MENCARI AKTOR TEATER
Y.S. Agus Suseno
Tanggal 3-8 Agustus 2007 Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS)
mengadakan Nyala Banua, Festival Teater Kalimantan Selatan, bertema
perjuangan rakyat Banjar melawan kolonialisme, bertempat di Panggung Seni Taman
Darmansyah Zauhidhie, di Jalan A. Yani, Kandangan. Setelah sekian tahun vakum,
inilah ajang kompetisi terbuka yang akan memperlihatkan dinamika dan wajah
teater di banua.
Persyaratan yang ditentukan panitia,
“peserta adalah grup/komunitas teater yang berdomisili di wilayah provinsi
Kalimantan Selatan. Naskah/cerita yang digelar bertema/berlatarbelakang
perjuangan rakyat Kalimantan Selatan (misalnya, episode Perang Banjar atau
Perang Kemerdekaan), durasi maksimal 45 menit”. Selain akan memperoleh trofi
dan piagam penghargaan, tiga pemenang
akan mendapatkan uang pembinaan Rp.1.250.000, Rp.1.000.000 dan Rp.750.000.
Pendaftaran di sekretariat panitia: Disparbud Kabupaten HSS di Kandangan, Jalan
Jenderal Sudirman Nomor 26, telepon (0517) 21363, mulai 21 Mei sampai dengan 10
Juli 2007, pertemuan teknis (technicall meeting) Selasa, 17 Juli 2007,
Pukul 10 Wita, contact person 08125021804, 08125010439 dan 08125065557.
Sejak satu dekade terakhir, seiring
dengan otonomi daerah, sejumlah komunitas teater (tradisi maupun modern) mengalami jatuh bangun. Sejalan dengan itu,
di manakah aktor?
Problematika jagad teater (tradisi
maupun modern) Kalimantan Selatan cukup kompleks. Meskipun selama ini teater
Kalimantan Selatan (seperti halnya di bidang seni lain) selalu diperhitungkan di
kancah teater nasional, ketidakberimbangan jumlah antara penulis naskah, sutradara
dan aktor menjadi hal penting yang luput dari pembinaan lembaga dan institusi
berkompeten. Masalah yang paling krusial: “pemain” banyak, tapi aktor dapat
dihitung dengan jari. Sejak awal dekade ini, kondisi itu kian diperburuk dengan
mewabahnya pentas teater instan semacam happening art, terutama
di kalangan aktivis teater pelajar, teater kampus, juga di beberapa sanggar, khususnya di Banjarmasin.
Tanpa
bermaksud membela diri, saya sendiri termasuk yang “berdosa” karena, bersama Forum Apresiasi Seni (FAS) Fakultas
Hukum Unlam (yang saat itu dalam binaan saya), membawakan happening art untuk
memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional, 10 Desember 1996. Di
tengah kuatnya represi Orde Baru saat itu, puluhan anggota FAS (pria
bertelanjang dada dengan tubuh dibaluri lumpur, yang perempuan berpakaian serba
hitam) tanpa suara mengusung keranda bertulisan matinya demokrasi. Bergerak
dari samping Gedung Serba Guna Unlam, iring-iringan melangkah pelan sepanjang Jalan Brigjen H. Hassan Basry.
Tanpa niat mengklaim bahwa itulah happening
art pertama di Banjarmasin, tapi sejak saat itu komunitas teater di Banjarmasin (kemudian di
Banjarbaru dan Amuntai) menggarap hal yang sama, dengan konteks, tema dan waktu
berbeda. Ide dan bentuk happening art sendiri tentu saja tidak orisinal.
Sumbernya mungkin dapat dilacak pada Agustus 1995, ketika Taman Budaya
Surakarta (TBS) di Solo mengadakan acara Refleksi Setengah Abad Indonesia yang,
selain diisi dengan pertunjukan sastra (baca puisi, musikalisasi puisi), seni
instalasi, pertunjukan multimedia, juga
pergelaran teater.
Dari
Banjarmasin, selain FAS, tampil juga Sanggar Budaya Kalimantan Selatan (Adjim
Arijadi) dan Sanggar Sesaji (Rudi Karno). Saat itu, ada satu kelompok (mungkin
mahasiswa STSI Surakarta) menyajikan pertunjukan yang, kemudian, popular sebagai
happening art itu. Bila ditelusuri lebih jauh, sebagai embrio sebetulnya happening art sudah muncul
secara sporadis di beberapa kota di Jawa sejak 1980.Yang jadi soal, beberapa
sanggar dan aktivis teater kampus di sini kemudian seakan beranggapan, kalau
sudah pernah tampil dalam happening art, jadilah dia aktor. “Aktor”
mungkin ya, tapi aktor, tunggu dulu.
Analogi
dalam seni lukis mungkin akan memperjelas perbedaan itu. Sebelum dikenal
sebagai “raja pelukis ekspresionis”,
Affandi pun melalui tahapan yang umum dilalui seorang pelukis, sebelum ia
menemukan coraknya sendiri. Affandi pun melukis realis, surealis, impresionis,
kubis, abstrak dan lain-lain sebelum, kemudian, menemukan aliran yang selaras
dengan jiwanya yang ekspresif: ekspresionisme.
Ironisnya,
sejumlah komunitas teater di Banjarmasin, Banjarbaru dan Amuntai beberapa waktu
lalu mengalami “demam” happening art dan seolah menganggap itulah teater,
tidak sekadar menjadikannya sebagai seni kejadian yang disajikan untuk merespon
suatu peristiwa aktual di masyarakat, seperti yang kini lazim ditampilkan
mahasiswa dalam demonstrasi. Akting sebagai syarat utama teater dilupakan, lalu
matilah aktor.
Dalam
sepuluh tahun terakhir, sulit sekali menemukan pertunjukan yang memamerkan
kepiawaian akting aktor-aktris teater. Seringkali yang tampak di panggung
adalah “pemain” yang “memainkan” peranan, bukan aktor yang berakting.
Budaya instan yang serba praktis rupanya telah merasuki seluruh sendi
kehidupan masyarakat, sehingga teater pun, dalam bentuk happening art
itu, dijadikan sebagai media aktualisasi komunitas yang tak mau capek berlatih dengan
proses dan melalui tahapan. Seperti pelukis yang tak bisa melukis gelas secara
persis (realis), komunitas yang tak mampu menggarap naskah teater realis
langsung memainkan pertunjukan yang tak karuan dan, sambil menepuk dada,
menyebutnya “teater absurd”.
Suka
tidak suka, diakui atau tidak, komunitas yang pernah menghasilkan aktor-aktris teater yang kuat adalah Sanggar
Budaya Kalimantan Selatan. Lewat tangan dingin Adjim Arijadi, sejak 1970-an
hingga 1990-an sejumlah aktor-aktris teater lahir melalui pertunjukan yang rutin digelar tiap tahun.
Tetapi, paruh terakhir dekade lalu tampaknya menjadi senjakala bagi sanggar
yang berumur 40 tahun itu. Sejak itu, pamor Sanggar Budaya (yang sebelumnya dikenal
sebagai kelompok yang piawai menyajikan naskah dramawan nasional maupun saduran
asing) mulai meredup.
Hal
itu tidak terlepas dari tiadanya sistem manajemen yang membuat gagalnya kaderisasi.
Setiap kali pentas, sanggar ini harus merekrut anggota baru, yang harus ditempuh
melalui workshop. Hal itu jalin-menjalin dengan hal-hal lain, yang
akhirnya mengerucut pada kurangnya
penghargaan terhadap kesenian di Kalimantan Selatan.
Dari
kompetisi bertajuk Nyala Banua, Festival Teater Kalimantan Selatan di
Kandangan, akankah muncul aktor dan aktris teater yang bertalenta? Dengan
naskah yang boleh ditulis sendiri, atau karya orang lain yang setema, event itu
menantang kreativitas aktivis teater di seluruh kabupaten/kota untuk
menunjukkan keberadaannya. Juga, untuk menunjukkan, bahwa teater masih ada dan
semangat untuk mengusungnya masih menyala.
Di
tengah kesuntukan hidup yang karut-marut oleh masalah sosial, ekonomi, politik,
alam lingkungan yang hancur akibat eksploitasi dan sebagainya, teater (dan
kesenian umumnya) mungkin bisa menjadi semacam oase: meringankan dahaga dan
kelelahan jiwa kita sebagai insan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar