Minggu, 19 Februari 2012

"Badai Gurun dalam Darah", Kumpulan Sajak Ibramsyah Amandit


Ibramsyah Amandit
BADAI GURUN DALAM DARAH
Kumpulan Sajak

Penyantun:
Ir. H.M. Said
Prolog:
Abdul Hadi WM
Epilog:
Burhanuddin Soebely
Micky Hidayat

Hak Cipta @ Penulis

Editor: Y.S. Agus Suseno
Desain isi & cover: Hery S.
Ilustrasi cover: D. Zawawi Imron
“Ibramsyah Amandit”, sketsa

Cetakan Pertama: Februari 2009

Diterbitkan oleh:
Tahura Media
Jalan Sultan Adam RT 16 Nomor 46 C Banjarmasin
Telepon (0511) 3302473, Faks. (0511) 3302472
E-mail: hajrian@yahoo.co.id

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
xvi + 140 hlm.; 14 x 20 cm
Ibramsyah Amandit
Badai Gurun dalam Darah
Banjarmasin: Tahura Media, 2009
ISBN: 978-602-84140-6-7


Sekapur Sirih Penyantun

Assalamu’alaikum warakhmatullahi wabarakatuh

Aku bukan penyair, tapi menyenangi syair
Karena itu
aku sangat gembira buku
Badai Gurun dalam Darah
kumpulan sajak
Ibramsyah Amandit
penyair kreatif religius ini
bisa dibaca secara luas
oleh generasi muda Kalimantan Selatan.
Bacalah di malam sepi
niscaya meresapi relung hati
Semoga karya-karya tersembunyi
dari seniman-seniman banua ini
akan muncul lagi
Mengharumkan nama
banua tercinta
Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, 10 Muharram 1430 H.

H.M. Said


Prolog
NADA KERAS DAN GARANG
SAJAK-SAJAK IBRAMSYAH

Abdul Hadi W. M.

            Beberapa bulan yang lalu, saat saya mengingat beberapa kawan lama yang telah bertahun-tahun tidak saya jumpai lagi setamat sekolah di SMP dan SMA, sekonyong-konyong saya menerima kiriman SMS yang cukup membuat saya terperangah dan gembira. Bunyinya setelah saya sunting ialah sebagai berikut: “Hadi, maaf kubawa kau ke tahun 1970 di Jalan Skip belakang BPA UGM kampung Blimbing Sari Yogya, di mana kita dulu pernah selorong bertetangga. Kau pun beberapa kali ke tempat pondokanku; kusodorkan puisi-puisiku, kau komentari ‘bungkus kacang’, katamu. Namaku Ibramsyah Amandit. Tinggal di desa Tamban Km 7 Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan”. Ditambahkan dalam SMS tersebut bahwa dia ingin menerbitkan sebuah kumpulan puisinya dan meminta kesediaan saya memberi pengantar. Sajak-sajak dalam antologi yang akan diterbitkan itu pernah dimuat dalam harian Banjarmasin Pos dan Radar Banjarmasin. Diakuinya pula bahwa beberapa di antaranya bernada sufistik.
            Tentu saja saya terperangah, karena lebih kurang dua tiga bulan sebelumnya saya coba mengingat-ingat beberapa tempat kos saya di Yogya termasuk di Blimbing Sari dan kawan-kawan sepondokan serta beberapa mahasiswa lain yang pernah menjadi tetangga dekat saya. Ketika itu saya sedang menyelesaikan studi saya di Fakultas Filsafat UGM dan Ibramsyah berkuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP. Pada awal tahun 1971, sebelum saya hengkang ke Bandung, saya tinggalkan tempat kos saya di Blimbing Sari pindah ke Sendowo tidak jauh dari tempat itu. Kalau tidak diingatkan saya sudah lupa pernah mengomentari sajak-sajak yang ditulisnya, dan sudah lupa pula pernah memberikan buku kecil sajak-sajak saya dalam bentuk stensilan. Oleh karena itu saya tidak mengetahui bahwa Ibramsyah ternyata telah menulis puisi menjelang masa kuliahnya berakhir.
            Ketika saya tanyakan dari siapa dia mendapat nomor tilpon genggam saya, jawabannya lebih menggembirakan lagi. Dia bercerita bahwa dia punya anak angkat yang sajak-sajaknya telah dimuat dalam majalah Horison. Dari anaknya yang mulai menjadi penyair itulah dia memperoleh nomor tilpon genggam saya. Dua minggu kemudian saya menerima kumpulan sajaknya dalam bentuk ketikan yang dibundel rapi. Pada kulit luarnya terpampang sketsa wajahnya dengan kumis tebal dan jenggot panjang, berbeda dengan ketika kami masih berkawan dulu yang wajahnya klimis.
Seingat saya dulu dia tidak seangker dan segarang seperti dalam sketsanya itu. Dia cukup lembut dan ramah, kendati tampak ada kegetiran tersembunyi dalam hatinya. Begitu pula halnya setelah saya mulai membaca beberapa sajaknya. Nada keras dan garang, sekaligus getir, begitu dominan. Tetapi tidak berarti tidak ada kelembutan.
            Ada 96 sajak dalam antologi perdananya ini. Temanya beragam, mulai dari cinta, kesepian, damba seorang lelaki akan rumah tangga yang sakinah wa rahmah dan ideal, keagamaan, kritik sosial, dan lain sebagainya. Kumpulan ini dimulai dengan sajak romantik dan semi keagamaan, selanjutnya kita disodori oleh Ibramsyah dengan sajak-sajak bernada keras dan garang. Simaklah misalnya sajak pertama “Milik” yang ditulis tahun 1973, sekitar dua tahun setelah pertemuan kami yang terakhir:

Punyalah
rumah berbilik-bilik
halaman molek
pekarangan dan kolam ikan

Punyalah
isteri setia
anak manis mainan mata
tetangga
senyum dan gelak tawa

              Disusul sajak yang juga terkesan manis, seperti tampak pada bait 2 sajak “Lingkungan”: “Kehidupan kitakah yang beranjak jauh/salam yang jarang dan tegur sapa/dirangkul kasih sayang/dari lengan-lengan hutan yang rindang?” Begitu dengan sajak keempat berjudul “Rumah”, Ibramsyah masih dikuasai perasaan romantik. “Kau istriku: diam-diam di rumah/Tenang semacam kolam halaman…/wajahmu bening putih kasa/meskipun hiruk pikuk dan balau anak-anak kita.”
              Tetapi begitu membaca sajaknya “Ulama” mulailah nada keras dan garang kita rasakan. Semuanya itu merupakan ungkapan kekecewaan terhadap perkembangan masyarakat Indonesia. Sajak ini ditulis pada tahun 1979, lebih satu dasawarsa setelah rezim Orde Baru memegang tampuk pemerintahan di negeri ini. Pada mulanya masyarakat berharap rezim ini dapat membawa Indonesia berkembang menjadi negeri yang makmur, bersih dari korupsi, rakyatnya sejahtera dan kebudayaan berkembang mengikuti garis jati dirinya dan agama memainkan peranan penting dalam pembangunan watak bangsa. Tidak perlu dibicarakan soal demokrasi, karena jika rakyat sejahtera, cerdas dan sehat lahir dan batin, tidak sukar untuk menumbuhkan demokrasi. Tetapi apa yang terjadi pada awal pemerintahan rezim ini sangatlah mengecewakan masyarakat.
Rezim ini menjalankan kekuasaan secara otoriter, sentralistik, dan hegemonik. Untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bertumpu kepada tehnokrasi dan birokrasi, kepemimpinan non-formal dalam masyarakat dihancurkan, termasuk ulama. Tujuannya agar mereka tidak memainkan peranan menonjol, dan dengan demikian rezim ini dapat menjalankan kekuasaan tanpa gangguan di bawah doktrin “stabilitas dan keamanan” demi suksesnya pembangunan. Salah satu di antaranya ialah dengan melakukan politik floating mass dan peminggiran (marginalisasi) terhadap Islam sebagai kekuatan politik, sosial budaya, dan ekonomi. Maka dilakukan program ‘pembeoan’ di segala bidang. Dalam MUI (Majelis Ulama Indonesia) rejim ini menempatkan ulama-ulama yang sudah dijinakkan. Di bawah kepemimpinan ulama seperti ini umat digiring secara massal untuk memahami agama hanya sebagai sistem peribadatan dan ritual. Dengan cara itu peran ulama dikebiri hingga tidak bergigi lagi menyuarakan aspirasi umat yang tertindas dan dizalimi. Dapat dipahami apabila Hamka, selaku ketua MUI pada waktu itu,  menyatakan mundur sebab tidak betah menjadi ulama yang telah diompongi giginya.
Dalam konteks inilah kegeraman Ibramsyah dalam sajaknya dapat dipahami:

            Syahdan, dari riwayat terpercaya
            Muhammad menyerahkan warisan
            kepada ulama. Sungguh, kepada ulama:

            Semenjak itu ulama iman Nabi
            Semenjak itu ulama akal Nabi
            Semenjak itu ulama budi Nabi
            Semenjak itu ulama-umara, panglima, ahli agama
            …
            Duhai pewaris Nabi, sunatullah berlaku:
            -- musibah bagi yang kehilangan kunci dunia
                atau bagi sekadar fasih baca doa-doa?

            Kritiknya berkenaan dengan mundurnya kehidupan beragama dan penghayatan terhadap ajaran agama, kita jumpai juga dalam sajak “Menghimbau Wali Syekh Abdul Qadir Jailani”. Katanya dalam bait 5 dan 6: “Duhai Waliullah, duhai orang suci. Maafkan/dari Tuan penduduk menelan perkara mokal/dari Tuan seisi kampung belajar membunuh akal//Tuan yang suci, sedihku di sini: manakala kerabatku asyik bertakhayul/dan khurafat. Akal terkubur tanpa kenal/perkara sehat…”
            Inti ajaran tasawuf yang sejati sebenarnya bukan itu. Akal dikubur hanya ketika kita melakukan dialog dan hubungan yang khusyuk dengan Tuhan, agar dalam berhubungan itu tidak terganggu oleh pikiran-pikiran kotor yang mencemari keimanan dan membelokkan perhatian kita kepada selain Tuhan. Tetapi dalam berhubungan dengan sesama manusia, mengatur kehidupan, mengelola alam dan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan falsafah, tidak diragukan lagi akal sangat diperlukan. Ini yang diajarkan para sufi seperti Rumi, Hamzah Fansuri dan Muhammad Iqbal, termasuk Syekh Abdul Qadir Jailani.
            Saya merasa perlu mengutip pandangan atau pendirian Bukhari al-Jauhari, seorang cendekiawan sufi Aceh abad ke-16 M seperti diungkapkan dalam kitab adabnya Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja). Menurut Bukhari, seorang ulama seperti seorang raja dan pemimpin umat, mestilah seorang Ulil Albab. Yaitu orang yang selalu menggunakan akal budinya dalam membuat pertimbangan-pertimbangan dan melakukan tindakan. Dengan mengutip al-Qur’an, Bukhari mengiaskan akal (al`-aql) sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai. Sufi-sufi sejati dan terkemuka juga mengajarkan bahwa dunia ini bukan merupakan ilusi, tetapi suatu kenyataan yang harus diupayakan menjadi tempat yang layak bagi manusia sebagai khalifah Tuhan dan hamba-Nya di muka bumi. Ulama dan umara yang baik menurutnya  dikehendaki memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas.
            Hidup manusia adalah perjalanan dari Yang Abadi menuju Yang Abadi. Dalam perjalanannya manusia harus melalui enam perhentian: Pertama, salbi yaitu alam ketika manusia masih berupa benih dalam angan-angan ayah ibunya; Kedua,  rahim ibu; Ketiga, alam dunia tempat manusia berikhtiar dan berbaik pada kehidupan; Keempat, alam kubur; Kelima, hari kiamat; Keenam, sorga atau neraka. Menurut Bukhari, dunia merupakan salah satu perhentian penting, oleh karena itu wajib manusia itu mengenal dunia dan makna keberadaan dirinya di dunia. Tetapi Bukhari juga mengingatkan bahwa manusia tidak boleh hanya menyibukkan diri dengan perkara-perkara dunia. Jika terlalu berlebihan mencintai dunia maka hidup manusia akan diliputi kegusaran dan duka cita. Orang beriman harus ingat mati, dan ingat akan Tuhan yang Mahakuasa, serta selalu berhati-hati dalam segala pekerti dan tindakannya di dunia. Hanya manusia berakal dan berpengetahuan dapat membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang salah dan benar di jalan agama.
            Sajak menarik lain yang ditulis pada waktu Ibramsyah masih muda dan dalam konteks sejarah yang tidak berbeda dengan sajak “Ulama” ialah “Percakapan Dalam Mimpi”. Di sini dia meluapkan kekecewaannya terhadap gagalnya bangsa Indonesia membangun demokrasi yang begitu didambakan oleh mahasiswa pada tahun 1966 ketika begitu bersemangat merubuhkan rezim Demokrasi Terpimpin. Dua kali pemilu yang diadakan, 1972 dan 1977, tidak lebih dari akal-akalan penguasa. Golkar sebagai partainya penguasa memperoleh kemenangan telak melalui cara-cara yang tidak terpuji. Padahal pemilu yang diadakan itu diagung-agungkan sebagai Pesta Demokrasi. Hasilnya negara kita seolah-olah kembali kepada sistem kerajaan alias monarki. Presiden tidak lain adalah raja dan DPR adalah perpanjangan tangannya belaka. Begitulah,  dengan latar keadaan sosial politik seperti itu Ibramsyah menulis sajaknya:

                        Mimpiku jumpa Montesquieu, tadi malam
                        orang Perancis pencipta Trias Politica
                        tiga kekuasaan negara
                        …
                        Wow, Tuan begitu arif!
                        Jadi tata pemerintahan seramah tangan Tuhan?
                        Jadi undang-undang adil penuh kasih sayang?
                        Jadi pengadilan bagai di tangan malaikat?
                        …
                        Tak ada lagi jawaban: ia susut ke abad XVII
                        kokok ayam bersahutan
                        bangun aku lelap di ketiduran
                        Kau fahamkah takwil mimpi itu?
           
            Tampaknya saya tidak boleh berpanjang-panjang lagi. Tahun demi tahun berlalu. Blimbing Sari di belakang gedung lama Fakultas Ilmu Pasti Alam dan Tehnik UGM sudah pupus didesak bangunan-bangunan besar termasuk pertokoan dan rumah besar. Selama itu pula tanpa terpikirkan Ibramsyah terus menulis sajak-sajaknya dan menerbitkannya dalam koran-koran tempatan. Sajaknya “Kita Akan Tidur” yang ditulis tahun lalu cukup mengusik hati. “Kita akan tidur/selesai karpet di kepala/ cium di simpuh tapak kakinya” katanya. “Kita akan tidur/membenam ikan di perut laut…” Tidur yang tenteram bersama doa dan sajak tentunya. Bersama kehidupan yang hiruk pikuk oleh persaingan, intrik-intrik, dan ilusi-ilusi hampa.
            Akhirnya, saya berharap pengantar ini memberikan banyak manfaat dan pencerahan bagi pembaca.

                                                                                    Bogor 13 Januari 2009


Daftar Isi
Sekapur Sirih Penyantun
Prolog:
Nada Keras dan Garang Sajak-Sajak Ibramsyah/Abdul Hadi WM
Daftar Isi
Sajak-Sajak Ibramsyah Amandit (1973-2008)
Milik
Lingkungan
Berdoa
Rumah
Ulama
Percakapan dalam Mimpi
Makam Kusni Kasdut
Bersama Bung Hatta
Hasrat, 1
Mengimbau Wali Syekh Abdul Qadir Jailani
Berubah Ataukah, ya Begitu
Jawaban Hijaz Yamani
Puasa
Takdir
Tanya, 1
Alam Dusun
Azan
Dialog
Bayang-bayang Telapak
Harapan
Lautmu Lautku
Mega-mega Malam
Bahagia Itu Reguk Perlahan-lahan
Perjumpaan
Nafkah
Suatu Hari
Tanya, 2
Puisi Kasih
Yogya
Bosnia
Panen
Ya, Tuhan
Mawar
Kaidah-kaidah
Maklumat
Belajar
Kabut Bertaut di Galuntang
Kehidupan
Pelabuhan
Petani
Doa di Kuala
Siring Ulak
Jelapat
Kampung Embun Tujuh Belahan
Pelabuhan Kangkung
Puntik: 1 Liter Airmata
Aku, 1
Setelah Daun Rebah
Hasrat, 2
Lorong
Saat
Semisal Rokok
Meratus Berpesta
Tempat di Mana Ahur Mati Terbunuh
Lembah Liang Jarum
Kotabaru
Jerami
Buih
Aruh
Bagai Perahu
Mata Gergaji
Aku, 2
Fakir
Tiga Detik
Ah, Sesaat Itu
Makar
Bibir
Sutardji Disambar
Sasaran
Pintu Puisi
Rumah Adat
Haiku Musim
Selalu Dia
Ainal Islam
Seperti Kalimat
Hutan Wana Raya
Amsal Sebatang Pohon
Kompromi
Ranah Kefakiran
Mata
Diri
Kita Akan Tidur
Daerah Jauh
Kembang Gelap-Terang
Laut Itu Pantai Kita
Jembatan Asap
Perasaan
Sahabat
Kemauan Seorang Sufi
Perkawinan Airmata
Stempel
Suara Gudang Tua
Liang Senja
Malam Mikraj
Langit
Petir Terbuang
Tentang Penyair
Epilog:
4 Kaki di Bawah Tanah/Burhanuddin Soebely
Eksotisme Kerinduan Spiritual Ibramsyah Amandit/Micky Hidayat


untuk mereka yang peduli kepada citra budaya
demi pesona manusia dan banua


SAJAK-SAJAK IBRAMSYAH AMANDIT
(1973-2008)


MILIK

Punyalah
rumah berbilik-bilik
halaman molek
pekarangan dan kolam ikan

Punyalah
istri setia
anak manis mainan mata
tetangga
senyum dan gelak tawa
Rumah berbilik-bilik
serambi cahaya
iman dan bahagia
milik kita

Tuhan bersandar
sebelah dalam pagar
di halaman

Tamban, 1973


LINGKUNGAN

Kehidupan kitakah yang beranjak jauh
tanpa embun tanpa kuntum bunga dan burung-burung
lentur dahan-dahan di pagi sunyi
kedamaian dan nyaman alam sekitar?

Kehidupan kitakah yang beranjak jauh
salam yang jarang dan tegur sapa
dirangkul kasih sayang
dari lengan-lengan hutan yang rindang?

Kehidupan kitakah yang beranjak jauh
dari bisik nurani hati yang teduh
dari sepi dan gaduh yang membunuh diri
dari gelisah dan resah yang mati?

Kehidupan kitakah itu;
            - dari nikmat yang tiada mendekat
               dari hakikat yang tiada makrifat
yang belum menemukan
kemesraan
di mana-mana?

Tamban, 1973


BERDOA

Dalam malam yang kelam kuhadapkan
ke timur dan ke barat, ke segala ruang;
            - gelasku porselen belum berisi
            - panggung opera dan dunia
            - rimbun hutan serta pelipis istriku yang panas
Oh, sudilah Kau lepas daku begini...

Tuhan, kelaziman-Mu bikin sengsara
dan hati yang meranggas
kuasai malam dan manusia
Pada segenap pinggiran pesiar-Mu
makin daku menggila. Makin bahagia!

Tamban, Mei 1973


RUMAH
            buat Sulasi Sri Mulyati

Yang kudambakan sekarang: sebuah rumah
punya kolam kecil berpagar kaktus dan keladi merah
bening berwarna putih kasa
air mawar isinya

Kau istriku; diam-diam di rumah
Tenang semacam kolam halaman rumah
Wajahmu bening putih kasa
meskipun hiruk-pikuk dan balau anak-anak kita

Rumahku; rumah yang kudambakan
berhembus semilir angin di dalamnya
senyum berbunga semi sepanjang waktu
dengan mesranya menghantar bau mawar
di gerbang kelambu...

Tamban, Juni 1975


ULAMA
            sebuah nostalgia

Syahdan, dari riwayat terpercaya
Muhammad menyerahkan warisan
kepada ulama. Sungguh, kepada ulama!

Semenjak itu ulama iman Nabi
semenjak itu ulama akal Nabi
semenjak itu ulama budi Nabi
semenjak itu ulama-umara, panglima, ahli agama

Adakah kini proses pewarisan berjalan salah?
Di manakah ulama intelektual Nabi?
di manakah ulama-umara terpercaya?
di manakah ulama kepala negara?
di manakah ulama hakim bijaksana?
di manakah ulama panglima perkasa?

Dagu kau termangu-mangu
pada bianglala...

Duhai, pewaris Nabi, sunatullah berlaku;
            - musibah bagi yang kehilangan kunci dunia
              atau bagi sekadar fasih baca doa-doa!

Tamban, 1979


PERCAKAPAN DALAM MIMPI

Mimpiku jumpa Montesquieu, tadi malam
orang Perancis pencipta Trias Politica
tiga kekuasaan negara

Hallo, Mont....” Kagumku tetap padamu;
ajaranmu jadi anutan antero benua demokrasi
bagai kau seorang Nabi kemerdekaan

Ah, bocah! Jangan kau kagum sampai di situ
Trias Politica kuperas dari Al-Fatihah:
            - Rabbil Alamin jadi Le pouvoir executif
              Arrahman jadi Le pouvoir legeslatif
              Malikyaumiddin jadi Le pouvoir judicatif

Wow, Tuan begitu arif!
Jadi tata pemerintahan seramah tangan Tuhan?
jadi undang-undang adil penuh kasih sayang?
jadi pengadilan bagai di tangan malaikat?
tak main-main palu putusan...

Tak lagi ada jawaban; ia susut ke abad XVII
kokok ayam bersahutan
bangun aku lelap di ketiduran
Kau pahamkah takwil mimpi itu?

Tamban, 1979


MAKAM KUSNI KASDUT

Kutemukan makam itu;
            - sebilah keris berkarat
              duduk bersimpuh

Ini makam bekas pejuang
terkubur dengan segala teka-teki
tentang keadilan dan budaya bangsa
rampok dan tipuan halus

Belum ada jawaban
peluru mau dibasuh
dengan darahnya

Ketika dia ditembak
di semayam roh-roh pejuang bergetar
dan saling meratap:
            - terbunuhlah saat revolusi!
            - terbunuhlah saat revolusi!

Ah, Husni; terlambat kau mati
musuh menikam dengan mawar
lewat darahmu sendiri!

Kutemukan makam itu;
            - sebilah keris berkarat
Budaya siapa terbunuh?

Tamban, Maret 1980


BERSAMA BUNG HATTA

Di Tanah Kusir kau bukan menyerah
daerah damai di situ tak lelah
tanpa keringat. Lengkap bagimu sudah
idea tiada tersua

Lupakanlah duka
lupakanlah bahagia
Kini kau kaca; kau cahaya!

Karangan bunga telah layu
malam nanti embun membeku
di pusaramu purnama runduk sebelum lalu

Biarlah;
Engkau tak kecewa
atas peziarah yang pulang ke rumah

Yakinlah kau;
Indonesia tak pernah memisahmu!

Tamban, Maret 1980 (2008)


HASRAT

Meski aku tidak ulama
mau juga mewaris Nabi

Minum sari susu agama
yang diperah Muhammad sendiri
dari Tuhannya

Tamban, 1980 


MENGIMBAU WALI SYEKH ABDUL QADIR JAILANI

Duhai, Waliullah, duhai orang suci;
kemana saja kembara Tuan dalam kubur
wajah tidak memandang dunia sini
Tuankah golongan kami
            - punya periuk dan piring nasi
              punya isyarat meraba untung-rugi?

Tuan yang susah dicari di bumi kini
dulu zaman terpanggil hati tak berbintik
hingga denyut bumi tak mengusik

Betapa lain kami kini;
kitab Manakib Tuan dibaca dan dibaca
antero kampung dan pelosok desa
merdu di telinga, ditutur terima dada
tanpa penyakit sawan dalam kepala

Keganjilan Tuan dipuji, karamat Tuan dikaji
Namun ikhlasmu, takwamu, kuat ibadahmu
adakah mereka ambil peduli?

Duhai, Waliullah, duhai orang suci; maafkan
dari Tuan penduduk menelan perkara mokal
dari Tuan isi kampung belajar membunuh akal

Tuan yang suci, sedihku di sini;
manakala kerabatku asyik bertakhayul
dan khurafat. Akal terkubur tanpa kenal
perkara sehat

Tuan yang suci;
dukaku di sini

Tamban, Juni 1980


BERUBAH ATAUKAH YA, BEGITU

Diam-diam hati yang tenteram
dikandungnya hening kolam
rahasia batas sepi dan mati
setelah melipat matahari

Berubah ataukah ya, begitu;
            - lintas-lintas angin kemarau
menggerai dan bersiut
jiwa lain enggan bertaut
Betapa derunya pasang
sudah menyusut
Di dada
teka-teki seorang lelaki.

Tamban, Juni 1980


JAWABAN HIJAZ YAMANI
            isi catatanku

Apalah; hitam mulut tangkai sapu
Lihat, putih giginya atas debu!

Tamban, Juni 1980


PUASA
            buat Ismail Ahmad

Rasakan laparku, rasakan
duhai kesombongan perut
pemburu sepiring nasi
sengsara seputar usus
Rasakan...

Terkadang dengan buncit kekenyangan
mana tahu derita anak manusia

Terkadang dengan nikmat kecukupan
mana tahu rasa iba

Terkadang dengan lezat makanan
mana tahu getirnya dosa

Rasakan laparku, rasakan...

Sakit lapar kali ini
gemetar ke mata kaki
hanya dengan lapar begini;
            - langkah enteng mendekat Rabbi!

Tamban, Juli 1980


TAKDIR

Bila Dia kehendaki;
kita siap sirna
tanpa keluh tanpa duka

Sebelum Tuhan menarik hak-Nya; Dia permisi
mematah garis ikhtiar manusia
tanpa kau sadari
kita sungguh tak kehilangan apa-apa
menurut cara-Nya

Tamban, Juli 1980


TANYA

Kutanya tetumbuhan; warna hijaukah
yang rasa nyaman setia bertahan?

Kutanya lembah dan gunung; di sanakah
lapang dan ombak hati berkejaran?

Kutanya anak mungil jabang bayi;
diakah yang menebar kasih di muka bumi?

Kutanya kembang-kembang yang semi
pernahkah turut puisiku memberi wangi?

Kutanya ikhwan dengan iba;
adakah Tuhan atau nafsu lebih kuasa?

Tamban, Agustus 1980


ALAM DUSUN

Keheningan dusun-dusun tiada tara
bukan langit kepergian kata
meski percakapan isyarat kasih

Betapa pun tetes airmata
masih tipis batas rindu dalam kerdipan
karena hangat melimpah di mata hati
hingga berombak sayang mendekap cinta

Di sini airmata duka sia-sia
risau hanyalah cerita kota
yang garis pemisah cinta pun ada
bukan di sini
bukan bagimu, adikku!

Keheningan dusun-dusun tiada tara
adalah gema langit tanpa rebutan kata
benturan suara ganda

Santun itu milik kita
milik sesama...

Tamban, Agustus 1980


AZAN

Malam-malam aku terbangun
tanpa Bilal azan jeritan hati sendiri
Tuhan bikin resahku
bikin gelisah risauku
Tuhan bikin unggun nyala jiwaku

Kata-kata membakar belantara
aku dibakar kata-kata
bukan lagi malam aku di belantara

Ya, Tuhan; unggun aku nyala
dalam kata
jangan korban bertahan
abu sisa kata-kata yang tersia

Ya, Tuhan; panasMu-lah napas
nyalakan kata-kata;
            entah bisik pelan kalam-Mu
            entah pekik diam firman-Mu

Tamban, Agustus 1980


NEGERIKU

Negeri di sini teramat baik; kata seorang anak
Lautnya mematahkan segala ombak
tenang mendekap damai dadanya
rindunya pun ingin berucap;
            - kubingkai nanti setiap badai!

Seorang anak;
mau hadiahkan lencana dingin
dari dunia kehijauan
dan daging jantung kanak-kanaknya

Agustus, 1980


DIALOG

Jendela sempit berenda panjang
bulan legam legam tembaga
begitu cara dia menjenguk dunia
di balik nasib menggerai hidup yang fana

Namun aku sudah capek diajak perhitungan
bersama angin tiarap di bawah debu
yang serasa hampir siap menerbangkan sisa usia
adakah pula angka bicaramu terbawa?

Tamban, 23 April 1981


BAYANG-BAYANG TELAPAK

Berkelana ke mana saja kita?
            - Angin di sanubari berpusar kering
terkadang senyampang bayu
sedikit memberi arus
yang balik di bawah surya
Murung ataupun tawa.

Dibawanya ke mana saja kita?
Begini;
Susah lagi memegang pendirian
keluar jadi penonton pemandangan
pada segala yang melipat pikiran
berganda hati merasa waswas dan
ada macam segala kemungkinan
tak urung timbul ke permukaan

Tamban, 24 April 1981


HARAPAN
            buat Pram & Wahyu

Hangat-hangatkah kuntum memekar?
sebuah taman gairah tamasyamu nanti
jalan setapak akan datang
yang mempertemukan kita
kau dan aku, anakku sayang!

Bagai sekian lama kita asing
bapak membelah kota menimbun karang
belum jumpa yang dicari manusia
sedang kau; ah, nadimu belum berdenyut bumi
lantas aku mau bicara apa?

Moga-mogalah nanti kau diberi pengertian
memahami nyanyian sunyi firdausi
sentuhan rahasia melodi alam
ketika Tuhan membisiki

23 April 1981


LAUTMU LAUTKU

Lautmu yang memukauku
adalah ombak-ombak yang memaku
jadi kita bersepakat dalam nasib
membatu setia duka manusia

Begitu akrab salam penderitaan
begitu tahan duka bersauh
perkenalannya dengan kehidupan
Kita; pesta kelahiran mengundang penyesalan
segala yang susah diucapkan
segala bicara ombak kebisuan
deburan gugup napas berbenturan.

Tamban, 24 April 1981
           

MEGA-MEGA MALAM

Ke mana dia, sayang
ke mana terbuang
napasnya lebih dulu menemukan isyarat malam
anak-anakku yang malang

Bila pilihannya hanya pada pasrah;
            - pulanglah bayang-bayang malamnya
              pulanglah bayang-bayang siangnya

Ini kali kembali malam gelegar guntur
terkadang keras tapi dingin masih menyisip
menyerbuk mega atap kelambu
menunda kantuk bapak dan ibu

di luka malam kami menahan kelam
tak juga menawar ajaran bocah
Betapa benturan nasib, derita dan keluh-kesah
Sia-sia! Longgar ia digenggam kodrat
terapung bintik di awang takdir

Tamban, 24 April 1981


BAHAGIA ITU REGUK PERLAHAN-LAHAN
            untuk Bpk Daniel Bangsawan*

Ada jugakah percakapan angin
kau sebut
bersama kami kata-kata dingin
bagai ajal mendekap kematian senja?


Burung-burung menghindar ke dahan
udara sekitar pudar perlahan
hari-hari makin tua. Menyisih
susut dalam suasana...

Bagai laba-laba putih kulihat;
menjaring kesatuan kenangan
kau ingat-ingat ada warna berkilauan

Tapi kita di sini sendiri sendiri
seperti semula
sebisa-bisa menyita sisa bahagia;
            - menyimak putih tanda-tanda
merasuk hening dalam jiwa

Tamban, 9 Mei 1981
* di bulan dan minggu yang sama, 13 tahun kemudian, Merah Daniel Bangsawan tewas dalam tragedi pembunuhan di Pulau Pinang, Kabupaten Tapin


PERJUMPAAN
            pro Eza Thabry Husano

Ah, ini perjumpaan hanya hati ke hati
naik tangga ke tangga mengetuk pintu
rumah yang dikenalnya
keras rindu ingin menjabat
Adakah tenteram penghuni di dalam?

Maafkan perjumpaan kali ini
anak-anak sudah tidur tadi protes;
            - sepatunya yang tua koyak-koyak
tak pantas diseret ke rumah tetangga, kilahnya
itu sebagian disesalkannya
kepada bapaknya

Peduli!
Anak-anak biasa lambat dewasa
ia cuma kembang-kembang mekar di rumah tangga
sekedar kembang-kempis rongga dadanya
mana tahu tarif pernapasan menjadi mahal
mana tahu prasyarat hidup kian menjejal
mana tahu pikiran-pikiran jadi berat
liku-liku orang dewasa memeras keringat

Maafkan perjumpaan kali ini. Maafkan
bertanya kabar dari balik pintu di kejauhan
sebelum sampai ada isyarat sebuah pengertian

Tamban, 9 Mei 1981


NAFKAH

Menemani istri menggoreng pisang, Tuhanku
Indonesiaku tergugah
Aku makin perasa, semenjak Bung Karno tiada
semenjak ke Tanah Kusir semayam Hatta

Air kali coklat
warna sungai sia-sia mengalir di tubuhku
Ada serba tanda darurat?

Suam darah entah krosine entah amis sampah
jangan heran; engkau juga menyimpan 1000 pikiran
hanya Tuhan lebih tahu isi otakku
segumpal bilik syaraf berkotak-kotak;
            - ada pasar, ada dapur
            - ada nasionalisme, ada lumpur
            - ada bicara-bicara fakir terlempar
            - ada gaib-Mu!

Sel-sel otakku hidup dari sari makanan papahnya Ling Ling
dari gaji bulanan Mr. Sanbach, dari premi Jief Carothers
sebulan dua dari Tuan Yamato. Terakhir dibayar oleh Chao Sung Tae

Dapurku republik kecil dalam republik!

Tuhan, ampuni kami;
Lamakah tungku lain memanggang Negara?

Tamban, 11 Mei 1981


SUATU HARI
            catatan Idul Fitri

Masih ada hari-hari yang baik
bagai saja memihak kita
antara kelopak pagi dan senja

Rintik embun bahkan airmata
pengakuan dan ketulusan
dikuduskan sejak pagi

Masih ada hari-hari yang baik
mematah liku-liku jalanmu ke sorga
dalam pasrah memintas keridhaan-Nya
lebur diri di keagungan-Nya

Masih ada hari-hari yang baik
sepagi ini dosa dunia mungkin dilupakan
begitu runduk kita amat mengharapkan

Tamban, Juli 1982


TANYA, 2

Bila diam lebih baik
angin mati tempatku.

Bila gerak lebih baik
mendekat itu jalanku

Bila diam atau gerak makna yang baik
adakah pada-Mu sampai tujuanku?

Tamban, Juli 1982


PUISI KASIH

Ke jurang terbuang
tak retak patah arang
bagi diri rapat berpegang
Ke langit terlempar di awang
mega-mega bukan bingkai melayang
sayap-Mu padaku belum hilang

Ke sorga; ah, jangan!
jangan, Sayangku
kepayang daku dalam curiga

Ke neraka; boleh juga tak apa
boleh juga aku tak sirna
tatap pandang Kita tiada mendua!

Tamban, Maret 1993


YOGYA

Kau sebut Yogya...
kubuang muka ke sedu-sedan
mata tertahan air mencuka
asam kemanisan bubuk bergula

Kilat-kilat lewat memudar
dari jauh mengantar baki terhampar
ah, sayang!
Bibir hariku percikan tawar

Kau sebut Yogya...
dahulu gelegar Parang Tritis
getar hati merentas desis
ombak memang menerjang gila
buih melayang boleh maunya
tapi di karang jiwaku menyala

Kau sebut Yogya...
Oo, tebing merangkum jutaan rasa
sepagut angin langkah angkasa
Biarkan terlelap senja
pada hari-hari yang terus terjaga

Tamban, Maret 1973


BOSNIA

Ke Bosnia, ke Bosnia!
kartu undangan
tafakur dan zikir
paket airmata

Jalan panjang utara
formula huruf ba
titik pada awalnya

Jadi gelombang
banjir bandang
perahu Nuh merapat
ada penumpang karam terlambat

Seperti tangis Zulaiha
Yusuf lagi terpenjara
kuingat-ingat sobek bajunya

Kafilah lewat sumur
haus Yakub tangis di rumah
pintu-pintu kota gelas penghibur

Air serta api
tanah pijar mereguk nyawa
usus membenang
terpintal lapar setengah kenyang

Tanpa Tito dan vodka
bertahan tembaga
tanah atau nanah
buih Eropah
(kubaca apa?)

Zikir, zikir...
usap airmata!
Bosnia, Bosnia

Tamban, Maret 1993


PANEN

Konon, bejana telah pindah tangan
buat Clinton dari Bush
meski sama cairan tumpah pupus

Tengok ladang usaha mereka?
lobak boleh jadi memerah saga
lombok dan cerry ranum apa bedanya

Tidak; selain kata-kata memelas
duka tanaman bumi yang nestapa
takdir buah yang bernasib amat malang
derita tercampak pada bistik dan beef
umpan sarapan serigala Tel Aviv.

Tamban, Maret 1993


YA, TUHAN

Ya, Tuhan; jika Engkau pergi
benarkah aku sendiri?

Kelopak mawar mekar
aku tetap gentar

Tikungan dua bumi
memberi rasa nyeri

Selagi duduk di terminal
akulah yang kereta tinggal

Berteduh di taman
kursi di hatiku lebih nyaman

Di ruang-ruang tunggu
ke bilik-Mu jua aku bertamu

Ke mana pun lariku
di napas-Mu dadaku


Apa pun obrolanku
bibir-Mu bercumbu lidahku

Jika aku lelap tertidur
ajaklah mimpiku berlibur

Ya, Tuhan; bila aku mayat
Engkau yang pertama melayat

Tamban, 8 April 1993


MAWAR

Seseorang jatuh terkapar
dikait tangkai mawar
dan aroma keringatnya

Di kelopak; hinggap wewangi dunia
seribu ragam jadi yakut
bibir delima dan senyum nilam

Ketika perahu Nuh karam
Tuhan telah berfirman;
            - Jaga kemudimu!

Tamban, April 1993


KAIDAH-KAIDAH

Roh-roh orang mati bicara
tentang Ibu Pantas
dan tebusan sirham - sirr hamba

Tapi bagaimana bisa;
ia pemabuk gila
lagi pula tak kau bahas soal batas
tepian cinta wilayah napas
batas ombak dengan lautan lepas

Jadi di mana garis ketetapan itu
pemisah dia dengan Tuhannya?
Tamban, 14 April 1993


MAKLUMAT

Badai gurun dalam darah;
Ia petir terbuang yang bertasbih
bukan mimpi:
Keinginannya mendobrak benteng syahadat
bukan sekedar milik keyakinan

Ia ingin lebih
ingin luluh
lebur dalam unsur
punah dalam La ilaha illa Allah
Muhammad Rasul Allah

Tamban, 15 April 1993


BELAJAR

Belajarlah;
mengayunkan langkah
menggerakkan jari-jari tangan meraba udara
seperti bayi pada awal kehidupannya

Belajarlah; diam, bicara, menangis dan tertawa
kepada buaian, liang lahat dan batu-batu nisan
Kepada bayi yang dininabobokan
kepada diri ketika mayat
kepada cara-cara Tuhan melayat

Tinggalkan dunia benda, baca diam tanpa kata
ayunkan langkah-langkah Tuhan
gerak bersanding tangan Tuhan
cucurkan rasa bahagia dan gembira Tuhan.

Tamban, April 1993


KABUT BATAUT DI GALUNTANG

Ke Galuntang, ke Galuntang...
menyipat padang-padang halalang
menyusuri tanah hulu. Kami
pelarian maarit hati

Diam di kampung rasa madam
kada dirikin kada dipandang
karing tangis rabah rampiuh
kami burinik dianggap hilang

Kaluarga batawing halat
ngalih mancari batang ba-upang
kampung kada bahati
aku-aku, ikam-ikam
kada baburit bakapala
duit kada bakula

Mangganggam hakun kacak ranggang
inya untung kaminting pidakan
nang kada undas kaya kami;
            - tajajak tasipak dilangkahi

Hidup tanpa harapan
kami balajar tahan
amun saraba kahilangan
            pilih palarian
ke Galuntang, ke Galuntang
Guntung pambuangan

Manyipat padang-padang halalang
manyusuri tanah hulu
kami: pelarian maarit hati!

Tamban, 1994


KEHIDUPAN

Kehidupan banyak dipanggungkan
merisik miang jadi tontonan
kelap-kelip mata di kejauhan

Tamban, Oktober 1995


PELABUHAN

Ketika ngungun waktu
berantakan tangga datu-datu
dalam kabur legenda
gugur di tanah uluh
peristiwa demi peristiwa
menyuluh
Apa ia mengerti?

Kala subuh datang
kaki pertama diinjakkan
kehidupan dihembuskan
embun tergoncang
kapal dan klotok merapat
barang dibongkar diangkat
dari mana ke mana
Apa ia mengerti?

Bahkan; sejak pisang bertandan
baru keringat kuli bercucuran
setiap subuh di sawah dan pelabuhan
Ia tetap tidak mengerti

Pelabuhan, pelabuhan;
apa yang bisa kau pahami
padahal engkau tidak mengalami

Tamban, Oktober 1995


PETANI

Menapak jejak Adam dan Hawa
hidup lebih mendekat; asalnya!
minus sejengkal atas tanah

Memetiki biji buah lumpur
dengan diri debu tanah rawa
lena sisi halaman sorga

Melangkah ia di padang purba
merobohkan hutan kelelahan
lalu makan di tangan Tuhan

Di tanah rawa, di tanah rawa...
disemainya damai dunia
akar sorga merasuk jiwa

Tamban, Oktober 1996


DOA DI KUALA

Kekalkan, kekalkan...
pemukim di kuala; Tuhan Maha Tahu
dahulu aku baut berputar dalam mata bor waktu
sekarang paku tidur dininabobokan sebuah palu

Kekalkan, kekalkan...
seribu tahun siap kutunggu
aku tahu buih bermain di ombak-Mu
Aku tahu, aku tahu
Kekalkan aku di situ
Amin.

Tamban, Oktober 1996


SIRING ULAK

Siring ulak, siring ulak...
apa yang kau peroleh:
            hamparan buih memutari jantung kehidupan
            desau musim senantiasa angin kuala
            yang padaku deru renta keseharian

Berabad Barito ditidurkan
mimpinya jambrut hijau berkilauan
di lengan burung dan bekantan bergayutan
teduh matanya tiada pancaran curiga

Siring ulak, siring ulak...
kini bayang-bayang sudah kau pantulkan
gemalau hidup yang menimbun
ada setumpuk menggilir kepergian
lalu duka siapa langgeng bertahan?

Tamban, November 1997


JELAPAT
            Job Site Area

07.00 waktu peluit jaga;
selain otot dikirim
bawalah hati ke tempat kerja

Log pond: rakit bertambat
bergoyang di sisi arus
terpancang harap bersambung waswas

Malam lewat serasa mayat
ranjang-ranjang patah tulang
tuntas sudah semangat sekarat

Dengus gaung rotary
terdengar di ambang senja
katanya mesin berputar sebentar mati

Napas boiler asap yang kotor
belum tahukah cara menyaring?
Miliki tabung rohani

Di pabrik, di pabrik
berbaur pekerja
antara robot bernyawa

Tamban, April 2004


KAMPUNG EMBUN TUJUH BELAHAN

Kampung embun tujuh belahan
Jadi ladang jadi tegalan; petak-petak sawah
kandang unggas antara kolam ikan piaraan
peluh tanah keringat bumi
getah kehidupan 1/7-nya airmata
Ketika kampung naik ke langit
wajah matahari memudar pucat
lantaran malu bayang-bayang rebah di desa
tersimpan rahasia seribu makna

Ketika kampung merasuk jatidiri
kain tepung seragam petani
tangan bergetar di tubir mimbar
terpatah lidah bahas amanat
karena kampung denyut nadi rakyat

Kampung embun tujuh belahan;
rahim anak cucu rakyat
menyerbukkan gelembung udara
di kantong plastik terukir terbaca
enteng ditimbang sebelah mata
Bisakah kabar itu dipercaya?

Tamban, Mei 2004


PELABUHAN KANGKUNG

Pelabuhanku pelabuhan kangkung
pantai keindahan fakir
getar pelengkap ujung subuh

Menangislah sembunyi-sembunyi,
istriku!

Bisakah kau diamkan raungan kucing itu?
menyembunyikan bisu dalam empedu

Pelabuhanku pelabuhan kangkung
meniti tasbih ke lorong pasar
ada yang menari-nari di jalan nasib
antara perabot dapur
dan uang SPP

Tetapi, cukuplah!
Amin, ya Allah

Tamban, Mei 2004


PUNTIK: 1 LITER AIRMATA

Berbilang tahun jejak hujan
meracun lidah daratan
ragi meragi cuka

Kabut tanah rawa
kabut kekalkan duka
wajah kelam tungku benua

Medan kelakai*) di rumpun galam
dibunuhnya tekad peladang
tapi petarung tangguh;
oo, takkan mati dari dalam!

Pejuang-pejuang piring nasi
memasak 1 liter airmata
bersimbah rintih dengan doa
di Puntik, di Puntik...

Tamban, Mei 2005
*) sejenis pakis


AKU

Aku yang menarik kelopak mawar; mekar!
Aku yang terbang di sisi siang; terang!
Aku yang menyelam di hati malam; kelam!
Aku turun di curah hujan;
                                    gemuruh sekitar!
Aku hanyut pada gerimis embun musim;
                                    basah bintik air pipi perawan!

Aku yang terkadang mekar puisi
terkadang terang Ilahi. Kelam di sanubari
Bergemuruh sekitarmu
Dan tangis perawan anak negeri
Akulah itu, adikku
Aku!

Tamban, Mei 2005


SETELAH DAUN REBAH
            pro Bakhtiar Sanderta

Hari yang bertengger
tiba-tiba bergeser...

Ambang kemarau
kuning senja kita
telah kita bagi berdua

Rabun bola mata
atas tanda-tanda
taman pekarangan muka

Ingin kusimpan
ia dalam diam
dengan bukan ahli tanam

Semut-semut hitam
membongkar daunnya
di muka liang
tanahnya

Usungan ditaruh
tengadah sewajarnya
Sewajarnya...

Percakapannya itu kudengar
bahasa Banjar mengalir
seperti hujan di mulutnya

Dikirimnya dingin
ke tubuh-tubuh
dan pori daging
seranggaku merasakannya

Merasakannya...
Tamban, Mei 2005


HASRAT, 2

Terkadang ingin juga
tidak diterjang angin jalang

Terkadang ingin juga
jadi angin lembut lantang

Betapa susah napas
di bawah angin

Alangkah bebas napas
atas angin

Pernahkah kau lihat;
impian memancang tiang
Bendera berkibar dalam angin
saat naiknya pelambang ingin?

Tamban, Mei 2005


LORONG

Tidak sempit tidak pula terlalu lapang
di belakang banyak kubuang
sedikit yang kukenang
Ke depan langkah dalam hitungan
bimbang untuk kubilang

Tuhanku;
tolong jadikanlah ia
            - jalan rohku!
yang lewat datang
dan selamat pulang

Berikan waktu
agar tubuh dapat merawat
sekedar napas masuk keluar paru
satu demi satu
Biar seperti ilalang
dilanda angin
sekali rebah sekali bangun
tentu bagi-Mu. Bagi-Mu
Oo, Tuhanku...

Tamban, Mei 2005


SAAT
            pro Hamami Adaby

Bila saatnya tiba, ia menggurat sungaimu;
mengering hulu ke ujung senja
kau dan aku terbawa

Daerah tandus, daerah tandus
akan kau katakan:
            - semak kamboja kita
O.K! aku setuju

Engkau bertanya pula:
“ke mana kita melayang”
meskikah kujawab seseorang
berbaring miring atau pun ia tiarap
sementara aku meraba ikhwal yang gelap
cemas-cemas berbaur harap?

Dari penjelasan pengantar baru pulang
akan lewat mengitari halaman kita;
“tiap saat kejadian disentak semusykil ini”
perputaran berulang kembali
seperti kerak di piring nasi!

Tamban, Juli 2005


SEMISAL ROKOK

Di dua jari
lengan penopang
dihela dihembuskan
Uap serbuk jelaga
meliku lobang suara
sulingnya lagu duka

Sewaktu ia melemah
jari terkapar
masih juga di sana

Kata-kata renta itu
di atas tumpukan abu
Jangan pungut;
            - ia sajakku!

Tamban, Juli 2005


MERATUS BERPESTA

cucu Buanca anak Imbi
mengotak-atik arti Bupati
disangkanya barang langka
permata berlian di etalase
terkurung di toko intan Martapura

Orang-orang ramai berdalih
yang di Belimbing yang di Remo
yang di Tihan yang di Angkipih
Siapakah mau menginjakkan kakinya;
“jalan kita berdanau berduri rumpun salak”

“Tumit sepatunya 30 tahun tak dikenali
raut wajahnya, bulat panjangnya
batang hidung dan bulu matanya”

Bulan Juni beredar kandidat nama
mereka amati susun hurufnya
mereka ramal jengkal langkahnya

Tebing jurang masih menganga
sebentar lewat pesan dan janji
bagai bumbu penyedap diusung baki


Bulan Juni;
Meratus pesta daging landak
bulunya ke matahari menjadi tombak!

Maninim, April 2005


TEMPAT DI MANA AHUR MATI TERBUNUH

Tempat di mana Ahur mati terbunuh;
hati terbawa jalannya ujung belati
parang dan badik membingkai ruang rumah
seperti barisan gagak di dahan birik
mengintai mangsa siap mencabik

Tiap sengketa jadi batu pengasah parang
siapa pun asing, akulah penting
pantang mengalah, engkaulah musnah
mata gelap ke hitam malam
gelora nadi ke jantung bumi

Tempat di mana Ahur mati terbunuh;
1 jari 2 kuku dalam peta ke ibukota
dataran Meratus ditoreh jurang
jalan-jalan setapak tetapi garang
anak sungai bisa berbalik arah
menyesatkan secara wilayah dan rohaniah

Kunjungan pejabat bisa ditunda atau tidak
batal digoda jalan membulu landak
suluh petuah mudah padam
karena bara darah dan dendam

Tempat di mana Ahur mati terbunuh;
adalah jalan panjang berliku
ke wilayah damai hatimu

Tamban, Januari 2006


LEMBAH LIANG JARUM
            untuk kawanku Jihan
Lembah Liang Jarum;
di bawah bukit Batu Apit
aku merasa anak negeri
setengah hati

Bening air Riam Kiwa
mengaca lumut dasar sungai
antara kaki bebatuan Maninim

Rimba terjun ke jeram
rumpun batibati yang rebah
pohonnya selalu rusak sebelah

Di Lembah Liang Jarum
tandan kehidupan orang petik
tanpa bertanya apa buahnya
tanpa bertanya apa menindih
            pada rumpun hidupnya?

Tamban, Januari 2006 (2008)


KOTABARU

Aku berharap membuang igauan darat
meredamnya di mimpi laut dan nyanyian karang
buih-buih akan membasuh tetek-bengek segala urusan

Tipis anginnya dari alis langit
lukisanku di situ: sketsa istana masa depan
pada kepergian kedua penghabisan

Lambaikan tanganmu;
Oo, para nelayan!
Riang pestaku jumpa akar-akar bakau
yang padu

Persahabatan angin, tumbuhan dan laut
abadi di sini dalam cinta
pada prinsip yang sama
Pelabuhannya seperti apa yang Tuhan mau
hingga kita jadi belahan yang satu

Masihkah jejak-jejak kaki sahabat
dulu yang membagi gurau dan tawa
habis makan ikan sotong dan daging kepiting
selagi hati lentur saling tali temali

Ah, mengapa risau?
padahal tahun depan belum tentu kembali ziarah
jasadku mungkin sudah terbaring di pasang surut
                                                4 kaki di bawah tanah

Jadi lupakanlah...
kita kan ombak-ombak dan buih laut juga
dalam kehidupan hal-hal kecil mudah larut
dan bukankah sering terlupa?

Tamban, Februari 2006


JERAMI

Berulangkali jerami
tersentuh tubuh hari
di bawah tiang
terpegang jeruji
pagar dan batang pinang

Antara rumpun pisang
tersiar kabar
tapi orang di mana
jarak amat lebar
ataukah pengingat alpa?

Di masjid sudah 5 kali
azan berseru
sebelum imam dan makmum berdiri
sedang di bawah jerami
isyarat kemarin kembali lagi

Hai, kabarkanlah!
sekarang atau besok
sebelum ambruk membusuk

Tamban, April 2006


BUIH

Lihatlah buih
sampah laut tersisih

Setelah barang berharga dibagi di kota
mutiara jadi penghias mahkota zaman
pelabuhan sepi
tanpa dibongkar muatan pelayaran
selain buih mengirim rasa kasihan

Kau dengarlah;
badai meluruh damai
di laut itu ikan-ikan menyimpan pelajaran

Tamban, April 2006


ARUH
            saat menanti Aruh Sastra Kalsel III di Kotabaru

Setiap kawan lagi Aruh
kupegang jeruji pagar
apa bisa aku lepas keluar
berani merambah daerah jauh?

Karena di tiap perjalanan
ada saja salah penafsiran
meraba jalan kembali terasa susah

Karena setiap Aruh
dibungkus sebuah makna
membuka kulitnya begitu payah
bagi orang terkurung di rumah

Soal takut; bukan kepada gelombang
otot pun mau kucoba mau kuadu
dengan ombak yang menderu

atau kepada badai dan karang
pantai landai mulus aduhai
gadis-gadis gampang berenang
membuka paha setengah telanjang

Tidak! Aku tidak takut;
aku takut mati sendirian
di sana dibunuh bau durian

Tamban, April 2006


BAGAI PERAHU

Kali ini subuh lebih hangat
bumi berkeringat melemparku
ke renungan pagi

Benda-benda, alur kejadian
bersuara bagi pemeriksaan lahir-batin
menating hasil curian
pada cahaya penglihatan lain

Kusimak esensi yang hakiki
segala sesuatu sesungguhnya
guna berwaktu-waktu dengan-Nya

Aduh; payah juga perahu dikayuh
sebelum terlihat di pelabuhan
sebelum tiba-tiba diikatkan
di poros cinta-Nya

Tamban, 22 Juni 2006


MATA GERGAJI

Mata gergaji itu
naik turun
pada hidup luka menahun

Tamban, 17 Juni 2006


AKU, 2

Sungguh, kita sering jumpa
percakapan tak menentu
kala angin hatiku hatimu

Kini apa maumu;
bila tema ikhwal Adam
rumah 3 dimensi
unsur yang merumput
menggurat kuburan bumi?

Aku sudah tidak peduli
proses membuangmu
30 tahun dulu aku
hari ini bukan aku
aku tahu imitasi

Bila anak waktu pinjam baju
pagi-pagi tidak kembali
apa aku sore hari
Apakah aku?

Tamban, Juni 2006


FAKIR

Jangan ikuti aku
yang tak punya rumus
atribut dan kapangkatan
karena jalanku kuburan adat
mematah kebiasaan

Aku hidup di tangan anugerah
hatiku angin Sulaiman
yang membaca keadaan
juga aku tongkat Daud
yang kau lihat kerajaannya bertahan
padahal tongkat ditopang mayat

Bila telapak tangan membalik
di situ lahanku
gerak rodaku tanpa daya
karena makan disuapi Tuhan

Bila beduk surau berbunyi
atau lonceng gereja
jemaat buru-buru pergi
aku tak kemana
karena dahiku di gerbang-Nya

Ketika fajar
orang-orang berebut pasar
mengapa si fakir harus bangkit
bila celenganku di pintu langit

Tamban, 16 Juni 2006


TIGA DETIK

Tiga detik yang lepas
kata pun bebas
Selesai tiga detik
nasib mengapung atas bintik

Dalam kala seperti embun turun
dalam firman detik terhimpun
hidayah nur cahaya puisi
dalam waktu tutur bertutur

Kubuang sebuah nama
ia menghela pemiliknya
hilang ke azali asal kata
napas puisi belum meragi
jiwa juga belum bernyanyi

Dalam tiga detik yang mengalir
            - puisi lahir
tiga detik...
bila Tuhan berbisik

Tamban, 12 Juni 2006


AH, SESAAT ITU

Ini pagi seperti beku;
dan matahari; o, apakah ia?
rawan siapa disimpannya
mengajak penglihatan mau gelisah
dan tak apalah sedikit menyerah?

Arakan awan di belahan sana
masih membawa titipan
belum beban jadi kelelahan
Tanah mana hati siapa
bersorak-sorai berbagi kebahagiaan
antara tetumbuhan dengan hewan piaraan

Sungai-sungai pedalaman memperanakkan
air gemercik jari bebatuan
ke rimbun gunung, hutan-hutan
dan lekuk teduh lautan

Aku masih yakin, masih yakin;
denyut nadi memilih jantungku
memukul-mukulkan kehidupan
sesaat saat sarat titipan
sesaat sebelum matahari tersimpan
di kuburan...

Tamban, 21 Juni 2006


MAKAR

Siapa mengirim suara
meletakkan aura
dalam tidur serasa jaga
membaca dan berkata:
“badai gurun dalam darahnya”

Mimpi tamasya bikin sengsara
tipu muslihat makar siapa
bertabir dalam hadir
membakar-bakar bara mawar
merunjam darah penyair
duh Gusti...
hamba cuma bikin puisi
bayar peti mati
dalam kubur pun adakah
kebun melati?

Tamban, Juni 2006


BIBIR

Apa yang datang pada pikir - menzikir
apa yang datang pada hati - menyanyi
apa yang datang pada pandang - buruan gelombang
apa yang datang pada kenang - rajutan awang
apa yang datang pada diri - menggila-gili
apa yang datang pada malam - kilap pualam
apa yang datang pada batin - rindu terjalin

Ia datang di biru-biru laut - kelu
ia datang di hijau-hijau - kilau
di gunung-gunung panggung gaung
di karang-karang - sandung dendang
Oo, raung Kau igaukan bebatu-bingung!

Apa yang datang pada cincin mengikat rapat
apa yang datang kencang rakit tali bertambat
apa yang datang selenting panting tembaga kuning
buih-buih berbuncah telah menyisih...

Desah-desah batu resah buai dipasrah
hinggap-hinggap lari membongkar lingkar
di lobang jarum mencumbu sunyi
batu debu akan merabu sejuta tipu?

Bila Kaukah itu datang
yang kutunggu menganak waktu
dalam mihrab-Mu simpan kampungku
dalam azan-Mu gemakan gaungku
rintikku gantikan rintih-Mu
derai puisiku berburai di negeri-Mu
biar daun-daun nyanyikan ranting bunting membayi
Kau ucap tersingkap. Helai kata-kata mendekap
yang majlaa menggila terhela fana!
hari-hari terbuai tanpa rupa...

Sepasang bibir mengunyah hati penyair
memuntah-muntah aroma ambar
memuntah-muntah bauan mawar
sihir langit menabir getar

Kau dengar ia bertutur;
tentang negeri puisi yang merebut tanah koloni
panggung yang merakit antero negeri
sejengkal jarak luasan bumi
khayal menapak tanah azali
semesta tertembak di sanubari?

Aduh, Gusti;
siapa mayatnya telah bernyanyi
Dikau yang ia tangisi
bibir Kau bibir Kau
berucap berulang kali!

Tamban, 3 Juni 2006


SUTARDJI DISAMBAR

Oh, “warga buangan itu”
salamnya berkabar dari poros Nusantara
kau dengar;
hujan jenis apa suaranya?

Di panggung perang bintang
badai sambar menyambar
gema menggoncang tiang
menjelma pada suara 4-5 orang

Jangan heran;
            pada aqua nonalkoholid
            bir hilang ragi
            ia sejuk air zamzam
            dari sumur masjid al Haram
Langkahnya menari
tapi 7 petala bumi
tidak menampung kakinya
ia meningkah dunia sana!

Datang dengan satu sumber suara
serasa pernah aku jumpa
ketika baca alQuran
tanpa masuk qiraat sab’ah
tapi dengan derai airmata

Waktu kutanya alifbatasa;
ia tunjuk sebuah rupa
aku juga dibawa ke pemandian Ibrahim
yang menggigil dalam tungku bakaran
api Namrud
persis seperti Muhammad
mencari selimut
ketika seorang putih memagut
di gua Hira, begitu dinginnya

Kutanya Sutardji Calzoum Bachri;
di Siring Laut halaman kantor Bupati
di seberang meja Micky, seorang lagi
dari Taman Ismail Marzuki
sambil kami meneguk hangat STMJ
malam itu dingin juga terbagi

Kutanya; kenapa tanah Riau kemilau memukau
kenapa tengah tajalli fana kau mengigau
tamu kesurupan bercumbu tangan ulama?
aku tak perlu jawaban saat itu

Kutahu Ibrahim, kutahu Muhammad
dan alifbatasa
Bila ia pilih Ibrahim dan Muhammad jadi kekasih
alifbatasa menjelmakan sabda
dan di balik tutup keindahan Nama
suara jadi peluit lengking senja, dengus
anak-anak kijang atau rusa
kicau burung dan irama keroncong di lobang suling-Nya
jadi senandung nyanyi, doa dan mantra

Puisi lokus keindahan-Nya
Penyair fokus dari jenisnya
bibir-Nya berucap orang pun bercakap
Kau kuping kaulah pula lidah-Nya
membakar hatimu dengan mawar pijar-Nya
Ia debukan kau belah sejuta

Di mataku: kaulah yang hilang
Wahai gulam di laut siapa kau tenggelam?
Kulihat segala majlla;
Yang Satu pada yang banyak
Yang banyak pada yang Satu
dalam tajalli rupa-rupa
seperti katamu pula
selesai menggaung menggema duduk santai
di gedung Paris Barantai
hingga apamu dan darimu
semua mu-mu, mu itu
ialah Ia
cuma Ia ialah Ia!

(Bersiaplah, Tardji...
mungkin undangan ke Kotabaru lagi
di kecamatan 37 teritorial dinasti jin
mau kau baca puisi?
di gua-gua misteri sarang burung walet
di ruang rumah berenang buaya
kaukah punya mantra
dan makhluk tak menyambar “makanan” Tuhannya)

Tamban, 25 Juni 2006


SASARAN

Wahai keranda mayat
di masjid disemayamkan
Selamat jalan...

Wahai rusa yang diberkati
liar di hutan kesayangan
seorang terlambat datang
akan berjinakkan dengan kau

Ia lagi bersilih pakaian
putih bagai janggut naga
sedang ia tunggu:
            - ditembak Tuhannya!

Tamban, 17 Juni 2006


PINTU PUISI

Karena jalan Tuhan begitu lembut
kita pun sedia tidur di pintalan rambut Zuleha
agar impian menjelmakan wajah Yusuf

Biarlah napas Nabi rupawan ini
mengharumi kertas puisi
dan cahaya matanya meminyaki
kebeningan zaitun tanah sorgawi

Nanti rajawali akan terbang di wajah kau
sayapnya adalah kepak puisi yang kemilau.

Tamban, 20 Juni 2006


RUMAH ADAT
            buat Rosehan NB

Engkau tak mungkin, adikku
memainkan kedua ujung tali
di halamanmu

Rumah adat telah memilah
tentang dua anjungan
batas padu dan lataran
bagai laut dan daratan
tebing pemisah
kata ahli hikayat
warisan untuk juriat

Jadi, peganglah;
satu ujung bagian
bagian kebaikan
lalu biasakan
untuk keseluruhan
pada hidup
sebelum ajal kematian
Syahdan, itu pun takaran
orang beriman

Andai kedua kaki
kau pijakkan
di darat dan lautan
manakah kering sejati
selain basah campuran
peluh bersimbah keluh
mengkristalkan daki
menoda kesucian diri

Dalam pemahamanmu
langkah apa kakimu mainkan
wahai, adikku?

Tamban, 6 Juni 2006


HAIKU MUSIM

Setiap tahun tenggorokan Oktober berdarah
setelah batuk keluargamu berdahak semak-belukar

Di atas istana kudengar teriakan parau
suara memanggil-manggil lidahnya

Orang-orang banua menginap di gudang asap
sebab apinya di sol sepatu meronda kantor

“Lacur,” kataku sorga
kepada zikir serigala suara domba

Tamban, 5 November 2006


SELALU DIA

Segala niat duduk induk segala niat
adalah qidam-Nya pendahulu segala-gala

Segala ingat dan rasa yang diingat-ingat
adalah kekal dari kebaqaan-Nya

Segala khayal, wawasan dan pikiran
adalah negasi Kediaan atas yang baharu

Segala roh dan napas dihembuskan
tegak ia pada diri-Nya

Segala unggun nafsu berbara
adalah iradah muasal suci-Nya

Segala daulat energi tenaga
adalah potensi dari kodrat kuasa-Nya

Segala cerap nur cahaya rohani
adalah dari ilmu tahu milik-Nya

Segala yakin batu-batu keyakinan
esa dari Zat, Sifat, Asma dan Af’al-Nya

Segala rupa tubuh lahir dan batin
ialah wujud Hua Kediaan

Segala apa pun milik pengakuan
adalah tariqul-asrar: jalan kerahasiaan
bayang-bayang cermin-Nya pula

Tamban, 11 November 2006


AINAL ISLAM

Kutanya Jawa kutanya Soekarno
kutanya Mataram
            - ndi lho Islam?

Kutanya Batak kutanya Dayak
yaku insik Uluh itah
            - sikueh Islam?

Kutanya Sauki Futaqi
kutanya British kutanya Yankee
            - where is Islam?

As’alul Masyriq wal Maghrib
as’alu Syamsi wal Qamar
as’alul Hijaz wal ‘Ajam
            - Ainal Islam?
               Di mana Islam?

Kulluhum qaalu:
            - Fi shudurikum!
Mereka berkata:
            - di Dada kau!

Tamban, 30 Januari 2008
             

SEPERTI KALIMAT

Seperti kalimat kacau
jelek dan rusak
yang mengganti kata-kata:
            - “aku pulang kampung”
siapa menanggung beban di ini kehendak?

Tuhanku;
badai ataukah luas lautan
di keperkasaan jari nahkoda
yang memutar ujung haluan?

Catatan dalam buku harianku
seperti aksara-aksara bernoda
mau lagi naik cetakan

Oo, Tuhanku; tolonglah hapuskan!
sebelum masanya ia bersauh
sebelum terbaca di pelabuhan jauh.

Tamban, 3 April 2008


HUTAN WANA RAYA
Hutan Wana Raya: air asam pepohon galam
pakis kelakai lahan-lahan bengkalai
purun tikus harapankah pupus?

ia masih di sana
tangan-tangan yang merana
tegang melambai lambaikan tegang
meski ladang-ladang ditinggal punya
meski jera-jera kecewa dera si punya

maka kaukah
juga melihat tangan-tangan melambai
mendengar jerit-jerit
berderai
bersahutan bersahutan bersahutan
di pinggir hutan di tengah hutan di ujung hutan
pilu iba disimpan simpanan hutan
membibir iba membagi pesan
seperti jerit-jerit iba seperti lambaian-lambaian iba

karena:
derita hutan sudah mengiba-iba
!

Tamban, Februari 2008


AMSAL SEBATANG POHON

Tumbuh seperti di negeri tukang;
kita mabuk darat
menderita pencernaan

Sedang di atas dahan kicau burung
mengajarkan realita mimpi
dan khayalan menu makanan

Banyak buah halal-haram
diracik dibagikan
tutur ketuhanan telah ranum
masak berjatuhan

Di pucuk pohon;
segelintir pemanjat
berkata: - ya, ya!
tak hirau lapar dan sekarat

Aku ke sana akhirnya
tak tiru-tiru orang tuhan
masalahku menjadi bagaimana
            - seperti tuhan!

Tamban, 6 Oktober 2008


KOMPROMI
            buat ARA

Bisa jugakah aku menulis;
            - prolog kebenaran kata?

Padahal kita saling  berjabat tangan
jari kelingking saling terkait
dalam kejujuran yang sakit
Kita, kita, kita...

Tahu kau bagian kita;
            - “Persetujuan mengangguk bersama”
Itu label pakaian halal
dalam mode dunia yang tolol

Kita pasar: transaksi kira-kira
menimbun-nimbun kemunafikan
lobang dunia penuh arwah kebenaran

Kita hidup paling ikhlas dikuburkan
diri rela jadi korban
Kita, kita, kita...
Begitu, bukan?

Tamban, 9 Oktober 2008


RANAH KEFAKIRAN
            buat Hudan Nur

Kefakirankah;
yang berulangkali meredam airmata
lapar dan sengsara derita anak manusia?

Dari ranah kefakiran
sudah merentak kaki tua
di terik matahari kota
keringat panas berkilometer memburu berita;
            - tentang seorang anak angkat
              apa ia masih selamat?
tulang pahanya terkabar patah tiga
rusuk patah menusuk paru
Mau aku bertukar nyawa
ketika dua roda truk menggilas dia

Roh kefakiran mencari ruang-ruang pasien
memasuki Unit Gawat Darurat
            - apa ia masih selamat
               terbebas dari derita yang menyayat?

Sayap doa-doa meluruh
menajam dalam kefakiran
dalam diam, dalam desah...
sendiri dari desa kaki merambah
lelaki setengah jompo telah merelung stupa dunia
berjumpa kefakiran hakikat manusia

            - Maka atas nama kefakiran, anakku;
               hela derita takdir demi Tuhanmu!

Kefakiranku: perhelatan takdir di jalan nasib
seperti helai-helai kain kafan Tuhan;
            ... berjuntai di pundak kehidupan.

Tamban, 29 April 2008


MATA

Edarkan bola matamu
liar menyalak fajar
dua lensa suci bersinar

Sapukan di simpul-simpul indah
di sana Tuhan sekuntum hari
sapukan di alur-alur indah
di sana Tuhan mekar sembilan pelangi

Bola suci kau pijar berbinar
melebur sifat indah-Nya
membakar alur dengan simpulnya

Menyalak bola mata nan indah
menginyam mata penyembah
pemburu belantara sifat
pandang kau makrifat

Tamban, 8 Februari 2008


DIRI

Akulah
pena bertinta merah
menulis diri
menulis pena
menulis tinta
menulis merah

pena merah menulis tanda-tanda
merah
milik Tuhannya

Akulah diri
pena membibir basah
menulis zikir
Allah
Allah
Allah
Allah

Tamban, 8 Februari 2008

KITA AKAN TIDUR
                        buat Arsyad Indradi

Kita akan tidur;
selesai karpet di kepala
cium di simpuh tapak kakinya

Kita akan tidur
membenam ikan di perut laut
hasrat kusutnya dilipat rajut

Kita akan tidur;
di saat kapan waktu
selesai urusan tunggu

Kita akan tidur
antara tukang duduk berdiri
palu merapatkan tutup peti

Kita akan tidur, sahabatku
Akan lama sekali...

Tamban, 23 Oktober 2008


DAERAH JAUH

Aku telah terbangun;
di daerah tak perlu lagi bertanya
kepada Tuhan. Daerah jauh...
daerah telah lama manusia lupakan
semenjak Habil oleh Kabil menjadi korban

Alam ini keasingan semata, tak sementara
hingga duniamu seperti sekeping yang tiris
takkan kaki menghentak seringan kapas
suara selepas bebas
sebelum tersekat saringan rongga napas

Begitu alam enggan bersahabat
apa yang bisa kau dapat?
sanubari belum susut
kaca ruang hatimu bayang-bayang belum
merenggang
Kau padanya begitu merasa amat teduh
tanpa terganggu keluh dan aduh

Tamban, Juni 1980 (2008)


KEMBANG GELAP-TERANG

Malam ia turun; bagai kuntum hitam
membungkus kelam
bersit putih; putik dalam kelopak
dilindung masih, masih putih ombak

kerlip yang mengaca kerdip terbaca
kita tiba di batas hilang tanya
jalan ke depan: bius suka-duka
memintas, berabad tidur-jaga terlepas

Kembang malam kembang siang
bersilih-silih tumbuh gelap tumbuh
terang. Luka selalu kita sandang

Abad-abad silam abad datang
tak memungutkah i’tibar sama
lambat memetik makna bersahaja
menyematkan kembang: terang dada-dunia

Tamban, Juni 1980 (2008)


LAUT ITU PANTAI KITA

Laut itu pantai kita;
ombak demi ombak memukul kita
merapatkan rintih binti kita
mengeraskan renyai hari kita
menggerimiskan hidup napas kita

Pantai-pantai bernyanyi
Kau dengarlah kata bertuah
berhamburan seperti awan
kau dengarlah kata derita: berguguran
kau ingatkah kata rahasia masih tersimpan?

Tamban, April 1981 (2008)


JEMBATAN ASAP

Pohon-pohon tahun ini berkhotbah asap
dan tongkat api. Semacam perahu mendayung fatwa
dan bahan diskusi

Gemuruh suara cuaca berloncatan;
fenome alam, angin dan musim
bukit-bukit terkoyak, ozon tercabik
teriakan hutan-hutan yang diobrak-abrik
Jari lingkungankah berselingkuh dalam lipatan?

Tapi pastikanlah; itu takkan lama
kemarau kembali berlalu
dan anak negeri segera lupa Tuhan pegang batunya
sebelum dilempar-Nya muka manusia

Betapa sayang...
orang melupa secarik luka
tanpa kesanggupan melihat tanda-tanda
bahkan isyarat kabut memekat jiwa

Oo, betapa sayang...

Tamban, November 1997 (2008)


PERASAAN

Aku hampir menyelesaikannya
Di dapur abu telah dingin
seperti kata-kata sedang basi
sudah harus dilipat
waktu bukan lagi baginya
Selesailah di peredaran!

Azan maghrib berkumandang lagi
di teras kembang mangsa bergoyang
malam nantikah pertemuan itu
di rangkai dalam janji. Mungkin
sambil kupikir sesuatu yang hilang
jawaban bagi yang tanpa arti

Aku hampir menyelesaikannya
di perantauan musim kali ini
di akhir tidur sore-sore
dingin dalam genggaman
entah apa nanti;
            - rasa ujung kematian?

Tamban, Juni 2006 (2008)


SAHABAT

Tuhan Maha Tahu;
aku miskin ilmu!
sejujurnya begitu

Milikku cuma pendapat
tapi nakal
dan amat gatal

Bagai pemadat
Itulah aku!
menabur asap dan abu

Tuhanku;
bila Dikau berkenan
berilah aku sahabat
yang mengenalkan aku
kepada diriku

Tamban, 9 Oktober 2008


KEMAUAN SEORANG SUFI

Percuma! Senandung meningkah
desau angin tiba setiap saat
menerpa muka hanyutkan suara
sedang gelisahmu belum terlibat
belum menyirat

Kata-kata sandi berloncatan
Pikiran ganda luput ditapis saringan
lepas hitungan
tak masuk ruang renungan

Anak-anak memilih; atau acuhlah!
aku sudah kembali ke batin sendiri
diam-diam qalam sanubari
diami kata hati sendiri

Di hadapan Rabbi mungkin aku bicara nanti
ketika manusia diam aku menyanyi

Tamban, 13 Mei 1981 (2008)


PERKAWINAN AIRMATA

Apa guna arti keluarga
bila darah jadi airmata

Apa guna arti sekolah
bila airmata guru membasah lidah

Apa guna arti sebuah negeri
bila pil ekstasi menelan generasi

Apa guna arti sebuah bangsa
bila cuma rakyat bersimbah airmata

Kita makin banyak airmata
airmata tak makin jernih
airmata jernih makin tak
menyedih
Kita!

Tamban, Maret 2008


STEMPEL
Rendahkan suaramu;
setara dingin angin reda
wahai yang akan pulang
pejalan redup kunang-kunang.

Rendahkan suaramu; wahai
pengukir cincin dengan tangisan
yang menulis kata-kata rawan:
            - Aku pulang...

Senja-senja susut menghilang
batu-membatu bagai tapak Ibrahim
dipahatnya isyarat kalbu
kerabat dan keluargamu

Dan pada waktu ketetapannya
malam bagai didera sabda
Suara yaasin dan doa
bersanding sayap-sayap cahaya
keluar rumah-jasadnya

Tamban, 2 April 2008


SUARA GUDANG TUA

I
Dalam gudang tua ini;
suara-suara kumbang menggerek liang
kaukah tercengang
pada suara-suara sumbang terbuang?

II
Dalam gudang tua ini;
merentak suara tukang
            - bikin peti mati
kaukah mengamati tiap bunyi
               palu dan gergaji
mengiringi beduk bertalu senja hari?

III
Dan dalam planet bumi ini;
kaukah seperti aku ingin sebuah negeri
tanpa gudang-gudang tua berdiri
suara hanya lantun bidadari
berayun bagai dalam mimpi?

Tamban, 8 Februari 2008


LIANG SENJA
            “Burung elang menyerahkan paruh di jalan awan
                dalam kepastian langit akrab berkawan. Mengepak
                sayap-sayap kehidupan”

Seperti curah hujan membidik
dahan-dahan Tuhan:
mengantar senja ke akhir lipatan;
            merisik mimpi arsip lemari
            kejut nyeri berpohon duri

60 tahun tak lapang jalan pulang
alpa memintal tanah asal
tak salah tangan bidan di tangkai pusat
bila renta nadi darah muncrat

Di dalam dudus Sungai Amandit
yang selalu hangat: “jangan khianat,
jangan kau cacat!”
Berangkatlah perambah ke lain daerah

bantaran pasang surut merebut jasad;
roh berkelindan jiwa dan semangat
tangis tak rentas sedu sedan siapa
tanpa harap turun ke liang lahat

Jantungku; merunci relief tugu Mandapai
detaknya berkabar gagal yang tergapai

Meski darah Amandit mengalir di tubuh
cercah cita tak semudah rakit dilabuh

Bila Bamban tiada jauh dari Bangkau
nasib tak bermandi bulan di ranah rantau

Pemandian bangkui di Sungai Duak
melanting derita tua sejak kanak-kanak

Adalah senja melabuh suram Kandangan Hulu
mengirim aduh: cinta muda terlunta masa dahulu

Mendekap lintasan jalan Garis ke Ta’al
mengakrab tangisan sesal bertahan kekal

Sayap-sayap nasib memutar tarian diri
abadi bagai larik irama puisi
adalah Kandangan kota manis sekali

Tapi bayangan Tabihi ke Kalinduku
pahit madu rasa merindu-rindu

Kandangan, Hotel Bangkau, Aruh Sastra Kalsel I 2004 (revisi di Tamban, 2008)


MALAM MIKRAJ

Bulan Rajab tahun 11 Hijriah
malam itu ia pemilik waktu
jam alam dentang jejagat

Tanah Hijaz dan Masyriq
ke telapaknya bintik
al Haram ke Aqsa cuma detik
semesta sudah jenuh
waktu tak berwaktu
di sana pun di sini

Bulan merayap tanah
pada jejak kaki kafilah
unta-unta yang lelah
menghitung kilat anak panah
bumi langit susut ke titik nun
sebab kakinya kap dan nun

Dialah puncak alif
malam itu ke asal titik
Qiff, ya Muhammad
a lana rabbika yushalla!
(diamlah di situ, ya Muhammad
Aku Tuhanmu memujimu)

Jejagat kuning sesaat
gerak energi lumpuh terhenti
sepi bagai salju beku
malam memucat syahdu
gemintang hilang rotasi
meredup makhluk cahaya
mereka bertanya-tanya;
            Siapa dapat anugerah
            agung begitu megah
            sanjung mulia di sisi Allah?

Wahai Muhammad, wahai Kekasih
Kau barzah
pintu menuju Allah
Kau maujud kau pula hakikat
jalan kebenaran dan Kebenaran itu
jalan anugerah dan Anugerah itu
rahasia ketuhanan pada dirimu

Ya, Ahmad; bi-la mim
Ya, Muhammad; Juru Selamat
tebarkan rahmat dan syafaat
kepada umatmu tiap saat
Amin.

Tamban, 7 Agustus 2006 (2008)


LANGIT

Bumi-langit sepasang bibir
Senyum padamu

Rayakanlah
duka kami sudah dikubur sejarah

Kau
orang bahagia
tak bisa luka-luka
pikiran kau perasaan kau
Kau orang bahagia!
Kau tak bisa
luka-luka kau tak bisa-bisa luka
bisa pun tak luka luka pun tak bisa
Kau orang kebal
Orang kebal

Ooi, kau
orang kebal sedikit bebal
Tolol!

Tamban, 8 Februari 2008


PETIR TERBUANG

Di mata bor waktu ia bersimpuh
memutari dahan bebayangan
sesekali ke kelopak mawar
sebelum menggilir kebun melati

Di awan timur ia bertengger
mengambang tidur sore-sore
lelap sekali

Jangan tanya mimpinya;
tawar menawar dengan Tuhannya
ia pengidap luka nyeri
pisau pembedah hakikat diri

Seperti petir terbuang yang bertasbih
ke mana lagi ia berlari
ke dalam diri
ke jauh tapi dekat sekali?

Tamban, Januari 2006 (2008)


Tentang Penyair
IBRAMSYAH AMANDIT bin H. Lawier dilahirkan di Desa Tabihi Kanan, Kelurahan Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, 9 Agustus 1943. Di usia tujuh tahun (1950), ayahnya (anggota Polisi Tentara di kesatuan Markas ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan) memboyong keluarganya bermukim di bantaran sebelah barat Sungai Barito, Tamban. Di situ, ayahnya diangkat sebagai Wakil Komandan Peleton CTN.
Menempuh pendidikan (1949-1950) di Sekolah Rakyat (SR) Desa Tabihi Kiri (Gadung) dan di Karang Jawa (1 tahun), lalu ke SR 6 tahun di Tamban (lulus 1957); dilanjutkan ke Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) di Jalan Masjid Jami, Banjarmasin (lulus 1961), Madrasah Menengah Tinggi (MMT) -- depan Masjid Agung -- Yogyakarta (lulus 1965) dan FKIS, Jurusan Ilmu Administrasi, IKIP Negeri Yogyakarta, sampai tingkat sarjana muda (1971).
Menulis puisi sejak 1970, sepulang dari kunjungan ke Wonosari, Gunung Kidul, saat musim paceklik menimbulkan kelaparan di kalangan penduduk; hingga ada yang sempat menjual piring dan daun pintu agar dapat membeli gaplek. Hasilnya, Sebuah Doa di Musim Hujan, puisi yang terbit di rubrik Insani, koran Mercusuar, asuhan Emha Ainun Nadjib.
Sejak itu, ia bergabung dan lesehan mendengarkan pembacaan puisi oleh penulis-penulis Insani dan para penyair Persada Studi Klub pimpinan Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi. Di tahun itulah Abdul Hadi WM (tetangga dekatnya, yang tinggal di Jalan SKIP, Blimbing Sari) memberinya kumpulan puisi -- mungkin antologi pertamanya, stensilan  -- yang memberinya inspirasi.
Kembali ke Kalimantan Selatan (1972), ia terus menulis dan ikut serta membacakan puisi di acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin,  asuhan Hijaz Yamani. Tiap tahun menghadiri Aruh Sastra Kalimantan Selatan, sejak di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2004), Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (2005), Kotabaru, Kabupaten Kotabaru (2006), Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (2007) dan di Paringin, Kabupaten Balangan (2008).
Puisinya dipublikasikan harian Mercusuar (Yogyakarta), Mingguan Sampe (Samarinda), Dinamika Berita, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Juga,  diterbitkan dalam antologi puisi bersama penyair Kabupaten Batola, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kalimantan Selatan: Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998), Sajak-Sajak Bumi Selidah (2005), Cinta Rakyat (2007), La Ventre de Kandangan (2004), Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008).
Tahun 1976-1977 ia sempat bekerja di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda sebelum, kemudian (1978), kembali ke Kalimantan Selatan, karena putra kembarnya mengidap paru-paru basah. Sebelum di Samarinda (1973-1975), ia bekerja di PT Mequip Internasional, Bechtel Inc. dan PT Sumber Manggis, Balikpapan.
Meskipun menerima SK sebagai PNS guru di SMEA Negeri 1 Banjarmasin (1978), ia memilih bekerja di PT Kawi, Jelapat, kemudian di PT Kalteng Plywood, di Kecamatan Tamban.
Menerima penghargaan sebagai seniman sastra dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan (1990), 10 Terbaik Lomba Mengarang Puisi Bahasa Banjar oleh Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan Selatan (1994), penghargaan Bupati Batola sebagai seniman sastra (2006) dan sebagai pemerhati sastra (2009).
Ketika menyimak ajaran tasawuf (1983-1992), ia vakum menulis. Itu adalah masa pengembaraan spiritualnya. Jejak langkah pengembaraan itu tampak dalam sejumlah sajaknya. Oleh karena itu, buku ini (seiring doa agar martabat dan kemuliaan senantiasa dilimpahkan Allah kepada mereka) dipersembahkannya pula kepada guru-gurunya: KH Gusti Abdussamad, KH Ramli Tatah Daun, KH Ahmad Arsyad, mertuanya KH Marzuki, KH Muhammad Nur Tangkisung, KH Sam’ani, Guru H. Basman Tinggiran, KH Abdul Mu’in (yang mem-baiat-nya dalam tarikat Akhirul Zaman) dan KH Muhammad Zaini Ghani (yang mem-baiat-nya dalam tarikat Syamaniah).
Doa dan persembahan yang sama juga disampaikannya kepada Dr. Mohammed A. Syafiq, advisor to President of Rabithah Alam Islami (asal Afghanistan), yang menurunkan Islam dari “sisi dalam”, melalui wirid-wirid di Masjidil al Haram, Makkah, di bulan Ramadhan (1984).
Sehari-hari ia bekerja sebagai petani, perawat, pecinta dan pemelihara bonsai. Di Perhimpunan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) Kota Banjarmasin, ia menjadi Wakil Ketua. Alamatnya: Desa Sidorejo Kilometer 7 RT V Nomor 129, Kecamatan Tamban, Kabupaten Barito Kuala.


Epilog
4 KAKI DI BAWAH TANAH

Burhanuddin Soebely

Setetes darah-batin akan menjelmakan batu menjadi hati
Dari darah-batinlah muncul suara, nyala, kegembiraan, dan melodi
(Iqbal)
                                                            /1/                        

Kawasan Karang Jawa, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dikenal sebagai desa budaya. Di situ, semua bentuk kesenian tradisional Kalimantan Selatan, hidup dan berkembang. Bahkan, menurut tua-tua, Mamanda Tubau—salah satu bentuk teater tradisi Kalimantan Selatan—lahir di kawasan yang pernah menjadi markas Komando Militer Daerah Tengah ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan itu. Dalam perjalanan sang waktu, Karang Jawa tidak cuma melahirkan pamandaan, dadalang, panupingan, panggandutan, pamantingan, pawayang-gungan, palamutan, pamadihinan, panggipangan, tapi juga para sastrawan, termasuk di antaranya penyair—yang dijuluki kawan-kawan sebagai Janggut Naga--ini.
Ibramsyah, tersebut ia empunya nama. Terlahir tanggal 9 Agustus 1943, di Desa Tabihi Kanan, Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di usia tujuh tahun, tahun 1950, Ibram dibawa ke bantaran sebelah barat Sungai Barito, Tamban. Tahun 1970, di Yogya, saat memublikasikan puisi pertamanya, Sebuah Doa di Musim Hujan, di rubrik Insani koran Mercu Suar Yogya, ia menambahkan nama Amandit di belakang namanya.
Barangkali Ibram tak ingin jadi seorang Radin Pangantin—si Malin Kundang versi Kalimantan Selatan—sehingga merasa perlu menancapkan sebuah penanda dari akar tunjang keberadaannya, yakni Amandit, nama sungai wadah ia barangkat gadang. Barangkali dengan menambahkan Amandit di belakang namanya sehingga menjadi Ibramsyah Amandit, ia mempermaklumkan jelujuran darah “urang dalam kandang” alias urang Kandangan yang di kurun nun menyatakan perlawanan terhadap hegemoni Lambung Mangkurat dan Negara Dipa.
Permakluman itu di samping menautkan dirinya dengan ranah leluhur juga sebagai sengat agar di manapun berada jangan manyupanakan banua.

            Di dalam dudus Sungai Amandit
            yang selalu hangat: “jangan khianat,
            jangan kau cacat!”
            Berangkatlah perambah ke lain daerah
(Liang Senja)

Ternyata jejak kakinya tidak cuma terpaku di Tamban. Ia tapaki sekian kota, sekian tempat, sekian wilayah. Di sajak Liang Senja itu ia menulis: “Burung elang menyerahkan paruh di jalan awan/ dalam kepastian langit akrab berkawan/ Mengepak/sayap-sayap kehidupan.” Personifikasi sebagai elang itu menggambarkan pengembaraan ke berbagai wilayah, baik itu wilayah dalam arti tempat dan tempatan, maupun wilayah dalam makna hidup dan kehidupan. Pada sisi lain, dalam dimensi kepenyairan, elang bukanlah makhluk aneh yang tak terkenali, sehingga teks tentang elang yang hidup dalam diri penyair adalah juga teks yang hidup dalam dunia pembaca. Dengan kata lain, kerja kepenyairan Ibramsyah Amandit senantiasa berupaya untuk menemui dan berkomunikasi dengan kebijakan pembaca dari tradisi yang tidak asing di sekitar teks itu sendiri.
Dengan latar kehidupan sehari-hari, Ibram mencoba menghayati posisinya sebagai orang desa.

Di sini airmata duka sia-sia
risau hanyalah cerita kota
yang garis pemisah cinta pun ada
bukan di sini
bukan bagimu, adikku!

Keheningan dusun-dusun tiada tara
adalah gema langit tanpa rebutan kata
benturan suara ganda
(Alam Dusun)
Dia menikmati kehidupan pedesaan itu dan menemukan kedamaian

Rumahku; rumah yang kudambakan
berhembus semilir angin di dalamnya
senyum berbunga semi sepanjang waktu
dengan mesranya menghantar bau mawar
di gerbang kelambu...
(Rumahku)

Tak banyak sajaknya yang bersuasana atau bicara tentang kota dan gergasi yang linjang-linjang di situ. Kalau toh ada juga maka itu lebih dalam tataran nostalgia atau kesan sepintas, seperti potret buram yang muncul tiba-tiba ke permukaan, atau bagai potret warna-warni yang direkam dengan kamera polaroid. Kendati demikian tidak berarti bahwa suasana dan kehidupan pedesaan sunyi dari permasalahan, sebagaimana tidak berarti pula bahwa pandangan orang desa tak mampu menjangkau gejolak universal.
Ibram, misalnya, menangkap kehidupan mekanistis dari para pekerja pada perusahaan perkayuan dalam sajak Jelapat; sisi lain kematian Kusni Kasdut di depan regu tembak dalam sajak Makam Kusni Kasdut; bahkan ceceran darah dan cucuran air mata dalam sajak Bosnia; hingga ihwal pergantian Presiden Amerika Serikat serta perspektif politiknya dalam sajak Panen. Ibram juga terusik oleh persoalan-persoalan keagamaan beserta berbagai pelaksanaan ritual yang berlangsung di masyarakat. Ia merasa perlu menggugat keberadaan dan fungsi ulama dalam sajak Ulama. Ia juga menggugat Syekh Abdul Qadir Jailani, mistikus besar Irak (wafat 1166), pendiri aliran Qadiriyah: Keganjilan Tuan dipuji, karamat Tuan dikaji/Namun ikhlasmu, takwamu, kuat ibadahmu/adakah mereka ambil peduli?//Duhai, Waliullah, duhai orang suci; maafkan/dari Tuan penduduk menelan perkara mokal/dari Tuan isi kampung belajar membunuh akal//Tuan yang suci, sedihku di sini;/manakala kerabatku asyik bertakhayul/dan khurafat. Akal terkubur tanpa kenal/perkara sehat//Tuan yang suci;/dukaku di sini (Mengimbau Wali Syekh Abdul Kadir Jailani).
Gugatan terhadap praktek keagamaan semacam itu bukan hal baru. Kita boleh ingat Iqbal saat bicara tentang situasi Islam di India pada masanya: saya yakin, jika Nabi berkenan muncul sekali lagi dan mengajarkan Islam di negeri ini, maka penduduk negeri ini tidak akan mampu memahami kebenaran Islam disebabkan kondisi dan kebiasaan yang ada. Jika Iqbal kemudian memaklumkan keyakinannya yang tak tergoyahkan bahwa

            bagi kita, Mustafa sudah cukup

maka Ibram pun memaklumkan hal senada

Meski aku tidak ulama/mau juga mewaris Nabi//Minum sari susu agama/yang diperah Muhammad sendiri/dari Tuhannya (Hasrat).

Keimanan dalam Islam pada hakikatnya memang bersandar pada dua persaksian itu: bahwa Allah itu Maha Esa, dan bahwa Muhammad adalah penerima wahyu dan utusan terakhir-Nya yang mengemban tugas membimbing manusia menuju jalan yang benar. Kata-kata “Tiada Tuhan melainkan Allah” adalah Kebenaran, sedangkan kata-kata “Muhammad adalah utusan Allah” adalah Hukum. Barangsiapa mengingkari Kebenaran adalah kafir, dan barangsiapa menolak Hukum adalah penyeleweng. Dengan demikian persaksian itu merupakan permulaan “jalan” bagi hamba untuk sampai ke hadirat Tuhan, merupakan titik berangkat badai gurun dalam darah yang

            Keinginannya mendobrak benteng syahadat
bukan sekedar milik keyakinan

Ia ingin lebih
ia ingin luluh
lebur dalam unsur
punah dalam La ilaha illa Allah
Muhammad Rasul Allah
                                    (Maklumat)

Kita boleh saja mengembalikan keinginan itu kepada personifikasi elang yang dimunculkan Ibram. Metafor elang atau rajawali dalam profetologi Rumi merupakan simbol terbaik bagi “hamba Allah” yang membubung mengatasi makhluk yang terikat pada bumi dalam perjalanannya kepada Yang Tercinta.

/2/
                       
Banyak sajak-sajak indah dan menggetarkan dalam antologi Badai Gurun Dalam Darah ini. Bagiku, sajak yang paling menggetarkan adalah sejumlah sajak yang bertutur ihwal 4 kaki di bawah tanah, sejumlah sajak yang berkaitan dengan kematian.
 Istilah 4 kaki di bawah tanah dimunculkan Ibram pada sajak Kotabaru. Melihat titimangsa (Tamban, Februari 2006) sajak ini agaknya ditulis saat Ibram membayangkan kunjungannya ke Kotabaru untuk mengikuti forum Aruh Sastra III Kalimantan Selatan yang dilaksanakan tanggal 5 s.d. 7 Mei 2006. 

Masihkah jejak-jejak kaki sahabat
dulu yang membagi gurau dan tawa
habis makan ikan sotong dan daging kepiting
selagi hati lentur saling tali temali

Ah, mengapa risau?
padahal tahun depan belum tentu kembali ziarah
jasadku mungkin sudah terbaring di pasang surut
                                                                        4 kaki di bawah tanah

Di sajak ini persoalan kematian menyeruak dengan begitu saja di tengah lanskap alam Kotabaru, kehidupan nelayan, dan kehangatan perjumpaan dengan para sahabat. Barangkali keserta-mertaan ingatan tentang maut tersebut dilandasi oleh kesadaran bahwa kematian cumalah soal waktu, cuma soal penantian giliran. Dengan menggunakan simbol kijang di hutan perburuan, Ibram mengingatkan agar orang harus selalu melakukan penyucian hidup sehingga siap menghadap Tuhan setiap saat
           
Ia lagi bersilih pakaian
 putih bagai janggut naga
 sedang ia tunggu
 –ditembak Tuhannya!
                                                            (Sasaran)

Kesadaran yang sama direfleksikan Ibram beberapa waktu kemudian, kali ini dengan menggunakan simbol sang pengayuh perahu

            Aduh; payah juga perahu dikayuh
 sebelum terlihat di pelabuhan
 sebelum tiba-tiba diikatkan
 di poros cinta-Nya
 (Bagai Perahu)

Kita ingat pada bab terakhir Ihya Ulum-ud-din, Ghazali menggambarkan maut dalam segi yang mengerikan dan menyenangkan. Mengerikan, karena maut membawa manusia ke pengadilan tak terbantah yang barangkali akan menjeratnya dengan hukuman sepanjang masa. Menyenangkan, karena maut membawa pencinta ke hadapan Kekasihnya, memenuhi dambaannya sehingga menemukan kedamaian abadi. Ihwal maut dan pencinta itu dituturkan Ghazali lebih jauh melalui dialog Ibrahim dengan malaikat maut.
“Pernahkan engkau melihat seorang kekasih yang membunuh pencintanya?” tanya Ibrahim pada Izrail.
Tuhan kemudian mewahyukan: “Pernahkah engkau melihat seorang pencinta yang menahan diri dari kehadiran di hadapan sang kekasih?”
Mendengar itu Ibrahim segera berkata pada Izrail: “Sekarang ambillah nyawaku!”
Perumpamaan kematian sebagai ranjang pengantin merupakan ekspresi yang menjadi umum dalam Islam. Kematian adalah saat yang membahagiakan karena akan membawa sahabat menuju Sahabatnya, ujar Yahya ibn Mu’adh ar-Razi.  Atau seperti kata Hallaj ketika melangkah menuju tiang gantungan: “Bunuhlah aku, wahai sahabatku, karena keterbunuhanku adalah kehidupanku.” Kematian pun menjadi jembatan yang mengantarkan untuk melihat Tuhan, pertemuan dengan Tuhan tanpa tabir apapun, tanpa makhluk apapun di antaranya.
Tapi kematian adalah ihwal di luar “bagaimana” dan “mengapa”. Tak ada seorang pun yang telah mengalami kematian dapat menceritakan ihwal “bagaimana” dan “mengapa” yang telah dialaminya. Orang cuma bisa membayangkannya dengan menggunakan referensi kemanusiaan—yang sesungguhnya juga sangat terbatas.

            Pelabuhan, pelabuhan;
apa yang bisa kau pahami
padahal engkau tidak mengalami
                                                (Pelabuhan)

Ketakpahaman barangkali merupakan pengukuhan fantasi terhadap yang tak terungkap dan tak terjelaskan namun yang kehadirannya adalah keniscayaan.

Engkau bertanya pula:
“ke mana kita melayang”
meskikah kujawab seseorang
berbaring miring atau pun ia tiarap
 sementara aku meraba ihwal yang gelap
 cemas-cemas berbaur harap?
(Saat)

Dalam sebuah surat di tahun 1934, Iqbal menulis: aku telah memahami kata mati, barzakh, kebangkitan, dan lain-lain, sebagai sebuah istilah biologis yang realitasnya tak bisa dipahami kecuali oleh mistikus yang terhormat yang telah menulis sesuai dengan pembukaan rahasia bagi mereka.
Di tahun 2008, Ibram menulis

I
Dalam gudang tua ini;
suara-suara kumbang menggerek liang
kaukah tercengang
pada suara-suara sumbang terbuang?

II
Dalam gudang tua ini;
merentak suara tukang
                                    - bikin peti mati
kaukah mengamati tiap bunyi
               palu dan gergaji
mengiringi beduk bertalu senja hari?
III
Dan dalam planet bumi ini;
kaukah seperti aku ingin sebuah negeri
tanpa gudang-gudang tua berdiri
suara hanya lantun bidadari
berayun bagai dalam mimpi?
(Suara Gudang Tua)

Maka kita pun mendapatkan sebuah makna yang menggetarkan. Makna bukan sekadar pesan yang memerlukan pemahaman agar mencapai tujuan, tapi juga memerlukan penghayatan. Bacalah dalam tempo lambat, dan rasakan getarannya

Rendahkan suaramu;
setara dingin angin reda
wahai yang akan pulang
pejalan redup kunang-kunang

Rendahkan suaramu; wahai
pengukir cincin dengan tangisan
yang menulis kata-kata rawan:
                                    - Aku pulang...
                                                            (Stempel)

Kita mendapati suasana khidmat ketika detik berada di ambang ketiadaan, ketika manusia dan kematian bersintuhan demikian intim, tak saling menggugat. Keintiman semacam itu dapat membuat goresan panjang di pikiran dan torehan dalam di perasaan. Kita pun akan gampang mengingat sebuah riwayat dari Ibnu Umar. Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Saw: “Siapa orang yang cerdas dan mulia di antara sekian orang-orang?” Rasulullah menjawab: “Mereka yang sering mengingat mati dan paling kokoh bersiap diri menghadapinya. Merekalah orang yang cerdas, mereka bisa pergi membawa keagungan dunia dan kemuliaan akhirat.”

            Aku hampir menyelesaikannya
 di perantauan musim kali ini
 di akhir tidur sore-sore
 dingin dalam genggaman
 entah apa nanti;
 -rasa ujung kematian
(Perasaan)

Rasa ujung kematian? Pertama kali yang mengajak bicara anak-cucu Adam adalah liang kuburnya, ujar seorang sufi. Kuburan itu berkata: “Aku adalah rumah ulat, rumah pengasingan, dan rumah kegelapan. Lalu apa yang kau sediakan untukku?”
            Dikirimnya dingin
 ke tubuh-tubuh
 dan pori daging
seranggaku merasakannya

Merasakannya...
(Setelah Daun Rebah)

Hei, adakah kamu juga merasakannya? Merasakan jelujuran dingin dari pasang surut 4 kaki di bawah tanah itu?

bantaran amandit, jelang luruh 2008


EKSOTISME KERINDUAN SPIRITUAL IBRAMSYAH AMANDIT

Micky Hidayat

            Puisi, dari rahim apapun ia lahir – dari hasil kontemplasi atau konsepsi – satu hal yang tak bisa dimungkiri ialah adanya “suara” dalam batin seorang penyair yang mendorongnya untuk melahirkan sebuah puisi. Suara ini tidak berwujud mutlak dan dapat saja dinamai dengan bermacam-macam nama atau istilah. Ia dapat disebut inspirasi, ide, pemikiran, pengalaman puitik, dan sebagainya. ”Suara” ini baru terwujud setelah menyatu dengan puisi sebagai komposisi. Secara lebih popular dapat dikatakan ide baru dapat ditangkap setelah mewujud pada bentuk baik visual maupun oral. Ketika berhadapan dengan sebuah puisi, sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan penyairnya. Dalam situasi itulah kita melakukan dialog atau berkomunikasi dengan sang penyair. Sebab pada hakikatnya sebuah puisi adalah subyek manusia dan kemanusiaan yang terjelma di dalamnya. Di dalam puisi, penyair mengungkapkan atau mengekspresikan dirinya lengkap dengan pikiran, perasaan, naluri, kehendak, dan latar belakang hidup dan kehidupannya. Dengan demikian, jika kita ingin memperoleh gambaran yang jelas tentang kepribadian seorang penyair, kita tidak dapat mengelak dari karyanya secara keseluruhan. Oleh karenanya pula, pada saat kita berhadapan dengan sejumlah puisi yang terhimpun dalam sebuah buku antologi puisi, sesungguhnya kita hanya menangkap salah satu fase kepenyairan seseorang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan perjalanan kepenyairannya. Di sinilah terkadang dapat dilihat seorang penyair mengeksploitasi kesan-kesan sensitifitasnya seluas mungkin, juga pergulatannya dalam memilih diksi ungkapan dan metafor dalam mencapai nilai komunikatif ke dalam batin para pembaca atau penikmat karya puisinya.
            Sebuah puisi bukanlah sekadar gumam batin yang terisolasi secara personal, namun pada hakikatnya puisi juga adalah sebuah dialog. Minimal puisi itu berupa sebuah imbauan yang bersifat implisit. Dalam konteks ini, pada titik temu antara kesungguhan estetis dan kesungguhan moralitas, keindahan dan kemanfaatan, inilah yang dapat mematahkan mitos atau tudingan bahwa puisi sebagai hasil khayalan atau aktivitas lamunan belaka dari seorang penyair. Pada posisi demikian, karya sastra, dalam konteks ini puisi religius, menjadi bagian penting untuk mendudukkan posisi atau peran puisi dengan kehidupan yang lebih universal.
            Fitrah manusia pada mulanya adalah suci dan bersih dari dosa. Ia bagaikan selembar kertas berwarna putih tanpa setitik pun noda. Namun manusia ternyata telah mengalami beberapa proses perubahan dari kesucian menjadi tidak suci. Ia penuh dengan bermacam-macam godaan duniawi yang bisa menjerumuskan manusia itu sendiri ke kubangan dosa. Maka untuk meluruskan jalan bagi setiap langkah manusia, Tuhan telah menurunkan khalifah ke bumi untuk memimpin manusia ke jalan kebenaran. Nabi dan Rasul telah diutus Tuhan untuk meluruskan langkah manusia yang tidak lurus. Hingga pada tahap selanjutnya, para kyai, mubaligh, ustadz, ulama pun ikut bertugas meluruskan langkah manusia yang salah arah dan mengingatkan manusia untuk senantiasa tidak lupa kepada yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya ini, yaitu Tuhan.
            Penyair pun ternyata mampu menjalankan tugas sebagaimana yang diemban oleh para kyai, ustadz atau ulama walaupun melalui media penyampaian yang berbeda. Penyair menyuarakan kalimat-kalimat Tuhan melalui medium karya sastra (puisi), meskipun karya puisi ini hanya dinikmati oleh kalangan tertentu yang akrab terhadap puisi. Puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair ini dapat digolongkan ke dalam puisi religius yang berbicara tentang keagamaan, nilai-nilai kebenaran yang berkaitan dengan asma Tuhan. Secara langsung atau tidak langsung, sebuah puisi yang diciptakan seorang penyair dengan menuliskan kalimat-kalimat Tuhan ini akan mengingatkan kita terhadap keberadaan Tuhan serta perintah ataupun larangan-Nya yang sering kita abaikan. Mengingatkan pula kepada kita tentang neraka, kiamat, siksa atau azab yang dahsyat mengerikan tentang kerahasiaan dan kekuasaan Tuhan.
            Dengan demikian puisi menjadi religius bila di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Puisi religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.
            Penyair yang mempunyai semangat religius tentu menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran ini – realitas alam dan realitas budaya – hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah alamat (ayat) Tuhan, yang harus dibaca dan dihayati secara intens. Untuk itulah penyair Ibramsyah Amandit dengan semangat religiusnya, walaupun ia menyadari bahwa dirinya tak lebih sekadar manusia yang dhaif, ia mempunyai keinginan meneladani kehidupan dan mewarisi sifat-sifat Nabi Muhammad SAW. Seperti yang diungkapkan penyair dalam puisi pendeknya ini:

            Hasrat

            Meski aku tidak ulama
             mau juga mewaris Nabi

            Minum sari susu agama
             yang diperah Muhammad sendiri
             dari Tuhannya

            Atau pada larik:

            Wahai Muhammad, wahai Kekasih
            Dikau barzah
            pintu menuju Allah
            Kaulah maujud kau pula hakikat
            jalan kebenaran dan Kebenaran itu
            jalan anugerah dan Anugerah itu
            rahasia ketuhanan pada dirimu

            Ya, Ahmad; bi-la mim
            Ya, Muhammad; Juru Selamat
            tebarkan rahmat dan syafaat
            kepada umatmu tiap saat
            Amin.

                                                  (“Malam Mikraj”)

            Atau ekspresi kerinduan spiritual yang dihadirkannya dengan pengucapan-pengucapan yang terasa eksotik dan sufistik berikut: Ya, Tuhan; jika Engkau pergi / benarkah aku sendiri? // Kelopak mawar mekar / aku tetap gentar // Tikungan dua bumi / memberi rasa nyeri // Selagi duduk di terminal / akulah yang kereta tinggal // Berteduh di taman / kursi di hatiku lebih nyaman // di ruang-ruang tunggu / ke bilik-Mu jua aku bertamu // Ke mana pun lariku / di napas-Mu dadaku // apa pun obrolanku / bibir-Mu bercumbu lidahku // Jika aku lelap tertidur / ajaklah mimpiku berlibur // Ya, Tuhan; bila aku mayat / Engkau yang pertama melayat (”Ya, Tuhan”).
            Nampaknya nilai-nilai kearifan, kerinduan, kecintaan, pengabdian, dan kepasrahan penyair begitu mendalam dan sakral kepada Sang Khalik. ”Puisi adalah kearifan dari luka, dari rindu pada Keabadian dan Kebenaran, hikmah dari pergulatan merindu,” kata presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri. Ada kesadaran yang begitu kukuh akan keberadaan Tuhan dengan segalaNya. Berangkat dari kesadaran spiritualnya, akhirnya penyair sampai pada hubungan penyerahan diri sepasrah-pasrahnya. Penyair pun sadar bahwa sebagai seorang pengembara di dunia fana ini dirinya bukanlah apa-apa dan siapa-siapa di hadapanNya. Ia terlalu lemah dan daif. Di sini kita akan melihat bagaimana perasaan intim hubungan vertikal pemujaannya kepada Tuhan itu dimanifestasikan lewat zikir puisinya berikut:

Diri

Akulah
pena bertinta merah
menulis diri
menulis pena
menulis tinta
menulis merah

pena merah menulis tanda-tanda
merah
milik Tuhannya
Akulah diri
pena membibir basah
menulis zikir
Allah
Allah
Allah
Allah

            Atau pada larik:

            Kusimak esensi yang hakiki
            segala sesuatu sesungguhnya
            guna berwaktu-waktu dengan-Nya

            Aduh; payah juga perahu dikayuh
            sebelum terlihat di pelabuhan
            sebelum tiba-tiba diikatkan
            di poros cinta-Nya

                                          (”Bagai Perahu”)

            Menyimak sebagian puisi-puisi Ibramsyah Amandit dalam kumpulan tunggal pertamanya (puisi-puisi yang ditulis sejak tahun 1973-2008) ini, memunculkan kesan  bahwa puisi-puisi religius yang ditulisnya sangat bernas, unik, kuat, dan dahsyat. Dengan imaji lihatan, imaji gerak, terutama, Ibramsyah Amandit mampu ’memerangkap’ kita untuk terpaksa hanyut, tenggelam, dan melebur ke dalam puisi-puisinya. Hal ini bisa terjadi, terutama lantaran pemakaian citra atau imaji yang sudah begitu akrabnya dengan penginderaan kita. Terlebih lagi, penyair sangat terampil dalam memakai dan memilih kata (diksi) serta menjadikan munculnya satu ’kekuatan’ tersendiri pada puisi-puisinya.
            Perihal pemilihan kata untuk puisinya – yang bukan mengada-ada atau dicari-cari – rupanya telah menjadi semacam keharusan atau kesadaran bagi Ibramsyah Amandit, sebagaimana kesadaran seorang penyair Sapardi Djoko Damono yang menganggap bahwa ”kata-kata adalah segala-galanya dalam sajak”. Menurut penyair imajis ini, kata-kata yang berbobot dalam sajak adalah kata-kata yang kecuali tak lagi kaku dan mampu berdiri sendiri-sendiri, juga hampir tepat bisa melahirkan pengalaman puitis seorang penyair.
            Dalam kumpulan puisi Badai Gurun dalam Darah ini, banyak pula saya temukan ekspresi-ekspresi kerinduan spiritual yang dihadirkan penyair dengan pengucapan-pengucapan yang terasa eksotik, kuat dan unik. Keeksotisan, kekuatan dan keunikan puisi-puisi penyair ini tampak di dalam kepiawaiannya memadukan hubungan vertikal dan horisontal, misalnya: Sapukan di simpul-simpul indah / di sana Tuhan sekuntum hari / sapukan di alur-alur indah / di sana Tuhan mekar sembilan pelangi // Bola suci kau pijar berbinar / melebur sifat indah-Nya / membakar alur dengan simpulnya (“Mata”). Simak pula pada larik puisinya ini: Puisi lokus keindahan-Nya / Penyair fokus dari jenisnya / bibir-Nya berucap orang pun bercakap / Kau kuping kaulah pula lidah-Nya / membakar hatimu dengan mawar pijar-Nya / Ia debukan kau belah sejuta // Di mataku: kaulah yang hilang / Wahai gulam di laut siapa kau tenggelam? / Kulihat segala majlla; / Yang Satu pada yang banyak / Yang banyak pada yang Satu / dalam tajalli rupa-rupa (“Sutardji Disambar”).
            Akhirnya penyair berkesimpulan bahwa dirinya sebagai seorang manusia yang dhaif harus kembali kepada hati nurani, senantiasa mendekatkan diri dan bertaqwa kepada Allah SWT; berbuat yang terbaik dalam hidup dan kehidupan, sembahyang, berdoa, dan berdzikir dengan khusyuk untuk mewujudkan kekhalifahan seutuhnya. Untuk itu yang sangat penting bagaimana manusia yang mau berjuang bisa mampu menepis dan membuang rasa takut yang menghantui dan menggelisahkan jalan hidupnya. Sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa, sudah menjadi kewajiban untuk mengenyahkan penyakit yang sangat berbahaya bagi kehidupan, yaitu penyakit terlalu mencintai dunia serta takut akan datangnya kematian. Aku masih yakin, masih yakin; / denyut nadi memilih jantungku / memukul-mukulkan kehidupan / sesaat saat sarat titipan / sesaat sebelum matahari tersimpan / di kuburan... (“Ah, Sesaat Itu”), dan Ah, mengapa risau? / padahal tahun depan belum tentu kembali ziarah / jasadku mungkin sudah terbaring di pasang surut / 4 kaki di bawah tanah (“Kotabaru”).
                   Mencermati puisi-puisi religi Ibramsyah Amandit dalam Badai Gurun dalam Darah ini, telah memberikan kesegaran yang lain bagi batin saya. Kesan yang menarik tidak hanya dalam hal kemampuan penyair menyuguhkan imaji atau pengucapan eksotik yang merangsang daya tanggap, baik secara visual maupun auditif, tetapi terutama dalam kecenderungan tematis (religius) yang muncul sebagai bangunan dunia puitik itu sendiri, sehingga puisi-puisinya mampu menciptakan kesadaran penuh makna dari kehidupan. Kalau saya ditanya dan disuruh memilih mana puisi Ibramsyah Amandit yang paling bagus dalam kumpulan ini, maka saya jawab, ialah puisi-puisi Ibramsyah Amandit yang belum ditulis atau diciptakannya. Dan saya meyakini bahwa Ibramsyah Amandit tidak pernah merasa berpuas diri dan kepenyairannya tidak berhenti pada kumpulan perdananya ini saja. Untuk itu proses kreatifnya tetap diupayakan berjalan terus menuju perenungan dan puncak pendakian.
            Ibramsyah Amandit, teruslah mencipta puisi dengan nurani yang tetap terjaga. Sebab tugas seorang penyair adalah mencipta dengan sekian pilihan yang telah diyakininya. Semoga istiqamah.

Banjarmasin, 25 Desember 2008
Micky Hidayat, penyair dan Ketua III Dewan Pengurus Pusat Komunitas Sastra Indonesia (KSI)

           

                                    MAKLUMAT

                                    Badai gurun dalam darah;
                                    Ia petir terbuang yang bertasbih
                                    bukan mimpi:
                                    Keinginannya mendobrak benteng syahadat
                                    bukan sekedar milik keyakinan

                                    Ia ingin lebih
                                    ingin luluh
                                    lebur dalam unsur
                                    punah dalam La ilaha illa Allah--
                                    Muhammad Rasul Allah

                                    Tamban, 15 April 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar