HIKAYAT SA-IJAAN
DAN IKAN TODAK
Cerita Rakyat Kabupaten Kotabaru
Kalimantan Selatan
M. Sulaiman Najam
M. Syukri Munas
Eko Suryadi WS
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak
Kalimantan Selatan:
Pemerintah Kabupaten Kotabaru
bekerja sama dengan
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru
82 halaman, 14 x 21
cm
ISBN: 979175624-4
Editor: Y.S. Agus Suseno
Desain isi &
cover: Hery S.
Sampul &
ilustrasi: M. Syahriel M. Noor
Cetakan Pertama:
Agustus 2008
Diterbitkan oleh:
Pemerintah Kabupaten Kotabaru
bekerja sama dengan
Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru
Hak Cipta Dilindungi
Undang-Undang
Dilarang memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
Pengantar Penerbit
Pelestarian sastra daerah penting,
sebab merupakan warisan budaya nenek moyang yang tinggi nilainya. Upaya
pelestarian itu bukan hanya akan memperluas wawasan terhadap sastra dan budaya
daerah, tapi juga memperkaya khazanah sastra dan budaya Indonesia. Upaya itu
dapat menjadi dialog antarbudaya antardaerah, salah satu unsur penting dalam
mewujudkan wawasan keindonesiaan.
Cerita rakyat adalah cerita yang
berasal dari, oleh, hidup dan berkembang, di masyarakat. Ada dua jenis cerita
rakyat: berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat berbentuk prosa terdiri dari
mitos, dongeng dan legenda.
Buku ini berisi cerita rakyat dari
daerah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Disajikan dengan bahasa
sederhana, karena memang untuk bacaan anak-anak, remaja, guru dan orangtua.
Buku ini diterbitkan untuk mengisi
ketiadaan bahan pelajaran muatan lokal. Sebelum ini, tidak ada buku cerita
rakyat yang berasal dari daerah Kabupaten Kotabaru. Tidak heran jika guru-guru
di tingkat pendidikan dasar dan menengah di Bumi Sa-ijaan mengalami
kesulitan ketika menyampaikan mata pelajaran muatan lokal. Karena tidak ada
bahan, langkah yang ditempuh para pendidik biasanya adalah dengan menjadikan
cerita rakyat dari daerah lain sebagai bahan ajar. Hal ironis pun terjadi: anak
didik lebih mengenal cerita rakyat dari daerah lain daripada yang berasal dari
daerahnya sendiri.
Sebagai langkah awal, buku ini dapat
menjadi salah satu pilihan bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal. Agar
anak didik kita tidak terasing dari khazanah budaya daerahnya sendiri. Seperti
kata pepatah Melayu lama, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Terima kasih kepada penyusun yang
telah menghimpun cerita rakyat ini, juga berbagai pihak yang tak dapat
disebutkan satu per satu. Secara khusus, juga terima kasih kepada narasumber
utama cerita Hilangnya Kota
Sebelimbingan, Hj. Sumirah.
Sekapur Sirih
Penyusun memanjatkan puji dan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah merampungkan sembilan cerita rakyat
daerah Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Cerita rakyat ini, dengan
beragam versi, pernah hidup, berkembang dan dipelihara masyarakat pendukungnya,
diturunkan dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut. Upaya membukukan cerita rakyat ini
dimaksudkan agar generasi muda mengenali khazanah budaya daerahnya sendiri.
Kotabaru
adalah kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Kalimantan Selatan, terdiri
dari 109 pulau besar-kecil (79 pulau belum berpenghuni). Kalau ditarik garis
melintang, posisinya persis berada di tengah wilayah Nusantara. Dihuni beragam
suku bangsa, dengan sendirinya banyak cerita rakyat, mitos, dongeng dan legenda
yang hidup di masyarakat. Ironisnya, selama ini belum ada yang menggali dan
membukukannya.
Melalui
buku ini, diharapkan warga negara Indonesia lainnya di Nusantara, sekurangnya
di provinsi Kalimantan Selatan, mengenal dan mengetahui cerita rakyat dari Kabupaten Kotabaru. Barangkali ada
beberapa kemiripan dengan cerita rakyat di daerah lain. Hal itu menunjukkan,
dalam kebhinekaan kita, di manapun kita berada, selalu ada benang merah yang
menghubungkannya.
Sudah
barang tentu ada pihak-pihak yang kurang sependapat dengan versi yang kami
susun. Andaikan demikian, dipersilakan bagi pihak lain untuk menggali, menyusun dan memperkaya lagi, sesuai dengan
versinya. Untuk masyarakat, hal itu akan memperbanyak pilihan, menambah pustaka
cerita rakyat Kabupaten Kotabaru, penting diwariskan kepada generasi muda dan
memperkaya khazanah budaya leluhur kita.
Setiap
cerita rakyat berisi pesan-pesan luhur dan ajaran yang dapat dijadikan pedoman
kehidupan. Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan manfaat.
DAFTAR ISI
Pengantar Penerbit
Sekapur Sirih
Daftar Isi
1. Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak
2. Legenda Kerajaan Pulau Halimun
3. Riwayat Gunung Jambangan
4. Mencari Putri Papu Dari Kerajaan Bajau
5. Naga Partala di Goa Temuluang
6. Asal Mula Sumur Manggurak di Desa
Sigam
7. Hilangnya Kota Sebelimbingan
8. Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa
9. Koyaknya Halimun Pulau Laut
Tentang Penyusun
Hikayat Sa-ijaan dan Ikan Todak
Menurut sahibul hikayat, pada zaman dahulu ada
seorang datu yang sakti mandraguna sedang bertapa di tengah laut.
Namanya Datu Mabrur. Ia bertapa di antara Selat Laut dan Selat Makassar.
Siang-malam
ia bersamadi di batu karang, di antara percikan buih, debur ombak, angin,
gelombang dan badai topan. Ia memohon kepada Sang Pencipta agar diberi sebuah
pulau. Pulau itu akan menjadi tempat bermukim bagi anak-cucu dan keturunannya,
kelak.
Di
malam hari, ada kalanya tubuh Datu Mabrur seakan membeku. Cuaca dingin,
angin, hujan, embun dan kabut menyelimuti tubuhnya. Siang hari, terik matahari
membakar tubuhnya yang kurus kering dan hanya dibungkus sehelai kain. Ia tidak
pernah makan, terkecuali meminum air hujan dan embun yang turun.
Di
hari terakhir pertapaannya, ketika laut tenang, seekor ikan besar tiba-tiba
muncul dari permukaan laut dan terbang menyerangnya. Tanpa beringsut dari
tempat duduk maupun membuka mata, Datu Mabrur menepis serangan mendadak
itu.
Ikan
itu terpelanting dan jatuh di karang. Setelah jatuh ke air, ikan itu menyerang
lagi. Demikian berulang-ulang. Di sekeliling karang, ribuan ikan lain
mengepung, memperlihatkan gigi mereka yang panjang dan tajam, seakan prajurit
siap tempur.
Pada
serangannya yang terakhir, ikan itu terpelanting jatuh persis saat Datu
Mabrur membuka matanya.
“Hai, ikan! Apa maksudmu mengganggu samadiku?
Ikan apa kamu?”
“Aku
ikan todak, Raja Ikan Todak yang menguasai perairan ini. Samadimu membuat
lautan bergelora. Kami terusik, dan aku memutuskan untuk menyerangmu. Tapi,
engkau memang sakti, Datu Mabrur. Aku takluk...,” katanya, megap-megap.
Matanya berkedip-kedip menahan sakit. Tubuhnya terjepit di sela-sela karang
tajam.
“Jadi,
itu rakyatmu?” Datu Mabrur menunjuk ribuan ikan yang mengepung karang.
“Ya,
Datu. Tapi, sebelum menyerangmu tadi, kami telah bersepakat. Kalau aku
kalah, kami akan menyerah dan mematuhi apa pun perintahmu.”
Datu
Mabrur mengangguk.
Dipandanginya
ikan-ikan yang berenang di sekeliling karang itu. Gigi, sirip dan sisik mereka
berkilauan saat melompat di permukaan laut. Siang menjelang. Matahari mulai
garang.
Ini
hari terakhir pertapaannya, tapi belum ada tanda-tanda permohonannya akan
terkabul. Pulau yang diimpikannya belum tampak. Sejauh mata memandang, yang
tampak hanya birunya laut, keluasan samudera dan cakrawala.
“Datu,
tolonglah aku. Obati luka-lukaku dan kembalikanlah aku ke laut. Kalau terlalu
lama di darat, aku bisa mati. Atas nama rakyatku, aku berjanji akan mengabdi
padamu, bila engkau menolongku...” Raja Ikan Todak mengiba-iba. Seolah sulit
bernapas, insangnya membuka dan menutup.
“Baiklah,”
Datu Mabrur berdiri. “Sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya, aku akan
menolongmu.”
“Apa
pun permintaanmu, kami akan memenuhinya. Datu ingin istana bawah laut
yang terbuat dari emas dan permata, dilayani ikan duyung dan gurita? Ingin
berkeliling dunia, bersama ikan paus dan lumba-lumba?”
“Tidak.
Aku tak punya keinginan pribadi, tapi untuk masa depan anak-cucuku nanti....”
Lalu, Datu Mabrur menceritakan maksud pertapaannya selama ini.
“Kami
akan memenuhi permintaanmu!”
“Bagaimana
bisa? Bagaimana caranya?”
“Akan
kukerahkan rakyatku, seluruh penghuni lautan dan samudera. Sebelum matahari
terbit esok pagi, impianmu akan terwujud. Aku bersumpah!”
“Wah...
Kamu bersumpah?”
“Ya!
Aku takkan berdusta. Ini sumpah raja!”
Datu
Mabrur tak dapat membayangkan, bagaimana Raja Ikan Todak akan memenuhi
sumpahnya itu. “Baiklah. Tapi kita harus membuat perjanjian: sejak sekarang
kita harus sa-ijaan, seiring sejalan. Seia sekata, sampai ke anak-cucu
kita. Kita harus rakat mufakat, bantu membantu, bahu membahu. Setuju?”
“Setuju,
Datu...,” sahut Raja Ikan Todak yang tergolek, lemah. Ia sangat
membutuhkan air.
Mendengar
jawaban itu, Datu Mabrur tersenyum.
Dengan
hati-hati, dilepaskannya tubuh Raja Ikan Todak dari jepitan karang, lalu
diusapnya lembut.
Ajaib!
Dalam sekejap, darah dan luka di sekujur tubuh Raja Ikan Todak itu mengering!
Kulitnya licin kembali seperti semula, seakan tak pernah luka. Ikan itu
menggerak-gerakkan sirip dan ekornya dengan gembira.
Dengan
lembut dan penuh kasih sayang, Datu Mabrur mengangkat Raja Ikan Todak
itu dan mengembalikannya ke laut. Ribuan ikan yang tadi mengepung karang, kini
berenang mengerumuninya, melompat-lompat bersuka ria.
“Sa-ijaan!” seru Raja Ikan Todak sambil melompat di
permukaan laut.
“Sa-ijaan!”
sahut Datu Mabrur.
Setelah
lompatan ketiga, Raja Ikan Todak, bersama ribuan ikan yang mengiringinya,
menyelam ke dalam lautan.
Sebelum
tengah malam, sebelum batas waktu pertapaannya berakhir, Datu Mabrur
dikejutkan oleh suara gemuruh yang datang dari dasar laut. Gemuruh perlahan, tapi pasti.
Laut
tenang, gelombang tak ada, hanya alunan ombak dan riak-riak kecil saja.
Riak-riak itu kian memanjang ke segenap penjuru. Langit terang benderang oleh
ribuan bintang dan cahaya purnama, hingga Datu Mabrur dapat dengan jelas
menyaksikan peristiwa di depan matanya.
Gemuruh
suara itu terdengar bersamaan dengan timbulnya sebuah daratan, dari dasar laut!
Kian lama, permukaan daratan itu kian tampak. Naik dan terus naik! Lalu,
seluruhnya timbul ke permukaan!
Di
bawah permukaan air, ternyata jutaan ikan dari berbagai jenis mendorong dan
memunculkan daratan baru itu dari dasar laut. Sambil mendorong, mereka serempak
berteriak, “Sa-ijaan! Sa-ijaan! Sa-ijaaan...!”
Datu
Mabrur tercengang di karang pertapaannya. Raja Ikan Todak telah memenuhi
sumpahnya!
Bersamaan
dengan terbitnya matahari pagi, daratan itu telah timbul sepenuhnya. Berupa
sebuah pulau. Lengkap dengan ngarai, lembah, perbukitan dan pegunungan.
Tanahnya tampak subur. Pulau kecil yang makmur.
Datu
Mabrur senang dan gembira. Impiannya tentang pulau yang akan menjadi tempat
tinggal bagi anak-cucu dan keturunannya, telah menjadi kenyataan. Permohonannya
telah dikabulkan. Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Sang Pencipta, ia
menamakannya Pulau Halimun.
Alkisah,
Pulau Halimun kemudian disebut Pulau Laut. Sebab, ia timbul dari dasar laut dan
dikelilingi laut. Sebagai hikmahnya, kata sa-ijaan dan ikan todak
dijadikan slogan dan lambang Pemerintah Kabupaten Kotabaru.
Legenda Kerajaan Pulau Halimun
Raja Pakurindang di Kerajaan Pulau
Halimun memiliki dua putra mahkota yang gagah perkasa dan tampan rupawan. Sang
kakak bernama Sambu Batung, adiknya Sambu Ranjana.
Kakak-beradik itu memiliki sifat
yang amat bertolak belakang, seperti bumi dengan langit. Sambu Batung lincah
dan mudah bergaul, bersifat terbuka dan senang dengan hal-hal baru. Sambu
Ranjana berperangai sebaliknya: pendiam, tertutup, tidak suka bergaul, tidak
suka keramaian dan apa adanya.
Di bawah kepemimpinan Raja
Pakurindang, rakyat Kerajaan Pulau Halimun hidup rukun, makmur, aman dan
sentosa. Mereka suka bergotong royong dan selalu berbagi dalam kebersamaan.
Kebutuhan sandang pangan mereka hasilkan sendiri. Karena tinggal di satu pulau,
mereka saling mengenal. Tidak ada rahasia di antara mereka. Semuanya seperti
satu keluarga.
Rakyat Kerajaan Pulau Halimun tidak
pernah berhubungan dengan penduduk pulau
lain, sebab tidak pernah ada penduduk dari pulau lain yang datang ke pulau itu.
Dari luar, Kerajaan Pulau Halimun memang tidak tampak, sebab selalu diselimuti
kabut. Nelayan dari pulau-pulau lain yang melintas hanya melihat halimun di
tengah laut.
Pada suatu hari, Raja Pakurindang
bertitah agar seluruh aparatnya berkumpul di istana, karena ia akan
menyampaikan hal penting.
“Karena rakyat sudah hidup sejahtera
dan aku kian tua, sudah saatnya aku
meninggalkan istana. Aku akan bertapa,” sabda Raja Pakurindang.
“Paduka akan bertapa di mana?”
Panglima Ranggas Kanibungan bertanya sambil bersembah sujud. Karena tubuhnya
tinggi dan besar sekali, lantai istana bergetar oleh langkahnya. Senjatanya,
kapak raksasa yang beratnya sama dengan seekor kerbau jantan, tersandang di
bahunya.
“Di pulau ini juga. Di puncak gunung
yang diselimuti mega.”
“Maaf ampun, paduka. Bagaimana kalau
paduka tak ada? Siapa yang akan bertahta?” Sambu Luan, penasihat raja, bertanya sambil mengusap-usap kumisnya.
“Putraku Sambu Batung akan bertahta
dan menjalankan pemerintahan. Tentu saja
dengan bantuan kalian, panglima dan para punggawa. Tetapi, walaupun aku nanti tak
lagi bermukim di sini, bukan berarti aku akan menghilang sama sekali. Dari
puncak gunung, aku akan memantau semuanya. Sekali waktu, aku akan memberikan
petunjuk dalam bentuk isyarat dan tanda-tanda.”
“Apa yang harus kami lakukan,
ayahanda?” tanya Sambu Batung.
“Jadilah pemimpin yang adil dan
bijaksana. Rukunlah dengan Sambu Ranjana. Kalian harus memberi teladan, agar
menjadi panutan. Bukankah sebelum
mangkat dahulu, mendiang ibundamu sudah mengajarkan hal itu?”
Sambu Batung dan Sambu Ranjana mengangguk.
Tidak ada tawar-menawar lagi. Jamba
Angan, wakil panglima, yang semula hendak bicara, mengurungkan niatnya. Ia
sadar, kalau Raja Pakurindang telah meninggalkan balai persidangan dan masuk ke
kamar istana, mempersiapkan keperluan terakhir sebelum bertapa, tak ada lagi
yang dapat dilakukannya.
Padahal, masalah yang akan
disampaikannya penting sekali.
Sebagai orang yang sudah berumur,
matanya yang jeli tahu bahwa Putri Sewangi, anak kandungnya, amat mencintai
Sambu Batung. Namun, Raja Pakurindang telah menjodohkan Sambu Ranjana dengan
putrinya itu!
Ia juga mendengar kabar bahwa Sambu
Batung menaruh hati pada Putri Perak, anak Panglima Ranggas Kanibungan.
Celakanya, Putri Perak mencintai Sambu Ranjana! Lebih celaka lagi, Sambu
Ranjana diam-diam menaruh hati pada Putri Sewangi!
Untuk mengurai benang kusut itu dan
menghindarkan kemungkinan terjadinya aib di kalangan bangsawan istana, Jamba
Angan pernah mengadakan pertemuan rahasia dengan Sambu Luan, untuk minta
nasihat. Ia terdorong melakukan hal itu, sebab terkait dengan nasib putrinya
sendiri, Putri Sewangi.
Kepada Sambu Luan, Jamba Angan
mengatakan, bahwa ia sering mendengar kasak-kusuk: secara sembunyi-sembunyi
Sambu Batung sering memaksa bertemu dengan Putri Perak, bahkan pernah menerobos
masuk ke Taman Putri! Para pengawal tak ada yang berani menghalangi.
Pada pertemuan rahasia di tengah
malam itu, Jamba Angan tidak mendapat nasihat apa pun dari Sambu Luan. Sambu
Luan seakan dihadapkan pada persoalan yang tak dapat dipecahkan. Setelah
mengusap-usap kumisnya yang beruban dan berpikir sekian lama, penasihat
kerajaan itu mengangkat bahunya, tak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan harinya, seluruh aparat
Kerajaan Pulau Halimun melepas keberangkatan Raja Pakurindang. Tetapi,
iring-iringan kereta kencana dan prajurit berkuda itu hanya sampai di kaki
gunung. Setelah itu, tak ada lagi yang berani mendaki.
Konon, gunung itu angker sekali,
dihuni berbagai binatang buas, raksasa, siluman dan makhluk-makhluk gaib. Hanya
orang-orang sakti mandraguna yang berani mendaki hingga ke puncaknya.
Syahdan, setelah tiga hari tiga
malam bertapa, pohon-pohon yang tumbuh dalam jarak tiga meter di sekitar Raja
Pakurindang merunduk ke arahnya, seolah memberi hormat. Setelah tujuh hari
tujuh malam, semak belukar dan pepohonan besar yang berjarak tujuh meter
melakukan hal serupa.
Hal itu berlangsung terus menerus,
sampai dengan pepohonan yang berjarak sembilan puluh sembilan ribu sembilan
ratus sembilan meter! Semuanya merunduk, seakan bersembah sujud dan menyatakan
takluk. Di kejauhan, semak belukar dan pepohonan itu berbentuk pegunungan yang
diselimuti awan.
Seperti saat dipimpin Raja
Pakurindang, di bawah kepemimpinan Sambu Batung pun rakyat Kerajaan Pulau
Halimun hidup tenteram, damai, aman, makmur dan sentosa. Sebagai pendamping
hidup, ia menyunting Putri Perak. Pesta perkawinan berlangsung dengan meriah
dan dirayakan seluruh rakyat kerajaan.
Beberapa tahun kemudian, suatu hari
terjadi peristiwa genting.
Dalam sidang di istana yang dihadiri
seluruh aparat kerajaan, terjadi pertengkaran sengit antara Sambu Batung dan
Sambu Ranjana. Mereka berbeda cara dalam mengatasi persoalan. Dari penjuru
desa, aparat kerajaan mendapat laporan tentang terjadinya peristiwa yang
mengancam kelangsungan hidup warga.
Sidang berjalan tegang. Hanya
beberapa orang yang berani bicara, yakni Panglima Ranggas Kanibungan dan Sambu
Luan.
“Ananda berdua, pamanda harap
sudahilah pertengkaran ini. Lebih baik kita mencari cara mengatasinya...,” usul
Sambu Luan.
“Tidak, pamanda! Kanda Sambu Batung
harus bertanggung jawab atas masalah ini!” Sambu Ranjana berteriak. Jamba Angan
dan Sambu Lantar mengangguk, mengiyakan.
“Di kerajaan ini tak ada yang mampu membuka rahasia mantra penyibak halimun,
terkecuali dia orang berpengaruh. Jelas, dia ingin merusak tatanan dan kedamaian
dengan memasukkan budaya luar!”
Melihat keadaan kian genting,
peserta sidang mulai berdiri satu per satu,
terpecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok mendukung Sambu Batung,
lainnya memihak Sambu Ranjana.
“Dalam keadaan genting ini, kita
jangan terpecah belah,” Panglima Ranggas Kanibungan berusaha menengahi.
“Tuduhan ananda Sambu Ranjana itu tidak berdasar. Pamanda harap...”
“Cukup, pamanda!” bentak Sambu
Ranjana. “Pamanda tentu saja tak mau menyalahkan menantu sendiri. Kalian telah
bersekongkol! Kalian ingin menjual negeri kita kepada orang asing dengan
membuka diri pada kerajaan lain!”
Mendengar sikap adiknya yang tidak
sopan dan sudah keterlaluan, Sambu Batung tak mampu lagi menahan amarah.
Apalagi, kata-kata kasar itu ditujukan kepada mertua, sekaligus guru, yang
dihormatinya.
Jeritan istrinya, Putri Perak, tak
dihiraukannya lagi. Dengan sekali lompat, Sambu Batung sudah berdiri di hadapan
Sambu Ranjana. Ketika ia akan membuka mulut, semua orang dikejutkan oleh suara
gemuruh, disusul guncangan keras. Mendadak, udara terasa panas menyengat.
Seketika, suasana jadi kacau balau.
Setelah guncangan mereda, kecemasan
membayang di wajah seluruh aparat kerajaan ketika melihat serombongan warga
berdesakan memasuki balai sidang.
“Mohon ampun, paduka. Sudah sejak
tadi kami ingin menyampaikan hal ini. Tapi kami tak bisa masuk, karena harus
menyelamatkan diri...”
Dengan isak tangis, mereka melapor.
Tanpa sebab musabab yang jelas, hewan ternak mereka mati mendadak. Tanaman,
pepohonan, sawah, ladang dan kebun menjadi kering kerontang.
“Kami mohon perlindungan, paduka.
Bencana telah melanda. Tanda-tanda dan isyarat sudah terlihat. Di gunung
pertapaan Raja Pakurindang telah berkibar bendera merah!”
Sambu Batung dan seluruh aparat
kerajaan terkejut. Mereka tertegun. Tenggelam dalam ketakutan. Mereka ingat
amanat Raja Pakurindang: “Jika di puncak gunung berkibar bendera putih, itu
pertanda datangnya kedamaian dan kemakmuran. Jika bendera kuning, pertanda
kekeringan dan penyakit. Kalau benderanya berwarna merah, itu pertanda akan
datangnya bencana dan malapetaka...”
Melihat Sambu Batung diam mematung,
Punggawa Sembilan segera menghaturkan sembah. Mereka memohon agar junjungannya
melakukan tindakan nyata untuk melindungi rakyat, memberikan bantuan dan
pertolongan.
Namun, Sambu Batung tetap membisu.
Sebuah guncangan dahsyat dan hawa
panas tiba-tiba datang lagi, lebih kuat dan lebih panas daripada tadi. Di
antara suara gemuruh dan hawa panas yang menyengat, lantai, dinding dan
pilar-pilar istana retak-retak dan roboh satu per satu. Sambu Ranjana berteriak, “Sambu Batung, kau pengkhianat! Kau
telah melanggar wasiat leluhur! Semua ini salahmu!”
“Paduka, tolong jangan bertengkar lagi! Mari
bersatu mengatasi masalah ini!” Panglima Ranggas Kanibungan menengahi. Bersama
Punggawa Sembilan, ia berpegangan tangan satu sama lain. Mereka berdiri di
antara pilar-pilar istana yang retak. “Mari kita bulatkan tekad, satukan hati,
untuk mengusir kekuatan jahat ini!”
Kata-kata Panglima Ranggas
Kanibungan itu seolah perintah.
Sambu Batung dan Sambu Ranjana
terpaksa mengalah. Keduanya menggabungkan diri dalam barisan. Namun, mereka tak
mau bergandengan tangan. Alhasil, Sambu Batung di ujung barisan sebelah kiri,
Sambu Ranjana di kanan. Panglima Ranggas Kanibungan di tengah.
Dipimpin Panglima Ranggas
Kanibungan, sesaat mereka memejamkan mata. Menghimpun kekuatan batin,
menyalurkannya melalui tangan masing-masing dan serempak memukulkannya sekuat
tenaga sambil berteriak. Sasaran pukulan mereka adalah arus panas berapi yang
berpusar di hadapan, berpusar seperti angin puting beliung. Apa pun yang
dilintasinya akan roboh dan tergulung.
Tetapi, bukannya berhenti, arus
panas berapi itu malahan berbalik dan
memantulkan pukulan yang mereka lancarkan! Mereka terlempar, jauh
sekali, terpencar-pencar dan jatuh dengan pakaian hangus dan tubuh lecet-lecet.
Kapak besar Ranggas Kanibungan pun terpental. Jauh. Kelak, ia menjadi Pulau
Kapak.
Setelah bertarung tujuh hari tujuh
malam dengan mengerahkan seluruh kesaktian, mereka sadar tak mungkin
mengalahkan kekuatan jahat itu. Saat itulah, ketika langit mendadak gelap dan
hujan deras turun, di angkasa terdengar suara. Suara yang amat mereka kenal.
Suara Raja Pakurindang!
“Wahai warga Pulau Halimun...
Percuma kalian melawan. Ini sudah takdir. Tak ada yang harus disalahkan. Dan
kalian, anakku, dengarkanlah titahku...”
“Hamba, ayahanda....” Sambu Batung
dan Sambu Ranjana serempak menyahut, lemah dan gemetar.
“Sambu Batung, engkau dan Putri
Perak tinggallah di utara pulau ini. Teruskan keinginanmu membuka diri dan
membaur di alam nyata... Dan engkau, Sambu Ranjana, tinggallah di selatan.
Lanjutkan niatmu menutup diri. Aku merestui jalan hidup yang kalian tempuh.
Namun, ingat, meskipun hidup di alam berbeda, kalian harus tetap rukun. Harus
tetap bantu membantu dan saling mengingatkan...”
“Pesan ayahanda akan kami
junjung....” Sambu Batung dan Sambu Ranjana serempak menyahut.
Bersamaan dengan itu, gelegar
guntur, kilat dan petir membelah angkasa.
Hujan turun deras sekali,
menciptakan banjir. Dari puncak gunung, air menggelontor, bagai ditumpahkan.
Melongsorkan tanah, bebatuan, hewan-hewan dan pepohonan.
Pohon-pohon besar tumbang disambar
petir, tercerabut hingga akarnya, dihanyutkan air dan dengan cepat meluncur ke
permukiman penduduk, melanda istana, menerjang apa pun yang menghalangi
jalannya.
Banjir besar itu juga menghanyutkan
Putri Sewangi.
Putri Sewangi menangis sedih
berkepanjangan karena kasihnya yang tak sampai kepada Sambu Batung. Ia berserah
diri kepada banjir yang menghanyutkannya di sebatang pohon. Arus air membawanya
ke laut. Dalam gemuruh guntur, petir, angin, hujan dan badai, ia menangis tak
henti-henti.
Dengan hati penuh sesal,
dilemparkannya serudungnya yang basah oleh air mata. Serudung itu diterbangkan
angin, jauh sekali. Kelak, ia menjadi Pulau Serudung. Dalam duka dan nestapa,
ia bersumpah takkan bersuami dan akan mengasingkan diri.
Karena sumpahnya itu, Putri Sewangi
menjelma pulau tersendiri, Pulau Sewangi. Dipisahkan oleh laut dan berada di
sebelah barat Kerajaan Pulau Halimun, ia masih dapat memandang ayahandanya,
Jamba Angan, yang menjadi Gunung Jambangan. Gunung Jambangan masih berdekatan dengan
Sambu Ranjana, yang menjadi Gunung Saranjana. Gunung yang penuh misteri dan
teka-teki. Sambu Batung menjadi Gunung Sebatung, berdampingan dengan Gunung
Perak.
Banjir besar itu juga menghanyutkan
Sambu Lantar. Setelah sekian lama hanyut, ia terdampar di tempat yang kemudian
bernama Desa Lontar. Punggawa Sembilan, yaitu Marsiri, Mardapan, Margalap,
Marbatuan, Marmalikan, Mardanawan dan Markalambahu hanyut paling jauh dan
menjadi Pulau Sembilan. Seluruh kesaktian yang mereka miliki melebur menjadi satu,
menjadi Pulau Sebuku.
Riwayat Gunung Jambangan
Setelah bekerja keras semalam suntuk, Datu
Mabrur melepas lelah sejenak di lepas pantai Kerajaan Pagatan. Matahari pagi
telah terbit di ufuk timur, menyinari lautan dan pasir pantai tempat Datu
Mabrur duduk mengaso.
Dalam satu malam, ia telah
menyelesaikan tugasnya, mengantarkan empat puluh satu batang pohon kayu ulin
ke Kerajaan Banjar.
Beberapa hari lalu, Patih Balit dari
Kerajaan Banjar datang menemuinya. Utusan yang dikawal sejumlah prajurit itu
menyampaikan amanat sultan mereka. Sultan Suriansyah ingin membeli batang pohon
kayu ulin.
Kata Patih Balit, Sultan Suriansyah
ingin agar batang-batang pohon kayu ulin itu dikirimkan ke Kerajaan
Banjar dalam tempo tiga hari.
Batang-batang kayu besi itu akan
digunakan sebagai tiang guru untuk membangun masjid, tempat ibadah bagi rakyat
Kerajaan Banjar yang baru memeluk agama Islam, di Muara Kuin.
Karena batang pohon kayu ulin
yang terbaik di dunia berasal dari Pulau Halimun, Sultan Suriansyah sanggup
membelinya, berapa pun harganya.
Patih Balit memperlihatkan
pundi-pundi berisi intan, berlian, jamrut, yakut, nilam biduri dan emas murni
yang mereka bawa, sebagai alat pembayarannya.
Melihat itu, Datu Mabrur cuma
tersenyum. Ia meminta utusan itu
menyimpan kembali harta bendanya dan menyanggupi permintaan Sultan
Suriansyah. Tanpa syarat apapun. Itu dilakukannya semata-mata sebagai sahabat.
Datu Mabrur meminta utusan
itu segera pulang dan menunggu. Ia berjanji akan mengantarkan sendiri
batang-batang pohon kayu ulin itu.
Setelah utusan itu pulang dan
matahari terbenam di ufuk barat, seorang diri Datu Mabrur mencabut
batang-batang pohon ulin yang sudah tua di hutan. Setelah itu, ia langsung menggotong dan
mengantarkannya ke Kerajaan Banjar.
Setiap kali, ia menggotong tiga
batang. Batang pohon yang besarnya rata-rata
sepelukan orang dewasa dan panjang sembilan meter itu, dua diletakkannya
di bahu, satu di kepala. Dengan kesaktiannya, Datu Mabrur melesat
secepat kilat ke Kerajaan Banjar. Hal itu dikerjakannya berulang kali, hingga
empat puluh satu batang pohon kayu ulin itu selesai diantarkannya
sebelum terbit fajar.
Namun, setiap kali pulang dari Kerajaan
Banjar dan kembali ke Pulau Halimun, selalu ada pemandangan yang membuatnya
tidak enak. Itulah yang kini membebani pikirannya.
Sambil
berdiri di pasir pantai Kerajaan Pagatan, ia memandangi Pulau Halimun. Di
kejauhan, ia melihat ada sesuatu yang kurang. Di sebelah utara, Gunung Sebatung
tampak berdiri kokoh. Tetapi, di sebelah selatan tidak ada gunung yang
menjulang. Pemandangan yang tidak seimbang.
Datu
Mabrur teringat Datu Pujung.
Datu
Mabrur ingin merundingkan masalah itu dengan Datu Pujung, yang tengah
bersamadi di goa pertapaannya di Pulau Halimun.
Dengan
kesaktiannya, mereka melakukan pembicaraan jarak jauh.
Duduk
bersila di atas ombak laut di tepian pantai, Datu Mabrur bersamadi.
Dalam samadinya, ia menyampaikan pemandangan yang dilihatnya dari tempat itu
dan meminta pendapat Datu Pujung.
“Aku
pun sudah lama melihatnya!” sahut Datu Pujung dalam samadinya. “Di Pulau
Halimun ini tidak ada gunung yang tinggi! Padahal itu penting sekali! Sebagai
rambu bagi nelayan dan petunjuk dalam pelayaran!”
“Lalu,
apa yang sebaiknya kita lakukan?” Datu Mabrur sebenarnya ingin
mengusulkan sesuatu, tapi ragu-ragu. Ia tahu, tidak ada yang dapat memerintah Datu
Pujung. Tidak ada yang berani menguji kesaktiannya. Orang yang kulitnya sehitam
jelaga dan buruk rupa itu sulit ditebak. Kalau bicara, suaranya sekeras halilintar,
meledak-ledak. Datu Pujung mudah tersinggung.
“Kau
punya usul, Mabrur?!”
“Ya...”
Datu Mabrur gembira, tak menduga Datu Pujung meminta sarannya.
“Apa
usulmu, heh?!”
“Bagaimana
kalau kita mencari satu gunung lagi, dan meletakkannya di sana, di sebelah
selatan?”
“Di
mana mencarinya?! Siapa yang mengerjakannya?! Apakah kita kerjakan
bersama-sama?!”
“Siapa
lagi yang sanggup mengerjakannya selain Datu Pujung? Aku akan menunggu
di pantai Pulau Halimun. Bagi datu, mudah saja mencari gunung berapi
yang sudah mati di Jawadwipa, lalu mengangkutnya. Bagaimana?”
“Tunggu
aku di Pulau Halimun! Sebelum bintang pertama terbit malam ini, aku akan
kembali!”
“Baiklah,”
sahut Datu Mabrur.
Tanpa
bicara lagi, Datu Pujung mengambil galah saktinya. Galah itu panjang
sekali. Ujungnya menggapai awan. Dengan galah itu, Datu Pujung melompat
dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain, dari sungai ke laut, dari laut ke
samudera, dari satu pulau ke pulau lainnya.
Sebelum
matahari terbenam, Datu Mabrur sudah kembali berada di Pulau Halimun.
Sekilas, dalam cahaya jingga matahari senja, ia melihat bayangan Datu
Pujung berkelebat di kejauhan. Ayunan ujung galahnya menjolok angkasa.
Menghamburkan awan, menjadi hujan. Janggut dan jubahnya berkibaran.
Di
pantai Pulau Halimun, sebelum bintang malam terbit, Datu Mabrur
mendengar desir angin dan suara ombak yang aneh. Seakan topan dan badai akan
menjelma prahara. Tetapi, tidak. Ternyata, suara itu berasal dari riak dan
kecipak ombak yang timbul dari langkah Datu Pujung yang datang memanggul
gunung!
Di
atas riak ombak lautan, Datu Pujung berjalan sambil memanggul sebuah
gunung yang tinggi dan besar sekali. Gunung itu diikatkan di ujung galahnya. Ia
letih sekali, tapi tak mau ditampakkannya. Saat berhadapan dengan Datu
Mabrur, ia berusaha keras tersenyum.
Karena
wajahnya jelek sekali, yang tampak bukannya senyum yang sedap dipandang, tapi seringai yang aneh dan
menyeramkan.
“Engkau
benar-benar hebat!” sambut Datu Mabrur. “Engkau telah menepati janji.
Engkau kembali, sebelum bintang terbit malam ini. Istirahatlah dahulu, datu.”
Datu
Pujung tidak mempedulikan sambutan dan pujian Datu Mabrur.
Diempaskannya
galah saktinya dengan serampangan. Empasan itu membuat gunung di ujung galahnya
jatuh berdebur di tengah lautan.
Gelombang
pasang yang terjadi akibat jatuhnya gunung itu menenggelamkan pulau-pulau kecil
di sekitar Pulau Halimun. Air laut yang membuncah ke udara dan jatuh berderai
membuat Pulau Halimun sesaat bagai dilanda hujan badai.
“Aku
masih kuat, tidak perlu istirahat! Kita segera bekerja!” kata Datu
Pujung sambil menggerak-gerakkan otot leher dan bahunya yang pegal-pegal.
“Bagaimana
caranya, datu?”
“Dengan
galahku, kita panggul gunung ini berdua! Aku di ujung sini, engkau di ujung
sana! Gunungnya kita ikat di tengah!”
“Baiklah,”
sahut Datu Mabrur.
Keduanya
berjalan di atas air laut dan mengikatkan gunung itu di tengah galah. Setelah
terikat, mereka memanggulnya. Datu Pujung di depan, Datu Mabrur
di belakang. Dalam temaram cahaya bintang, tubuh keduanya membesar, seakan
raksasa, hampir sebesar gunung yang mereka panggul.
Ketika
keduanya tengah berada di sebelah barat Pulau Halimun, tiba-tiba tali pengikat
gunung itu putus. Gunung itu jatuh berdebum. Melesak ke bumi. Tanah, debu,
pasir, batu, ranting, daun-daun dan pepohonan beterbangan ke udara. Sesaat,
langit menjadi gelap gulita.
Datu
Pujung langsung melesat menemui Datu Mabrur. “Aduh, kenapa bisa
begini?!” katanya dengan wajah cemberut. Kesal dan marah.
“Tenanglah,
datu. Kita istirahat dulu....” Datu Mabrur berusaha menyabarkan.
“Engkau
tunggu saja di sini! Aku akan mencari tali! Aku akan minta bantuan
siluman-siluman di Pulau Sembilan, Pulau Kerayaan dan Kerajaan Pagatan! Kita
harus menyelesaikannya malam ini juga! Tidak bisa ditunda!”
Tanpa
menunggu jawaban lagi, Datu Pujung melesat dengan galahnya.
Datu
Mabrur tercenung. Bintang-bintang terbit dan bertaburan di langit, ditemani
bulan sabit. Ia mengamati gunung itu dari segala sudut. Dari sisi timur, barat,
utara dan selatan. Didakinya gunung itu dan dengan cermat mengukur
ketinggiannya.
Saat
itulah Datu Mabrur melihat: puncak gunung itu sudah tidak ada lagi.
Rompal. Robek. Bagian yang rompal itu persis di bekas tempat tali pengikat.
Rupanya, ketika putus, talinya langsung memapas puncak gunung. Kalau dilihat
dari kejauhan, bentuknya seperti jambangan bunga.
“Datu
Mabrur! Gunung ini tidak usah dipindahkan lagi! Kita biarkan saja di sini!”
Tiba-tiba, entah lewat mana, Datu Pujung sudah ada lagi di samping Datu
Mabrur.
“Mengapa?
Bukankah kita akan meletakkannya di sebelah selatan?”
“Aku
sudah memandangnya dari segala sudut, dari luar Pulau Halimun! Dari pantai
Kerajaan Pagatan, Pulau Kerayaan dan Pulau Sembilan! Letak gunung ini sudah
tepat, meskipun berada di sebelah barat!”
“Kalau
begitu, baiklah.”
“Jangan
hanya ‘baiklah’, ‘baiklah’! Engkau setuju, tidak?! Jangan sampai terpaksa!
Kalau memang tidak setuju, bilang saja!”
“Aku
setuju sekali. Sekarang, izinkan aku yang memberi nama gunung ini.”
“Pilih
yang sesuai dengan bentuknya! Apa namanya?!”
“Gunung
Jambangan.”
Mencari Putri Papu dari Kerajaan Bajau
Putri
Papu sedang merana, sedih dan berduka. Putri tunggal raja di Kerajaan Bajau
yang berwajah hitam manis itu sedang kesal dan tidak mau makan. Pelayan dan
dayang-dayang kebingungan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Bagaimana
hatinya tidak sedih? Baginda raja, ayahandanya, marah besar saat mengetahui hubungannya dengan Maruni. Padahal
mereka sudah mengikat janji setia, sehidup semati.
“Nelayan
miskin sepertimu tidak pantas mendampingi putriku! Aku sudah menjodohkannya
dengan saudagar kaya dari negeri seberang!”
Kata-kata
ayahandanya itulah yang membuat hati Putri Papu sedih dan pilu, bagai disayat
sembilu.
Dikawal
para punggawa dan prajuritnya, dengan bertolak pinggang Raja Bajau mengumpat
dan menuding-nuding Maruni yang berlutut di hadapannya. Putri Papu mendengar
semua itu dari balik pintu.
Putri
Papu mengenal Maruni di perkampungan nelayan.
Sebagai
putri raja, ia tidak menyukai aturan istana yang ketat. Di kala senggang, di saat jenuh menenun, merancang
pakaian atau menata perabotan, didampingi seorang pelayan, ia sering
meninggalkan istana dan bergaul dengan rakyat jelata. Karena sifatnya itu,
rakyat Kerajaan Bajau mencintainya.
Pada
suatu hari, di kampung nelayan yang sepi, ia bertemu Maruni. Pemuda itu tengah
memperbaiki sampan di pantai. Matahari menyorot dadanya yang bidang dan
wajahnya yang tampan.
Karena
tengah asyik bekerja menambal buritan sampannya yang bocor, ia tidak menyadari
kehadiran orang lain di sekitarnya.
“Kenapa
sampanmu bocor? Apakah menabrak karang?” tanya Putri Papu. Itu pertanyaan yang
biasa diajukannya untuk mengetahui masalah yang dihadapi warga.
“Tidak.
Ditabrak sampan prajurit kerajaan, gara-gara aku tak mau membayar pajak ikan
yang jumlahnya keterlaluan!” Maruni menyahut tanpa menoleh.
“Mengapa
tidak dilaporkan langsung kepada raja? Mungkin itu ulah prajurit rakus saja.
Setahuku, Raja tidak pernah mengeluarkan peraturan yang memberatkan rakyatnya.”
Mendengar
jawaban lantang itu, Maruni menoleh.
Ia
menatap tajam mata perempuan di depannya. Perempuan itu balas menatapnya.
Mereka bertatapan sekian lama. “Engkau siapa?” tanya Maruni dengan suara
tercekat di tenggorokan, terpukau oleh kecantikan perempuan itu.
“Kau
tidak tahu? Ini junjunganmu, Putri Papu. Putri Raja!” sahut pelayan. Ia heran,
mengapa pemuda itu tidak menunjukkan sikap hormat. Kalau tahu sedang berhadapan
dengan putri bangsawan kerajaan, biasanya orang-orang akan berlutut.
Jantung
Putri Papu berdebar-debar saat beradu pandang dengan Maruni. Ia tersipu-sipu.
Salah tingkah. Ia suka dengan sikap pemuda yang memperlakukannya seperti
perempuan biasa itu. Ia bosan dengan pemuda-pemuda bangsawan yang
menghormatinya secara berlebihan dan penuh kepura-puraan.
Sejak
itu, ditemani pelayannya, Putri Papu sering bertemu Maruni di desanya.
Kadangkala mereka bertemu di pesisir pantai, di antara karang dan bebatuan.
Mereka bermain, mencari kepiting, kerang dan lokan, merangkainya jadi perhiasan
mainan. Berenang dan menyelam bersama. Memadu kasih. Bersumpah setia.
Atas
laporan aparatnya, suatu hari Raja Bajau mengetahui hubungan mereka. Raja
murka. Ia memerintahkan punggawa membawa Maruni ke istana. Itulah yang kemudian
terjadi. Raja Bajau marah besar kepada Maruni.
“Sekarang
juga, kau harus meninggalkan wilayah kerajaan! Dilarang tinggal di sini!
Sebelum matahari terbit esok pagi, kau sudah harus pergi! Bila esok masih di
sini, kau akan dihukum mati!”
Mendengar
titah ayahandanya itu, Putri Papu menangis dan berlari ke pelukan ibundanya. Di
kamar, permaisuri mendekap erat tubuh putri kandungnya itu. Tapi, ia tak dapat
berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa dilakukannya.
Permaisuri
Raja Bajau itu tak berdaya melawan kehendak suaminya. Ia sendiri bukan penduduk
asli kerajaan. Ia adalah putri bangsawan dari kerajaan di seberang lautan.
Dahulu, ia pun dikawinkan melalui perjodohan.
Namun,
ia tidak merasa khawatir. Ia mengira, putri kesayangannya itu juga akan
menjalani nasib yang sama dengannya, dikawinkan melalui perjodohan.
“Sudahlah,
anakku. Hari sudah senja. Mandilah dulu, kemudian makan. Setelah itu,
istirahatlah...” Permaisuri memapah tubuh putrinya yang lunglai, menuntunnya
masuk kamar.
Tengah
malam, tiba-tiba permaisuri terjaga dari tidurnya oleh suara gemuruh yang
membahana dan mengguncangkan istana. Badai sedang mengamuk! Gemuruh angin,
badai dan topan menggetarkan lantai, dinding dan atap istana. Terdengar suara
hiruk-pikuk, teriakan para pengawal, jeritan panik, tangis perempuan dan
anak-anak.
Raja
sudah tak berada di kamar.
Ia
sudah di luar, mengumpulkan punggawa, hulubalang dan para prajurit. Memberi
perintah untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi.
Hujan,
badai dan topan mengamuk dengan dahsyat. Menerjang istana di pesisir pantai itu
dan permukiman penduduk. Alam tampaknya sedang murka. Lautan bergelora.
Gelombang-gelombang
sebesar gunung datang, bergulung, menyapu pantai, menghanyutkan perahu, sampan
dan jaring nelayan. Rumah-rumah nelayan di tepian pantai dilulur ombak dan
dihisap gelombang ke tengah lautan. Seakan lidah seekor naga raksasa yang
menelan mangsanya.
Permaisuri
teringat Putri Papu.
Bergegas,
dibukanya pintu kamar. Tetapi, Putri Papu tidak ada! Bahkan, kasur, bantal dan
selimutnya masih utuh, seolah tak pernah disentuh.
“Anakku,
Papu! Papuuu...!” Permaisuri berteriak-teriak. Panik. Menangis. Tergopoh-gopoh,
diperiksanya seluruh ruangan istana. Dari satu kamar, ke kamar lainnya. Dua
prajurit pengawal mengikuti ke manapun ia pergi. Mereka tak mau disalahkan
apabila terjadi sesuatu pada permaisuri.
Keesokan
harinya, ketika matahari terbit, penduduk kerajaan gempar. Putri Papu hilang!
Kepada para punggawa dan hulubalang, Raja Bajau memerintahkan agar seluruh
prajurit melakukan pencarian secara besar-besaran. Bagi yang menemukan, akan
diberikan imbalan.
Ruangan
istana yang hancur dibongkar, siapa tahu Putri Papu tewas tertimpa reruntuhan.
Pesisir pantai dan batu karang juga diperiksa, kalau-kalau mayatnya dihanyutkan
air ke sana. Namun, semuanya sia-sia. Tidak ada petunjuk yang jelas. Putri Papu
lenyap tanpa bekas.
Karena
terlalu sedih memikirkan Putri Papu, permaisuri jatuh sakit. Seluruh tabib
istana tak mampu mengobati. Tiga hari setelah sakit, ia mangkat. Sebelum
mangkat, ia terus mengigau, sendu dan pilu, “Alla tulu... Anakku,
Papu... Papuuu....”
Setelah
tujuh hari tujuh malam melakukan pencarian tanpa hasil, Raja Bajau mengumpulkan
seluruh rakyatnya di halaman reruntuhan istana. Bangunan istana yang terbuat
dari kayu itu sudah porak-poranda. Dengan mata sembab, lelah dan sedih, ia
bertitah:
“Saat
matahari terbit esok pagi, seluruh rakyat Kerajaan Bajau harus pergi ke laut.
Carilah Putri Papu! Tidak boleh ada yang kembali ke daratan sebelum bertemu!
Bawalah istri, anak dan cucu. Berangkatlah dengan perahu! Bawa perabotanmu!
Jangan kembali tanpa izinku!”
Mendengar
titah itu, serempak penduduk menyiapkan sampan, perahu, dan mengumpulkan
anggota keluarga masing-masing. Satu perahu memuat sejumlah keluarga, terdiri
dari orang tua, beberapa pasang suami-istri, bayi dan anak-anak.
Karena
titah Raja Bajau tidak bisa dianggap sembarangan, keberangkatan tiap keluarga
dipersiapkan dengan matang. Barang keperluan sehari-hari dibawa serta.
Bahan-bahan sandang pangan pun dibawa secukupnya, termasuk peralatan memasak.
Karena
tidak tahu sampai kapan pencarian itu akan berakhir, peralatan musik alahai
juga dibawa. Untuk menghibur diri di laut di kala sunyi, siapa tahu mereka
takkan pernah tinggal di darat lagi. Mereka harus menjalankan titah itu. Harus
menemukan Putri Papu. Mereka tak mau seumur hidup menanggung malu.
Dengan
dipimpin langsung oleh raja, keesokan harinya armada perahu dan sampan rakyat
Kerajaan Bajau itu berlayar. Di tengah lautan, sampan dan perahu-perahu itu
berpencar ke seluruh penjuru.
Bila
malam tiba, mereka beristirahat di pesisir pantai pulau terdekat, tapi tidak
tidur di darat. Makan-tidur tetap dilakukan di sampan dan perahu. Siang hari,
mereka menukarkan ikan hasil tangkapan dengan garam dan kebutuhan hidup
sehari-hari, dengan penduduk yang tinggal di darat.
Waktu
terus berlalu dan mereka terus berlayar mencari Putri Papu. Di laut, di saat
tertentu, dengan nada pilu, terkadang mereka berseru, “Papuuu... Papuuu...
Papuuu...!”
Selama
dalam pelayaran, mereka beranak-pinak. Tiap kali seorang perempuan melahirkan,
orangtuanya menyampaikan amanat Raja Bajau: orang-orang Bajau tidak boleh
tinggal di darat sebelum menemukan Putri Papu.
Sampai
kapan pun, mereka tetap harus mencarinya. Siapa tahu Putri Papu dihanyutkan ombak lautan. Mungkin ia sedang
menunggu untuk ditemukan. Tidak ada yang pernah berpikir sampai kapan pencarian
itu akan berakhir. Mereka sudah menganggapnya takdir.
Orang-orang
Bajau dan keturunannya telah menjadikan sampan, perahu dan lautan sebagai bagian dari kehidupan. Lautan
dan samudera sebagai rumahnya. Sebagian dari mereka kini berada di pesisir Desa
Rampa (Kecamatan Pulau Laut Utara), Rampa Manunggal (Kecamatan Sampanahan),
Rampa Cengal (Kecamatan Pamukan Selatan), Desa Rampa, Sungai Bali (Kecamatan
Pulau Sebuku), Rampa Banyu Berantai (Kecamatan Pulau Laut Timur) dan di Muara
Pasir (Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur).
Naga Partala di Goa Temuluang
Sudah
beberapa hari Buntar cemas dan gelisah. Hatinya gundah. Tanah huma warisan
orangtuanya yang terhampar di lereng bukit mulai ditumbuhi semak belukar, tapi
ia enggan membersihkannya.
Setiap
pagi, ia berangkat ke ladang. Tapi, ia lebih sering duduk mencangkung, tercenung di pintu pondoknya. Matanya
memandang hampa. Tak ada semangat untuk bekerja. Seolah apa pun yang
dikerjakannya, akan sia-sia. Lengkingan monyet-monyet yang bergelantungan,
berkelahi dan berkejar-kejaran di pepohonan, tidak menarik perhatiannya.
Beberapa
hari lagi kekasihnya akan dikorbankan dalam upacara adat: dipotong lehernya,
dipersembahkan kepada penunggu Goa Temuluang, Datu Naga Partala. Itu
adalah keputusan musyawarah yang dihadiri seluruh tetua adat dan masyarakat
Dusun Bangkalaan Dayak.
Setiap
tahun, seorang perawan akan dibawa ke Goa Temuluang, goa keramat yang menyimpan
cahaya dewa. Ketua adat akan memotong leher korban dengan mandau.
Setelah putus, tubuh dan kepala itu dilemparkan ke dalam goa. Dan cahaya dewa
terus akan menyala.
Konon,
cahaya itu berasal dari mata dewa yang dijaga Datu Naga Partala. Cahaya
itu tanda persembahan telah diterima, dan selama setahun masyarakat dusun akan
terhindar dari segala marabahaya.
“Aku
ikhlas dipilih sebagai korban, tapi bagaimana dengan kakanda?” tanya gadis itu
dengan suara pilu. Wajahnya sendu.
Seusai
musyawarah adat itu, malam harinya Buntar menyelinap ke bilik Mantir,
kekasihnya. Tangga depan dan belakang rumah panggung yang dihuni ketua adat dan
seluruh warga Dusun Bangkalaan Dayak itu dijaga beberapa pemuda. Dengan mengendap-endap, Buntar masuk
ke kolong rumah panggung.
Di
bawah kolong yang gelap itu tersimpan padi dan alat-alat pertanian, juga
kandang ternak. Sambil membunyikan suara burung malam yang telah disepakati
sebagai isyarat, Buntar menunggu di bawah kolong, dekat kandang babi. Mantir
membuka lantai bambu di biliknya, dan Buntar segera naik ke atas.
Dalam
remang cahaya pelita, mereka berbisik-bisik.
“Aku
tak rela kau dikorbankan,” kata Buntar. “Aku akan mencari jalan. Aku akan
membebaskanmu.”
“Ini
sudah takdirku. Sudah adat kita turun temurun, sejak nenek moyang kita. Kita
tak bisa menolaknya. Kalau tidak
dilaksanakan, kita akan mendapat kutukan!”
“Ssst...!
Tenanglah. Percayalah padaku. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Seandainya
gagal juga, lebih baik kita mati bersama....” Dalam keremangan, Buntar menatap
Mantir, menanamkan kepercayaan pada diri kekasihnya itu. Itu adalah tatapan
mata yang sama, seperti saat pertama kali mereka bertemu, di malam pesta
muda-mudi, sehabis musim panen lalu.
Seekor
monyet yang jatuh ke tanah dengan tubuh berdarah, membuyarkan lamunan Buntar.
Perkelahian di antara kawanan monyet itu telah menelan korban. Tampaknya, yang
kalah adalah seekor induk. Kepala dan lengannya berdarah, tapi ia tetap
mendekap bayinya di dada. Dengan tertatih, ia berusaha berdiri, berupaya
memanjat batang pohon lagi. Tapi, ia limbung dan jatuh.
Monyet
itu menyeringai, menjerit dan mencakar-cakar ketika Buntar hendak menolongnya.
Karena lukanya cukup parah, akhirnya ia menyerah dan membiarkan Buntar
menangkapnya.
Saat
itulah Buntar mendapat gagasan.
Sambil
membersihkan luka di tubuh monyet itu dengan tumbuhan obat, ia terus berpikir.
Sepulang dari rantau, ia melihat banyak hal tetap tidak berubah dari dusun
kelahirannya.
Letaknya
yang terpencil di pedalaman dan sukar dicapai, membuatnya selalu tertinggal.
Dusun Bangkalaan Dayak tidak banyak berubah. Segalanya masih sama seperti saat ditinggalkannya
dahulu, sepuluh tahun lalu.
Saat
berusia dua belas tahun, pamannya yang tinggal di negeri seberang mengajaknya
pergi. Dengan berat hati, kedua orangtuanya mengizinkan.
Musim
panen lalu, ia kembali setelah kedua orangtuanya dikabarkan diserang penyakit
aneh yang mewabah di dusun itu. Sebelum itu, adiknya telah lebih dahulu
meninggal. Sebulan setelah ia datang,
kedua orangtuanya pun berpulang.
Dari
pengetahuan yang didapatnya di rantau, ia tahu penyakit itu disebabkan gigitan
nyamuk. Itulah yang dikatakannya kepada warga. Tapi, ketua adat dan warga
menyangkalnya. Mereka mengatakan, itu akibat kutukan, karena masyarakat lalai mempersembahkan korban.
Buntar
tersenyum. Ia punya rencana. Ia tahu, mustahil mengubah adat istiadat yang
dianut masyarakat dalam waktu singkat. Ia harus menyusun siasat.
Setelah
melepaskan monyet yang terluka itu, Buntar naik ke pondok mengambil sumpit, mandau
dan keranjang perbekalan. Semangat baru terpancar dari senyum di wajahnya. Ia
menuruni anak tangga pondok dengan langkah pasti, menapaki lereng bukit dengan
gesit.
Tengah
hari ia tiba di goa yang dikeramatkan itu.
Di
muara goa itu mengalir sungai yang panjangnya sekitar lima kilometer, dengan
sebuah pulau kecil di atasnya. Goa itu memiliki dua pintu masuk. Di atasnya,
batu-batu stalaktit menjulur, seperti jeruji, berwarna-warni.
Ketika
kecil, Buntar bersama beberapa kawannya pernah mengintip upacara persembahan
korban itu. Upacara itu terlarang bagi anak-anak, tapi mereka nekat.
Dikelilingi para tetua adat yang duduk merapal mantra, ketua adat menari-nari.
Seorang perawan meringkuk dengan tangan dan kaki terikat.
Setelah
kerasukan roh leluhur, dengan sampan yang dikayuh beberapa pemuda, ketua adat
berdiri di mulut goa, meracau dalam bahasa dewa-dewa. Di sampan lain, tetua
adat menggotong tubuh perawan yang akan dikorbankan.
Ketua
adat mengacungkan mandau ke angkasa. Detik berikutnya, kilatan mandau melayang di udara, dan kepala
korban sudah terpisah dari badannya. Saat detik itu berlangsung, Buntar
memalingkan wajahnya.
Dengan
rasa penasaran, Buntar menaiki sampan kecil yang tertambat di tepi sungai dan
mendayungnya ke mulut goa. Dinding goa itu licin sekali. Lebarnya sekitar lima
belas meter, dengan tinggi sepuluh meter. Dindingnya percampuran antara batu
ampar, batu granit dan batu kapur berwarna merah tembaga, kuning dan
putih.
Buntar
memberanikan diri masuk lebih dalam. Ia terperanjat saat ribuan kelelawar beterbangan
ke arahnya, menuju mulut goa. Mungkin terkejut dengan kehadirannya.
Beberapa
meter di dalam goa, ia terpana. Seberkas cahaya menyilaukan datang dari atas
goa. Dalam kegelapan, cahaya itu terang sekali, menyorot ke dinding goa dan
memantul laksana cermin. Di kejauhan, cahayanya merah menyala, bagai mata
seekor naga raksasa!
Siang
hari, sebelum upacara, Mantir menangis.
Air
mata membasahi pipinya. Hatinya kian sedih, sebab sudah beberapa hari Buntar
tak tampak. Setelah pertemuan mereka yang terakhir, Buntar menghilang.
Di
kamar, tetua adat perempuan membedaki wajah Mantir. Menghiasinya dan mengenakan
pakaian adat, seakan ia pengantin yang akan dipersandingkan. Di ruangan tengah
rumah panggung itu, masyarakat dan tetua adat berkumpul, selamatan tolak bala.
Mereka memohon kepada dewa-dewa agar upacara berjalan tanpa rintangan.
Setelah
semuanya siap, ketua adat memimpin warga berangkat ke tempat upacara. Melalui
jalan setapak di hutan dan menyusuri pinggir sungai, iring-iringan itu tiba di
depan Goa Temuluang. Tubuh Mantir yang lemah lunglai diturunkan dari usungan.
Ketika
beberapa pemuda tengah menyiapkan sampan untuk menyeberang, tiba-tiba terdengar
suara:
“Hai,
manusia... Aku ingin persembahan korban untukku diganti....”
Orang-orang
terkejut dan menoleh ke asal suara, di mulut goa. Suara itu berat dan seram
sekali. Menggetarkan hati, membuat bulu kuduk berdiri.
“Siapa
itu?” ketua adat memberanikan diri bertanya sambil menghunus tombaknya.
Waspada. Diikuti para pemuda.
“Aku
Datu Naga Partala. Penunggu goa. Penerima persembahan dari kalian. Aku
bosan darah perawan! Aku ingin darah hewan...!”
“Darah
hewan?” tanya pemuka adat, menghalangi ketua adat dan beberapa pemuda yang
dengan tombak di tangan bermaksud menaiki sampan menuju goa.
“Ya!
Sajikan darah ayam, kambing dan kerbau, sebagai ganti darah perawan. Sajikan
seperti selama ini. Masak dagingnya untuk pesta warga! Bagi yang tidak
mematuhinya, akan kukutuk dan kuturunkan bala...!”
Bersamaan
dengan itu, ribuan ekor kelelawar tiba-tiba beterbangan, berhamburan keluar
dari sarangnya di dalam goa. Suaranya memekakkan telinga. Mereka memenuhi
angkasa. Langit menjadi gelap gulita. Orang-orang panik dan ketakutan, tunggang
langgang berlarian.
Setelah
semua orang pergi, Buntar keluar dari dalam goa sambil tersenyum. Tangannya
memainkan ketapel. Benda kecil itulah yang tadi membangunkan ribuan kelelawar
dari tidurnya. Dari liang lain di atas goa, ia ketapel sarang mereka.
Hewan-hewan malam itu pun terkejut dan terbang berhamburan, seakan kesetanan.
Ia
yakin, usahanya mengubah kepercayaan dan adat istiadat masyarakat di dusunnya
lambat laun akan berhasil. Sambil melangkah pulang, ia membayangkan senyum
manis Mantir.
Asal Mula Sumur Manggurak di Desa Sigam
Pada zaman dahulu, di Desa Sigam hidup
sepasang suami-istri. Mereka hidup dari bercocok tanam dan tinggal di sebuah
pondok di kaki gunung. Meskipun hidup sederhana, mereka bahagia.
Mereka
memiliki dua putra, Ambang dan Anding. Sehabis membantu orangtua di ladang,
kakak-beradik itu suka bermain-main di dalam hutan. Memanjat pohon dan memetik
buah-buahan yang dapat dimakan. Kalau letih, mereka mandi, berendam dan
berenang di lubuk. Airnya jernih sekali, karena mengalir langsung dari gunung.
Pada
suatu hari, mereka lupa waktu dan bermain jauh sekali ke dalam hutan Gunung
Sebatung. Anding mengajak Ambang melacak burung yang lolos dari perangkap yang
mereka pasang hari sebelumnya.
“Sudahlah,
tak usah dikejar. Kita pulang saja. Hari sudah senja. Nanti Ayah- Ibu
cemas...,” kata Ambang kepada adiknya.
“Kita
cari lagi! Tadi aku melihatnya lari ke sini!” Anding menunjuk semak belukar di
balik sebatang pohon besar. Dikuaknya semak belukar berduri itu. Karena
tergesa-gesa, belukar berduri itu menggores keningnya. Darah pun menetes.
“Cepatlah!
Kalau tidak ada, kita pulang saja. Aku sudah lelah, haus, lapar!” seru Ambang.
Dengan kesal, ia duduk bersandar di batang pohon besar itu.
“Horeee,
dapat! Ini dia, burungnya!” Anding tertawa gembira, keluar dari semak-semak dan
mengacungkan hasil buruannya. “Lumayan buat lauk makan!”
“Hei,
keningmu berdarah! Sini, kubersihkan dulu lukanya...”
“Eh,
tunggu dulu! Kakak lapar?” Usai mengikat kaki burung, Anding mengamati pohon
besar di samping mereka. “Kakak tunggu saja di sini, aku akan memetik buah kuranji...”
Tanpa menunggu jawaban lagi, dengan tangkas ia memanjat.
Setelah
menjatuhkan dua biji buah kuranji, Anding segera turun. Mereka mengupas
buah itu dan dengan lahap memakannya. Karena dialah yang memetik, Anding merasa
berhak memakan buah yang lebih besar, yang berwarna merah. Ambang memakan yang
kecil, yang putih. Walaupun kecil, tapi buah kuranji terkecil di zaman
dahulu ukurannya rata-rata sebesar buah kelapa.
Ketika
tengah asyik makan, bulu tengkuk mereka tiba-tiba berdiri karena perubahan
suasana di sekitarnya. Hutan mendadak sepi. Mencekam. Kicauan burung dan suara
binatang hutan lainnya tak ada lagi. Sunyi sekali. Yang terdengar hanya suara
napas mereka.
Saat
memakan buah kuranji itu, aneh, perasaan mereka tiba-tiba berubah.
Ambang yang memakan kuranji putih, sekujur tubuhnya terasa dingin, lebih
dingin daripada es. Sebaliknya, Anding menggelepar-gelepar kepanasan. Sekujur
tubuhnya merah menyala, panas membara. Tak sanggup menahan rasa dingin dan
panas di tubuh masing-masing, keduanya pingsan.
Dalam
keadaan tak sadar, mereka mendengar suara:
“Hai,
anak-anak... Kalian telah melanggar amanat orangtua. Kalian akan mendapat
hukuman. Mulai saat ini, kalian tak dapat bersama lagi selamanya. Sebab, kalau
Anding marah, tubuhnya akan panas membara. Panas yang dapat membakar lingkungan
sekitarnya. Hanya Ambang yang dapat meredamnya, sebab tubuhnya sedingin es.
Namun, bila itu terjadi, kalian akan tewas...”
Ketika
siuman, dua kakak-beradik itu bergegas pulang dengan ketakutan.
Di
pondok, Ambang menceritakan kejadian itu kepada kedua orangtuanya. Ayahnya
terkesima mendengarkan, Ibu langsung menangis sesenggukan.
“Aku
sudah melarang kalian bermain di hutan Gunung Sebatung, apalagi memakan buah
itu. Tapi, kalian telah melanggarnya....” Ayah menyesalkan. Matanya
berkaca-kaca. “Mungkin ini sudah takdir kalian. Aku tak bisa berbuat apa-apa.”
“Sekarang,
kita harus bagaimana?” tanya Ibu. “Ayah, jangan pisahkan anak kita!”
“Ini
keputusan sulit, tapi terpaksa harus diambil. Ambang, kau tetap tinggal di
sini, bersama kami. Anding, engkau terpaksa harus pergi, Nak. Kalau tidak,
kalian berdua akan celaka...”
“Dia
pergi ke mana? Dia masih kecil!” Ibu menangis keras dan memeluk tubuh Anding
erat-erat, tak rela berpisah dengan anak yang dilahirkannya.
“Biarlah,
Bu. Ini memang salahku. Akulah yang memetik buah itu. Esok pagi, aku akan
pergi,” sahut Anding.
Beberapa
tahun kemudian, Desa Sigam maju dengan pesat. Penduduk dari daerah lain banyak
yang pindah ke desa itu, sebab tanahnya subur. Selain berladang dan berkebun,
penduduk mencari penghasilan dengan berburu, berdagang kulit binatang, mencari
rotan, damar, madu dan hasil hutan lainnya.
Pada
suatu hari, seorang pemuda asing tiba di desa itu. Kepada pemilik penginapan,
ia mengaku berdagang kulit binatang. Pemilik penginapan memberinya kamar yang
menghadap ke sebuah rumah besar, rumah orang terpandang di desa itu.
Suatu
pagi, dari beranda kamar penginapannya, pemuda itu melihat seorang perempuan
cantik berambut panjang sedang membersihkan taman di halaman rumah besar itu.
Setelah selesai menyapu, ia berdiri di tepi kolam, tersenyum memandangi
bunga-bunga teratai yang sedang mekar. Pemuda itu takjub melihat perempuan itu.
Terpesona oleh kecantikannya.
Tapi,
perempuan itu tak pernah menoleh, seakan tidak tahu ada orang yang dengan
diam-diam memerhatikannya. Tak acuh, ia meneruskan pekerjaannya hingga selesai,
lalu masuk rumah. Hal itu berlangsung setiap pagi.
Setelah
tiga hari, pemuda itu tak tahan lagi.
“Gadis
cantik, siapa namamu? Aku ingin mengenalmu...”
Perempuan
itu terperanjat.
Ia
sedang tersenyum senang memandang bunga-bunga teratai yang mekar di kolam
ketika sekonyong-konyong ada orang asing datang, menyeruak dari rimbun
dedaunan. Wajahnya cukup tampan, tapi ada sesuatu yang aneh. Rambutnya tipis,
sorot matanya merah menyala, seakan menyimpan bara.
“Ayolah,”
sambung pemuda itu lagi lebih berani, sambil berjalan mengitari kolam,
menghampiri. “Aku orang-orang baik-baik. Aku tidak bermaksud jahat, apalagi
mempermainkanmu. Kalau kau mau, aku akan langsung melamarmu.”
Tanpa
menjawab sepatah kata pun, perempuan itu bergegas pergi. Pemuda itu berlari
mengejarnya. Tapi, pintu rumah langsung ditutup, tepat di depan matanya.
Giginya gemeletuk. Darahnya langsung mendidih. Ia tersinggung dan marah sekali.
Keesokan
harinya, pemuda itu datang lagi ke tepi kolam. Tapi, begitu melihatnya,
perempuan cantik itu langsung pergi. Merasa terhina, pemuda itu nekat. Saat perempuan itu bergegas ke rumah, ia
langsung menangkap tangannya. Saat itu, seorang pelayan lewat dan melaporkan
kejadian itu kepada majikannya di dalam rumah.
Ketika
perempuan itu menjerit dan meronta-ronta, tiba-tiba sebuah dorongan menjatuhkan
tubuh pemuda itu ke tepi kolam.
“Hei,
lepaskan tangan istriku! Mau apa kamu?!”
Perempuan
itu langsung berlindung di balik punggung seorang pemuda yang baru datang. Di
sudut taman, beberapa pelayan memerhatikan.
“Siapa
kamu?! Beraninya kamu mencampuri urusanku?!” Pemuda itu berdiri dengan marah.
Tubuhnya bergetar. Matanya membara. Merah menyala.
“Hei,
akulah yang berhak bertanya. Ini rumah dan taman kami. Kata pembantuku, sudah
beberapa hari ini kamu mengganggu istriku. Siapa kamu?”
“Kau
tak pantas jadi suaminya! Aku mampu membelikannya taman dan istana yang lebih
baik dan lebih besar daripada ini. Kalau kau tak mau menyerahkannya padaku,
mari berkelahi sebagai lelaki!” sahut pemuda itu sambil memasang kuda-kuda.
Tubuhnya tampak merah dan panas sekali, melebihi lahar gunung berapi.
“Hei,
tunggu dulu! Rasanya, aku mengenalmu... Kamu Anding, adikku?”
“Omong
kosong! Aku bukan orang sini!”
“Ya,
kamu adikku! Ini aku. Kakakmu, Ambang! Tidak salah lagi, kamu adikku yang pergi
dulu! Aku ingat itu, ada bekas luka di keningmu!”
“Persetan
dengan bualanmu! Jangan coba menggangguku!” Sambil berteriak, pemuda itu
melancarkan pukulan jarak jauh ke tubuh Ambang.
Karena
tidak siap dengan serangan mendadak itu, Ambang terjengkang roboh. Istrinya
menjerit ketakutan. Para pelayan lari berhamburan.
Di
siang bolong itu, tiba-tiba petir menyambar. Langit mendadak mendung. Awan
hitam menggantung. Gelegar guntur dan petir sambung-menyambung, lalu hujan
deras turun. Terkena siraman air hujan, tubuh pemuda asing itu berasap.
“Kamu
harus menyerahkannya padaku!” Dengan ganas dan beringas, pemuda itu menendangi tubuh Ambang yang lemah lunglai,
terluka dan tak berdaya.
“Jangan!
Jangan sakiti dia, tolonglah...” Perempuan itu menangis dan menjerit-jerit,
berusaha melindungi wajah suaminya dari tendangan dan pukulan. “Apa pun
permintaanmu, akan kuturuti. Tapi, tolong jangan sakiti dia...”
“Aku
akan membunuhnya! Kalau masih hidup, dia akan menimbulkan masalah! Pergilah!”
Tepat
ketika pemuda asing itu kembali akan melancarkan pukulan, perempuan itu
merangkul dan mendorongnya sekuat tenaga. Keduanya tercebur ke dalam kolam.
Bagaikan
besi panas yang dicelupkan ke air, tubuh pemuda asing itu tiba-tiba mendesis
dan mengeluarkan asap tebal. Ia berkelojotan di dalam air. Menjerit-jerit
kesakitan. Air kolam pun langsung mendidih, panas sekali! Sepanas air yang
dimasak di kuali.
Air
di kolam mendidih itu dengan cepat meluap dan membanjiri desa.
Melihat
adik dan istrinya tenggelam di kolam mendidih, Ambang terjun ke dalamnya,
berusaha menolong mereka. Tapi, ia hanya mampu menyelamatkan istrinya.
Diseretnya tubuh istrinya, mendorongnya ke atas kolam dan memintanya segera
lari ke atas bukit. Setelah istrinya pergi, ia berusaha naik ke pinggir kolam.
Namun, ia sudah kehabisan tenaga.
Akibat
luka parah yang dideritanya, Ambang tak mampu lagi bergerak. Dengan rasa sesal
mendalam, dirangkulnya tubuh Anding. Perlahan, tubuh keduanya mengambang dan tenggelam ke dasar kolam.
Ajaib!
Dengan berlalunya waktu, air di kolam itu berkurang panasnya, menjadi
hangat-hangat kuku.
Seakan
menangisi kejadian itu, hujan deras turun tiga hari tiga malam, disertai angin
kencang dan banjir bandang. Tanah di lereng-lereng bukit longsor, pohon-pohon
tumbang. Sebagian rumah penduduk hancur dan hanyut terseret arus banjir.
Konon,
yang tersisa dari kolam itu kemudian hanya sebuah sumur. Masyarakat menyebutnya
Sumur Manggurak (mendidih). Di hari libur, banyak orang yang datang
untuk berendam dan mandi di situ. Airnya dianggap berkhasiat menyembuhkan
berbagai penyakit kulit.
Hilangnya Kota Sebelimbingan
Pada
zaman dahulu, Sebelimbingan adalah kota yang makmur. Banyak rumah dan
gedung-gedung megah. Warga hidup berkecukupan. Tak ada kemiskinan. Kemakmuran
itu bukan karena pertanian, tapi dari pertambangan.
Konon,
empat prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah dalam perang melawan Belanda
melarikan diri lewat jalur laut. Berlayar dari pulau ke pulau, mereka tiba di
pulau kecil yang dari kejauhan tampak selalu diselimuti kabut. Pulau Laut.
Dari
pantai, mereka naik ke darat dan merahasiakan asal-usulnya. Kepada penduduk
setempat, mereka mengaku sebagai petani yang merantau untuk mencari kehidupan
yang lebih baik. Keadaan masih berbahaya bagi mereka. Kaki tangan Belanda ada
di mana-mana. Mereka tak mau ambil risiko: ditangkap, dikembalikan ke Pulau
Jawa, dibuang atau dipenjara.
Penduduk
pantai menyarankan agar mereka bertani di Desa Sebelimbingan. Di desa kecil itu
hanya ada beberapa pondok yang dihuni beberapa keluarga. Masih berupa hutan,
hanya sebagian kecil yang dijadikan lahan pertanian dan perkebunan.
Untuk
tempat berteduh, mereka membangun pondok. Selama enam bulan pertama, dengan
bekal uang yang dibawa, mereka membeli lahan, alat-alat pertanian dan bahan
makanan, menanam sayuran dan umbi-umbian.
Pada
suatu hari, saat mengolah tanah, cangkul Sudarmo membentur benda keras. Dengan
penasaran dan hati-hati, ia menggali benda itu. Setelah lapisan tanah dan
batu-batuan di atasnya diangkat, tampak benda hitam legam yang tadi mengenai
cangkulnya.
Sudarmo
memungut benda hitam itu dan melihatnya dengan saksama. “Muradi, Sukarmo, Sastro...!
Kemari! Lihat ini!” serunya kepada tiga temannya yang tengah membersihkan semak
belukar, membakar ranting dan daun-daun kering.
Khawatir
terjadi sesuatu pada Sudarmo, ketiganya bergegas menghampiri.
“Apa
itu?” Sastro bingung melihat sekepal benda hitam di tangan Sudarmo.
“Batu
bara...,” jawab Sukarmo. Diambilnya benda itu dari tangan Sudarmo,
membolak-baliknya.
Dahulu,
ayah Sukarmo bekerja sebagai mandor kereta pengangkut tebu di sebuah pabrik
gula di Jawa. Lokomotif kereta itu digerakkan tenaga batu bara. Waktu kecil, ia
pernah diajak ayahnya naik kereta itu dan melihat beberapa kuli memasukkan batu
hitam itu ke tungku pembakarannya.
“Kita
akan kaya raya!” seru Sudarmo gembira. “Kita harus mencari pemodal untuk
menambangnya, hasilnya kita jual ke kapal uap dan pabrik gula!”
Sejak
penemuan itu, Desa Sebelimbingan menjadi ramai. Orang-orang dari berbagai
penjuru berdatangan. Hanya dalam hitungan bulan, dua pengusaha keturunan
Tionghoa berkongsi membiayai penambangan batu bara itu, menyediakan alat-alat
tambang yang dibutuhkan.
Untuk
memperluas tambang, lahan dan hutan dibeli dari penduduk. Sebagai penemu,
mereka berempat mendapat bagian yang sama. Mendapat rejeki yang tak
disangka-sangka itu, mereka bersyukur. Sebagai muslim, mereka terpanggil untuk
membangun tempat ibadah. Mushola pun didirikan.
Setelah
keadaan membaik, Sudarmo, Sukarmo dan Sastro menjemput anak-istri mereka di
Tanah Jawa. Mereka kembali dengan membawa keluarga dan kerabat dekat yang akan
bekerja sebagai kuli. Hanya Muradi yang masih sendiri.
Dengan
kapal uap, para kuli beserta keluarganya masing-masing didatangkan langsung
dari Tanah Jawa. Mereka dipekerjakan membangun pabrik pengolahan batu bara.
Sebagai pelengkap sarana dan prasarana, jalan dan dermaga pun dibangun. Karena
setiap keluarga membutuhkan tempat tinggal, kompleks permukiman didirikan.
Ketika
tambang batu bara itu mulai berproduksi, suatu hari serombongan serdadu Belanda
datang. Dengan bersenjata lengkap, mereka menemui Tuan A Cai dan Tuan A Seng.
Entah
apa yang dibicarakan, tapi Sudarmo, Sukarmo, Sastro dan Muradi waswas melihat
serdadu Belanda yang tampak siap siaga di pintu kantor. Mereka waswas,
kalau-kalau rahasia mereka telah terungkap dan mereka akan ditangkap.
Sepulangnya
rombongan serdadu Belanda itu, Tuan A Chai dan Tuan A Seng mengajak Sudarmo,
Sukarmo, Sastro dan Muradi bertukar pikiran.
Keempatnya
merasa lega setelah Tuan A Chai, sambil tersenyum, berkata, “Tuan Robert
Suurhof mengajak kita berkongsi, memperbesar pertambangan ini. Mereka setuju
dengan syarat yang kita ajukan dan akan menjamin keamanan...”
“Dan
kita tetap mendapat bagian seperti yang sudah kita terima, ditambah bonus
lainnya,” tambah Tuan A Seng dengan gembira. “Mereka menanamkan modal. Sebagian
lahan akan dijadikan boerderij[1]).
Pekerjaan kita akan menjadi lebih ringan. Orang-orang Belanda akan menangani
semuanya, dari penambangan hingga pemasaran. Kita jadi mandornya...”
Beberapa
pekan kemudian, mesin-mesin pertambangan yang lebih modern didatangkan. Gedung,
kantor, rumah sakit dan rumah-rumah beton dibangun, untuk tempat tinggal
orang-orang Belanda yang akan mengawasi langsung proses produksi, sejak
penambangan, uji kendali mutu dan pengapalan antarpulau.
Beberapa
tahun kemudian, Sebelimbingan menjadi kota yang makmur. Barang-barang mewah dan
bahan keperluan sehari-hari didatangkan langsung dari Tanah Jawa, Andalas dan
Selebes, melalui kapal uap yang rutin singgah dalam perdagangan antarpulau.
Belanda
juga membangun sarana hiburan, gedung dansa dan tempat-tempat perjudian. Itu
memang siasat yang licik dan cerdik, agar uang yang mengalir dari kuli tambang
tetap masuk ke saku mereka dan dapat digunakan untuk membiayai daerah
jajahannya di Hindia Belanda.
Masalah
datang bersamaan dengan kemakmuran.
Pada
suatu malam, jeritan perempuan dari gedung kediaman pimpinan pertambangan, Tuan
Robert Suurhof, membuat para serdadu di gardu jaga berlarian.
Cahaya
senter berseliweran, diiringi salak anjing dan suara tembakan. Para serdadu
mengejar sesosok bayangan yang dengan cepat menghilang ke dalam hutan.
Dalam
sekejap, penduduk Sebelimbingan terjaga dari tidurnya. Sebagian warga
mendatangi kediaman Tuan Robert Suurhof. Dengan hanya berpiyama, Belanda totok
itu marah-marah dan mengumpat dalam bahasa nenek moyangnya.
Pagi
harinya seluruh penduduk Sebelimbingan tahu, malam itu Mevrouw Annelies,
istri Tuan Robert Suurhof, kemalingan. Seluruh perhiasan yang tersimpan di
lemari kamarnya digondol maling.
Itu
adalah pencurian ketujuh dalam tiga bulan terakhir, selain perkelahian akibat
minuman keras yang kian sering terjadi di antara sesama kuli tambang. Pelacuran
pun kian marak, karena jumlah perempuan lebih sedikit daripada laki-laki.
“Kita
harus mengatasi masalah ini. Akhlak warga sudah rusak sekali!” kata Sastro
kepada tiga rekannya. “Kita sudah mulai tua. Keadaan ini tak baik bagi
anak-cucu kita. Kalau dibiarkan, Sebelimbingan akan dilaknat Tuhan. Mushola
kini selalu sepi. Tidak ada lagi yang sembahyang dan mengaji... ”
“Ya,
tapi bagaimana caranya? Kita tak punya kuasa. Semua ditentukan Tuan Robert,”
sahut Sudarmo. “Aku pernah membicarakan ini dengan Tuan A Chai. Dia sudah
menyampaikannya. Tapi, Tuan Robert tidak
peduli.”
“Kita
harus bicara langsung!” tukas Sukarmo. “Tentu saja dia tak peduli soal akhlak
warga. Baginya, yang penting kuli dan tambang menghasilkan uang. Tapi, jiwa
prajurit kita tak bisa membenarkannya! Kau setuju, Muradi?”
Dengan
tubuh limbung akibat terlalu banyak menenggak alkohol, Muradi menyahut, “Ah,
aku sudah cukup senang begini. Terserah kalian saja...”
Tiga
bulan kemudian, bersama Tuan A Chai dan Tuan A Seng, mereka menemui Tuan Robert
Suurhof di kantornya. Pemimpin tambang dan boerderij itu baru kembali
dari perjalanan ke Tanah Jawa, Andalas dan Selebes.
“Bagus
sekali kowe orang datang!” seru Tuan Robert Suurhof sambil menyodorkan
botol jenewer, yang langsung disambut Muradi, Tuan A Chai dan Tuan A Seng. “Ik
tak usah panggil kowe orang lagi untuk omong soal ini.”
“Ada
kabar apa, Tuan?” tanya Tuan A Seng.
Jawaban
Tuan Robert Suurhof membuat mereka terkejut. “Gubernur Jenderal Starkenborgh
Stachouwer di Batavia bilang, batu bara di sini tinggal sedikit. Mutunya sudah
tak bagus en tambang ini harus ditutup. Kalau diteruskan, gubernemen
bilang rugi. Tidak seimbang antara bea yang keluar, dengan hasilnya. Tambang
baru telah ditemukan. Di Ombilin, Andalas...”
“Tapi,
Tuan...,” Sastro memberanikan diri menyela.
“Inlander
seperti kowe tak usah membantah! Gubernemen tahu apa yang harus
dikerjakan. Tahun depan, tambang en boerderij ini akan brenti.
Kalau mau, kowe orang boleh teruskan. Atau, kowe bisa jadi mandor
di Ombilin, sebagai kuli kontrak biasa. Keadaan mulai tidak aman. Nippon akan
serang Hindia Belanda... ”
Seperti
dikatakan Tuan Robert Suurhof, setahun kemudian peralatan tambang dibongkar dan
dikapalkan ke Andalas. Orang-orang Belanda dan kuli-kuli kontrak, yang menerima
tawaran Tuan Robert Suurhof, menumpang di kapal yang sama. Perpisahan antara
mereka yang pergi dan yang tetap tinggal, amat mengharukan.
Meskipun
dengan jumlah kuli dan hasil tambang yang kian sedikit, penambangan batu bara
tetap berlangsung. Beberapa tahun kemudian, setelah Perang Dunia II berakhir
dan kepulauan Nusantara menjadi Republik Indonesia, sebuah peristiwa penting
terjadi di Sebelimbingan.
Malam
itu, ketika kuli-kuli sedang berkumpul di tempat hiburan dan arena perjudian,
tiba-tiba terdengar pekikan, disusul suara teriakan dan rentetan tembakan dari
atas gunung.
Entah
datang dari mana, puluhan lelaki bersenjata api tiba-tiba telah menguasai
Sebelimbingan. Mereka membakar dan mengobrak-abrik tempat hiburan dan
perjudian. Gerombolan! Dalam remang cahaya obor, penduduk dikumpulkan, dipaksa
berbaris dan berjongkok di lapangan.
“Kami
lasykar Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas... Kami menjalankan perintah
junjungan kami, Ibnu Hajar, membasmi tempat-tempat maksiat di Bumi Lambung
Mangkurat. Sebelimbingan dalam kekuasaan Darul Islam dan Tentara Islam
Indonesia! Tak ada lagi pertambangan dan kemaksiatan...!” teriak salah seorang
di antara mereka sambil mengacungkan senjata.
Ketika
ada penduduk yang terlambat mematuhi perintah berkumpul, anggota gerombolan itu
tanpa belas kasihan melayangkan popor senapan. Anak-anak dan perempuan menangis
dan menjerit ketakutan.
Diiringi
ancaman, teriakan dan tembakan, mereka membakar pertambangan, kantor, rumah
sakit, gedung dansa, tempat-tempat perjudian dan permukiman. Nyala api membesar
menerangi langit malam, diiringi tangisan perempuan dan anak-anak. Seiring
dengan padamnya api di pagi hari, gerombolan itu menghilang di belantara
Pegunungan Meratus.
Tanpa
aksi bumi hangus gerombolan gerilyawan itu pun Sebelimbingan sudah seperti
lampu kehabisan minyak. Cahaya kemakmuran telah padam. Sehabis perang, keadaan
ekonomi seluruh negara di dunia dalam keadaan sulit. Batu bara tidak dibutuhkan
lagi. Mesin diesel yang menjalankan pabrik, kereta api, kapal dan mobil, sudah
menggunakan solar. Kapal uap yang memakai batu bara tak ada lagi.
Dengan
berlalunya waktu, Sebelimbingan seakan kembali ke titik nol. Kembali seperti
sebelumnya, sebelum ditemukannya batu bara. Namun, beberapa bangunan yang
tersisa dan banyaknya jumlah warga keturunan Jawa di sana menjadi tanda, bahwa
di masa lalu ia adalah daerah yang kaya dan sejahtera.
Legenda Tanjung Pangga dan Tanjung Dewa
Melalui pesta perkawinan yang meriah dan
berlangsung empat puluh hari empat puluh malam, Putri Perak resmi menjadi istri
Raja Sambu Batung. Sebagai permaisuri, namanya menjadi Putri Perak Intirawan.
Rakyat Kerajaan Pulau Halimun gembira dan bersuka ria. Selama pesta, aneka
hidangan dan segala jenis hiburan disajikan.
Kegembiraan
rakyat itu bisa dimaklumi, sebab Putri Perak adalah putri tunggal Panglima
Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, Ranggas Kanibungan. Dengan senjata
andalannya, sebilah kapak besar yang beratnya sama dengan seekor kerbau jantan,
ia amat disegani kawan maupun lawan. Muridnya tersebar di mana-mana, di dalam
maupun di luar kerajaan.
Usai
pesta, dalam sidang di istana, Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya melakukan
kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain memperkenalkan diri sebagai raja
baru di Kerajaan Pulau Halimun, menggantikan Raja Pakurindang yang mengundurkan
diri untuk bertapa, ia sekaligus akan berbulan madu.
“Selama
aku bepergian, pimpinan kerajaan sementara kuserahkan kepada adinda Sambu
Ranjana,” titah Raja Sambu Batung. “Ayahanda Panglima Ranggas Kanibungan dan
pamanda Jamba Angan menjaga keamanan. Lima puluh prajurit kerajaan akan ikut
bersamaku, juga Punggawa Margalap, Punggawa Marbatuan, Punggawa Marsiri dan
Punggawa Mardapan...”
Keesokan
harinya, perahu yang ditumpangi Raja Sambu Batung, Putri Perak Intirawan dan
rombongan, berlayar. Perjalanan direncanakan tujuh bulan, dengan tujuan akhir
Kerajaan Kutai Kertanegara. Sebelum tiba di tujuan akhir, rombongan singgah di
pulau-pulau kecil dan di kerajaan-kerajaan kecil. Meskipun hanya kerajaan kecil
di pulau kecil, kunjungan itu bukan hanya menghasilkan hubungan perdagangan
antarkerajaan, tapi penting untuk memperkuat tali silaturahmi.
Setelah
sepekan berada di Kerajaan Kutai Kertanegara, Raja Sambu Batung memanggil empat
punggawanya untuk membicarakan rencana pulang.
“Pamanda
punggawa, kita pulang lewat jalan darat saja. Harap diatur bagaimana caranya,”
titah Raja Sambu Batung kepada empat punggawa yang bersembah sujud di
hadapannya.
“Hamba,
paduka,” jawab Punggawa Margalap. “Kalau kami boleh tahu, mengapa? Tanpa perlu
singgah lagi, dengan perahu kita akan sampai hanya dalam hitungan hari.”
“Permaisuri
sedang hamil. Ombak dan gelombang akan membuatnya mabuk laut. Janinnya mungkin
akan terganggu. Alasan lain...”
“Ya,
pamanda,” sambung permaisuri. “Aku mengidam buah durian.”
“Durian?”
“Ya.
Tadi malam aku bermimpi makan durian. Lezat sekali. Buahnya besar-besar dan
harum. Dagingnya tebal. Kelezatannya seakan masih terasa di lidahku...”
Karena
permintaan raja dan permaisuri sama artinya dengan perintah, empat punggawa
Kerajaan Pulau Halimun itu tak berani membantah. Apalagi, itu permintaan dari perempuan
hamil yang mengidam. Mereka memahami itu dari pengalaman istri masing-masing.
Agar
perjalanan tetap dalam satu rombongan, perahu layar dihadiahkan kepada Raja
Kutai Kertanegara. Setelah berpamitan, Raja Kutai Kertanegara melepas rombongan
Raja Sambu Batung di perbatasan. Supaya rombongan tidak tersesat di hutan, Raja
Kutai Kertanegara mengutus dua warganya sebagai penunjuk jalan.
Sepanjang
perjalanan pulang, melalui jalan setapak, hutan dan pegunungan, Putri Perak
Intirawan tak henti-hentinya mengingatkan punggawa dan prajurit agar
memerhatikan sekitarnya; kalau-kalau ada pohon durian yang tengah berbuah.
Saat
melewati dusun dan perkampungan, prajurit disebar untuk mencari keterangan dari
penduduk setempat. Namun, hasilnya nihil. Padahal, di dalam mimpinya, Putri
Perak Intirawan diharuskan memakan buah durian yang dipetik langsung dari
pohonnya.
Pada
suatu hari, rombongan memasuki wilayah Goa Ranggang (sekarang bernama
Garunggang dan duriannya terkenal sebagai durian Tanjung Batu). Medan jalan
yang harus dilalui sulit sekali. Selain hutan rimba belantara yang lebat,
lorong gunung batu dan terowongan di dalamnya tak dapat dilalui dengan berdiri
tegak. Terowongan itu hanya dapat dilewati dengan membungkuk (daerah itu
sekarang bernama Bungkukan).
Ketika
rombongan memasuki rimba belantara, empat punggawa dengan wajah cemas mengajak
Raja Sambu Batung bicara dengan berbisik di balik sebatang pohon besar,
menghindari tatapan mata anggota rombongan lainnya. Saat itu, prajurit-prajurit
melompat kegirangan tatkala melihat buah durian yang besar-besar bergantungan
di pohonnya. Dengan sigap, mereka memanjat pohon dan memetiknya.
“Maaf
ampun, paduka. Kita sedang memasuki daerah rawan. Ini daerah kekuasaan Pangga
Dewa!” Punggawa Margalap waswas. Matanya jelalatan, melihat kesana-kemari.
“Siapa
dia?”
“Raja
begal yang terkenal, paduka!” sambung Punggawa Marsiri. “Ia sakti mandraguna
dan terkenal sadis. Kabarnya, tak ada yang mampu mengalahkannya!”
“Penduduk
dusun harus membayar upeti kepadanya,” sambung Punggawa Mardapan. “Ia suka
perempuan. Istri dan selirnya puluhan!”
Jeritan
permaisuri Putri Perak Intirawan dan teriakan prajurit pengawalnya mengejutkan
Raja Sambu Batung dan empat punggawa. Serempak mereka melompat, bergegas
menghampiri. Namun, terlambat. Di sekeliling mereka, dari balik semak belukar
dan pepohonan, muncul ratusan orang bertampang garang!
Raja
Sambu Batung dengan sigap melindungi Putri Perak Intirawan. Para prajurit, atas
perintah empat punggawa, membuat pagar betis, membentuk lingkaran. Tombak dan
perisai disiagakan.
“Maaf,
siapa saudara-saudara ini? Kenapa mengepung kami?” tanya Raja Sambu Batung
kepada pria tinggi besar bertampang sangar yang menyeringai, yang tampaknya
pimpinan mereka. Ratusan anak buahnya mengelu-elukannya.
“Kalian
rombongan kerajaan, heh?! “
“Ya,”
Punggawa Marbatuan maju selangkah, “rombongan Kerajaan Pulau Halimun. Ini
Paduka Raja Sambu Batung dan Permaisuri Putri Perak Intirawan. Kami dalam
perjalanan pulang. Engkau yang bernama Pangga Dewa?”
“Puih!
Aku tak punya raja di sini! Di hutan ini, akulah raja! Akulah dewa!” Dalam
satu lompatan, Pangga Dewa telah berdiri di hadapan Raja Sambu Batung dan
permaisuri. Hidungnya bergerak-gerak, mengendus-endus Putri Perak Intirawan.
“Saudara,
boleh aku bicara?” Raja Sambu Batung menghampiri Pangga Dewa, membujuknya.
Terkesan oleh tutur kata yang halus dan sopan, Pangga Dewa mengikuti Raja Sambu
Batung yang mengajaknya bicara empat mata di balik semak belukar. Raja Sambu
Batung menceritakan riwayat perjalanan, permaisuri yang hamil muda dan sedang
mengidam durian.
Mendengar
penjelasan Raja Sambu Batung, Pangga Dewa tersenyum penuh arti. Ia
memperbolehkan permaisuri memakan durian yang tumbuh di daerah kekuasaannya, tapi dengan satu syarat. Syarat
itu akan disampaikannya setelah Putri Perak Intirawan dan anggota rombongan
selesai makan durian.
Sementara
Putri Perak Intirawan dan prajurit pengawalnya menikmati durian di bawah pohon,
Pangga Dewa mengundang Raja Sambu Batung ke kediamannya, di sebuah goa
terpencil, di tempat tersembunyi.
Setelah
memperkenalkan sebelas istri dan delapan belas orang selirnya, Pangga Dewa
menyampaikan syaratnya. Mendengar syarat itu, tubuh Raja Sambu Batung dan empat
punggawanya langsung bergetar menahan marah.
“Kami
membawa banyak emas dan permata. Ambillah semuanya, asalkan bukan itu,” sahut
Raja Sambu Batung. Ia marah sekali. Tapi, dengan pertimbangan mendalam, ia
mampu mengendalikan diri.
“Tidak!
Ini sudah harga mati, tak bisa ditawar lagi! Aku tak butuh harta benda!
Serahkan istrimu padaku! Kalau tidak, kalian takkan keluar dari hutan ini dalam
keadaan hidup!” jawab Pangga Dewa dengan mata melotot.
Gigi
Raja Sambu Batung dan empat punggawanya gemeletuk, tapi mereka masih bisa
menahan diri. Lima puluh prajurit dan empat punggawa takkan sanggup melawan
ratusan anak buah Pangga Dewa. Dengan alasan harus menyampaikan syarat itu
langsung kepada istrinya, Raja Sambu Batung minta waktu sejenak.
“Esok
pagi istrimu harus diantar kemari! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!” teriak
Pangga Dewa.
Kepada
permaisurinya, Raja Sambu Batung menyampaikan syarat yang diajukan Pangga Dewa,
sebagai imbalan atas durian yang telah dimakan. Putri Perak Intirawan marah
besar. Darah panglima perang yang mengalir di tubuhnya menggelegak. Namun,
mengingat janin dalam perutnya, ia berusaha menahan diri.
Bersama
empat punggawanya, Raja Sambu Batung mengatur siasat. Tengah malam, permaisuri
dan empat punggawa diam-diam menyelinap dalam kegelapan. Itu setelah empat
punggawa berhasil melumpuhkan para penjaga, anak buah Pangga Dewa. Dalam jarak
tertentu, Raja Sambu Batung bersama prajuritnya menyusul.
Pagi
harinya, Pangga Dewa mengamuk setelah tahu anak buahnya tewas dan para tawanan
kabur. Dengan marah, ia membawa anak buahnya mengejar rombongan dari Kerajaan
Pulau Halimun itu. Menjelang tengah hari, mereka berhasil mengejar rombongan
Raja Sambu Batung di pesisir pantai. Saat itu, Putri Perak Intirawan bersama
empat punggawa telah menyeberang ke Kerajaan Pulau Halimun.
Pertempuran
pun tak terhindarkan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit, tapi Raja Sambu
Batung dan prajuritnya bertempur dengan gagah berani. Korban berjatuhan di
kedua belah pihak. Kian lama, prajurit Raja Sambu Batung tampak kian terdesak.
Semangat tempur mereka kalah jauh dengan anak buah Pangga Dewa yang terbiasa
hidup di hutan. Untuk menghindari lebih banyak lagi prajuritnya tewas, Raja
Sambu Batung berteriak lantang untuk menghentikan pertempuan.
Sambu
Batung menantang Pangga Dewa bertarung satu lawan satu. Dengan pongah, Pangga
Dewa meladeni tantangan itu. Perkelahian dan adu kesaktian pun berlangsung.
Mereka bertarung mati-matian selama sehari semalam.
Saat
Raja Sambu Batung mulai terdesak, tiba-tiba bertiup angin puting beliung. Angin
yang merobohkan ratusan anak buah Pangga Dewa, para prajurit dan pohon-pohon
bakau yang tumbuh di pesisir pantai itu menghumbalang bersamaan dengan
datangnya Panglima Perang Ranggas Kanibungan. Dengan kemarahan meluap-luap,
kapak besarnya diayunkannya ke batu karang. Batu karang pun hancur
berkeping-keping.
Dari
jarak dua puluh depa, Ranggas Kanibungan mengibaskan tangan ke Pangga Dewa dan
Raja Sambu Batung yang tengah bertarung. Keduanya langsung terjengkang dan
terhuyung-huyung.
Dalam
satu lompatan, tubuh Ranggas Kanibungan yang tinggi besar sudah berada di antara
keduanya. Pangga Dewa terkejut bukan kepalang saat menyaksikan kesaktian
pendatang baru yang tidak dikenalnya itu.
“Hei,
kapak besar! Siapa kamu? Jangan ikut campur!” seru Pangga Dewa.
“Perbuatanmu
yang nista telah mencoreng muka keluargaku. Jadi, aku harus ikut campur!
Sekarang, terimalah hukumanmu!”
Sebuah
serangan yang telak, cepat dan mematikan tak mampu dielakkan Pangga Dewa.
Tubuhnya terlempar jauh dan menghantam sebatang pohon nangka yang seketika
tumbang. Ia tertelungkup di batang pohon nangka itu. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh Ranggas Kanibungan. Dalam satu ayunan, kapak besarnya
membelah tubuh Pangga Dewa, sekaligus batang pohon nangka itu.
Karena
Pangga Dewa sakti mandraguna, tubuhnya yang terbelah dua dan batang pohon
nangka itu dikubur di tempat terpisah. Para prajurit khawatir: bila dikubur di
satu tempat, raja begal itu akan bangkit lagi. Dengan memisahkannya, itu tak
mungkin terjadi.
Konon,
dua tempat penguburan jenazah Pangga Dewa itu menjadi Tanjung Pangga dan
Tanjung Dewa, dan batang pohon nangka yang terbelah dua menjadi Pulau Nangka
Besar dan Pulau Nangka Kecil.
Koyaknya Halimun Pulau Laut
Raja
Banjar tercenung dengan wajah murung di anjungan perahu kerajaan yang tengah
berlayar. Matanya menatap ombak lautan dan burung camar yang beterbangan di
kejauhan. Hatinya risau.
Pekan
lalu, nakhoda perahu dagang asal Hindustan bersama anak buahnya datang ke
istana. Gugup dan terbata-bata, nakhoda keling itu melapor. Di perairan muara
Kerajaan Banjar, tanpa sebab yang jelas, perahu yang dikemudikannya kandas.
Itu
adalah laporan yang sudah kesekian kalinya ia terima, baik yang langsung datang
dari korban maupun yang dari laporan aparat kerajaan. Kejadian aneh itu juga
sering didengarnya dari nelayan dan pelaut dari kerajaan lain. Dalam selimut
kabut, sampan dan perahu mereka tiba-tiba kandas.
Kejadian
aneh itu biasanya malam hari. Saat diperiksa, di bawah sampan atau perahu tak
ditemukan batu karang maupun gosong. Lebih aneh lagi, di tengah kabut dan
halimun itu terdengar bunyi gamelan bertalu-talu. Padahal, itu di lautan, tak
ada pulau dan daratan!
Di
anjungan, Raja Banjar bertopang dagu.
Misteri
perahu kandas itu membuatnya berpikir keras. Dalam sidang di istana, ia
memerintahkan panglima dan prajurit kerajaan ikut bersamanya untuk menguak
misteri itu. Sebagai raja, ia harus mampu mengatasi persoalan rakyatnya.
Wilayah laut dan kabut yang misterius
itu masih jauh.
Perahu
akan tiba di tujuan menjelang tengah malam. Setelah salat isya dan salat sunat
dua rakaat, Raja Banjar mengajak Panglima Perang makan malam bersamanya.
“Pamanda,
aku akan istirahat sejenak. Awasi prajurit yang bertugas malam ini. Aku tak mau
ada prajurit yang hanya menjadi benalu dan lalai saat menjalankan tugas. Bila memasuki perairan
itu, semuanya harus waspada...”
“Segala
titah paduka, hamba laksanakan,” sahut Panglima Perang.
Menjelang
tengah malam, perahu layar memasuki muara laut Kerajaan Pagatan. Pesisir pantai
kerajaan kecil itu tampak samar-samar di kejauhan. Tiap tahun, raja yang
berasal dari keturunan Kerajaan Bugis itu dengan setia menyerahkan upeti ke
istana Kerajaan Banjar.
Permukaan
laut yang sebelumnya bergelombang, kini tenang. Laut bagai hamparan kain, rata
tanpa riak. Saat itulah, ketika kabut luruh semakin tebal, nakhoda heran.
Perahu tak bisa jalan! Kandas. Seakan ada kekuatan luar biasa yang menahannya.
Bersamaan
dengan itu, sayup-sayup terdengar bunyi gamelan. Ditingkah suara tembang, bunyi
gamelan itu terdengar kian nyaring, padu dan harmonis.
“Di
mana bunyi gamelan itu, nakhoda?” tanya Panglima Perang yang entah sejak kapan
sudah berdiri di belakang nakhoda. Haluan dan buritan perahu sudah dipenuhi
prajurit. Dengan obor di tangan kiri dan tombak atau mandau di tangan
kanan, mata mereka berusaha keras menembus kabut.
“Saya
tidak tahu, paduka. Mungkin di sana...” Nakhoda menunjuk seberang haluan.
Tangannya gemetaran. Ia ketakutan!
Panglima
Perang mengalihkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk nakhoda, tapi tak
tampak apa-apa. Hanya kabut dan halimun yang kian tebal menyungkup perahu.
Bunyi gamelan dan suara tembang mendayu-dayu.
“Subhanallah,
merdu sekali bunyi gamelan dan tembang itu. Terampil sekali tangan yang
memainkannya.Suara tembangnya pun merdu dan menghanyutkan. Ingin rasanya
kuundang mereka untuk main di istana...”
“Oh,
baginda!” Panglima Perang dan nakhoda serempak berseru, terkejut atas kehadiran
junjungannya.
“Aku
sudah terjaga saat mendengar bunyi gamelan ini, pamanda panglima. Tadi aku
menengok keluar dari jendela kabin. Di situ, suaranya jelas sekali. Tapi, aku tak melihat apa pun.”
“Baginda,
bunyi gamelan dan tembang itu mulai sayup-sayup!” bisik nakhoda.
“Subuh
hampir tiba, nakhoda,” sahut Raja Banjar. Dengan wajah berbinar, seakan
mendapat kesimpulan yang menggembirakan, ia berseru: “Subhanallah! Aku
mulai memahami misteri ini...”
“Misteri
apa, baginda?” Panglima Perang bingung, heran dan penasaran.
“Mereka
sedang ada hajatan. Ada perhelatan! Seperti di alam kita, di alam mereka pun
rupanya pertunjukan berakhir menjelang subuh! Kau mengerti, pamanda?”
Entah
mengerti atau tidak, Panglima Perang dan nakhoda mengangguk bersamaan.
“Kita
harus menguak misteri ini, pamanda panglima!” seru Raja Banjar dengan
bersemangat. Ia meminta Panglima Perang mengumpulkan prajurit untuk mendirikan
salat subuh berjamaah.
Usai
salat wajib, Raja Banjar mendirikan salat sunat dua rakaat. Dalam doa, ia
memohon petunjuk dan perlindungan. Memohon agar Allah membukakan misteri itu.
Ajaib!
Bagai tirai kain yang sobek, tiba-tiba kabut dan halimun terkoyak! Di kejauhan,
sebuah pulau dan daratan terbentang, dengan gunung yang menjulang!
“Bunyi
gamelan itu tampaknya berasal dari sana,” kata Raja Banjar sambil berdiri dari
tempatnya salat. “Nakhoda, perahu terasa bergoyang. Apakah air laut sudah mulai
pasang?”
“Benar,
paduka.”
“Kita
berlabuh di sana. Pamanda panglima, kita turun berdua. Nakhoda dan prajurit di
perahu saja. Berjaga-jaga.”
Setelah
perahu merapat di tepi pantai, anak buah nakhoda dan para prajurit menurunkan
sampan. Dalam kabut tipis yang mengambang di permukaan air, Raja Banjar menaiki
sampan yang dikayuh Panglima Perang.
Aneh!
Di pantai tampak dermaga, perahu, sampan dan kesibukan para nelayan yang sedang
bekerja memindahkan ikan-ikan hasil tangkapan!
Ketika
Raja Banjar dan Panglima Perang menginjakkan kaki di pasir pantai, muncul
keajaiban lain. Di depan mereka telah berdiri pria gagah berbusana mewah yang
diapit dua pengawal.
“Assalamu’alaikum...,”
ucap Raja Banjar sembari mengangkat tangannya.
“Salam,
paduka. Selamat datang di Kerajaan Pulau Halimun. Hamba Panglima Perang di
negeri pulau ini. Hamba diutus pemimpin kami, Tumenggung Datu Belang
Ilat, untuk menyambut paduka.”
“Tumenggung
Datu Belang Ilat?” Panglima Perang Kerajaan Banjar heran. Ia mengenal
kerajaan-kerajaan di Nusantara, tapi baru kali ini mendengar nama kerajaan
dengan nama pemimpin seperti itu.
“Ya,
tuan panglima. Bukankah paduka ini Raja Banjar dan Panglima Perang? Kami
mendapat kehormatan dikunjungi. Mari menemui pemimpin kami...”
Sementara
Raja Banjar dan Panglima Perang dalam perjalanan, di balai sidang istana
Kerajaan Pulau Halimun terjadi perdebatan. Tampak hadir Datu Ning Karang
Kabunan, Datu Ning Karang Bainsang, Datu Ning Karang Jangkar, Datu
Ning Kurung, Datu Ning Karang Kintang dan para pemuka adat.
Sidang
dipimpin langsung oleh Tumenggung Datu Belang Ilat. (Julukan belang
ilat berasal dari lidah pemimpin yang sakti mandraguna itu, yang berwarna
hitam kemerahan.)
“Saudara
saudara... Halimun telah terkoyak. Kita tak mungkin lagi menyembunyikan diri
dalam selimut kabut. Mungkin inilah takdir kita. Kita tak bisa menghindarinya.
Entah ilmu apa yang ia miliki, hingga Raja Banjar itu dapat menembus halimun
negeri kita. Bagaimana pendapat datu-datu dan pemuka adat?” tanya
Tumenggung Datu Belang Ilat.
“Ramalan
leluhur kita, bahwa pulau ini akan dikuasai bangsa lain yang kepercayaannya
berbeda dengan kita, mendekati kenyataan. Jadi, waspadalah!” sahut seorang
pemuka adat.
“Adat
budaya leluhur kita akan musnah, ananda Tumenggung!” tambah pemuka adat
lainnya. “Dewata akan murka. Kita akan menerima hukumannya!”
“Maaf
ampun, kanda Tumenggung,” ucap Datu Ning Karang Jangkar. “Mengapa kita
tidak menjadikan ini kesempatan untuk melakukan perubahan?”
“Benar,
kakanda,” sahut Datu Ning Kurung. “Mengapa mati-matian mempertahankan
adat budaya warisan leluhur, bila hati kita menyangsikannya?”
“Ini
sudah keterlaluan!” seru pemuka adat. “Apakah kita ingin mengulang sejarah dan
bencana seperti yang dialami nenek moyang kita? Mereka dahulu musnah akibat
pertikaian dan sengketa, antara Sambu Batung dan Sambu Ranjana...”
“Ya,”
sahut pemuka adat lainnya, “padahal di zaman Paduka Yang Mulia Raja
Pakurindang, negeri kita tenang dan...
Belum
sempat pemuka adat menyelesaikan kata-katanya, di pintu masuk balai sidang
terdengar suara: ”Assalamu’alaikum
warrahmatullahi wabarakatuh...”
Peserta
sidang serempak berdiri, menoleh kepada pemilik suara itu.
“Salam,
paduka Raja Banjar...,” sahut Datu Ning Karang Kabunan.
Raja
Banjar dan panglima perangnya, dikawal Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun,
memasuki balai sidang.
“Apakah
kedatangan kami mengganggu, Tumenggung?”
“Oh,
tidak, paduka. Silakan duduk. Kami sedang membicarakan kehebatan paduka yang
berhasil menembus kabut dan halimun yang melindungi negeri kami. Paduka
benar-benar sakti.”
“Tidak,
Tumenggung. Semua atas izin Allah. Hanya kepada-Nya aku menyembah dan hanya
kepada-Nya aku memohon pertolongan.”
“Maaf,
siapa yang paduka maksudkan?” tanya pemuka adat.
“Allah.
Dialah Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kami menyembah-Nya, menaati segala
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dia maha pengasih dan maha penyayang, maha
pemurah dan maha pengampun terhadap hamba-Nya yang berdosa...”
“Menarik
sekali. Apa nama kepercayaan paduka itu?” tanya Tumenggung Datu Belang
Ilat.
“Islam.”
“Ya,
dewata... Ramalan itu menjadi kenyataan!” seru pemuka adat.
“Pamanda...?!”
Tumenggung Datu Belang Ilat tersentak melihat pemuka adat yang seakan
terpukul, terhenyak di kursinya.
“Maafkan
kami, ananda Tumenggung. Ini soal keyakinan. Soal pilihan. Jika ada yang ingin
menganut keyakinan seperti yang dianut Raja Banjar ini, kami tidak melarang.
Tapi, perkenankan kami menganut keyakinan seperti yang telah kami anut selama
ini. Kami akan mengasingkan diri di pedalaman yang sunyi dan gunung yang
tinggi...,” sahut pemuka adat.
Melihat
suasana kikuk itu, Raja Banjar berdiri dari tempat duduknya. “Pamanda
Tumenggung dan pemuka adat yang saya hormati... Saya mohon maaf bila kehadiran
kami menimbulkan perselisihan di antara kalian.”
“Oh,
tidak, paduka,” sahut Datu Ning Karang Bainsang. “Duduklah kembali.
Perbedaan pendapat tidak dilarang di Kerajaan Pulau Halimun ini. Seluruh
keputusan dan peraturan memang harus melalui pembahasan di persidangan.”
“Kami
merasa tidak enak...”
“Jangan
sungkan, paduka,” Datu Ning Kurung meyakinkan, yang lain
mengangguk-angguk mengiyakan.
“Cara
mengatasi perbedaan pendapat yang seperti itu juga diajarkan dalam Islam.
Malahan, perbedaan dianggap sebagai rahmat. Tak ada paksaan dalam Islam.”
“Kami
makin tertarik, paduka,” sahut Datu Ning Karang Kintang. “Apa saja
syarat bagi pemeluknya?”
Dengan
lancar, Raja Banjar menjelaskan asal usul, riwayat, sejarah dan syarat yang
diwajibkan bagi umat Islam, termasuk tata cara beribadah dan sebagainya. Tanpa
sadar, Raja Banjar telah dikerumuni tokoh-tokoh dan pimpinan Kerajaan Pulau
Halimun yang tertarik dengan pemaparannya. Waktu berlalu tanpa terasa.
Pemaparan itu disela rehat, saat Raja Banjar mendirikan salat zuhur, ashar,
magrib dan isya. Ketika Raja
Banjar salat, para tokoh dan pemimpin Kerajaan Pulau Halimun memerhatikan
dengan saksama.
Setelah
makan malam bersama, Raja Banjar menyampaikan niatnya untuk pamit dan kembali
ke perahu. Namun, Tumenggung Datu Belang Ilat menahannya. “Nanti dulu, paduka. Sebagai hiburan, kami
akan menampilkan musik gamelan...”
Gamelan!
Suara
gamelan dari istana Kerajaan Pulau Halimun inilah yang telah menghebohkan
banyak nakhoda, nelayan dan pelaut itu!
Sepanjang
malam, Raja Banjar dan panglimanya menyaksikan pertunjukan gamelan dan tembang
dari para nayaga istana Kerajaan Pulau Halimun.
Di
perahu, nakhoda dan para prajurit pun mendengarnya. Bunyi tabuhan dan lantunan
tembang mengalun seirama gelombang lautan, seiring dengan kabut dan halimun
yang turun perlahan.
Keesokan
harinya, sebelum melepas kepergian Raja Banjar dan Panglima Perang, Tumenggung Datu
Belang Ilat menyampaikan keinginan rakyat Kerajaan Pulau Halimun memeluk Islam.
“Sebelum
menyerahkan Kerajaan Pulau Halimun dalam kewenangan Kerajaan Banjar, ada tujuh
syarat yang harus diingat, paduka,” kata Tumenggung Datu Belang Ilat,
“Dan paduka harus bersumpah untuk menaatinya.”
“Aku
bersumpah. Insya Allah...”
“Pertama,
paduka berwenang memerintah rakyat kami, tapi harus dengan adil dan bijaksana.
Kedua, kepada pelanggar aturan dan perundang-undangan berilah hukuman yang
setimpal dengan kesalahannya. Ketiga, paduka harus memperlakukan rakyat kami
seperti paduka memperlakukan keluarga sendiri. Seumpama paduka duduk di kursi,
rakyat juga harus duduk di kursi; walaupun tidak sebaik kursi paduka.
“Keempat,
paduka tak boleh menghukum rakyat yang tidak bersalah. Kelima, paduka harus
baik dan jujur. Rakyat harus mendapat keadilan dan perlindungan atas hak milik,
hak atas pekerjaan dan ketenangan dalam menjalankan adat dan budaya dan
kepercayaannya masing-masing.
“Keenam,
paduka tak boleh merusak, merampas atau membawa harta kekayaan milik rakyat
Kerajaan Pulau Halimun untuk kepentingan pribadi, apalagi membawanya ke luar
pulau ini. Ketujuh, paduka tak boleh sewenang-wenang. “Bila paduka melanggar sumpah ini, kami akan mengutuk
paduka menjadi manusia hina dan nista, dirundung penyakit dan bencana yang tak
ada habisnya....”
***
Tentang Penyusun
M. Sulaiman Najam dilahirkan di Pulau Lontar, Kecamatan Pulau
Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, 1 Agustus 1935. Mantan guru Sekolah Rakyat dan
Penilik Kebudayaan ini pensiun sebagai Kepala Seksi Pendidikan Masyarakat di
Kandepdikbud Kabupaten Kotabaru (1991). Setelah itu, sempat dua periode menjadi
anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1992-1997 dan 1997-1999). Berkesenian sejak
1960-an dengan bermain musik, menulis puisi, cerpen, menulis naskah dan
sutradara drama dan menjadi pengurus sejumlah organisasi kesenian. Anggota
Orkes Keroncong Tunas Mekar Kotabaru (1954-1955), penasihat BKKNI Kotabaru
(1980-an), MPS DKD Kotabaru (1995-1998, 1998-2004) dan pembina KSI Kotabaru
(2006-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1999 dan 2004) dan
Abdi Wisata dan Budaya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kotabaru
(2006).
M. Syukri Munas adalah pencipta lagu daerah Banjar yang
terkenal, Halin. Dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 4 Juni 1949. Sejak
anak-anak menekuni seni musik, menyanyi dan mencipta lagu, memainkan akordeon
dan biola. Ia juga menulis puisi, berdeklamasi, menari dan main
teater. Pimpinan Orkes Melayu Rindang Sebatung (1964), pengurus Lesbumi
Kotabaru (1965), Sanggar Rima Sarfira (1977), BKKNI Kotabaru (1980) dan DKD
Kotabaru (1995-sekarang). Menerima Penghargaan Seni Bupati Kotabaru (1997),
Penghargaan Seni Kanwil Depdikbud Kalsel (2000) dan Hadiah Seni Gubernur Kalsel
(2005). Sering diminta sebagai juri berbagai lomba kesenian di Kabupaten
Kotabaru dan di provinsi Kalimantan Selatan.
Eko Suryadi WS dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, 12 April
1959. Menulis puisi dan esai sastra sejak di sekolah lanjutan, dipublikasikan
di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Terbit, Pelita,
Sinar Harapan dan lain-lain. Puisinya dimuat dalam antologi tunggal
maupun bersama, antara lain Sebelum Tidur Berangkat (1982), Dahaga
B.Post ’81 (1982), Tamu Malam (1992), Wasi (1999), Kasidah
Kota (2000), Jembatan Tiga Kota (2000), Reportase (2004), Di
Batas Laut (2005) dan Seribu Sungai Paris Barantai (2006),
semuanya terbit di Kotabaru, Banjarmasin dan Yogyakarta. Aktif di organisasi
kesenian, kemasyarakatan dan pemuda, di antaranya ketua Sanggar Bamega ’88,
ketua Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kabupaten Kotabaru (1985), ketua
Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Kotabaru dua periode (1995-1998 dan
1998-2004) dan ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kotabaru (2006-sekarang).
Sempat menjadi anggota DPRD Kabupaten Kotabaru (1997-1999). Menerima Hadiah
Seni Gubernur Kalsel (2006).
***
Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari,
oleh, hidup dan berkembang, di masyarakat. Ada dua jenis cerita rakyat:
berbentuk puisi dan prosa. Cerita rakyat berbentuk prosa terdiri dari mitos,
dongeng dan legenda.
Buku ini memuat sembilan cerita rakyat dari Kabupaten
Kotabaru, Kalimantan Selatan. Disajikan dalam bahasa sederhana, karena memang
untuk bacaan anak-anak, remaja, guru dan orangtua.
Kotabaru adalah kabupaten yang memiliki
wilayah terluas di provinsi Kalimantan Selatan, terdiri dari 109 pulau besar-kecil
(79 pulau belum berpenghuni). Kalau ditarik garis melintang, posisinya persis
berada di tengah wilayah Nusantara. Dihuni beragam suku bangsa, dengan
sendirinya banyak cerita rakyat, mitos, dongeng dan legenda yang hidup di
masyarakat.
Melalui buku ini, diharapkan warga negara
Indonesia lainnya, sekurangnya di Kalimantan Selatan, mengenal dan mengetahui
cerita rakyat dari Kabupaten Kotabaru; kabupaten yang dikenal dengan julukan
“Gunung Bamega” dalam lagu
daerah Banjar tersohor, Paris Barantai.
***
Warga Sa'ijaan kotabaru Pulau Laut dimana pun berada,Wajib baca...!!
BalasHapus