang jauh bajalan...,”[9]
Milir berseru kepada istrinya yang berada di belakang gubuk, dengan bahasa yang
sama sekali tak dimengerti kedua tamunya.
Akhirnya, mereka terlibat dalam
percakapan panjang, dengan bahasa campur aduk, hingga matahari
mendekati bibir Bukit Batu Kumpai. Bias cahaya senja
menjilati puncak gunung yang terletak di sebelah barat gubuk.
***
Nyala lampu damar meliuk-liuk
tertiup angin malam lewat celah-celah dinding. Di gubuk berlantai bambu tanpa
bilik, duduk tiga pria paruh baya dan seorang wanita dengan garis-garis
kecantikan masa lalu, membelakangi ketiganya.
Ditemani teh, kopi dan sepiring
kedelai dari bibit yang siap ditanam, tiga pria itu bercakap-cakap.
”Terima kasih, Bapak sudah menerima
kami di sini. Kalau boleh, kami ingin membantu Bapak
bercocok tanam di ladang,” ujar Marto Kuncung.
“Tapi kami tak mampu membayar,“
jawab Milir.
“Kami tidak minta
bayaran, Pak. Diberi tempat
berteduh dan makan saja pun, cukup,” sahut Marto Kuncung.
“Kalau mau seadanya, ya, silakan saja. Kita sama-sama bekerja. Nanti kita buka lahan baru, agar hasilnya lumayan.”
Pembicaraan berlanjut pada soal-soal
lain, tentang asal muasal Muhiman dan Marto Kuncung yang sedang merantau, hingga akhirnya terdampar di situ.
Dalam hati, Muhiman dan Marto
Kuncung merasa amat berdosa, karena telah membohongi tuan rumahnya yang baik hati. Padahal, mereka sebenarnya adalah
pekerja rodi yang melarikan diri dari pengejaran tentara Jepang,
dan tersesat ke situ.
***
Kokok ayam jantan di kandang samping
gubuk membangunkan penghuninya, yang bangun dari tidur beralaskan tikar purun[10]. Di timur, matahari bersinar keemasan, menerobos
celah-celah daun di puncak gunung, diiringi kicauan burung, menandai datangnya
hari baru.
Muhiman membuka mata, saat secercah
cahaya menerobos masuk celah atap ilalang.
”Marto, bangun. Sudah pagi,” katanya seraya menarik sarung kumal yang dipakai
temannya. Keduanya berjalan ke sungai kecil di belakang gubuk, mengambil air
dan mencuci muka, kemudian mengelilingi ladang.
”Hari ini kita membantu Pak Milir
membakar sekam ini, membersihkannya, agar bisa ditanami lagi. Nanti kita
tanyakan, Pak milir punya bibit apa saja untuk ditanam,” ucap Marto Kuncung
penuh semangat.
Ketika keduanya kembali ke gubuk, sudah tersedia singkong
goreng dan pisang goreng, yang menjadi sarapan pagi itu.
“Seadanya saja dulu, ya, Pak? Kemarin tak sempat
menumbuk padi, jadi belum bisa menanak nasi...,” Mak Milir mempersilakan kedua
tamunya menyantap hidangan. Meskipun baru berjumpa, mereka seakan
sudah lama bersahabat.
***
Tiga pria paruh baya itu tak kenal
lelah membersihkan batang-batang jerami kering bercampur perdu dan rumput liar
di ladang yang cukup luas. Berhari-hari mereka membersihkan lahan. Sepekan
kemudian, selesailah semuanya, dan ladang siap untuk ditanami.
“Apa nama tempat ini, Pak?” tanya
Marto Kuncung, saat mereka beristirahat di bawah pohon besar yang rindang,
sementara menunggu kiriman makanan dari Mak Milir.
“Tidak ada. Kami pun baru tiga kali
musim tanam berladang di sini,“ jawab Milir. ”Kalau di sana, itu namanya Liang
Luit. Di situ hanya ada beberapa rumah. Dari situ, kita bisa berjalan ke
pasar, “ Milir menunjuk ke barat, ke kaki Bukit Batu Kumpai.
“Kalau panen, kedelainya nanti
dijual ke mana, Pak?”
”Ke pasar. Kita harus sama-sama
memikulnya.”
Milir mengisahkan kehidupannya
suami-istri yang jauh dari permukiman penduduk. Segalanya harus dikerjakan sendiri,
sejak bercocok tanam, memanen, hingga menjual hasilnya.
Beberapa waktu sejak dua orang
pelarian romusha itu ikut bercocok tanam, kedelai sudah panen.
“Besok kita jual ke pasar...,” kata
Milir pada kedua temannya, sambil memasukkan biji-biji kedelai ke karung goni.
“Inggih,
Pak. Kapan kita berangkat? Biar agak pagi sampai di pasar,“ tanya Marto Kuncung.
“Sebelum fajar, agar tidak kesiangan.“
Di bawah sinar bulan purnama, malam
itu di gubuk di tengah ladang sepasang mata terus menerawang. “Musim tanam yang
akan datang aku harus membuka ladang sendiri, agar nanti bisa pulang ke Pulau
Jawa, menjemput keluargaku, untuk bertani di sini. Tanah di sini luas dan subur,“ Marto Kuncung membatin.
***
Pagi masih remang-remang, saat cahaya lampu obor meliuk-liuk di antara rimbunan pohon perdu dan ilalang,
menelusuri jalan setapak. Di kaki Bukit Batu Kumpai, tiga pria dan seorang
perempuan paruh baya berjalan beriringan. Seorang memanggul, dua lainnya
memikul. Sambil memegang obor, yang perempuan berjalan di antara mereka, dengan
punggung menggendong lanjung[11]. Saat mereka tiba di
Pasar Muara Uya, matahari sudah terbit
di ufuk timur.
Setelah kedelai laku terjual, Milir
memberikan uang kepada dua orang temannya itu. “Ini untuk kalian. Siapa tahu
kalian mau membeli sesuatu...”
Di pasar, Muhiman dan Marto Kuncung
berpisah untuk membeli keperluan masing-masing.
Muhiman yang pendiam dan tak
pandai berbahasa Melayu, selalu canggung dan bingung pada hal-hal yang baru
ditemuinya. Beberapa pedagang pasar memerhatikan tingkah lakunya yang tampak kebingungan.
Mendengar pertanyaan yang sama sekali tak dipahaminya itu,
Muhiman hanya menjawab singkat, “Inggih...”
Jawaban Muhiman membuat orang-orang
makin penasaran.
“Sampian
matan mana? Hanyar hajakah sampian ka sia?”[13]
Pedagang lain menghujani Muhiman dengan pertanyaan.
“Inggih,
inggih....”
“Andika
urang mana?”[14]
Meskipun bingung, Muhiman berusaha
memahami kata-kata para pedagang itu. Makin lama, makin banyak orang mengerubunginya.
Muhiman semakin bingung, kikuk, gugup dan terbata-bata.
“Bapak berasal dari mana?“ tanya
seseorang yang bisa berbahasa Melayu. “Njero[15],
Pak,“ sahut Muhiman, sambil menujuk arah mereka datang tadi.
“Ooo.... Jaro. Jaro itu di mana,
Pak?“
“Njero
kono, adhoh.”[16]
“Ooo... Ya, ya, ya...”
Para pedagang dan orang-orang di
sekitar Muhiman manggut-manggut mengiyakan, meskipun tak mengerti kata-katanya. Mereka menyimpulkan, Muhiman berasal dari
sebuah tempat bernama“Jaro”.
Para pedagang Pasar Muara Uya dan
orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu kemudian menceritakan kepada yang
lain, bahwa Muhiman berasal dari “Jaro”. Karena tak bisa mengucapkan “njero” dengan fasih, masyarakat kemudian menyebutnya “Jaro”.
Sejak saat itu, kalau ada orang yang
berasal dari tempat itu, apalagi kalau berasal dari Suku Jawa, mereka
menyebutnya “orang Jaro”. Sesuai dengan perkembangan zaman, akhirnya nama “Jaro” melekat di
lidah masyarakat. Kini, “Jaro” menjadi salah satu nama kecamatan di Kabupaten
Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan.
***
DATU PINTIT
Muhammad
Fitriadi
Bahari, ada kampung nang andakannya di
unjut banua, di hulu batang banyu,
bangaran
Kampung Wayau. Di situ,
ada urang nang bangaran
Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat
tuha, kada. Disambat
anum, kada kawa jua.
Umurnya
kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katuju batatulung. Lamunnya ada urang nang
kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya urang-urang jua, sidin bakabun di
tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul
atawa ramania, sidin batanam jagung wara.
Hari
tu, pas subuh Arba,
hayam
sudah rami batingkuuk. Hari
masih
kadap. Bulan salau-salau.
Tagal, Datu Pintit sudah bangun,
manjumput parang bungkul
wan
cangkul, handak turun ka kabun.
“Lamunnya
lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis
ampat atawa
nang panjang buntut mahabisakan jagungku...,” ujar Datu Pintit dalam hati.
Tulak
ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun gunung.
Kada karasaan, sampai sidin
ka rarumpuk di tangah kabun. Pas sidin sampai, hari sudah tarang. Balalu ai
sidin basiang rumput, mambarasihi jagung nang daunnya pinda layu, karing atawa matian.
Sahari,
dua hari, talu hari, saminggu, dua minggu, talu minggu, pinda baik haja kabun Datu Pintit, kadada satua nang maudak atawa marusak.
“Lamunnya
nang kaya ini, bisa banyak banar kaina hasilnya. Kawa aku batutukar sarabanya,” ujar Datu Pintit.
***
Datu Pintit ni tamasuk manusia nang katuju puas badahulu sabaluman
malihat hasilnya. Pas hari Sanayan, minggu kaampat, tulak pulang sidin ka kabun. Sampai
di kabun, sidin liwar takajut, langsung tadikir, malihat banyak jagung nang
rusak.
“Siapa satua nang maudak jagungku ni...?!” ujar Datu Pintit, liwar garigitan. “Nang babatis ampat, asa mustahil. Rapun
jagungnya,
kada tabulangkir. Nang panjang buntut, mustahil bangat. Jagungnya kadada bakas
kana lincai. Lamunnya satua nang badua tu nang maudaknya, habis am tabulangkir, lunau dilincainya....”
Pindanya, ni lain gawian satua nang
badua tu, ujar Datu Pintit. Lamun nang kaya ini, isuk handak kuhintipakan, ujarnya pulang dalam hati.
Isuknya, Datu Pintit tulak ka kabun
mambawa sanapang angin. Sampai di kabun, sidin basintup di higa balanai higa lalungkang.
Sampai tangah hari, nang panjang buntut kadada talihat saikung-ikung. Nang ada, urang banar
ai lalu, babaju buruk. Pindanya, urang tu handak ka hutan.
“Ui,
datu, umpat lalulah...?”
ujar urang tu sambil lalu.
“Lalu
ha!
Kadada nang manangati jua...!”
sahut
Datu Pintit.
Lawas
kalawasan, matahari mulai maniruk.
Datu
Pintit handak bulik, tagal sidin bakuliling kabun dahulu, handak mamutiki
jagung anum nang buahnya rahat mamanisannya lamunnya dijarang. Pas di tatangah kabun,
sidin liwar takajut.
“Naaah...
Satua mana pulang nang mambantas jagungku ni?!”
Saban
hari, bilang damintu haja. Sampai nang ka pitung hari, Datu Pintit bamula curiga lawan urang nang rahat bapadah umpat lalu di kabun wayah
tangah hari tu. Maraganya, limbah urang tu lalu, musti jagung sidin hilangan,
rusakan.
***
Limbah
tu, dihintipakan
Datu Pintit ai urang
tu wayah lalu.
“Ui,
datu, umpat lalulah...?”
Kadangaran
suara urang tu bapadah.
Nah,
ujar
Datu Pintit dalam hati, kada lain lagi: musti ni malingnya! Bagamat sidin bajalan, mahintipakan, mairingi.
Sidin
kada handak langsung manangkap
urang tu, tagal handak tahu, ka mana inya bulik.
Datu
Pintit bagamatan mairingi urang tu di balakangnya.
Sakalinya,
urang tu lain manusia,
tagal urang
gaip! Macan jadi-jadian! Ujar,
lamunnya
bubuhan subalah tu handak ka alam manusia, dipaculnya baju macannya. Lamunnya
handak bulik ka alamnya, dipuruknya pulang bajunya.
Limbahnya
tahu, isuknya Datu Pintit mahintipakan macan jadi-jadian tu pulang, bagamatan mairingi.
Parahatan macan jadi-jadian tu mamakani jagung, hancap diambil sidin bajunya!
Limbah
tuntung makan, marasa kahilangan bajunya, macan jadi-jadian tu liwar abutnya, mancarii bajunya ka
hulu ka hilir. Sudah tuhuk
mancarii, tagal kada
taulih jua. Ayungannya, macan jadi-jadian tu habis akal, lalu mangaku lawan Datu Pintit,
pada inya nang mamakani jagung.
”Datu... Ulun banyak-banyak minta maap, minta ampun, minta rila.
Dudi-dudi,
ulun kada lagi mamakani jagung pian. Bulikakan baju ulun. Lamun kada babaju tu, ulun kada kawa bulik ka
alam ulun...,” ujar macan jadi-jadian tu mambari maras, parak manangis.
Nang
ngaran Datu Pintit ni urang
baik, sidin maapi ai macan jadi-jadian tu. Tagal, ada syaratnya. “Nih, baju ikam
kubulikakan. Tagal, dudi-dudi jangan
lagi ikam mamakani jagungku. Jangan mahaur anak cucuku lagi kaina.”
‘’Inggih,
datu ai. Mulai wayah ini, pian ulun anggap dangsanak. Kita baangkatan
dangsanak. Ulun kada lagi mahaur anak cucu pian, sampai tujuh turunan. Lamunnya
ka hutan, anak cucu pian musti mamakai daun hidup nang disusupakan di higa
kuping, sakira ulun pinandu lawan juriat
pian.’’
Limbah
baangkatan dangsanak, Datu Pintit dibawa macan jadi-jadian tu ka alamnya. Nang
ngaran alam gaip, satumat ha sampai. Sakalinya, alam gaip tu sama haja jua
lawan alam manusia. Manusia banar ai nang kada kawa malihat alam subalah tu.
Limbah tu, kabun jagung Datu Pintit kada suwah lagi rusak atawa kamalingan.
Sampai
wayah ini, urang Kampung Wayau wayah ka hutanan musti mangaku bubuhan Datu Pintit jua. Lamunnya ka hutanan, juriat Datu Pintit musti maandak
daun hidup di higa kupingnya.
***
LEGENDA GUNUNG HALAT
Loki Santoso
Di lembah hutan belantara yang dikelilingi pegunungan,
bertapa pria bertubuh raksasa dan berpakaian
kulit kayu. Tubuhnya besar sekali untuk ukuran manusia zaman sekarang, lebar
dadanya lima jengkal.
Pertapa itu bernama Tilan. Ia bertapa untuk minta
petunjuk dewata, agar mendapat pendamping hidup. Umurnya sudah
45 tahun, tapi belum juga mendapat jodoh. Bertahun-tahun ia bertapa, hingga
pada suatu hari:
”Hai, anak muda. Apa yang kau lakukan di sini...?”
Seorang tua bertubuh raksasa membangunkan tapa brata Tilan. Saking kerasnya getaran suara orang tua
itu, tubuh Tilan terpental puluhan jengkal dari batu tempatnya duduk.
Tilan yang sadar dari pertapaannya, kaget dan kontan
waspada. Siapa orang ini? Ini bukan orang sembarangan, batinnya
“Mohon maaf atas kedangkalan pengetahuan saya pada
luasnya dunia, dalamnya laut, dan dan tingginya langit. Sekali lagi, mohon
dimaafkan. Dengan siapa gerangan saya berhadapan?” tanya Tilan.
“Aku penguasa hutan dan pegunungan di wilayah ini. Namaku Marlung!“ sahut orang tua itu
dengan nada tinggi. ”Mengapa engkau di sini, tanpa seizinku?”
“Sekali lagi, maaf. Saya tidak tahu. Sudah
bertahun-tahun saya bertapa di sini, tapi tak pernah bertemu seorang pun,”
sahut Tilan. ”Saya pengembara dari negeri seberang.”
“Baiklah, anak muda. Engkau kumaafkan. Tapi, jawablah pertanyaanku dengan
jujur. Apa tujuanmu bertapa di sini?”
“Saya mencari petunjuk tentang jodoh saya. Sebab,
hingga kini saya belum bertemu jodoh.”
Orang tua bertubuh raksasa itu senang dengan kejujuran anak muda itu. ”Baiklah. Engkau kuizinkan bertapa di sini. Setelah dua belas purnama, aku akan
kemari lagi.”
“Terima kasih,“ jawab Tilan.
Tanpa Tilan sadari, orang tua itu sudah menghilang.
Tilan duduk lagi di tempat semula untuk melanjutkan
pertapaannya. Namun, pikirannya tak lagi terpusat pada tujuan semula, tapi pada
orang tua tadi. Siapakah Marlung? Benarkah raksasa itu penguasa hutan dan pegunungan ini?
Yang membuat hatinya lega, ternyata masih ada orang
berwujud raksasa seperti dirinya. Itu membuatnya berpikir, jika ada orang lain
yang bertubuh sama besar dengannya, mustahil dewata tidak
menciptakan orang lain dengan wujud sebesar itu, terutama yang berjenis kelamin perempuan.
***
“Hai, siapakah engkau...?”
Suara perempuan membangunkan Tilan dari pertapaannya.
Sembari menarik napas dalam, Tilan membuka mata dan
menoleh ke arah suara itu. “Maafkan saya yang hina ini. Nama saya, Tilan. Ada
apakah gerangan?“
“Sudah berapa lama engkau bertapa di sini? Apa yang kau cari?”
Seorang perempuan tua bertubuh raksasa,
berbaju kulit kayu dan rambut awut-awutan, menghujani Tilan dengan
pertanyaan.
“Saya mau mencari jodoh. Sudah tujuh belas purnama
bertapa di sini. Maafkan jika tidak berkenan,” jawab Tilan.
“Baiklah, anak muda. Teruskanlah tapa bratamu. Semoga
berhasil...”
Belum hilang suaranya, perempuan tua raksasa itu sudah
lenyap dari pandangan.
Kedatangan perempuan tua raksasa itu membuat Tilan
makin yakin, masih ada perempuan muda raksasa lainnya yang diciptakan dewata
untuknya. Soalnya, dewata telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.
Pada suatu hari, telinga Tilan yang sudah terbiasa
dengan bunyi-bunyi di sekitarnya mendengar senandung kecil di antara suara burung dan dedaunan yang gemerisik ditiup angin.
Penasaran, ia bangkit dari pertapaan dan menyusuri jalan, menyibak rimbun
dedaunan dengan perlahan.
Langkah kakinya terhenti, saat mendengar senandung
perempuan di balik rumpun bambu. Ia ingin tahu, siapa pemilik suara itu.
Sesaat Tilan terpaku. Rasa penasaran membuatnya
mendekat dengan hati-hati, agar kehadirannya tak diketahui gadis cantik bertubuh raksasa
berkulit bersih, berambut panjang, hitam dan legam, yang jika berdiri mungkin
panjang rambutnya mencapai tumit.
“Siapa itu...?!” seru gadis raksasa itu saat melihat kehadiran Tilan.
“Maafkan aku. Suara nona yang
merdu membuatku datang kemari. Suara
nona ternyata secantik orangnya..,” jawab Tilan sambil menampakkan diri.
“Siapa kamu? Beraninya mengintipku? Apa maksudmu?”
“Namaku Tilan. Aku bertapa di lembah sebelah sana. Aku
ingin minta petunjuk kepada dewata tentang jodohku. Nah, pertanyaan nona sudah
kujawab. Sekarang, giliran nona. Siapa nona, dan dari mana?”
“Namaku Ambar, asalku di sebelah bukit ini. Orang
tuaku bernama Mratung,” sahut perempuan itu dengan nada lunak.
Tilan lega, tapi kaget setelah tahu, bahwa gadis raksasa
itu adalah putri orang tua raksasa yang pernah menemuinya. Saat mata
Tilan beradu pandang dengan mata Ambar, dadanya berdegup kencang. Begitu pula
Ambar. Wajah gadis raksasa itu bersemu merah, tertunduk malu tersipu-sipu.
“Ambaaar....!“
Suara yang nyaring dan menggelegar tiba-tiba memanggil
nama gadis itu. Suara itu merontokkan dedaunan kering di atas pepohonan. Demikian nyaringnya suara itu, membuat sepasang muda-mudi yang sedang beradu pandang itu tersentak ke belakang, hingga
jarak mereka berjauhan.
Belum hilang rasa kagetnya, Tilan
dikagetkan lagi dengan kehadiran pemuda bertubuh
raksasa berbaju kulit kayu. Pemuda itu berdiri tegap dan tegak, dengan mata
kemerahan, langsung membentak, “Siapa kamu?!”
“Aku, Tilan. Anda sendiri, siapa?”
“Aku Marlung, putra Mratung,
penguasa wilayah ini. Mengapa kau mengganggu adikku!?”
“Maaf, tapi aku tak melakukan apa-apa. Kami baru saja berkenalan.”
“Apa maksud kedatanganmu?!“
“Mencari jodoh. Tak
disangka, di sini bertemu dengan keluarga bertubuh sama besar denganku, dengan
anak gadisnya yang cantik.”
“Apa maksudmu?!”
“Aku ingin menyunting Ambar,” jawab Tilan terus
terang.
Marlung tampak kurang senang. “Kami tinggal satu
kelompok. Semuanya raksasa.
Pergilah ke sebelah bukit sana, akan kau jumpai raksasa seperti kami. Di sana
juga banyak gadis raksasa. Jika
ingin menyunting adikku, kau harus adu ilmu denganku dulu. Agar kami tidak
salah pilih. Engkau dari mana, keluarga siapa?!”
Tilan berpikir sejenak. Selama bertapa, hanya Ambar
raksasa perempuan yang pernah ditemuinya. Jika perempuan itu memang
jodohnya, adu kesaktian untuk mendapatkannya cukup sepadan.
“Baiklah. Aku yakin, Ambar adalah jodohku. Mari kita
bertarung...”
Tilan dan Marlung kemudian adu kesaktian.
Bagi Ambar, menyaksikan
pertarungan seperti
itu sudah biasa. Sebab, ia dibesarkan dalam adat istiadat seperti itu. Pertarungan itu
menumbangkan pepohonan, akibat terkena pukulan dan tendangan keduanya.
Perkelahian mereka berlangsung siang-malam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan.
Semakin lama, arena perkelahian mereka semakin meluas,
mendekati lembah tempat Tilan bertapa.
Dalam satu kesempatan,
keduanya mengeluarkan ilmu tingkat tinggi. Saat keduanya mengangkat tangan,
keluar cahaya putih menyilaukan mata, lalu mereka melontarkannya dan beradu di udara.
Hawa panas pukulan itu mengenai sebatang
pohon besar. Pohon itu langsung hangus dan terbakar, terbelah dua
dengan warna berbeda. Belahan pohon pertama yang berwarna merah roboh ke arah
utara, yang kehitaman roboh ke selatan.
Saat pertarungan telah berlangsung tiga purnama dan
mencapai puncaknya, mereka masing-masing mengeluarkan ilmu beralih rupa. Tilan
berubah wujud, menjadi ikan bermulut
lancip, dengan punggung berduri
tajam tanpa sisik; sementara Marlung menjadi belut besar berkepala mirip ikan
gabus, bertubuh bulat dan panjang.
Keduanya menceburkan diri ke dalam kolam. Di dalam kolam, keduanya
membelit dan saling tusuk dengan senjata masing-masing. Air kolam keruh menjadi lumpur, bergolak dan mengeluarkan
gelombang udara.
Saat itulah Mratung dan Ambar datang.
Mratung murka dan membentak keduanya agar menghentikan
perkelahian. Namun, keduanya tak menghiraukan.
“Kalau kalian tak henti berkelahi, kalian takkan kembali ke wujud
semula...!” seru Mratung.
Sambil mengangkat kedua tangannya, Mratung mengucapkan
mantra. Tangannya mengeluarkan cahaya keemasan. Cahaya itu diarahkannya ke
kolam. Air kolam yang semula keruh berlumpur
dan bergolak, tiba-tiba menjadi tenang. Mratung
memisahkan tubuh keduanya yang
kelelahan, dan berkata, “Untuk selamanya, wujud kalian akan begini! Kalian harus
pergi dari kolam ini!“
Dengan tubuh lemah lunglai, keduanya
pergi meninggalkan tempat itu, masing-masing ke arah utara dan selatan, membuat
jalan dengan sisa-sisa tenaganya. Dari jalan yang mereka buat, terbentuk dua
aliran sungai. Sungai di utara kini dinamakan Sungai Maliri, yang banyak ikan malung-nya. Tapi, di
sungai itu tidak ada ikan tilan.
Sebaliknya, sungai di selatan kini dikenal sebagai Sungai Pupuh. Di
dalamnya, banyak ikan tilan, tapi tak
ada ikan marlung.
***
Dari cerita orang-orang tua, dahulu di perbatasan
Gunung Halat ada pohon besar
bercabang dua, yang berbeda jenis dan warna daunnya. Konon, itulah pohon yang pernah terbelah dua akibat perkelahian
Tilan dan Marlung. Pohon itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang
mempunyai ilmu kebatinan. Kini, daerah itu merupakan perbatasan Provinsi
Kalimantan Timur dengan Provinsi Kalimantan Selatan.
***
UTUH
TALUNGKUP WAN PILANDUK
Gusti Indra Setyawan
Bahari,
di Kampung Mahe, ada bibinian nang batianan. Uma Idang ngarannya. Lakinya sudah
kadada lagi, hanyar am mati ditimbak patir wayah di pahumaan. Rumahnya rumbis
banar. Hatapnya daun rumbia. Lamunnya ada angin tutus, takipaian hatapnya.
Liwar buruk rumahnya. Gawian Uma Idang saban hari maambil upah manurih gatah,
sapalih batanam gumbili, sapalihan lagi bahuma. Parutnya sudah masuk itungan
lapan bulan. Ujar urang, sabulan haja lagi mambarubus. Tagal, sidin
cangkal haja lagi bagawi.
“Aduhhhh... Parutku ganal sudah. Parak sudah baranak. Laki, kadada. Dingsanak,
kadada. Duit, kada tapi ada. Dimapa juakah kaina nasip anakku ni...,” ujar Uma
Idang marista diri.
Saban
hari, siang malam, Uma Idang asa marista. Satutumat, manangis saurangan, sampai
bantal batahi lambuan.
Kada karasaan, sampai sudah sambilan bulan, sambilan hari. Manunggu wayahnya
haja lagi. Saharianan Uma Idang badangsar, kasakitan parut. Hadap kiwa, hadap
kanan, batilungkup, tatap ai sakit. Maka, tumatan rumahnya ka rumah dukun
baranak, jauh banar. Untungnya, ada haja urang nang hakun manulungi,
mangiauakan dukun baranak.
“Buka sadikit lagi... Tarus hajan... Tarussss, sadikit lagi...!” ujar dukun
baranak, manyuruh Uma Idang.
“Aduuuh... Nangapa lagi nang dibuka? Asa lain nang dihajan, nah! Asa takaluar
nang sabutingnya!” sahut Uma Idang.
“Iya am, tu! Parak sudah! Hajan tarussss...!”
Kada lawas mahajan, mambarujul
takaluar jabang bayi lakian.
“Uaaa... Uaaa... Uuuaaaa...!”
Nyaring banar suara tangis anak Uma Idang.
Anak tu dingaraninya Utuh Talungkup. Maraganya, wayah maranakakan, Uma Idang
tatalungkup-talungkup mahajan. Balalu, anaknya dingarani Utuh Talungkup. Urang
bahari nang nyaman-nyaman haja mangarani anak, kada pati ngalu kapala
mamikirakan.
Dilihatinya anaknya, dipusutinya. Kaingatan Uma Idang wayah batianan talu
bulan. Nang dikidamnya, buah pitanak, buah urang bahari. Wayah ini, buah
pitanak sudah kadada lagi. Buahnya hirang. Rasanya masam sadikit.
“Pantas haja anakku ni hirang. Aku pang mangidam pitanak...,” ujar Uma Idang
dalam hati.
Uma
Idang kaingatan lawan kai nang mambari buah pitanak tu, wayah inya batianan.
Kai tu baucap, ”Lamun ikam mamakan buah pitanak ni, anak ikam kaina ganalnya
pintar, pawanian, raja akal. Tagal, awaknya hirang....”
Nang ngaran urang mangidam, napa haja dituruti Uma Idang. Sakalinya, dasar
bujur hirang awak anaknya. Kada karasaan, satahun, dua tahun, sapuluh tahun, sampai
dua puluh tahun umur Utuh Talungkup. Uma Idang sudah sasain tuha. Muha
takarisut. Kulit mangariput. Awak kandur. Mata kaur. Bajalan tamaju taundur.
***
Uma
Idang kahandakan banar makan daging pilanduk. Nang kaya mangidam ha lagi.
Bakiau ai Uma Idang lawan anaknya. “Tuh... Uuu, Tuhhhh... Ka mari satumat,
Nak!”
“Inggih, Ma. Napa, Ma?”
“Cariakan pilanduk. Mama handak banar makan daging
pilanduk.” “Inggih. Ayuha, Ma ai.”
Limbah
maambil tumbak wan karung, tulak ai Utuh Talungkup ka hutan. Nang ngaran ganal
hampadal, inya kada takutan masuk ka hutan. Limbui sudah paluh, tagal kada
taulih jua pilanduk. Tagal, lamunnya kada bakulih, inya pantang bulik ka rumah.
Maginnya, nang bakahandak tu umanya. Basarusup inya, mahintipakan pilanduk di
higa batang kayu ganal. Kada lawas, ada pilanduk balinjang.
“Naaah...
Ninya satua nang kuhadangi tumatan tadi!” ujar Utuh dalam hati.
Wayah
Utuh Talungkup handak manumbak, ada suara di atas puhun, managurnya:
“Wak,
wak, wak...! Ngik, ngik, ngik...! Jangan ditumbak, Tuh ai!”
Hulingang-hulingang
Utuh Talungkup, kapulingaan mancari asal suara. Limbah dilihatinya, sakalinya
nang bapandir tadi tu warik.
Takajut
Utuh.
“Ikamkah,
Rik, nang bapandir tadi?”
“Ngik,
ngik, ngik...! Wak, wak, wak...! Hi’ih, Tuh ai! Ikam jangan manumbak pilanduk
tu!” ujar warik pulang.
“Napa
garang, jadi aku ditangati manumbak?”
“Ngik,
ngik, ngik...! Wak, wak, wak...! Lamun ikam handak, jangan ditumbak! Tangkap
haja!”
Utuh
bingung, kada paham sahama-hama.
“Tangkap
haja pilanduknya! Inya kada pacangan bukah jua!”
Dasar bujur ujar warik.
Bagamat Utuh manangkap pilanduk.
Nang kaya mahadang ditangkap jua, pilanduknya kada bukah lalu wayah dikacak
Utuh di puhun gulunya. Pilanduk tu dibuat Utuh dalam karung, dibawanya bulik ka
rumah.
Sampai di rumah, Utuh baasa maasah
parang, sakira sasain landap. Wayah parang bahuyung ka gulu pilanduk, Utuh
takajut kada sakira, malihat pilanduk tu titik banyu matanya! Maginnya wayah
mandangar pilanduk tu baucap:
“Ka Utuh...! Jangan disumbalih ulun, ka...!” ujar pilanduk mambari maras.
Malihat
pilanduk tu bisa bapandir, Utuh kada purun manyumbalih. Bapadah ai inya lawan
mamanya. Untungnya, mamanya kada manangati jua, pinda kada pati baliur lagi
lawan daging pilanduk.
***
Baisukan
hari, Utuh takajut malihat di bawah tatudung banyak banar makanan nang
nyaman-nyaman. Batakun inya lawan mamanya. “Ma, piankah nang maulah makanan di
tatudung tu?”
“Lain.
Kada tahu jua mama, Tuh ai!” sahut mamanya.
“Siapa
pang, nang bamasak ni?” ujar Utuh pulang.
“Tahu
jua! Tang ada ha! Makan ha. Nyaman ai masakannya.”
Nang
ngaran handak tahu, limbah tuntung makan, dihintipakan Utuh ai tatudung tu di
buncu dapur. Saharianan, sampai taka malam. Satumat-satumat, dibukanya
tatudung.
“Siapa
jua nang mambari makanan ni? Banyak bangat,” ujar Utuh.
Saban
hari, makanan nang nyaman-nyaman ada tarus. Utuh sasain panasaran. Pas malam
Jumahat, dihintipakan Utuh pulang tatudung tu. Liwar takajutnya inya, malihat
ada bibinian bungas parahatan bamasak di dapur.
“Siapa
ikam...?!” ujar Utuh mangajuti tumatan balakang.
“Ampun,
kaka Utuh! Niat ulun baik lawan pian wan mama pian,” ujar binian tu. Muhanya
liwar langkarnya.
Manggatar
lintuhut Utuh malihat bibinian tu. Hatinya gadugupan kada karuan. “Uuu, jadi
ikam nang bamasak saban hari di rumah ni?” ujar Utuh, unggut-unggut, bapandir
tapuntal-puntal, liwar gugupnya.
“Inggih,
ka ai. Ulun nang saban hari bamasak di dapur, maulahakan makanan gasan pian
badua. Ulun pilanduk nang pian tangkap. Ulun tamakan sumpah, lalu baubah jadi
pilanduk. Lamun ada lalakian nang hakun mangawini, ulun baubah jadi manusia
lagi...”
Nyata
ai Utuh Talungkup hakun. Siapa jua nang kada hakun mangawini bibinian jelmaan
pilanduk nang liwar langkarnya tu? Limbah dikawini Utuh Talungkup, pilanduk tu
baubah jadi manusia salawasan. Habis kisah, Utuh Talungkup hidup nyaman lawan
bini wan mamanya.
***
LEDAKAN TIGA BIJI LIMPASU
Mahfuzh
Amin
Alkisah, dahulu kala ada Kerajaan
Lambu Garang. Kerajaan itu terletak di tempat yang sekarang bernama Kampung
Paramian, Kabupaten Tabalong. Disebut Kerajaan Lambu Garang, karena rajanya
bernama Lambu Garang. Raja itu amat
zalim.
Ia
suka memeras
keringat rakyatnya sendiri, yang kebanyakan petani.
Raja Lambu Garang senang
mengumpulkan perempuan cantik sebagai
selir. Tak ayal lagi, siapa pun yang disukainya, gadis, janda, bahkan isteri
orang sekalipun, akan diambilnya secara paksa, dengan berbagai cara. Tak ada
yang berani melawannya, karena taruhannya adalah nyawa. Konon, selir Raja Lambu
Garang berjumlah 40
orang, selain permaisuri cantik bernama Singkap Siang.
***
Suatu hari, ketika Raja Lambu Garang
berburu bersama pengawalnya, ia
melihat
perempuan cantik. Kecantikannya
melebihi kecantikan selir-selirnya,
bahkan lebih cantik daripada permaisuri. Pertemuan itu terjadi saat rombongan
tiba di Kampung
Harung. Raja Lambu Garang ingin memboyong perempuan itu ke istana, untuk
dijadikan selirnya yang ke-41. Tapi, kabar tentang perempuan itu membuat
niatnya tertunda.
Perempuan bernama Diang Sasar itu ternyata isteri Datu Magat, tokoh
berpengaruh di Kampung Harung. Selain ahli bertani dan memiliki ladang yang
luas, Datu Magat dikenal sakti. Ia tidak hanya tinggal bersama istrinya, tapi
juga bersama adik kandungnya,
Diang Wangi. Diang Wangi pun berwajah cantik, tak kalah cantik dengan kakak iparnya.
Karena Datu Magat tokoh sakti dan dihormati,
tidak mudah bagi Raja Lambu Garang untuk mendapatkan Diang Sasar. Jika memaksakan diri,
ia akan mendapat perlawanan tokoh
sakti itu. Apalagi kalau warga Kampung Harung membantu Datu Magat, tentu akan
berimbas pada kerajaannya.
Namun, bukan Raja Lambu Garang
namanya jika tak punya akal untuk mendapat yang diinginkannya. Ia meminta Datu Magat agar menjadi
Patih kerajaan di istana. Datu Magat yang tak menyadari kelicikan raja,
bersedia menjadi Patih Baras. Sejak itu, Datu Magat bersama isterinya tinggal
di istana. Keberadaan Diang Sasar di istana, dimanfaatkan Raja Lambu Garang
untuk mendekatinya. Makin hari, keinginannya untuk menjadikan Diang Sasar
sebagai selir, makin membuncah.
***
Raja Lambu Garang mengadakan pesta
tujuh hari tujuh malam dengan mengundang seluruh rakyat dan pejabat kerajaan.
Bagi rakyat, ini pesta pertama yang diadakan raja kejam itu. Agak aneh, memang. Tapi, rakyat menyambutnya dengan
suka cita. Rakyat mendapat makanan
dan
minuman
secara cuma-cuma,
segala macam hiburan pun diadakan.
Di sela keramaian pesta, raja
menjalankan rencananya. Raja Lambu Garang ingin minum madu lebah, dan meminta Datu Magat menemani mencarinya di hutan.
Sebagai Patih, Datu Magat tak kuasa menolak perintah rajanya. Esok paginya, rombongan raja dan
pengawalnya pun berangkat.
Setibanya di hutan, mereka hanya
menemukan satu sarang lebah, di puncak pohon yang besar dan tinggi sekali. Mustahil memanjatnya,
kecuali menggunakan tangga.
Raja memerintahkan pengawal
membuat
tangga, bersambung-sambung,
hingga
setinggi
pohon. Setelah tangga jadi, Datu Magat diperintah raja memanjat pohon itu.
Tapi, semuanya hanya tipu muslihat belaka. Saat Datu Magat tiba di puncak
pohon, Raja Lambu Garang memerintahkan pengawal memotong tangga itu di bagian
bawah. Tangga panjang itu pun
roboh.
Datu Magat tak dapat
turun. Raja Lambu Garang beserta rombongan pengawal segera pulang ke istana, membawa
kabar kematian Datu Magat. Raja amat gembira. Tak lama lagi, Diang Sasar akan
menjadi selirnya.
Datu Magat seakan kehilangan
kesaktiannya
saat berada di
puncak pohon. Ia tak dapat
turun, hanya berharap ada orang lewat yang akan menolongnya. Tapi, harapannya sia-sia.
Pohon itu terletak
di tengah hutan
belantara yang jarang dilalui orang. Siang malam dilaluinya dengan menahan rasa
lapar dan kantuk.
Di saat genting itu, Datu Magat
teringat pada Ipra Maruwai, yang pernah berjanji akan menolongnya jika ada
masalah. Datu Magat ingat peristiwa yang dahulu menimpa adiknya, Diang Wangi.
***
Pada suatu hari, Datu Magat kaget
atas pengakuan Diang Wangi, bahwa dia hamil. Hal itu membuat Datu Magat marah
besar, sebab Diang Wangi belum bersuami. Namun, amarahnya terpendam.
Ternyata,
tak seorang pun tahu siapa yang telah menghamili Diang Wangi, termasuk Diang
Wanginya sendiri! Katanya, malam hari ia sering merasakan ada yang
menggaulinya. Tapi, saat itu
terjadi,
ia tak sadarkan diri.
Saat sadar, yang menggaulinya sudah tak ada lagi.
Datu Magat tak tinggal diam.
Ia mengatur siasat untuk menangkap
basah orang yang telah menghamili adik kandungnya itu. Ia
mengumpulkan kulit
bamban[17],
mengolahnya menjadi tali yang panjang sekali. Juga, dibuatnya tempat
persembunyian di semak belukar
di seberang
rumah.
Malam pun tiba.
Diam-diam, Datu Magat mengawasi
rumah dari tempat persembunyiannya. Lewat tengah malam, dilihatnya kabut tiba-tiba turun menyelimuti
rumahnya. Semula, ia
mengira kabut itu hanya embun,
yang biasanya
turun menjelang dini hari. Tapi, makin lama kabut itu makin tebal dan, anehnya, hanya menyelimuti rumahnya, tidak
menyelimuti rumah tetangganya yang lain!
Saat itu juga, tiba-tiba rasa kantuk
yang luar biasa menyerang Datu Magat.
Datu Magat sadar, kabut dan kantuk
yang tiba-tiba datang itu adalah ilmu sirep pelaku yang telah menghamili Diang
Wangi! Ia langsung membaca mantra, hingga tubuhnya mengeluarkan cahaya kuning.
Perlahan-lahan, kabut itu lenyap
dari pandangan mata Datu Magat.
Samar-samar, seorang pria bertubuh raksasa sedang mengendap-endap
di
jendela kamar
Diang Wangi. Pria itu hanya
mengenakan cawat kulit kayu. Datu Magat segera menjalankan siasatnya. Saat raksasa
itu tengah melampiaskan hawa nafsunya,
diikatkannya tali bamban ke cawat
lelaki itu, dan tanpa suara kembali ke tempat persembunyiannya.
Keesokan harinya, Datu Magat
mengikuti tali bamban itu, dan menemukan raksasa itu sedang tertidur pulas di bawah sebatang pohon
besar. Sejenak ia berpikir: jika raksasa itu dibunuhnya selagi tidur, itu
tindakan pengecut. Dibangunkannya makhluk itu dengan mencabut bulu kakinya yang besar-besar, lebat dan panjang.
Raksasa itu kaget dan langsung terbangun.
Bukannya mengamuk, makhluk raksasa itu malahan
langsung menyembah, mengiba-iba, memohon ampun kepada Datu Magat. Ia mengaku
telah menghamili Diang Wangi, dan memohon agar Datu Magat menikahkan mereka.
Datu Magat tersentuh, urung membunuh. Pria raksasa itu tampaknya golongan jin. Atas kebaikannya, raksasa bernama
Ipra Maruwai itu berjanji akan menolong Datu Magat saat kesusahan, hanya dengan menyebut namanya tiga kali.
***
Dengan hati yakin, Datu Magat
memanggil nama Ipra Maruwai tiga kali. Dalam sekejap, yang dipanggil datang.
Dengan tubuh raksasanya, Ipra Maruwai dengan mudah membantu Datu Magat turun
dari puncak pohon. Sesampainya di bawah, Datu Magat menceritakan peristiwa yang
menimpanya. Mendengar itu, Ipra Maruwai marah besar. Ia memberi Datu Magat tiga
buah biji limpasu[18], dan
berpesan agar dilemparkan satu per satu di tengah keramaian pesta. Apabila terdengar suara ledakan, Datu
Magat harus lari
secepat mungkin. Datu
Magat pun kembali
ke istana, menyamar sebagai rakyat biasa yang ingin menyaksikan pesta dan
hiburan.
Setelah
menjemput istrinya, setibanya di tempat pesta, Datu Magat langsung melemparkan sebiji buah limpasu. Tapi, tak terjadi apa-apa.
Dilemparkannya
lagi biji limpasu yang kedua, sama saja.
Datu Magat bingung.
Dengan bimbang, dilemparkannya biji limpasu yang ketiga. Seketika, terdengar
suara dentuman
yang dahsyat dan menggelegar. Datu Magat dan Diang Sasar berlari kencang
meninggalkan istana kerajaan.
Ledakan yang timbul dari biji limpasu itu seketika membuat suasana pesta gaduh dan kacau balau. Orang-orang berlarian tak tentu arah,
saling tabrak, saling injak. Apalagi saat bumi berguncang hebat, satu per satu
tiang bangunan istana roboh, tanah longsor.
Istana
kerajaan terbenam ke perut bumi, bersama Raja Lambu Garang, permaisuri dan selir-selirnya,
pejabat kerajaan, juga
seluruh rakyat
yang hadir dalam
pesta. Dalam sekejap, istana Kerajaan Lambu Garang lenyap dari muka bumi, hanya
dengan tiga biji buah limpasu.
Datu Magat dan Diang Sasar kembali ke tempat
asalnya di Kampung Harung, hidup tenang dan bahagia bersama Diang Wangi dan Ipra Maruwai, yang telah dikaruniai putra bernama Arya Tadung Wani. Di akhir
hayatnya, Datu Magat dimakamkan di kebunnya sendiri, di tempat yang kini termasuk Kelurahaan Pembataan, tak
jauh dari Mapolres Tabalong, Tanjung.
***
ASAL MULA KISAH KAMBING TAKUTAN
LAWAN BANYU
Gusti
Idra Setyawan
Wayah
malam hari, di hutan Samulung, nang andakannya parak Kampung Wayau, kadangaran
suara kambing. Maraga banyak binatangnya, hutan tu jarang didatangi urang. Ada
dua ikung kambing nang baluman guring. Kambing anak wan mamanya.
Bujur
banyak binatangnya, takananya ada haja urang nang wani masuk ka dalam hutan tu.
Nang wani masuk ka hutan tu biasanya urang nang ganal hampadal, kada balampu,
atawa urang nang kada takutan mati.
Saban
malam, sabaluman guring, anak kambing minta kisahakan dahulu lawan mamanya.
“Ma, bakisah dahulu, hanyar ulun
hakun guring...,” ujar anak kambing pinda ungah.
“Ayuha.
Asal ikam guring, Mama hakun ai bakisah,” ujar Mama kambing. “Di hutan ni, Mama
kada takutan lawan nangapa haja, Nak ai,” ujar mamanya kambing pulang, piragah
jagau.
“Umai,
Ma? Haratnya pang, pian, nih? Lawan macan pang, wanilah pian?”
“Mama kada takutan! Lawan landakkah, taranggilingkah,
katikihkah, ular sawakah, tadung murakah, hadupankah, macankah... Lawan gajah
nang saling ganalan haja gin, Mama kada takutan. Nang Mama takutani di dunia
ni, saikung haja, Nak ai. Handak tahulah, ikam?”
“Siapa,
Ma? Siapa nang pian takutani?”
“Tangguhi.
Siapa, nah?”
Bingung
anak kambing mamikirakan.
Ayungannya,
anak kambing bawani manangguh: “Pasti raksasa! Kada lain lagi! Iya, kalu, Ma?”
“Lain!
Luput tangguhan ikam!” Mama kambing takurihing mandangar jawapan nang anak.
“Siapa
pang, Ma?”
“Ngarannya...
Eee... Handak ai Mama padahi, tagal ikam baluman cukup umur lagi, Nak ai.
Lamunnya sudah ganal, kaina ikam pasti tahu saurang. Kusambat ngarannya haja
gin, lah? Ngarannya, si R-i-n-t-i-k. Nah, Mama sudah bakisah, sadang sudah ikam
guring....”
***
Rupanya,
wayah mama kambing tu bakisah, ada macan nang umpat manalinga. Macan tu
parahatan mancari makan. Sudah saharianan inya kada tadapat makanan. Niatnya
nang handak marungkau kambing, batal, limbah mandangar pandiran kambing nang
badua baranak tu.
Macan
bapikir: “Nangapa
maka kambing kada takutan lawan diaku? Nangapa maka inya takutan lawan si
Rintik? Siapa si Rintik tu? Raksasakah?” ujar macan, mandam kapiu. Lawas inya
bapikir, mangalamun, bakadap di bawah rapun
hambawang. Padahal, inya kada macan sambarang macan, tagal
dasar raja hutan bubujuran!
****
Wayah
macan asyik mangalamun, kada jauh pada situ ada dua ikung urang nang bagarit
minjangan. Ngarannya, Adul wan Amat.
“Dapat juakah, Dul, kita malam ini, yu? Lamunnya kada minjangan, pilanduk
atawa kijang barang...,” ujar Amat, pinda hawai.
“Tanang
haja. Nang musti, kita bausaha dahulu,” sahut Adul.
Adul
wan Amat maingkuti lampu damar, bajalan tarus padang kadap. Limbah anu,
taranjah rapun kayu. Kada tahu dilapah, masuk hutan, kaluar hutan. Sanapang
dumdum, parang, tumbak, timbaku wan makanan, langkap dibawa. Karung gin, ada
jua.
Tagal,
sasain jauh masuk hutan, kada talihat saikung-ikung minjangan, pilanduk atawa
kijang. Baunya haja gin, kadada.
Kanapakah,
parahatan Adul wan Amat bamula pusang, panglihat nang badua tu ada kijang nang
saling ganalan, mancugut di padang kadap, di bawah rapun hambawang.
“Mat,
napa jarku tadi! Tuh, yat, di padang kadap... Napa nang saling ganalan tu?”
“Banaran.
Kada salah lagi! Kijang!” Amat kahimungan.
Nang
ngaran liwar himungnya, Amat langsung maambil sanapang dumdum nang sudah baisi
pilur. Tinggal ditimbakakan haja lagi.
Tagal,
baluman lagi ditimbakakan, Adul sudah manangati. “Jangan ditimbak, Mat ai.
Kaina mati! Kita tangkap hidup-hidup haja!”
Bajingkit-jingkit,
Adul wan Amat mamaraki satua tu. Bagamat Adul maurak karung, sagan manangkap
wan mambuat ka dalamnya.
“Naaah...! Dapatku...!” Adul mambuat
satua tu ka karung sambil bakuciak kahimungan.
“Pacangan cair, kita, Dul ai...!”
Adul wan Amat kada tapikir, nang
dibuatnya ka karung tu lain kijang, tagal macan! Macan mangira jua, nang wani
manangkapnya tu pasti si Rintik!
“Aduhhh...
Iya, pang.... Ni pasti si Rintik nang disambat kambing tadi. Wani banar inya
manangkap diaku, padahal aku raja hutan ni...,” ujar macan dalam hati.
Macan panasaran. Handak banar inya tahu,
dimapa garang sabujurannya nang bangaran si Rintik tu? Inya bapikir, pasti si
Rintik tu ganal banar awaknya.
Nang ngaran kahimungan, Adul wan Amat
kada bagaduh lagi lawan isi karungnya. Naik gunung, turun gunung, masuk hutan,
kaluar hutan, nang badua tu bulikan, banyanyian kahimungan.
Di tangah jalan, nang puhunnya kada tapi
banyak, bulan salau-salau manarangi jalan. Muha Adul wan Amat sudah kalihatan.
Dalam karung, si macan handak tahu jua, siapa si Rintik.
Bagimit, macan marabit karung lawan
kukunya nang panjang landap. Dirabitnya sadikit-sadikit, asal muat di kapala.
Dijinguknya satumat, masuk pulang. Dijinguknya lagi, masuk pulang.
Wayah kapala macan cangul di karung,
kabalujuran Adul malihat tumatan balakang.
“Mat...! Napa nang kita bawa ni,
Mat...?!” Suara Adul manggatar.
“Kijang, Dul ai!” Amat manyahuti
sambil tatawa. Inya kada paham, napa maka suara Adul pinda manggatar?
“Lain, Mat ai! Babalang, awaknya...!
Tu, tu, tu... Ma, ma, macaaan...!”
Asa kada parcaya, bagamatan Amat
bajinguk, malihati isi karung nang dihambinnya. Inya liwar takajutnya! Mata
macan tu pas parahatan cangang ka inya! Saitu-saini, dihampasnya karung nang
dihambinnya.
“Brukkkkk...!” Malabuk bunyi karung
dihampas saling nyaringan.
“Aduh… Aduhh... Liwar gancangnya si
Rintik ni... Dihampasnya aku, nah...,” ujar macan kasakitan.
“Macan, macan, macaaan...! Tulung,
tulung, tuluunggg...!”
Amat wan Adul bukahan kada
katanahan, bakuriak saling nyaringan, katakutanan.
Limbah dihampas tadi, macannya bukah
jua ka hutan saling lajuan. Adul wan Amat kada ingat di diri lagi, banaik ka
rapun puhun nang tinggi.
***
Di dalam hutan, macan bahabar lawan
kakawalannya.
“Siapa nang handak malihat si
Rintik, raja hutan nang hanyar? Iringi aku...” ujar macan, awaknya manggatar katakutanan.
Saitu-saini, macan-macan lain
takumpulan, umpatan tulakan, bairingan.
Di bawah puhun, wadah Adul wan Amat
basambunyi, takumpulan macan, saling banyakan.
Adul wan Amat magin katakutanan,
banaik sasain tinggi. Sakira takurang jua rasa takutan, kaduanya barukuan.
“Uma, uma, umaaa...! Api haja
dimakannya! Dasar harat banar si Rintik tu!” ujar macan katakutanan.
Nang ngaran liwar takutannya, Adul
wan Amat takamih-kamih di salawar.
“Aduh, aduh...! Aku diludahinya...! Liwar
hancingnya...!” ujar macan pulang.
Malihat macan datangan tarus, Adul
wan Amat batingggi lagi naik.
Kada disangka, ayungannya:
“Krak... Krak... Ciuuutttt... Dabukkk...!”
“Aduh, aduh! Digugurinya pulang
aku...! Sakiittt...! Bukahan, bukahaaan...!” Raja hutan bakuriak manyuruh anak
buahnya.
Limbah macannya kadadaan lagi, Adul
wan Amat bagamat turunan. Sambil maurut ka pinggang, nang badua tu hancap
bulikan, bukahan mancincing, katakutanan.
Ayungannya, raja hutan mangaku
kalah, lalu maanggap si Rintik raja hutan nang paharatnya. Padahal, “si Rintik”
nang disambat kambing tu maksudnya “rintik banyu hujan”. Cucuk ai sampai wayah
ini kambing takutan lawan banyu...
***
ASAL MULA NAMA KAMPUNG LIANG TAPAH
Loki Santoso
Liang Tapah adalah nama kampung di
utara kaki Gunung Batu Kumpai, Kampung Garagata, Kecamatan Jaro, Kabupaten
Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Liang Tapah berasal dari kata “liang”,
yang berarti “rongga yang menyerupai goa”, “tapah” adalah nama ikan besar yang hidup di air
tawar. Kini, ikan tapah kian langka.
Dua nama itu digabungkan menjadi “Liang Tapah”, yang berarti “goa (ikan) tapah”.
***
Dahulu kala, dipinggiran hutan, hiduplah pemuda bernama Salman. Ia rajin bekerja dan
taat beribadah. Di sekeliling tempat
tinggalnya masih berupa hutan belantara. Banyak tumbuh pepohonan besar, termasuk
pohon kayu ulin[19].
Asal muasal Salman tidak diketahui. Untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia menanam padi dan
sayuran, membuat gubuk dari batang kayu ulin
sebagai tiang penyangga, dan kayu lain sebagai bangunan gubuknya. Waktu terus berputar,
hari berganti. Lama kelamaan, warga terus bertambah di kampung tak bernama itu. Usai
salat Magrib, Salman rajin berdoa dan membaca
ayat-ayat suci Alqur`an. Alunan
suaranya yang merdu kadang terdengar sampai jauh. Padahal, Salman
merasa tak terlalu nyaring saat mengaji. Suaranya membuat
warga kampung tetangga memintanya menjadi guru mengaji bagi
anak-anak. Dengan senang hati, Salman bersedia.
Kehidupan terus berjalan. Tak terasa, usia Salman terus bertambah, tapi ia belum berniat hidup berumah tangga. Di samping bercocok
tanam, sehari-hari ia mencari ikan dengan
cara bagalau [20] dan memasang lukah[21].
Pagi-pagi sekali, usai salat Subuh,
Salman mengambil lanjung[22].
Dengan menggendong lanjung dan parang di pinggang, Salman
bermaksud melihat lukah yang
dipasangnya kemarin. Di pinggir sungai, ia dikejutkan oleh daun-daun pakis yang bergoyangan,
seakan dilanda sesuatu yang besar sekali.
Setiba di tempat tujuan, Salman
kaget bukan kepalang saat melihat lukah-nya
hancur berantakan. Sambil memeriksa perangkap ikan
itu, ia bertanya-tanya dalam hati: ikan sebesar apa yang telah merusak lukah-nya?
Salman mengambil lukah-nya untuk diperbaiki di pondok.
Ketika melewati daun-daun pakis yang
bergoyang-goyang tadi, Salman
mengamati lagi dengan lebih cermat. Ia ingin menyusuri sungai yang menyerupai
danau itu, untuk mengetahui apa gerangan yang membuat daun-daun pakis tadi
bergoyangan. Tapi, diurungkannya niatnya. Hari sudah jelang siang. Ia harus menyirami tanaman jagungnya yang mulai berbunga.
Saat di gubuk, hatinya gelisah, penasaran dengan
yang dilihatnya di danau tadi.
***
Tengah malam di musim kemarau itu,
Salman bermimpi bertemu dengan orang yang berpakaian seperti pengawal kerajaan.
Orang itu berkata, “Susuri danau dan sungai berbatu itu, hingga ke kaki bukit.
Niscaya akan kautemukan jawaban atas pertanyaanmu...”
Tanpa berpikir panjang, esok harinya Salman mengikuti
petunjuk dalam mimpinya. Disusurinya sungai, hingga ke kaki bukit. Ia terkejut
melihat ombak besar bergulung, dan alur gelombang yang
menghilang di kaki bukit batu kapur.
Setibanya di alur air
itu, ia makin terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya. Seekor ikan besar sedang menyelinap masuk ke sebuah liang! Didekatinya liang itu, sambil berpikir:
bagaimana cara menangkapnya? Kalau dapat, daging ikan itu akan dibagi-bagikannya kepada
tetangga dan murid-murid mengajinya.
***
Di gubuknya, Salman terus memikirkan
cara agar dapat menangkap ikan itu. “Aku harus bangun lebih pagi,” pikirnya.
“Akan kuintai dahulu ikan itu saat keluar. Kujaga di muara liangnya, sebelum ia kembali masuk. Hanya itu caranya ...”
Malam harinya, Salman bermimpi
didatangi sepasang manusia berpakaian aneh, dengan raut wajah sedih. Yang
perempuan menatapnya dengan wajah memelas. “Kumohon, jangan kauteruskan niatmu
itu...,” katanya, sebelum lenyap.
Salman bingung, hingga tak dapat
memejamkan matanya hingga subuh. Setelah salat Subuh, diambilnya lanjung
dan parang, berangkat dengan tekad bulat menangkap ikan besar itu.
Tak berselang lama, Salman tiba di tempat tujuan.
Diturunkannya lanjung dan dihunusnya parang, mengendap-endap perlahan mendekati
liang. Matanya meneliti tanda-tanda di sekitarnya. Tampaknya, ikan itu tengah keluar mencari makan, karena dedaunan pakis tampak rebah, berlawanan arah dengan muara liangnya.
Di tempat persembunyiannya, Salman
melihat ada gerakan-gerakan lembut pohon pakis, beberapa meter di depannya.
Jantungnya berdebar-debar, saat gerakan itu kian mendekati tempat di mana ia berada. Ikan itu sedang menuju liangnya!
Saat melihat ikan itu berkelebat di
bawah permukaan air, secepat kilat Salman menghunjamkan parangnya. Air bergolak
dan tiba-tiba berwarna merah darah. Seekor ikan besar menggelepar-gelepar
meregang nyawa, tepat di muara liang.
Dengan senyum penuh kepuasan, Salman menyeret ikan besar itu, memotong-motongnya, dan
memasukkannya ke dalam lanjung. Di
gubuk, Salman memperkecil potongan ikan itu untuk dibagi-bagikan, sesuai dengan
jumlah tetangganya.
“Di mana guru mendapatkan ikan ini?”
tanya warga yang berdatangan.
“Di muara liangnya,” jawab Salman.
“Ini ikan tapah!” seru warga lainnya.
“Alhamdulillah.
Semua ini berkat dari Allah,” sahut Salman. “Bagaimana kalau kampung ini kita
namai Kampung Liang Tapah?”
“Barrakkallaaah...
“ sahut warga, setuju.
***
Di sekitar liang itu, ada lubuk yang
pernah dipenuhi ikan tapah. Lubuk itu
kini dinamakan Luk Hijau. Menurut warga, kadang-kadang terlihat ikan tapah di situ, tapi hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. Warga yakin, itu adalah pasangan ikan tapah yang telah ditangkap Salman.
***
PUHUN
BINJAI WAN PUHUN JINGAH
Muhammad Fitriadi
Ujar
urang, di Luuk Suntul, nang wayah ini bangaran Kampung Wayau, bahari ada
karajaan. Karajaan tu wadah singgah wan mandian bubuhan raja-raja, bila bubuhan
raja-raja tu handak tulakan
bakapal.
Rajanya bangaran
Raja Simamarta. Raja Simamarta banyak baisian tanaman, nang kakaya langsat,
rambutan, tiwadak, kapul, ramania, banyak ai lagi.
Raja
Simamarta baisian tanaman nang paling disayanginya: puhun jingah wan binjai, nang
tumbuh di tabing sungai, di balakang istana karajaan. Raja mandangar habar, ada
tanaman nang lamunnya diparaki, urang bisa gatalan.
Balalu,
Raja mangiau Patih.
‘Patih Tangkar,
cuba
pang ikam lihatiakan tatanaman nang ada di karajaan ni. Pandangarku, ada
tanaman nang bisa maulah urang gatalan
wayah diparaki. Tanaman napa tu?’’
ujar Raja.
“Ayuha, Raja ai. Halaman pian pasti ulun jaga, Kada pacangan ada maling nang
wani masuk. Lamunnya ada jua, nih, bahadapan lawan ulun, Patih nang panjagaunya di karajaan ni...,’’ ujar Patih
Tangkar kapiragahan.
‘’Nah, ham. Luput sakalinya!
Ni duit, nah!
Tagal, ikam lihatiakan dahulu tatanamanku nang ada di kabunku, limbah tu hanyar sabarataan nang
ada di karajaan.’’
“Bah, Raja ni... Jaka bapadah tumatan
tadi handak minta lihatiakan kabun pian, sudah am ulun lihatiakan...’’
Balalu, Patih Tangkar tulak ka
kabun.
Patih
Tangkar ni urang paling jagau, paling sakti. Kadada tu pang nang wani
malawaninya. Sauting haja kakurangannya: urangnya tuli biruangan, tatulian, kada tapi
mandangar. Lamunnya diunjuki duit atawa pamakan, hanyar inya mandangar.
Sampai
di kabun karajaan, Patih Tangkar tulih
kanan, tulih
kiwa. Kadada nang pinda
ganjil. Tarus ai inya
bajalan ampah ka tabing sungai, tadapat puhun binjai wan jingah.
Ni-kah satua nang bisa maulah warga karajaan gatalan?
‘’Ui,
jingah...!
Ikamkah nang maulah urang gatalan?’’ ujar Patih Tangkar.
‘’Kada,
Patih ai!’’ ujar jingah.
‘’Iya banar, Patih ai! Bujur!
Inya
nang maulah urang gatalan! Limbah urang gatalan, disuruhnya urang mangawininya, jujuran[23]-nya
harang wan duit binggul, baigal
kada babaju, mangulilingi rapunnya...!”
ujar binjai, manyahuti
‘’Ikam bangat lagi, binjai ai! Lamunnya urang gatalan, ikam suruh urang mamupuri, sambil
baigal-igal!’’ ujar jingah kada hakun kalah.
‘’Hau...? Ampihan, ampihan sudah! Jangan bakakancangan lagi! Biar masalah ni kukisahakan dahulu lawan Raja. Kalu pinda sidin tahu, dimapa maurus ikam nang badua ni...,’’ Patih Tangkar
manangahi.
Bulik Patih Tangkar ka istana, balapur lawan Raja.
***
Di istana, Raja sudah basadia duit sagan Patih Tangkar. Raja tahu banar lawan panyakit anak buahnya nang saikung tu.
‘’Badimapa,
Patih? Nangapa garang maka
rakyat
karajaan
gatalan?”
‘’Tahu ai sudah
ulun, Raja ai,’’ Patih Tangkar hancap
manyahut, limbah talihat duit
‘’Lakasi padahi!
Nangapa maraganya maka rakyat gatalan?!’’ ujar
Raja Simamarta, kada sabar lagi.
‘’Maraganya, puhun jingah wan puhun binjai bakalahi, Raja ai. Inya badua tu bahaharatan, bagaganalan
awak!”
‘’Hau...? Dintukah?
Lamun damintu, ikam haja sudah nang maurusnya. Ikam nang pamintarnya, panahunya, di karajaan ni. Lamunnya ikam nang maurusnya,
bahara kadada masalah lagi,’’ ujar Raja, maambung Patih Tangkar.
Patih
Tangkar liwar himung
diambung. ‘’Ulun ni lambat disuruh haja, Raja ai. Baya masalah puhun ha...’’
***
Talu hari talu malam Patih Tangkar mahaluwat, kada taulih jua dimapa caranya. Balalu, inya manukui puhun jingah wan puhun binjai tu.
Sampai di tabing banyu,
diitihinya puhun nang badua tu.
‘’Asa
mustahil puhun bisa maulah urang gatalan. Mustahil lamun kadada sababnya....’’ Patih Tangkar gagarunum dalam
hati. Dikulilinginya rapun jingah wan binjai tu. Parahatan
inya bakuliling, titik banyu nang kaya gatah, matan atas puhun tu.
Dijapainya
banyu nang titik tu. Kada lawas, di awaknya timbulan habang-habang,
babaial-bial, gatal!
‘’Bah…. Ni pang sakalinya nang maulah
urang gatalan tu! Kada maraga napa-napa sakalinya. Ni maraga kana gatah jingah wan binjai haja!’’
Rupanya,
wayah
turun mandi ka batang,
urang diguguri gatah jingah wan binjai nang banyak tumbuh di tabing. Bisa
jua urang kada singhaja
tajapai rapunnya, balalu kana gatahnya.
Urang nang gatalan tu lalu disambat “kajingahan”, “kabinjaian”.
Bulik
ai Patih Tangkar ka istana, baulah
tatamba gatalan,
balapur
lawan Raja. Mandangar lapuran Patih, Raja mangiau pangawal, lalu baucap: “Wayah ini jua, jauhakan puhun
binjai tu pada puhun jingah! Jangan diparakakan lagi!”
Tulakan
ai bubuhan pangawal, manjauhakan puhun badua tu. Makanya, wayah ini
kaduanya kada lagi tumbuh bahigaan. Jingah tumbuh di tabing sungai, binjai di
tangah hutan. Di
kampung,
lamunnya “kajingahan” atawa “kabinjaian”, urang kada lagi baigal wan mamupuri puhun
tu. Tagal, ada haja jua pang nang masih damintu.
***
SI
PUJUNG JADI BATU
Lilies MS
Di
Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, ada Kampung Pujung. Di pinggiran
kampung itu, ada patung batu. Patung yang bentuknya menyerupai alat kelamin
pria itu konon alat kelamin Pujung, setelah dikutuk ibunda Putri Tunjung Sari,
istri Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri.
Sebelum
Kerajaan Banjar berdiri, ada kerajaan Dayak Maanyan bernama Kerajaan Nan
Sarunai. Seiring dengan itu, ada Kerajaan Tanjung Puri. Kerajaan Tanjung Puri
dipimpin raja yang bijak bestari. Dalam memimpin, raja didampingi patih yang
arif, tangkas dan cerdas, bernama Mahapatih Mahe.
Mahapatih
Mahe yang berdarah Melayu hidup berbahagia dengan istri dari keturunan Raja Nan
Sarunai. Dari perkawinannya, ia mendapat anak laki-laki, yang kemudian bermukim
di Barito (Barito Timur sekarang), dan menjadi damang[24] di sana.
Seorang lagi, Putri Tunjung Sari, kecantikannya sudah tersohor ke mana-mana,
bukan hanya ke Sungai Bahan dan Sungai Negara, tapi ke seluruh penjuru negeri.
Putri
Tunjung Sari bersahaja, berbudi luhur, terampil dan cerdas. Teman-temannya
sangat menyukainya. Ia pandai menari dan menyanyi. Setiap panen raya, Putri
Tunjung Sari dan teman-temannya memeriahkan pesta dengan menarikan tarian kurung-kurung dan gintur [25]. Banyak
pria jatuh cinta padanya.
***
Berseberangan
sungai dengan Kerajaan Tanjung Puri, ada seorang saudagar yang kaya raya. Ia
memiliki kebun yang amat luas, bermukim di daerah Pitab, batang Balangan[26].
Saudagar itu berasal dari Suku Dayak Pitab, Balangan. Ia menjual hasil ladang
dan kebunnya di Kerajaan Tanjung Puri.
Saudagar
kaya itu memiliki putra bernama Pujung.
Pujung
memiliki kesaktian yang luar biasa. Tenaganya luar biasa. Tubuhnya tinggi,
besar dan kekar, mata agak sipit, alisnya tebal seperti golok. Konon, dengan tangan telanjang
saja ia mampu mematahkan dan membelah batung[27].
Pujung
pandai memainkan mandau[28], sumpit
dan kuntau[29], juga menari. Di balik tubuhnya yang
kekar, dapat menari dengan lincah, mengikuti irama kenong, dengan gerak gintur-nya. Tapi, sifatnya tidak
sabaran, kalau sedang marah meledak-ledak.
Saat
panen raya tiba, rakyat Kerajaan Tanjung Puri bergembira ria atas hasil ladanga
dan kebun yang melimpah ruah. Mereka mengelar pesta rakyat, aruh[30] adat. Aruh adat selalu diramaikan dengan
tari-tarian. Tari gintur dan kurung-kurung digelar, Putri Tunjung
Sari bersama empat temannya pun menari.
Setelah
tari kurung-kurung usai, dilanjutkan
tari gintur, dengan iringan musik
kenong, gong, babun[31] dan kulimpat[32]. Penarinya masih Putri Tunjung Sari bersama
kawan-kawannya, tapi dengan jumlah penari lebih banyak, ditambah balian[33]. Pada saatnya, balian mengajak penonton menari, menariknya dengan selendang kuning
atau putih, dan bersama-sama memainkan tongkat batang patake. Ini dinamakan bagintur
[34], salam
penghormatan kepada para tokoh yang hadir di pesta.
Pujung
juga diundang bagintur.
Tak
disangka, ia dipasangkan menari dengan Putri Tunjung Sari, gadis yang telah
mencuri perhatiannya saat mandi di batang
banyu[35]. Bagi Pujung, ini bagai mukjizat,
peristiwa yang dimpikan banyak pria. Hati siapa tidak berdebar, saat menari
bersama gadis pujaannya?
Sambil
menari, Punjung berkata, ”Tunjung, aku masih boleh menemuimu, ‘kan?”
Putri
Tunjung Sari hanya mengangguk kecil dan tersenyum manis.
Ketika
tarian usai, Pujung tak menyia-nyiakan kesempatan. Sembari menutup langkah
akhir gerakan kaki, ia menatap mata indah Putri Tunjung Sari, dan berbisik, “Putri
yang jelita, terima kasih untuk kesempatan ini. Aku takkan melupakannya...”
Putri
Tunjung Sari hanya menampakkan giginya yang berkilau rapi, sambil undur
diri.
***
Pertemuan itu memberi kesan yang
mendalam bagi Pujung. Tak sedetik pun waktu berlalu tanpa bayangan Putri
Tunjung Sari. Hatinya tak keruan. Ia tergila-gila pada gadis itu dan bermaksud
memilikinya.
Pagi harinya, di pinggiran sungai,
Pujung menyanyi sambil menjaga babi-babi piaraannya. Suling ditiupnya,
dibawakannya sebuah nyanyian. Syair lama tentang peristiwa tragis di Kerajaan
Nan Sarunai, akibat serangan Majapahit[36], yang
akhirnya memunculkan kepemimpinan Uria Pitu[37].
Suara suling Pujung yang merdu
membuat yang mendengarnya terlena.
Tapi, tiba-tiba suara suling itu
berubah dengan nada lain yang memekakkan telinga. Sepasang jin telah merasuki
jiwa Pujung. Jin jahat itu menggoda, membujuk, dan membakar syahwatnya.
Pujung tak kuasa menahan syahwatnya.
Dengan mata merah, liar dan
beringas, ia bergegas ke tebing sungai. Saat itu Putri Tunjung Sari dan
teman-temannya sedang mandi dan mencuci. Pujung berteriak-teriak, memanggil
Putri Tunjung Sari dan mengajaknya bercinta.
Putri Tunjung Sari dan
teman-temannya ketakutan melihat tingkah Pujung yang aneh. Mereka lari
ketakutan, hingga akhirnya Putri Tunjung Sari tertinggal sendirian di belakang.
Pujung semakin menggila, nafsu
berahi makin menguasainya. Putri Tunjung Sari lari lintang pukang.
Saat
terpojok
di tebing,
tubuh Putri Tunjung Sari limbung dan terjatuh ke dalam sungai. Ia menjerit
sekuat tenaga. Suaranya menghilang, saat tubuhnya masuk ke dalam pusaran arus air yang bergolak.
Saat itulah, Pujung sadar. Sepasang
jin terkekeh, keluar dari jiwanya. Pujung panik dan kebingungan. Ia
mengiba-iba, penuh penyesalan. “Tunjung...
Maafkan aku, Tunjung! Maafkan aku, wahai pujaanku...!”
Pujung
melompat dan menceburkan diri ke dalam
sungai,
menyelam sekuat tenaga, dengan cinta dan penyesalan. Dengan kesaktiannya,
dibendungnya sungai itu hingga kering dan terbelah dua[38]. Tapi, usahanya sia-sia. Putri Tunjung
Sari tak ada.
Penyesalan menyiksa hati Pujung. Gadis pujaannya telah lenyap terbawa arus, dan hilang entah kemana.
Senja
pun tiba. Langit gemuruh. Hujan turun amat derasnya, bagai gelombang yang ditumpahkan dari langit. Seorang
perempuan paruh baya datang tergopoh-gopoh, marah dan murka. Dimaki-makinya
Pujung, karena telah membuat anak gadisnya hilang. Dengan air mata berlinang
dan tubuh gemetar, istri Mahapatih Mahe itu bersimpuh, bersujud ke langit, dan
memohon:
“Ya, Tuhan... Karena menuruti hawa
nafsu, terkutuklah engkau, Pujung! Agar setimpal dengan perbuatannya, buatlah
alat kelamin Pujung menjadi batu! Tuhan, tunjukkan kekuasaan-Mu! Terkutuklah
engkau, Pujung, terkutuklah...!”
Langit semakin gemuruh. Hujan dan
badai mengamuk, mengaduk-aduk seisi alam. Guntur dan petir bersahut-sahutan,
membahana membelah angkasa.
***
Ketika hujan dan badai reda, alat
kelamin Pujung telah berubah
menjadi batu. Putri Tunjung Sari konon terbawa arus sungai ke Kerajaan Negara
Dipa, yang terletak di Hujung Tanah, pertemuan antara Sungai Amandit dan Sungai
Negara. Di pinggir sungai, Putri Tunjung Sari diselamatkan Empu Jatmika, yang
kemudian bergelar Maharaja di Candi
Laras[39].
Empu Jatmika memiliki dua putra,
Empu Mandastana dan Lambung Mangkurat. Sepeninggal Empu Jatmika, Lambung
Mangkurat mengangkat Putri Tunjung Sari, yang entah benar atau tidak, juga
disebut “Putri Junjung Buih”, menjadi Raja di Negara Dipa; dan kekuasaannya
meliputi batang Tabalong, batang Balangan, batang Perak, batang
Alai, batang Amandit dan
pegunungan di sekitarnya. Tempat di mana
patung alat kelamin Pujung itu berada, sekarang disebut Kampung Pujung, di
Kecamatan Bintang Ara; berbatasan dengan Kecamatan Haruai, terhubung dengan
jembatan panjang peninggalan kolonial.
Kalau sedang menuju Kecamatan
Tanjung, orang akan melewati Jembatan Mahe, yang terletak di Kampung Mahe,
Kecamatan Haruai. Nama itu berasal dari nama Mahapatih Kerajaan Tanjung Puri, ayahanda
Putri Tunjung Sari.
***
SI DIANG BAKUT
H.
Akhmad T. Bacco
Syahdan, di Kampung Timbuk Bahalang[40], Haruai,
hiduplah seorang petani
bernama Raden Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang
cantik jelita, baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya
Kenanga Boyan. Sesuai namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi
konde pengantin.
Mereka
keturunan bangsawan Kerajaan
Tanjung Puri yang menjauhkan
diri dari perebutan kekuasaan dan pertikaian di istana,
menutup
diri dari khalayak ramai.
Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang”
dan “Uma Diang” saja. Akhirnya, mereka bermukim di Kampung Timbuk
Bahalang.
Kampung
itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak Ma’anyan, Deah dan Lawangan. Hutan
yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan payau
[41], kijang,
kancil dan burung haruai, yang
bulunya dipakai Suku Dayak sebagai tanda kepahlawanan.
Di
kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara Uya.
Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggang, barahmata, hadungan, singgah manginang,
buntal, dan lain sebagainya. Ikan
daratnya, haruan, papuyu, dan kihung. Di Sungai
Mati
Kampung Timbuk Bahalang, ada ikan yang sekarang mahal harganya, yakni bakut [42]. Di
sinilah awal kisah.
***
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan Kenanga
Boyan semakin
baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan baik. Warga Timbuk Bahalang hidup sejahtera.
Setelah tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil.
Duduk melepas lelah di beranda
rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya, “Adinda, kehamilanmu sudah
delapan bulan....”
“Ya, Kakanda.”
”Betapa bahagianya kita, jauh dari
pertikaian keluarga.”
“Benar, Kakanda. Mudah-mudahan anak kita
baik budi pekertinya, seperti permaisuri yang cantik dan berkuasa.”
“Huss, Adinda. Jangan berharap seperti
permaisuri. Nanti kita kejangkitan kekuasaan lagi...”
”Maaf, Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat
permaisuri, yang ingin berkuasa lewat Raden Purwaka, anak tunggalnya itu.”
“Ya,
tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak begitu.
Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal muasal
keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini. Kita akan
repot...”
“Baiklah, Kakanda. Semoga anak kita baik-baik
saja.”
Jelang
sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan. Wajahnya amat cantik.
Upacara syukuran pun dilaksanakan,
dengan membuat nasi halarat[43] dan baaruhan[44].
Bayi mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya diadakan karasmin[45], dengan manuping[46].
Penari wanita yang cantik-cantik
menari dengan kutang warangka[47], diiringi gendang karawitan. Para pria
menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain. Tangan mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan
uang. Sebentar saja, kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul[48].
Semakin malam, suasana semakin
panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga teler akibat arak atau tuak putih
yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir menjelang dini hari.
***
Dengan berlalunya waktu, putri Raden
Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah dan lemah-lembut, Putri Aima suka menyendiri.
Pada suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai
Tabukan,
di
bawah pohon lua. Putri Aima mulai
mengenal lawan jenisnya.
Ia selalu mengimpikan pria yang akan jadi pendamping
hidupnya kelak.
Ia selalu bermain sendirian di bawah
pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi Sungai Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah
sepanjang tahun. Buahnya jadi
makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu, kijang dan pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon
itu.
Putri Aima mampu bicara dengan
pelanduk.
“Hai, pelanduk!”
“Hai, Putri Aima...,” sahut
pelanduk.
Putri Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu
diam saja. “Kamu tinggal di mana?”
“Dekat sini saja,” jawab pelanduk.
“Boleh aku ke tempatmu?”
”Boleh,” jawab
pelanduk lagi.
Mereka menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di pinggir
sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela lubang.
Pelanduk masuk ke salah satu lubang di dalam goa.
Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda tampan.
”Selamat datang, Putri Aima,” sapa
pemuda tampan itu, membuat
hati Putri
Aima bergetar memandangnya.
Ternyata, pemuda itu penjelmaan
pelanduk!
Putri Aima menyambut uluran tangan
pemuda itu dengan senyuman. Dengan
ramah, pemuda
itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalam goa. Ternyata, di sana ada kolam yang luas dan berair jernih.
Saat pemuda tampan itu
mengajaknya berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas
dalam air.
Mereka berenang
dengan riang gembira,
berkejaran ke sungai.
Tak disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi
ikan berwarna hitam.
Pemuda itu juga berubah
menjadi ikan yang sama,
berusaha menenangkan Putri
Aima yang terkesima, dan
mengajaknya bicara.
“Putri Aima, kami adalah bangsa ikan
yang mendiami Sungai
Mati
di Timbuk Bahalang ini. Kami sering
kehilangan warga kami. Warga
senang
menangkap ikan. Mereka telah menangkap ratu kami.
Karena itu, Putri Aima kami
ambil sebagai
pengganti...,“
kata ikan hitam itu.
“Oh... Bisakah aku bertemu ibunda lagi?”
“Bisa. Asalkan engkau muncul di
permukaan air, menunggu ibumu mandi atau mencuci...”
***
Kenanga Boyan amat histeris akibat kehilangan anak
gadis satu-satunya yang
amat dicintainya.
Raden Palewangan pun merasa
terpukul. Seluruh warga kampung
berusaha
menemukan Putri
Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru[49].
Semua upaya itu tak membuahkan
hasil. Orang-orang pintar dan
dukun dimintai
bantuan. Mereka semuanya
mengatakan, bahwa Putri
Aima masih
hidup, tapi
entah di
mana.
Kenanga
Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai Tabalong, hingga air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba munculah
Putri Aima, dalam wujud
ikan bakut, melompat ke atas lanting[50].
”Ibundaaa....!”
Kenanga Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu.
“Oh... Siapa engkau?
Engkaukah yang bicara, ikan bakut?”
“Ya, Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang
pernah menangkap ratunya. Aima
diminta sebagai gantinya.”
“Oh, Anakku... Bisakah engkau
kubawa pulang?”
“Bisa, Bunda. Ulun[51]
bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa bertemu Ibunda dan Ayahanda.”
Dengan berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya bermahkota itu ke
dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu diceritakannya pada suaminya.
“Istriku, tampaknya ini memang sudah kehendak dewata.
Kita harus bersabar,”
kata Raden Pelewangan.
Tepat pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi Putri Aima.
“Ayahanda...! Ibundaaa...!” seru
Putri Aima sambil menangis
dan
memeluk kedua orangtuanya. Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang
malam, mereka berkumpul bersama. Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena itulah, Putri Aima disebut
“Putri Ikan”, atau “Si Diang Bakut”.
***
Kisah ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak
saat itu, di Sungai Mati banyak ditemui
ikan
bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak menjadi ikan bakut, seperti riwayat
Putri
Aima. Padahal, jika dapat menangkap ikan
itu,
sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikan bakut juga berhasiat sebagai obat.
***
LEGENDA ARYA TADUNG WANI
Abdul Hanafi
Pada
zaman dahulu kala,
di pinggir Kampung Paramian[52], hidup orang yang bergelar “Datu Harung”. Nama aslinya “Datu Magat”. Dahulu, gelar “datu” hanya diberikan
kepada
orang-orang yang
dihormati dan mempunyai keistimewaan.
Selain berani dan bijaksana, Datu Magat ahli
bercocok tanam, juga ahli dalam mengubah kebiasaan hidup warga, dari peladang berpindah jadi
berkebun. Sebelumnya,
masyarakat mendapat
buah-buahan hanya dari pohon yang tumbuh liar di hutan, atau dari pohon yang
tumbuh dari biji yang dibuang orang.
Datu Magat kemudian memulainya
dengan berkebun,
dengan cara tumpang sari.
Kebun
Datu Magat yang luas ditanami aneka macam tanaman buah-buahan: pitanak, mundar, katapi suntul, kalangkala. Dari jenis rambutan, ada maritam, siwau, pitaan dan buluan. Dari jenis durian, ada papakin, kamundai, likul, layung, karatungan. Dari jenis mangga, ada hambawang, hampalam, kuini, pulasan, rarawa, kasturi, kulipisan, sampai tandui.
Bukan hanya nangka, tiwadak,
tarap dan pupuan yang ditanam Datu Magat, tapi juga langsat. Langsat
Tanjung dikenal paling manis dibandingkan langsat dari daerah lain. Pohon
belimbing tumbuh
hampir di setiap pekarangan rumah
penduduk.
Cara bertanam kebun buah-buahan yang dilakukan Datu Magat disebut harung. Oleh sebab itu, Datu Magat juga dijuluki “Datu Harung”.
***
Datu Harung memiliki adik perempuan bernama Diang
Dadukun. Parasnya tidak terlalu cantik, tapi wajahnya membuat damai hati yang memandangnya. Wajahnya bulat telur, selalu tersenyum, rambutnya panjang, lurus, terurai
indah. Kesejukan wajahnya cermin kelembutan hatinya, yang terungkap dari tutur katanya. Tutur katanya halus dan
lemah-lembut.
Karena keelokan wajah dan kehalusan budi pekertinya, orang-orang
memanggilnya “Putri Mayang”. Ada pula yang memanggilnya “Diang Wangi”. Walaupun belum bertemu
orangnya, kehadirannya
dapat diketahui dari aroma
tubuhnya
yang tercium di kejauhan.
Tapi, rupanya wajah yang elok
tidak selalu mendatangkan
kebahagiaan.
Tubuh Diang Wangi yang harum ternyata
mengundang berahi makhluk lain yang berkeliaran di malam hari. Ketika itu, sejak sore hujan
turun dengan lebatnya. Tengah malam, udara dingin menusuk tulang. Tanah becek
dan berlumpur. Tak ada
suara jangkrik,
hanya
gemercik sisa air hujan yang menetes di dedaunan. Suasana sunyi senyap. Warga malas keluar dan lebih suka tidur di rumah.
Saat itulah, sesosok bayangan hitam
berkelebat di rumah Datu Harung yang
bertiang
tinggi. Tak lama berselang, tiba-tiba terdengar pekik tertahan, disusul suara
rintihan dari rumah kayu beratap rumbia itu. Menjelang dini hari, bayangan hitam itu
berkelebat secepat kilat ke
arah hutan, dan menghilang di kegelapan.
Pagi
harinya, Datu Harung dan istrinya Diang Sasar terkejut melihat Diang Dadukun menangis tertelungkup, mendekapkan bantal ke wajahnya. Tubuhnya
terguncang-guncang menahan tangisan.
“Kenapa, ding[53]? Kenapa
menangis? Sakit perut?” tanya
Diang Sasar.
Diang
Wangi tidak menjawab. Bantal kapuk yang basah bersimbah air mata, menutupi wajahnya.
Datu Harung menangkap gelagat lain. Ia
bertolak pinggang. Napasnya tertahan. Di
antara aroma
kamar Diang Wangi,
hidungnya
mencium bau asing. Seperti bau keringat lelaki. Matanya menyapu sekeliling, dan terkejut ketika melihat jendela yang
terbuka.
Datu Harung menghampiri jendela. Tangannya
bertumpu pada bingkai jendela, lalu menengok ke bawah. Di tanah, tampak bekas-bekas jejak kaki. Ia memberi isyarat kepada
istrinya, yang segera menghampiri.
Datu Harung berbisik kepada istrinya. Diang
Sasar duduk kembali di pinggir dipan, merangkul bahu adik iparnyanya itu. Diang Wangi juga merangkulnya, sambil terisak-isak. Datu Harung berdiri
tegang memandangi adiknya. Berbagai perasaan berkecamuk di dadanya.
“Katakan, siapa laki-laki yang masuk ke kamarmu
tadi?!” Datu Harung marah.
“Aku tak dapat mengatakannya, Kak, karena...”
“Karena apa?!“
Diang Sasar mengedipkan mata kepada suaminya. Datu
Harung diam mematung, menahan
marah.
“Ading
kenal laki-laki itu?“ tanya Diang Sasar lembut.
Diang Wangi menggeleng..
“Lalu, siapa durjana itu...?!” Datu Harung
membentak.
Diang Sasar menempelkan telunjuk ke bibirnya, kembali memberi isyarat pada
suaminya. Datu Harung membalikkan badan, membelakangi istri dan adiknya dengan wajah merah padam. “
“Jadi, kau benar-benar tidak tahu?” tanya Diang Sasar lagi, setelah
menyuguhkan secangkir
air putih untuk menenangkan
Diang
Wangi.
“Ulun tidak tahu, Kak. Saat ulun guring[54]
tiba-tiba dada ulun terasa
sesak...,” sahut Diang Wangi.
“Ulun terkejut... Ada tubuh besar
menindih ulun...”
Datu Harung dan Diang Sasar menunggu
kata demi kata yang keluar dari mulut Diang Wangi. Wajah Diang Wangi tertunduk, bercerita sambil memainkan kuku
jari-jarinya.
“Kau sempat melihat wajahnya?” tanya
Diang Sasar lagi.
Diang
Wangi menggelengkan kepalanya
lagi. Menangis semakin nyaring.
“Aku tak dapat melihat. Pandangan mataku gelap...”
“Maksudmu?”
“Aku
tak bisa membuka mata,
Kak.
Rambutnya panjang sekali,
menyapu dan menusuk mataku. Ketika aku hendak berteriak, tangannya membekapku.
Tubuhnya besar sekali, berat dan berbau. Aku tak dapat bernapas! Setelah itu, aku tak ingat apa-apa lagi...”
Datu
Harung dan Diang Sasar sadar, Diang Wangi telah digauli makhluk asing.
“Ini
tak dapat
dibiarkan! Aku harus menangkapnya!
Jahanam itu
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!” seru
Datu Magat sambil mengulung kain
sarung
yang dikenakannya, mengikatkannya
ke pinggang. Tanpa menoleh lagi, ia pergi.
***
Datu Magat mengikuti jejak-jejak kaki yang masih
membekas di tanah basah. Ukuran tapak kaki itu tidak normal. Besar sekali! Tapak
kaki itu mengarah ke hutan,
tampak
dari lumpur
basah yang menempel di rerumputan.
Setibanya di bawah sebatang pohon besar, alangkah terkejutnya Datu Magat.
Seorang pria raksasa sedang tertidur lelap di bawah sebatang pohon pulantan!
Pria raksasa yang hanya mengenakan cawat kulit kayu itu mendengkur keras sekali.
Kemarahan Datu Magat mengalahkan rasa takut pada makhluk yang telah menodai adik kandungnya itu. Ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi,
hendak menendang raksasa itu. Tapi, ia mengurungkan niatnya.
Sifat
ksatrianya,
muncul. “Kalau ia kubunuh selagi tidur, berarti aku seorang pengecut...,” ujar Datu
Magat dalam hati.
Setelah berpikir sejenak, dicobanya
membangunkan
raksasa itu dengan menghentakkan kakinya ke tanah
dengan sekuat tenaga. Tapi, makhluk itu masih terlelap. Ditendangnya banir pulantan tempat makhluk itu
bersandar, tapi raksasa
itu bergeming.
Datu
Magat hampir kehabisan
akal. Untuk
menyentuhnya, ia
merasa jijik.
Datu Magat kemudian menggunakan cara lain untuk membangunkannya. Bulu
kaki raksasa itu ditapung-nya[55]. Setelah
ikatannya dirasa cukup
kuat, disentakkannya bulu kaki itu
dengan sekuat tenaga. Raksasa itu tiba-tiba
terbangun, meringis memegangi tungkainya. Ketika melihat Datu Magat bertolak
pinggang dengan marah di
hadapannya, raksasa itu langsung bersimpuh.
“Oh,
Kakak...!” seru raksasa itu,
mengiba-iba.
“Hei...! Beraninya kau menyebutku kakak!? Perbuatanmu telah menghancurkan martabat keluargaku!” Datu
Magat menuding wajah raksasa itu.
Wajah raksasa itu
seketika pucat pasi. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ia sadar sedang berhadapan dengan Datu
Magat. Raksasa itu tidak berani mengangkat wajahnya. “Ampuni aku, Kakak!
Maafkan kesalahanku. Aku suka Diang Wangi, tapi tak berani berterus terang.
Tiap
kali melihat Diang
Wangi, aku tak dapat
menahan diri.
Kalau Andika[56] ingin
membunuhku, bunuhlah
sekarang.
Aku takkan melawan...,” jawab raksasa itu.
Mendengar
pengakuan jujur raksasa itu,
hati Datu Magat luluh. Lebih-lebih, raksasa itu telah berterus terang mengakui perbuatannya.
“Engkau
kuampuni,“ jawab Datu Magat pendek.
“Ulun akan mempertanggungjawabkan
perbuatan ulun. Kalau kakak berkenan,
kawinkan ulun dengan Diang Wangi.”
Datu Magat terpaku sejenak. Maukah adiknya dikawinkan
dengan makhluk gaib bertubuh
raksasa itu?
Kalau tidak, bagaimana dengan aib yang ditanggungnya?
“Baiklah, kau akan kukawinkan dengan Diang
Wangi,” sahut Datu Magat.
Maka,
dikawinkanlah Diang Wangi dengan makhluk raksasa yang telah menodainya itu. Saat ditanyai, raksasa itu tak dapat menyebutkan
asal muasalnya. Dia hanya
mengaku berasal dari “daerah atas”. Mungkin maksudnya adalah “atas bukit”, sebab ia menunjuk ke arah Pegunungan Meratus.
Suami Diang Wangi yang bertubuh raksasa itu ternyata memiliki berbagai
kesaktian. Tubuhnya
kebal, bisa menghilang dan, yang menakjubkan: ia mampu menembus tanah.
Tapi semua kesaktian itu tak mampu meluluhkan hati
isterinya. Diang Wangi membenci pria
raksasa yang telah menodainya. Ia tidak mampu melupakan peristiwa jahanam itu,
lebih-lebih
kalau
melihat
tubuh suaminya yang besar, kekar, kasar, dan bersisik seperti ular.
Perkawinan mereka tak berlangsung lama. Sepekan
kemudian, suami Diang Wangi menyampaikan kata perpisahan. Ia merasa percuma bertahan dalam hubungan
yang tidak sejalan.
***
Tiga purnama setelah suaminya pergi, Diang
Wangi menyadari, bahwa
ia telah hamil.
Ia takut sekali,
kalau-kalau wajah anaknya
akan mirip ayahnya. “Ih, jauhakan bala...[57],” katanya sambil meludah.
Kian hari, perut Diang Wangi kian membesar.
Ia malu keluar rumah, akibat
perkawinannya
yang
tidak diaruhakan[58] seperti kebiasaan.
Setelah
sembilan bulan sembilan hari, tanda-tanda kelahiran mulai dirasakan Diang
Wangi. Sehari semalam perutnya sakit luar biasa. Kekhawatirannya makin menjadi-jadi, setelah dukun beranak berkata, bahwa bayi yang dikandungnya besar
sekali.
“Duh, Gusti... Anakku akan serupa dengan
ayahnya yang raksasa...,”
keluh Diang Wangi.
Setelah meminum ramuan pilungsur[59], lahirlah seorang bayi laki-laki. Diang
Wangi merasa lega. Ternyata, wajah putranya tidak mirip ayahnya! Hanya tubuh besarnya saja yang ukurannya melebihi
bayi normal. Ada
tanda aneh di leher bagian belakang, serupa sisik, sebesar binggul.
Bayi besar
itu
diberi nama “Arya”. Diduga,
sisik di lehernya
adalah keturunan
dari ayahnya. Ternyata, anak
itu
juga kebal sejak lahir. Pisau
dan benda
tajam tak dapat
melukainya.
Arya tumbuh menjadi anak yang cerdas,
cekatan, dan rajin membantu ibunya. Ia anak yang baik dan disukai kawan-kawannya. Arya mahir bagasing[60], balugu[61] atau bacirak[62]. Ia selalu unggul dalam permainan.
Menjelang remaja, Arya sudah menguasai
berbagai kecakapan hidup, seperti berburu, membuat perangkap ikan, dan ilmu pertanian
yang ia pelajari dari saudara tua ibundanya, Datu Harung, yang disebutnya Julak[63]. Dari julak-nya itu pula, ia mempelajari
pencak silat bangkui[64].
Meskipun gerakannya persis
monyet, seni bela diri bangkui tak
bisa dianggap sepele. Apa lagi saat dipadukan dengan jurus tadung sawa[65], makin sempurnalah ilmunya.
Saat menggunakan jurus tadung sawa, Arya tampak bergerak tenang, meliuk-liuk lembut, layaknya seekor ular. Saat
posisi lawannya terbuka, secepat kilat ia menyambar dan menguncinya, membuat lawannya tak berkutik.
Karena ilmunya itu, namanya
menjadi “Arya Tadung Wani”[66].
***
Suatu
hari, Arya duduk santai bersama
ibunya di beranda
rumah. Entah mengapa, tiba-tiba Diang Wangi menjunjuk tiga ekor burung yang
hinggap di dahan: “Lihatlah burung itu, Nak. Salah satu di antaranya, pasti anaknya.”
“Lalu, yang dua ekor lagi?” tanya Arya
“Pasti
induknya.“
Arya menatap mata ibunya dalam-dalam, kemudian bertanya dengan hati-hati:
“Bunda, di mana ayahku?”
Diang Wangi terkejut mendapat pertanyaan itu.
Memang, selama ini Diang Wangi tak pernah
menceritakan siapa ayah Arya yang sebenarnya. Ia khawatir, anaknya akan malu. Lama ia terdiam. Wajahnya yang tadi ceria,
seketika berubah muram. Bayangan masa lalunya kembali teringat. Matanya berkaca-kaca. Perlahan air mata turun
membasahi pipinya.
Melihat ibunya menangis, Arya menyesal. Ia
merasa bersalah telah menanyakan
hal itu. “Maafkan Arya, Bunda. Arya membuat
Ibunda sedih....”
“Tak apa-apa, Nak. Sudah saatnya engkau mengetahui siapa
dirimu yang sebenarnya,” sahut Diang Wangi, sambil membelai rambut Arya Tadung
Wani. Diang Wangi menceritakan peristiwa
yang dialaminya, hingga kelahiran putranya itu.
Sejak saat itu, setiap malam Arya Tadung Wani tak bisa lagi tidur
nyenyak. Cerita ibunya telah menghantuinya. Ia ingin menemui ayahnya.
Saat keinginan itu disampaikannya
kepada ibunya, Diang Wangi tidak melarang atau mengiyakan.
“Kita rundingkan dahulu dengan Julak-mu. Sebab, selama ini Julak-lah yang mendidik dan merawatmu. Julak sudah seperti
ayahmu,” jawab
ibunya. “Nanti niatmu Bunda sampaikan.”
Arya mengiyakan.
Malam
harinya, Arya dipanggil Julak-nya,
Datu Magat. Jantungnya berdebar-debar menantikan jawaban.
“Kalau niatmu seperti itu, Julak tak bisa melarang. Engkau telah dewasa. Julak yakin dengan ilmu yang kau miliki. Ke manapun
pergi,
kau
tidak akan kelaparan,” kata Datu Magat sambil menepuk bahu keponakannya yang
bersimpuh di hadapannya.
Arya merasa lega.
Datu Magat melirik Diang Wangi yang juga
bersimpuh di samping anaknya. Gurat kesedihan tergambar di wajah adik kandungnya itu.
“Diang...”
“Ibarat burung, anakmu sudah punya sayap. Wajar kalau sekarang ia ingin
menggunakan sayapnya untuk terbang,
ke mana pun,
termasuk
untuk
mencari ayahnya,” sahut Datu Magat.
Pandangannya kembali diarahkan kepada Arya. “Dan, kau, Arya, untuk mencari ayahmu,
mungkin kau harus
madam[68] cukup lama. Ilmumu belum cukup...”
Datu Magat menahan kata-katanya, membuat
hati Arya berdebar.
Ia
tak dapat membayangkan hal-hal yang akan ditemuinya di perantauan. Ia belum
punya arah
tujuan.
Arah
kepergian ayahnya itulah satu-satunya
petunjuk. Tapi, hati kecilnya berkata, “Percuma aku dijuluki
Arya Tadung Wani, kalau tidak berani pergi,” pikirnya.
“Lalu, apa lagi, Julak? “ tanya Arya.
Datu Magat menyuruh Diang Wangi mengambil lima lembar daun sirih yang harus
dipetik dengan
tangkainya.
Sementara Diang wangi pergi, Datu Magat melanjutkan petuahnya. “Di perantauan nanti, kau
tidak hanya akan menghadapi alam, tapi juga masuk kampung, keluar kampung, dengan adat
istiadat berlainan.
Bertemu
orang-orang dengan
sifat
dan tabiat bermacam-macam.
Agar selamat, kau harus memiliki lima sifat utama...”
“Pertama, jangan sombong. Pandai-pandailah
membawa diri. Jujurlah
dalam perbuatan.
Hindari menggunjing
orang lain. Kedua, kalau bicara dengan yang lebih tua, atau dituakan, jangan kasar.
“Ketiga, dalam musyawarah jangan suka memotong pembicaraan orang lain.
Dengarkan dahulu perkataan orang, hargai pendapat orang, baru mengemukakan pendapat sendiri. Keempat, bersikaplah seperti keris. Jangan salah
menggunakannya. Pelihara dan asahlah selalu. Keris itu ibarat ilmu. Ilmu yang
kita miliki dapat
meningkatkan derajat dan wibawa
kita.
Itu sebabnya, keris selalu menjadi pelengkap pakaian pembesar kerajaan. Lambang kebesaran dan wibawa. Jadilah orang yang disegani, bukan
ditakuti.
“Kelima, jadikanlah dirimu seperti bajak. Bajak adalah
alat bertani. Dengan bajak, kita menggarap ladang. Bajak digunakan untuk
mempersiapkan lahan. Makin luas lahan yang dibajak, makin banyak yang
bisa ditanam, banyak pula hasilnya.
Tolong-menolong dan bahu-membahu dalam segala sesuatu....”
Datu Magat berdiri,
mengambil sebuah cupu dari peti kayu tua, dan secarik kain kuning selebar
sapu tangan, lalu memotong tangkai daun
sirih yang diserahkan Diang Wangi.
Datu
Magat menggoreskan gagang sirih itu
di tengah kain kuning, membentuk lingkaran dengan lima pancaran, seperti gambar
matahari yang bersinar. Kemudian, memotong lagi setangkai daun sirih, menggambar dua buah tanduk kepala
kerbau yang diletakkan pada salah satu garis pancaran. Tangkai sirih kedua membentuk gambar
burung pada pancaran berikutnya.
Tangkai
sirih ketiga,
bergambar
gamelan.
Tangkai
sirih keempat,
gambar keris, dan tangkai sirih yang
kelima
gambar tajak[69]. Kelima gambar itu melingkari gambar
matahari yang bersinar.
Diang
Wangi dan Arya Tadung Wani yang mengamati, tapi tak mengerti, memberanikan diri bertanya:
“Atau,
jimat?“ timpal Arya.
Datu Magat melipat kain kuning bergambar itu,
memasukkannya ke dalam cupu, lalu menjawab, bahwa gambar yang dibuatnya bukan rajah. Tapi, kalau mau dibilang jimat, boleh jadi. Gambar itu adalah lambang lima
keutamaan,
untuk menjaga keselamatan, yang disampaikannya tadi.
Datu Magat belum mengenal baca tulis. Cupu kecil
seukuran buah jambu itu disumpalnya dengan empulur kayu pulantan, lalu diserahkannya pada keponakannya. Cupu keramik itu diberinya nama “Cupu Astagina”.
***
Tiga hari kemudian,
pagi-pagi sekali Arya Tadung Wani bersujud mencium tangan dan kaki ibundanya dan Datu
Magat. Tekadnya sudah bulat untuk pergi mencari ayahnya.
Dengan bekal secukupnya, Arya Tadung Wani
melangkahkan kaki kanannya
lebih dahulu, berjalan
ke arah
matahari terbit, mengikuti
petunjuk ayahnya. Di
tengah perjalanan, ia singgah dan bertanya pada kerabat
ibunya bernama “Ma Bu’un”[71]. Lalu,
singgah lagi di kediaman “Ma Burai”[72], dan di kediaman “Ma Ridu”[73]. Sudah tiga kerabat disinggahinya, tapi ia belum mendapat titik terang.
Lalu, ia
melanjutkan perjalanan ke “daerah atas”, melewati Gunung Jajar Walu, Gunung
Kakait, hingga Upau. Di
situ,
ia menemui jalan buntu. Tanpa
lelah dan putus asa, ia naik ke puncak tertinggi Pegunungan Meratus,
membuat janur pucuk enau
dan mengikatkannya di pucuk pohon tertinggi. Saat diterpa angin kencang,
janur enau itu roboh.
Mengikuti arah robohnya janur,
ia
menentukan tujuan berikutnya.
Nun di kejauhan, terlihat kepulan asap,
yang menandakan permukiman
penduduk.
Arya ingat pesan Julak-nya tentang “lima sifat utama”, yang tertuang dalam cupu manik “Astagina”. Ia bimbang: pulang kembali ke kampung halaman,
atau meneruskan perjalanan? Dalam ragu, ia duduk bersila di bawah sebatang pohon besar, memejamkan
mata, menarik napas dalam-dalam, mengosongkan pikiran dan bersemedi.
Saat itulah, tiba-tiba
di hadapannya hadir sesosok pria
kekar bertubuh raksasa dengan
kulit bersisik.
Arya berusaha
menyapa, tapi lidahnya kelu. Ia menggerakkan
tangan untuk menyentuh raksasa itu, tapi tak mampu.
Akhirnya, makhluk raksasa itu
mengatakan, bahwa ia adalah ayah kandung Arya Tadung Wani. Arya Tadung Wani tak
dapat
menyentuh jasad ayahnya, karena telah
berbeda
alam. Ayahnya berpesan, agar Arya tetap meneruskan perjalanan, akan melindunginya selama dalam perjalanan, dan akan membantunya saat diperlukan.
Konon, Arya Tadung Wani kemudian meneruskan perjalanannya hingga ke Simpur,
Kandangan[74],
bermukim
di Kampung Pelajau[75] hingga
wafat, dan dimakamkan di Jajuluk, Pelajau Hulu[76].
***
Tentang Penulis
Abdul Hanafi,
dilahirkan di Tanjung Tengah, Kabupaten Tabalong, 5
September 1958. Sejak SD senang melukis,
menulis dan pencak silat. Juara I Lomba Melukis Pekan
Seni dan Olah Raga (Porseni) Senior III
Depdikbud Kabupaten Tabalong (1986), Finalis
Sayembara Penulisan Cerita Bergambar (cergam) SD/MI (Proyek Pendidikan Dasar,
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta (2003). Peserta Diklat
Pembinaan
dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Kalsel (1993), Pembinaan Seniman
Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin (1997), Workshop Penulisan Cergam bagi Finalis Sayembara Cergam Nasional,
Jakarta (2002), Bengkel
Penulisan Cergam SD/MI,
Cisarua, Bogor (2003), dan sejumlah kegiatan olah raga seni bela diri
pencak silat. Penulis
dan ilustrator cergam Elang dan Tambunau (Penerbit
Proyek Peningkatan Pendidikan Dasar I, Jakarta, West
Java Basic Education Project, 2003), Raja
Anum
(Dewan Kesenian Tabalong,
2006), dan
Peninggalan
Sejarah (Situs) Kepurbakalaan,
Seri Masjid
Pusaka Banua Lawas, Penghulu Rasyid dan Makam Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari (Penerbit Dinas Pendidikan
Kabupaten Tabalong, 2006). Puisinya dimuat
dalam Seloka Bisu Batu Benawa, Bunga
Rampai Puisi Aruh Sastra Kalimantan
Selatan VIII, Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (2011). Guru di SDN
Padang Panjang (1984), Kepala SDN 2 Mangkusip (2003), dan beralih tugas (2006, hingga sekarang) sebagai Penilik di UPT
Inspeksi Pendidikan, Kecamatan
Murungpudak. Bermukim di Kompleks
Bumi Tabalong Damai Blok D Nomor 04 RT 10/RW 04, Mabu’un, Kecamatan Murungpudak,
Kabupaten Tabalong 71571.
Gusti
Indra Setyawan,
dilahirkan di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 7 Januari 1972. Guru
Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 3 Tanjung,
Kabupaten Tabalong, mengajar di SMK Tabalong, memberikan kursus di Lembaga Kursus Primagama,
juga dosen STKIP PGRI. Anggota Sanggar Langit, Tanjung, pembina Sanggar Lasung Tangga SMAGA, anggota Dewan
Kesenian Tabalong (DKT), dan Sekretaris
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Tabalong. Sering menjadi
dewan juri Lomba Bakisah Bahasa Banjar dan Lomba
Baca Puisi tingkat kabupaten, selain penyanyi dan pencipta lagu.
Bekerja sama dengan Srikandi Production House dan
Imron Sadewo dalam penggarapan lagu-lagu daerah Banjar
Astiyan (2001), dan dengan Dorce
Gamalama menggarap album lagu anak-anak (2002). Peserta workshop
Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS), kerja sama Dirjen Dikdasmen, Kemendiknas dengan
Majalah Sastra Horison, Jakarta (2006). Juara
Harapan I Lomba
Baca Puisi Tingkat Umum Kabupaten Tabalong (2007),
dan Juara Harapan II Lomba Nyanyi Lagu Dangdut
Kabupaten Tabalong
(2007). Di bidang teater, bersama Teater Langit, Tanjung, Juara I Festival Teater Kalimantan Selatan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan (Disbudpar HSS, 2008), Juara II Festival Pergelaran Sastra, Aruh Sastra Kalimantan Selatan V di
Paringin, Kabupaten Balangan (2008), Juara III
Festival Pergelaran
Sastra,
Aruh Sastra Kalimantan Selatan VI di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (2009); dan Juara Harapan I Festival
Pergelaran Sastra, Aruh Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (2011). Puisinya terdapat dalam bunga
rampai
Doa
Pelangi di Tahun Emas (2009), Menyampir
Bumi Leluhur (2010), Seloka Bisu Batu Benawa (2011), dan
Balian Jazirah Anak Ladang (2011), Secangkir Air Mata (2012), dan Sepercik
Tangisan Rindu (2012). Penyiar acara Khazanah Sastra di Radio Nirwana, Tanjung; peserta
Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) II di Bogor, Jawa Barat (2012), dan Duta
Seni Provinsi Kalimantan Selatan pada pentas seni Kabupaten Tabalong di Taman Budaya Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda (2012).
Lilies
MS (Lilies Marta Diana), dilahirkan di Pelaihari,
Kabupaten Tanah Laut, 28 Agustus
1966. Puisinya dipublikasikan di
acara puisi Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI
Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Dinamika Berita. Karyanya terdapat dalam Kumpulan Puisi Penyair Pelaihari (1981),
Semata Wayang Semata Sayang (1998), Potret Diri (1999), antologi cerpen Nawu Raha (2002), Seribu Sungai Paris Barantai, Antologi Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan III, Kabupaten Kotabaru (2006); Tarian
Cahaya di Bumi Sanggam, Antologi Puisi Aruh
Sastra Kalimantan Selatan V, Kabupaten Balangan (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas, Antologi
Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan
VI, Kabupaten Batola (2009), dan Menyampir
Bumi Leluhur, Bunga Rampai Puisi Aruh
Sastra Kalimantan Selatan VII, Kabupaten Tabalong (2010), dan Seloka Bisu Batu Benawa (2011). Ketua Sanggar
Langit, Tanjung, dan pengurus Dewan
Kesenian Tanjung (DKT). Kepala Bidang
Kebudayaan di Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabalong.
Menerima Hadiah Seni (Teater) Gubernur Kalimantan Selatan (2009).
Loki Santoso, dilahirkan di Kecamatan Jaro, 5 Oktober 1972. Bermukim di Desa Jaro,
RT 6, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong.
Mahfuzh Amin, dilahirkan
di Desa Ujung Murung,
Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), 1 Mei 1990. Sulung dari tiga bersaudara, putra pasangan
M. Jurkani dan Mastati. Sekolah di SDN Ilir
Mesjid, Amuntai, Madrasah Tsanawiyah NIPA,
Ponpes Rakha,
Amuntai, dan SMKN 1 Amuntai (Akuntansi), kini bekerja di perusahaan
swata di Kabupaten Tabalong. Di rumah, ia sehari-hari
dipanggil “Amin”
(di tempat kerjanya dipanggil “Mahfuzh”), suka menulis sejak SD,
dan bercita-cita menjadi penulis.
Semasa di SMKN 1 Amuntai,
pernah memimpin Majalah Sekolah Readzone, dan aktif
menulis Serial Udin Pa’ak di majalah
tersebut. Pernah aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Forum
Silaturahmi Pelajar (Fospel) Kabupaten
HSU. Walaupun karyanya belum pernah dimuat di rubrik sastra koran-koran lokal,
cerpennya terhimpun dalam Kumpulan Cerpen Metamorfosa
Cinta (diterbitkan sendiri, 2008), dan Mekarnya Pesona Bidadari (Forpena, 2010). Selain
bercita-cita menjadi penulis, ia juga ingin menjadi sutradara film. Unlucky Thievies (2012) adalah film perdana yang digarapnya (bersama Tim Kreatif
Borneo). Giat
menyusun konsep untuk membuat film-film lain,
yang akan diikutsertakannya pada festival film indie. Dapat dihubungi melalui e-mail mahfuzhamin.rz@gmail.com, atau
mahfuzh.amin@facebook.com. Sejak 2010, bermukim di Desa
Kapar RT 09, Kabupaten Tabalong.
Muhammad
Fitriadi,
dilahirkan di Banjarmasin
4 Februari 1994. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan
Daerah (PBSID) STKIP PGRI
Banjarmasin. Juara I Lomba Bakisah Bahasa Banjar Tingkat SLTA Kabupaten
Tabalong (2011), Juara I Baturai Pantun
Tingkat SLTA Kabupaten
Tabalong (2011), Juara I Lomba Bakisah Bahasa Banjar Tingkat SLTA Kalimantan Selatan (Bapustarda Kalsel, Banjarmasin (2011), Juara I Lomba
Bakisah Bahasa
Banjar Tingkat SLTA Kalimantan Selatan (Disporbudpar Kalsel, Banjarmasin, 2012), Juara III Lomba Mendongeng Tingkat Umum (FKIP Unlam,
Banjarmasin,
2012), Juara II Loncat Tinggi O2SN Kabupaten Tabalong (2011), Finalis Utuh Diyang Tanjung, Kabupaten Tabalong (2012), dan Duta Seni Provinsi Kalimantan Selatan
pada pentas seni Kabupaten Tabalong di Taman
Budaya Provinsi
Kalimantan Timur, Samarinda (2012). Puisinya
dimuat dalam antologi Sepercik Tangisan
Rindu (2012). Bermukim di Jalan Jenderal Basuki
Rahmat, Desa
Wayau, RT 09, Tanjung, Kabupaten Tabalong.
H. Akhmad T. Bacco (Akhmad Tajuddin), dilahirkan di Desa Hayup, Kecamatan Haruai, Kabupaten Tabalong, 13
Agustus 1958. Camat Tanjung, Kabupaten Tabalong. Ketua Sanggar Budaya Tataba
Grup, ketua Dewan Kesenian Tanjung (DKT) dua periode (1999-2001, 2001-2004).
Menulis puisi dan cerpen. Tahun 2001 mengajar lokakarya budaya di Kota Padang
(Provinsi Sumatera Barat) dan Cirebon (Provinsi Jawa Barat). Silir Pulau Dewata (2003) adalah
antologi puisi tunggalnya yang telah terbit. Kaminting Pidakan, yang dimuat sebagai cerita bersambung (cerbung)
di Media Bersinar (Majalah Pemerintah
Kabupaten Tabalong, novel berbahasa daerah Banjar), mendapat penghargaan Balai
Bahasa Banjarmasin (2010). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam bunga rampai
Duri-Duri Tataba, (1993), Semata Wayang Semata Sayang (1994), Potret Diri (1995), Jembatan, Antologi Puisi dan Cerpen Tiga Kota (2000), Nawu Raha, (2002), Raja Anum, Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong (2006), Ronce Bunga-Bunga Mekar, Antologi Puisi
dan Cerpen Siswa SLTA se-Banua Anam
(editor, 2007), dan Seloka
Bisu Batu Benawa (2011).
Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (2007).
ENDORSMENT
Buku ini dapat menjadi salah satu pilihan untuk
mengatasi minimnya bahan mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah Kabupaten Tabalong. Sebelum ini, buku cerita
rakyat daerah Kabupaten Tabalong
dapat dihitung dengan jari. Tidak heran kalau kemudian guru-guru di tingkat pendidikan dasar dan menengah di
Bumi Saraba Kawa
kesulitan
dalam mengajarkan mata pelajaran muatan lokal. Karena minimnya bahan, langkah yang
ditempuh para pendidik biasanya adalah
dengan mengambil
cerita rakyat daerah lain sebagai bahan ajar. Hal ironis pun terjadi: anak
didik lebih mengenal cerita rakyat daerah lain ketimbang cerita rakyat daerahnya sendiri.
[1]
kura-kura besar.
[2]
sejenis ikan, hidup di
tebing-tebing sungai.
[3]
musibah, kena tulah.
[4]
dipanggil.
[5]
“Masih jauhkah, Kak, tujuan
kita?” (bahasa Jawa).
[6]
“Entahlah. Yang penting, nanti
kalau ketemu orang, kita istirahat dulu. Sambil menanyakan, di mana tanah subur
yang luas dan boleh digarap.”
[7]
“Sepertinya itu sebuah gubuk.
Ayo, kita ke sana.”
[8]
“Permisiii...”
[9]
“Istriku, ada tamu. Rebuskan
air. Kasihan, mereka datang dari jauh.” (bahasa
Banjar).
[10]
sejenis tumbuhan rawa.
[11]
bakul besar yang dibuat dari
anyaman rotan.
[12]
“Anda mau beli apa?”
[13]
“Anda dari mana? Baru ke
mari?”
[14]
“Anda orang mana?”
[15]
“di dalam.”
[16]
“di dalam sana, jauh.”
[17]
tumbuhan merambat, tumbuh di
rawa.
[18]
buah sukun.
[19]
kayu besi.
[20]
menangkap ikan, langsung dengan
tangan.
[21]
perangkap ikan terbuat dari
anyaman bambu.
[22]
sejenis ransel terbuka,
terbuat dari rotan besar, tingginya sekitar 60 cm, memiliki empat tiang kecil
sebagai penopang tiap sudutnya, berfungsi sebagai tempat membawa perlengkapan bertani,
atau hasil panen.
[23]
mahar.
[24]
kepala suku.
[25]
tari tradisi yang hingga kini
masih lestari, sering dimainkan pada acara tertentu di Kabupaten Tabalong.
[26]
Kabupaten Balangan sekarang.
[27]
bambu besar.
[28]
senjata tradisional Suku Dayak
Kalimantan.
[29]
pencak silat Banjar.
[30]
kenduri, pesta, selamatan.
[31]
kendang besar.
[32]
kendang kecil.
[33]
pemimpin upacara adat.
[34]
menari gintur.
[35]
sungai.
[36]
Abad XIII.
[37]
Uria Tujuh.
[38]
konon, akibat ditabat (dibendung) Pujung itulah,
sungai dan daerah ini kemudian dinamakan “Tabalong”.
[39]
seperti tertulis dalam Hikayat
Banjar.
[40]
kini termasuk Kecamatan
Haruai.
[41]
rusa.
[42]
jenis ikan air tawar.
[43]
nasi tumpeng.
[44]
selamatan.
[45]
pesta keramaian.
[46]
tari topeng.
[47]
kutang terbuka.
[48]
uang lama.
[49]
memukul niru.
[50]
rakit bambu.
[51]
saya (penyebutan diri yang
muda kepada yang lebih tua).
[52]
sekarang Desa Balimbing,
Kecamatan Murung Pudak.
[54]
tidur.
[55]
diikat, dengan cara disambung.
[56]
Anda.
[57]
semoga tidak.
[58]
dirayakan dengan pesta.
[59]
pelancar beranak.
[60]
main gasing.
[61]
nama permainan anak-anak
Banjar.
[62]
nama permainan anak-anak
Banjar.
[63]
saudara ayah/ibu yang tertua.
[64]
sejenis monyet.
[65]
nama jenis ular berbisa.
[66]
dalam bahasa Banjar, artinya
“Arya Ular Pemberani”.
[67]
Ya.
[68]
merantau.
[69]
alat pertanian tradisional.
[70]
benda magis.
[71]
kini, bekas kediaman “Bu’un”
disebut “Mabu’un”. (Panggilan “ma” dalam bahasa Dayak Maanyan berarti “orang tua si...”, atau
“bapak”, atau “tuan”.)
[72]
sekarang “Desa Maburai”.
[73]
sekarang “Sirkuit Maridu”.
[74]
sekarang Kabupaten Hulu Sungai
Selatan.
[75]
sekarang Kecamatan Pandawan,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar