Burhanuddin
Soebely
CONCERTO
BALAI BILARAN
adalah
menyetubuhi gadis berambut turun dayang
yang
kecipak-kecipung di bening air sela batu-batu
mendatangi
loksado
adalah
membasuh kesederhanaan dan kerendah-hatian
yang kusam
oleh jam-jam brutal kota-kota
mendatangi
loksado
adalah ini:
malam rebah
rindu
segenap umbun
menahan sedu
ada geliat
bunyi serunai bambu
ketipak
gendang bertalu
dengung gong
yang memburu
----iiii....lah...
nang manggaduh tihang aras mula
jadi
nang manggaduh tihang aras mula
ada
iiii.....lah....
turunan di gantang amas di
gantang kaca
turunan di gantang intan di
gantang sari----
kendati balian
balai bilaran
telah
menandiki
kambang-kambang lilihi terburai
bagai warkah
tak berwasilah
suara-suara
yang menyebut
cuma gema
tak bersahut
----duh, Ning Diwata
sesembahan alam raya
buyut intah
Bambang Siwara
telah bersekutu dengan Datung Sumaliih
meracuni mata air buyut intah Datung Ayuh
mereka sumpahi semua menjadi batu
hingga nurani kami pun mulai berbunga
batu
mereka serakkan ludah-ludah dunia
dan menghela kami ke penjara kabut
yang menghalalkan mendaki pundak sesama
untuk bisa melihat matahari
duh, Sang
Jata yang lunggun di sapta pertala
bilas keringat kami yang memupuk tugalan
pada mulanya
bernama kebersamaan
kini menjelma mimpi di langit-langit ujuk
membiuskan nafsu pemilikan kebendaan
hingga hati kami mulai memperanakkan
macan
yang
menyiapkan cakar dalam keseharian---
beberapa
isak rebak
ada bau
bunga semerbak
bau dupa
semerbak
bau garu
semerbak
bau menyan
putih semerbak
lalu meruap
bau darah
---dijanjii panggung dijanjii
dihajati panggung dihajati
gunung sangga gunung sambut
gunung panyambutan maut---
lalaya tak jua berkerisik
kendati pinjulang dan patati balai bilaran
sudah
menyampiri
mahligai ading kosong penghuni
sangkar galung sangkar mayang
menafaskan sepi
---duh, Sang Mahatara
yang lungguh di sapta paksina
ke mana lagi kami sangkutkan
cicit anak-anak burung ini
anak-anak burung yang meramal sungkawa
anak-anak burung yang bakal hilang sarang
anak-anak burung yang jadi anak jadah kemajuan
akar-akar rimba beton
mulai mengisapi sumsum peradaban
gemuruh mesin dan barang jajaan
menyerimpung kuda-kuda kaki
yang berusaha bersitahan
agar tak terseret arus zaman---
mendatangi
loksado
adalah
menatapi warna senja kala
terdengar
simfoni mozart dan beethoven
di sela
tawaran mc Donald
dan konsesi real estate
mendatangi
loksado
adalah
memasuki keramaian
ketika
jeanne d’arc
diarak
menuju lidah-lidah api
aku pun
bertanya:
jeram di
hulukah yang menghilirkan arus payau
ataukah
angin hilir yang mendiruskan risau?
LAGU TANAH TUGALAN
selembar
hari. Burung-burung meninggalkan sarang
hinggap di
atas arang bekas tebangan. Seperti kita,
ujarmu
sambil membenamkan topi ke kepala. Dan hutan
di selatan
menyahut dengan tangis. Tangis siapa?
perlahan kurung-kurung bersisahutan, lagu panggilan
tanah
tugalan. Mari belajar meramu hidup,
ujarmu
sambil mengibas hari. Selebihnya, lesak asak,
semaian
benih padi, dan peluh yang gaib di tanah
“ Datu bini badangsanak walu
jejakkan kaki di marcapada
‘lah kami bangun balai keemasan
wadah istirah di tanah tugalan
Datu bini badangsanak walu
jejakkan
kaki di marcapada
tumbuhkan lagi buah jelmaan
runduk
berisi jadi idaman “
selembar
hari. Burung-burung beterbangan
menyanyikan
persetubuhan isi langit dan bumi. Seperti
kita,
ujarmu
sambil memandangi anak-anak padi di tugalan.
Tapi hutan
di selatan
masih menyahut dengan tangis. Menangisi siapa?
“ Galuh
Yayang! Galuh Yayang!
tolong
peliharakan buah idaman
dari keserakahan hewan asuhan
hingga
berbunyi gendang bawanang “
kembali
selembar hari. Anak-anak berkejaran: memburu esok
di atas
mimpi kemarin yang elok. Seperti kita,
ujarmu
sambil melipat hari. Mengusapkannya
pada penat
di pinggangku. Hutan di selatan
masih jua
menangis. Menangisi apa?
MITOLOGI
HUJAN
malam-malam Diyang
Sanyawa
menari
di tanah huma
malam susut sungailah yang
membingkas gendang
dan serunai.
Kamu depanku, meramu kelelatu, menjerang
merang itu,
juga darah itu. Purba belantara. Harum dupa
menunggu
tengara dari tenggara.
bebatu rindu, bujukmu, mencelup
rambut ke sisa
lumut, ke
sisa rumput. Cuaca mengentara. Bayu
memberat
pada serat bunga randu. Tapi hujan masih
jauh,
kukira.
o, yang melampu
di tiap penjuru
jangan termangu
di ambang pintu
o, yang bersaf
minta diucap
jangan hinggap
beraling gelap
perjamuan ’lah sedia
pesta ’kan bermula
malam susut sungailah yang membingkas gendang
dan serunai.
Kamu depanku, menangkup lesung,
merajang kayu piatu, pun dedak tahun lalu. Tujuh beras
pada gelas
menjerat isyarat yang bertangkap lepas.
bebatu rindu, melasmu, mencelup
rambut ke sisa
lumut, ke
sisa rumput. Cuaca mengentara. Kercap
dingin
dan bau
tanah basah. Tanda hujan bakal tiba, kukira.
ulin di hutan
berpagar mayang
tikar terhampar
pun api pendiang
”batulis
kaning batambang liring
rambut ading juntai ka tawing
libak di tilam pacah tilah
libak di tilam sanghir banyawa...”
bebatu rindu, lenguhmu, mencelup rambut ke sisa
lumut, ke
sisa rumput. Cuaca mengentara. Ada derak
di tenggara.
Kerakah chainsaw, ternyata.
POTRET KEHILANGAN
tak ada lagi
perahu
lalu-lalang
di sungai itu
pun rakit
bambu
yang milir
dari hulu
tapi tak
terdengar teriak kehilangan
apalagi
ratap dari tangisan
“ Barangkali
kita harus mengulang kaji
jarum
arloji.” igaumu sambil menyimpan kamera
ke tas
berdebu. Aku termangu memandang
keruh air, melihat bangkai kucing
mengucup kelamin angin. “ Hari memang telah senja! “
igaumu lagi.
Lalu menjumput sebutir batu
melemparkannya
ke wajah waktu
ratusan
pipit lenyap
dari kawat
telegrap
pun kelepak
derkuku
yang
mengibas orang lalu
tapi tak
terdengar teriak kehilangan
apalagi
ratap dari tangisan
“ Barangkali
kita harus membilang jarak
pada jejak.
“ igaumu sambil menyimpan kamera
ke tas
berdebu. Aku menyulut sebatang rokok
dan menunjuk
lingkaran asap
yang
perlahan lenyap. “ Betapa ganas legiun berkuda! “
igaumu lagi.
Lalu mengambil ranting kering
menombakkannya
ke ombak awan
jadi batu
berlumut
tinggal lagu
bacin
tapi tak
terdengar teriak kehilangan
apalagi
ratap dari tangisan
“ Mari kita
nyanyikan
lagu piatu.”
igaumu sambil memandangi
potret-potret
kuning di dinding. Aku melihat daun jatuh
dan menutup
tirai jendela yang kusam
oleh cuaca.
“ Serabut memang telah tercabut! “
igaumu lagi.
Lalu puluhan puntung di asbak
menyempurnakan
kehilangan kita.
KASIDAH BIDUAN
inilah hamba, biduan yang mengais
remah dari dunia. Lalu bersenandung
ke telinga piala kesukaanmu
lagu tentang makhluk api yang sembunyi
di balik gincu si renta itu
inilah hamba, biduan yang mengais
air mata dari damba. Lalu bersenandung
ke telinga piala kesukaanmu
lagu tentang keriuhan zikir bulbul
ketika sayap-sayap berkepak mengangkat
ruh para penyujud cinta
inilah hamba, biduan yang mengais
kata dari titahmu. Lalu bersenandung
ke telinga piala kesukaanmu
lagu tentang kedahsyatan hari lepas akar
ketika degam beruntun degam
dan semesta membulu dalam angin
inilah hamba, biduan yang mengais
kasih dari kalbumu. Meramu lagu
Allah Hu
ZIARAH MALAM MELAKA
“ persiaran
malam ni
jejaki
peristiwa lama…”
Mei Lan
memandu perjalanan
tapi Melaka
cuma kaca
dan dinding
batu. Barangkali anak waktu
telah
bergegas melepas susu ibu
dan
menyembunyikan jejak bapa
di mana
Tuah?
“ jangan
cakap pasal tu…” bisik
Mei Lan.
Lampu-lampu muram
menjerat
irama dansa. “ selagi berulit ni
di copeng
telinga cakap sahaja gelora laut
setakat
kapal belum karam dalam malam…”
cuma kaca
dan dinding
batu. Bau rambut
membuat ruang susut. Dan sebentuk
pualam
terpeta pada tilam
di mana Tuah?
“ Tun Tuah tu lagi bersama Putri
Cina
mengayuh
asmara di atas pusta…”
Mei Lan
memandu perjalanan
peluh rinai
di rambut
terurai. Selebihnya busa bir
meleleh
perlahan di bibir cangkir
Melaka
membunuh bunda
Mengubur
bapa
Garden City
Melaka, 2003
LAMUNAN
sehabis
bercakap di inti diri, kukenangkan sejenak
apa-apa yang
luput dari hidup, dan membayangkan
ke mana
perginya ruh setelah ketiadaan agar terdapat
titik
pinasti bahwa setelah saat itu masih akan ada
hidup yang
lain
tetapi aku
tak menemukan apa-apa, kecuali segumpal
awan dari
tanyaku yang terasa demikian asing lantaran di
tiap ujung
bayang-bayang yang datang Engkau jualah yang
meletakkan
pandang. Memperdalam hening
PERTANDA
kutemui
pertanda di sini, di antara tunggul kayu
jerit mega
dan igauan baja. Tersabda suara gaib
selaksa
nisan akan bangkit di bukit-bukit
kutemui pertanda
di sini, di sunyi kepak burung
---telah
lepas tiruk riwayang yang dahaga
memburu tubuh merindu keluh menunggu
aduh---
maka larilah
aku kehutanrimbaku kehulusungaiku
kelembahgunungku
kepadangrumputku kecerukjeramku
tapi tak
satu pun ketemu tempat sembunyi
semua telah
dikembalikan kepada api
kutemui
pertanda di sini, di luka-luka tanah bunda
serintis
angin menyanyi belasungkawa
PERARAKAN TOPENG
saat
terbangun dari nikmat percumbuan, kau menemukan
bantal
kosong di sisi. Diam-diam kusaksikan rama-rama itu
menyampaikan
pesan penghabisanku: dengan topeng di
wajah
carilah aku di entah. Aku tahu
kau merasa aneh dengan permainan
cinta ini,
tapi aku telah tinggalkan penanda: keharuman dari cadarku
yang tadi
malam kita jadikan penyeka embun keringat di ranjang
“ Bapaku Dalang, o, Bapaku Dalang
betapa rapuh
dahan tempatku berpegang
bukankah
sisa percumbuan
cuma
kecambah kehilangan
makanan
kesukaan bagi sangkala? “
tapi
kaulakoni juga perarakan itu, mengetami bebutiran luka
di sepanjang
pencarian. Diam-diam kusaksikan: kau menyurukkan
topeng ke
batu penistaan sambil berharap rama-rama akan membawa
desah
cintamu kepadaku. Aku tertawa. Bukankah di hari perjanjian
dulu kau
merasa demikian mengenaliku, sanggup menderita atas nama cinta?
“ Bapaku Dalang, o, Bapaku Dalang
betapa lelah
memburu entah
memetakan
bayang cadar pada segala
membaui sisa
keringat pada jejak
mengucap
nama di belantara nama “
kubiarkan
bercawan-cawan darah tumpah sebelum kecambah menjelma
bunga di
hatimu. Semakin rimbun kehilanganku akan semakin menegas
ketidakhilanganku.
Selangkah kau berjalan kepadaku, akan berlari
aku
menjemputmu.
Tahukah kamu, wahai kekasih-Ku?
LOKSADO
selalu saja.
Ricik air di batu. Mengaliri
penanggalan.
Melarutkan aduh
daki tubuh
berpeluh
selalu saja.
Angin dan hutan bambu. Menafasi
penanggalan.
Melantunkan kasidah
rumah di
lembah
dan selalu
saja. Kepompong sunyi. Membungkusi
penanggalan.
Menempa lagi
tanah yang
pecah
Loksado =
tempat wisata di lembah Pegunungan Meratus
KONSER
KECEMASAN
---siapakah
mereka yang menyesap sanginduyung
menaburkan bau bunga bau cendana
di petanahan purba wadah semaian asa?---
tak ada
sahutan. Anak-anak balai bilaran
gelimpangan
di lantai, dihempas musik rak-rak-gui
yang muncul
dari keganasan chain-saw
bahkan dalam
tidur pun musik itu terus mengalun
bersabung
dengan raung buldoser erang eksavator
derak loader deru tronton gemuruh ratusan truk
menciptakan
konser kecemasan dan pemandangan senjakala
lalu bagai
kupu-kupu bersayap tunggal
anak-anak
itu beringsut merubung lalaya
---iiii....laaah
batang tajunjung batang sasangga
daunnya maharing langit
iiii....laaah
di langit bajunjung kaca
di tanah baruntai anggit---
apalagi yang tersisa
di mana lagi kami semaikan asa
hutan-hutan tiada
huma-huma tiada
tanah-tanah rekah
mengalirkan nanah
pancur-pancur jelaga
sungai-sungai berbisa
ah, apalagi yang bakal terban
di mana letak keadilan?”
perempuan-perempuan
berambut putih terjurai
mengais sisa
tangis
“jangan bertanya tentang keadilan, Diyang
karena jiwa mereka telah kering
karena mereka adalah bangkai
yang berkisar di antara angka-angka
yang sungainya cuma kerakusan
yang muaranya cuma perasaan
ketakcukupan akan sebiji dunia
dan kita tak lebih dari binatang korban
yang digiring ke altar persembahan
atas nama kemakmuran
tapi jangan menangis, Diyang
kita bukan batu yang bisa digaris-tepikan
kita akan kibarkan bendera perlawanan!”
---siapakah
mereka yang merobeki rahim ibu bumi
dan mengangkuti belulang moyang kami?---
tak ada
sahutan. Para balian
balai bilaran
batandik mengelilingi lalaya, menating
mangkuk merah
berisi air
mata rembulan, santan kecemasan, darah perasaan
---iiii...laaah
langit baputar langit baguncang
langit baradin
tanah bargana bakumpang hati
carincing gading
basamban darah batunjuk parang batunggang
angin---
“awas jangan papas hutan kami
nanti aku amuk aku tuang wisa ke pembuluh raga
awas jangan ganggu sorga kami
nanti aku sumpit aku damak aku kirim parang maya
jangan tuang nila jangan bawa bala
selusupku selusup datu selusup tak berwaktu
jariku jari pahat jari-jari tombak
mataku mata pisau mata-mata mandau
tiupku tiup puja tiup mantera-mantera
awas jangan papas hutan kami
jangan ganggu sorga kami
aku ada di sukma burung di sukma gunung
aku ada di sukma bayu di sukma kayu
aku ada di sukma batu di sukma datu
mengintai selalu!”
---siapakah
mereka yang menyesap sanginduyung
menebarkan bau bunga bau cendana
merobeki rahim ibu bumi
dan mengangkuti belulang moyang kami?---
tak ada
sahutan. Pertanyaanku membentur jidat
para
birokrat yang terlilit utang pada konglomerat
apakah puisi-puisi BS ini ada buku nya? (diterbitkan dalam bentuk buku?), boleh pinjam? atau beli?
BalasHapusPuisi-puisi ini tidak dimuat di satu buku. Sebagian terbit di sejumlah bunga rampai. Pasca kematian BS, belum ada upaya untuk menerbitkan antologi puisinya. Terima kasih atas perhatian Anda.
Hapus