40 TAHUN SANGGAR BUDAYA KALIMANTAN SELATAN
Y.S.
Agus Suseno
Menandai hari jadinya yang ke-40,
dirangkai dengan hari jadi ke-60 Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII)
Kalimantan Selatan, Sanggar Budaya Kalimantan Selatan (SBKS) mementaskan teater
Islami, Nur Rasulullah, di Balairung Sari Taman Budaya Kalsel di
Banjarmasin, Rabu, 30 Mei 2007. Pertunjukan berlangsung dua kali, siang pukul
14.00, malam pukul 20.00 (yang dimulai pukul 20.55 Wita). Dengan naskah dan
sutradara Adjim Arijadi, didukung 30-an pemain, pertunjukan yang mengisahkan nur
Muhammad itu berlangsung sekitar 90 menit.
Syahdan, kapan dan di mana nur Rasulullah hadir telah meresahkan penduduk
Hijaz. Nur Rasululullah adalah nur Muhammad yang telah ada
sebelum kelahirannya. Tapi di mana? Anak siapa? Abrahah (M. Rizki Putra), yang
mengaku dirinya Tuhan, telah memerintahkan agar setiap anak yang baru lahir,
dibunuh. Ahli Kitab (Aspiansyah) pun mencarinya. Abdul Muthalib (Syamsudin
Noor), sebagai “walikota” Mekkah, datang ke perkemahan Abrahah dan menuntut
agar unta dan harta penduduk yang dirampas, dikembalikan.
Abdul Muthalib mengatakan, kalau
Abrahah ingin menghancurkan baitullah, silakan, dia tak kuasa
menghalanginya. Tapi baitullah adalah milik Allah, dan itu urusan-Nya.
Konflik pun terjadi antara Abdul Muthalib dengan Abrahah, dan di kalangan
penduduk yang terbelah. Dan cerita selesai dengan akhir yang bisa diduga: api
abadi sesembahan majuzi tiba-tiba padam dan prajurit Abrahah dihancurkan
ababil, bala tentara langit. Lalu, Nabi Muhammad lahir.
Yang menarik pada pergelaran SBKS
itu bukan pada ceritanya (yang sudah umum diketahui), tapi komposisi pemain. Sebagian
besar (kalau tidak seluruhnya) adalah muka baru yang, lewat latihan spartan,
dengan kelemahan di sana-sini, bermain cukup lumayan. Dari buklet yang
diterbitkan, tampaknya mereka anggota baru SBKS yang direkrut melalui workshop
beberapa waktu lalu.
Kelemahan
utama pada masalah teknis: akting, moving, blocking dan gestur sejumlah
pemain yang tampak bingung menggerakkan anggota tubuhnya. Bagi aktor teater,
tubuh adalah modal utama. Ketidakmampuan mengelola anggota tubuh akan
menimbulkan kecanggungan, dan itu akan kelihatan.
Itulah yang tampak ketika Akhmariah (Rosridayana), Askar (Ahmad
Syaukani) dan Askar Lain (Hendri Triwibowo) bertemu dengan Nadlir (Yudha
Sakti), Kahin (Hamidan Noor) dan Orang-orang. Kecanggungan tiga prajurit
Abrahah ini dalam moving, blocking dan gesturnya tampak mencolok. Saya
tidak tahu, bagaimana saat casting. Apakah karena tak ada pilihan lain,
sehingga sutradara terpaksa menyerahkan peran itu kepada mereka? Adanya
prajurit Abrahah yang perempuan juga terasa janggal.
Ketegasan dan kewibawaan tiga
prajurit Abrahah ditelan secara massif oleh Orang 1 (Nina Hervina), Orang 2 (M.
Irwan Lutfi), Orang 3 (Mira Dardanila), Orang 4 (Ayu) dan Orang-orang (Dina
Amelia, Melvin, Hernani, Wahyu, Sarah Lupita), juga oleh Wanita 1 (Nurul
Mahmudah), Wanita 2 (Merry Meli Sandi), Yang 1 (Nurul Mahmudah), Yang 2 (Maria
Ulfah), Yang 3 (Lilis Suryani) dan Yang 4 (Chalisah Rohana). Terkecuali pemeran
Kahin (Hamidan Noor) yang vokalnya parau dan dalam beberapa dialog nyaris tak
terdengar (mungkin habis terkuras karena harus main dua kali dalam sehari),
vokal pemain lain umumnya bagus, dengan
artikulasi terjaga.
Walaupun postur tubuhnya cukup mendukung, tapi permainan Abrahah yang
terlalu lincah menimbulkan kesan over acting. Di samping mengurangi
wibawanya, ditambah lagi dengan tata rias (make up) yang kurang
meyakinkan (karena masih kelihatan wajahnya yang imut-imut), vokalnya pun terasa artifisial.
Di luar teknik bermain, penataan artistik (Yudha Sakti), setting
(M. Sobirin), musik (Maryanto dkk) dan
cahaya (M. Andri Alfianoor) Nur Rasulullah cukup padu. Yang agak
mengganggu adalah posisi pemusik yang berada di bawah kanan panggung. Kilatan
cahaya senter yang mereka gunakan untuk memantau peralatan kadang mengalihkan
perhatian pengunjung. Kalau tidak di belakang panggung, posisi mereka
seharusnya ditutupi kain hitam, agar tidak “mengganggu”. Pilihan pada naskah Nur
Rasulullah untuk rangkaian hari jadi SBKS ke-40 juga tidak lazim dan bukan
pilihan istimewa. Di masa lalu, kalau bukan karya yang memungkinkan untuk
digarap secara kolosal (semacam naskah Demang Lehman karya Adjim Arijadi
sendiri atau Opera Kecoa N. Riantiarno) SBKS biasanya mempergelarkan naskah
saduran asing.
Mengingat pada 7 Juli mendatang usianya 67 tahun, apakah Adjim Arijadi
sudah kehilangan gairah kreativitas? Ataukah ia sudah lelah, mengingat tak ada
yang setia dalam kesepian kepada SBKS selain ia sendiri (dan tinggal satu-satunya
aktor senior: Yadi Muryadi), sebab tiap kali akan pergelaran harus merekrut
anggota baru lagi? Di samping faktor manajemen internal sendiri dalam hal kaderisasi,
kendala utama yang menyebabkan ketidaksetiaan anggotanya terhadap SBKS adalah
kurangnya penghargaan publik terhadap kesenian. Ini bukan semata terjadi di
SBKS. Hal serupa juga terjadi di sanggar lain. Oleh karena itu, jarang seniman seni
pertunjukan (bukan hanya teater) yang bertahan setia hanya kepada satu organisasi.
Penonton
tidak tahu (dan mungkin tidak mau tahu): untuk menyajikan pertunjukan satu
setengah jam diperlukan waktu latihan berbulan-bulan, siang-malam. Selama
proses penggarapan, para pemain membiayai sendiri konsumsi dan transportasinya.
Bahkan, terkadang, untuk fotokopi naskah. Jadi, ironis: senimanlah yang
mensubsidi penonton (melalui pertunjukan yang disaksikan gratis).
Tidak
seperti di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Solo atau Surabaya, di sini kesenian
tak punya nilai jual. Daya tarik iya, tapi daya jual belum. Seni populer lebih
punya daya jual (di tengah masyarakat yang konsumtif terhadap barang-barang
elektronik atau sepeda motor model terbaru) tinimbang kesenian semacam teater. Kalau
artis datang, para remaja berbondong-bondong menonton, bahkan sampai bamatian,
seperti yang terjadi saat pertunjukan Sheila On 7 di Lapangan Lambung Mangkurat
Banjarmasin.
Kalau
teater mau dijual juga, yang biasa terjadi adalah dengan sistem “todong” atawa
menjual tiket dalam bentuk stiker. Itulah yang dilakukan sekelompok aktivis
teater remaja ketika, beberapa waktu lalu, mengadakan festival teater
antarsekolah. Melalui jaringan antarpelajar, mereka mengedarkan stiker Rp.3.000
untuk menyaksikan pertunjukan di Balairung Sari Taman Budaya Kalsel. Jumlah
penonton? Lumayan. Tapi siapa? Mereka adalah kawan sekelas pemain, pacar
pemain, kakak pemain, adik pemain, orangtua pemain, acil pemain, julak pemain, amang pemain, kai
pemain, nini pemain...
Karena
problematika semacam itu, pilihan pada naskah Nur Rasulullah akhirnya
bisa dipahami. Sebelum otonomi daerah, SBKS dan beberapa sanggar lain tiap
tahun mendapat dana melalui Proyek Pembinaan Pengembangan Kesenian Kalimantan
Selatan (PPPKS). Kini, subsidi itu tak ada lagi dan tiap sanggar harus bapintar-pintar
saurang kalau mau bergelar. Barangkali itulah yang dapat dilakukan Adjim
Arijadi dan SBKS kali ini: merangkul PII sebagai sponsor pergelaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar