SANGGAR LAWANG (1994-2008):
SENI PERTUNJUKAN DAN LAIN-LAIN[1]
Y.S. Agus Suseno
Minggu, 17 Februari
2008, Sanggar Lawang genap 14 tahun. Sabtu sore, 9 Februari, saya ditelepon pengurus,
yang meminta saya menyampaikan “orasi budaya” dalam acara selamatan hari jadi sanggar.
Permintaan itu barangkali berdasarkan pertimbangan: saya termasuk salah satu
pendiri sanggar ini, di samping sebagai pembina dan mantan ketua pertama
(1994-1996)-nya.
14 tahun lalu,
sekelompok anak muda yang punya kegelisahan kreatif yang sama berkumpul di
bengkel tari Taman Budaya Kalimantan Selatan di Jalan Brigjen.H.Hassan Basry
2/16 Banjarmasin. Anak-anak muda yang berasal dari latar belakang kesenian yang
beragam itu – sastra, teater, tari, musik, senirupa -- resah dan gelisah
terhadap perkembangan bidang keseniannya masing-masing yang dipandang stagnan.
Sanggar tempat mereka bernaung
sebelumnya dinilai tidak sejalan lagi dalam aspirasi kreatif, tidak demokratis dan
transparan dalam pengelolaan dan, dalam teater, menjadikan mereka sekadar
boneka. Aspirasi dan ide kreatif mereka dalam menjawab perkembangan zaman memerlukan
wadah lain yang selaras dengan tantangan perkembangan zaman itu.
Di bidang teater (meskipun
sekarang sudah mulai mencair), sekitar tiga dasawarsa lebih jagat teater
Kalimantan Selatan terpolarisasi dalam dua kutub mainstream: “teater
modern” dan “teater tradisional” – dua genre yang, secara salah kaprah,
dipertentangkan. Kelompok sana mengidentitifikasikan diri sebagai grup
teater modern (dengan kebanggaan semu atas cap “modern” itu), kelompok sini
sebagai grup teater tradisional (dengan kebanggaan yang dibalut kecemasan,
mengingat posisinya yang kian terpinggirkan). Sebuah polarisasi dengan dikotomi
yang rancu, mengingat selalu ada elemen modern dalam pertunjukan teater
tradisional (yang bersumber dari budaya lokal) dan elemen budaya lokal dalam
pertunjukan teater modern (yang bersumber dari budaya Barat).
Polarisasi dan dikotomi
itu kian dipertajam dengan penekanan jenis pertunjukan teater tersebut di
spanduk, baliho, undangan, brosur, yang akhirnya menciptakan jarak
antarkomunitas dan antaraktivis teater bersangkutan: yang satu dianggap (atau menganggap)
dirinya seakan anak emas, yang satunya lagi anak tiri – dalam pengalokasian
dana dan fasilitas oleh pemerintah.
Berbeda dengan sanggar
seni lain yang identik dan spesifik hanya dalam bidang seni pertunjukan
tertentu (teater, tari, musik), Sanggar Lawang menggarap bidang lain yang,
selama hampir dua dekade terakhir, relatif terabaikan akibat jatuh-bangunnya
sejumlah sanggar (terutama di Banjarmasin) dan minimnya tokoh dengan manajemen
transparan dan kharismatik (tapi tidak menakutkan, tidak juga menggelikan) dalam
komunitasnya.
Selain menyajikan
pertunjukan teater, memberikan workshop dan membina sejumlah komunitas
teater kampus, Sanggar Lawang juga bergerak di bidang sastra, tari, musik dan
senirupa (seperti dalam rangkaian HUT
ini: Pameran Sketsa 14, di Gedung Wargasari Taman Budaya
Kalimantan Selatan, 19 s.d. 22 Februari 2008).
Kegiatan Sanggar Lawang
yang pertama adalah sarasehan sastra Penyair Kalimantan Selatan Menyongsong
Festival Puisi Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA) XIII di
Surabaya (1994) dengan pembicara
Eddy Wahyuddin SP dan mendiang Noor Aini Cahya Khairani.
Bukan sarasehan sastra
itu benar yang penting, tapi “deklarasi” yang disampaikan sebagai pengantar
diskusi (yang saya tulis dalam bentuk esai, dipublikasikan di salah satu media
cetak Banjarmasin), yang menjadi basis “ideologi” Sanggar Lawang dalam
berkesenian, termaktub dalam motto sederhana: kami hanya mengerjakan apa yang
kami mampu, bukan apa yang kami mau.
Soal mau dan mampu itulah yang kadang
menjadikan sebagian sanggar, organisasi dan komunitas seni, berjatuhan diterjang
arus zaman. Ke-mau-an (yang dituangkan dalam rencana kegiatan) terkadang
bisa maanduh-anduh, tapi mampu kada manggawinya? Kalau mampu,
faktor ke-mau-an mengimplementasikannya tinggal soal teknis operasional,
meskipun bukan berarti mudah (bagi sanggar yang tidak berbentuk yayasan dan nonprofit oriented) -- di tengah
rendahnya penghargaan terhadap seniman kreatif dan profesinya di Kalimantan
Selatan.
Salah
satu alasan mengapa Sanggar Lawang masih dapat bertahan adalah komitmen untuk
menjadikannya sebagai wadah belajar bersama: belajar menulis naskah sendiri, belajar
mengadaptasi/menyadur naskah asing, menerapkan metode latihan yang sebagian
diciptakan sendiri, eksplorasi tubuh, “bereksperimen” dalam pertunjukan dan tata
artistik dan, yang terpenting, belajar menjadi sutradara – hal yang mustahil selama
masih di bawah bayang-bayang kebesaran orang lain.
Hal yang disebut terakhir itulah faktor
penting yang ingin dihindari terjadi di Sanggar Lawang. Selain menjadi aktor, penata
musik, penata artistik dan menangani bidang lainnya, tiap anggota bisa menjadi
sutradara – tentu saja setelah melalui seleksi, diskusi dan pertimbangan
bersama.
Walaupun pendiri dan anggotanya sebagian
tidak lagi bermukim di Banjarmasin (ada yang di Kabupaten Kotabaru, Kabupaten
Tanah Bumbu, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara), anggota
yang ada terus berusaha agar wadah bersama ini tetap mau dan mampu
memberikan warna lain dalam kesenian, terutama dalam seni pertunjukan. Beberapa
anggota telah menulis dan menyutradarai pertunjukan teater sendiri (dengan naskah
sendiri/karya orang lain/terjemahan/saduran) sambil (karena tuntutan perut)
bergiat di komunitas lain.
Memang, tidak mudah menempuh jalan
sendiri untuk mencapai jatidiri. Mungkin juga telah menjadi semacam “tradisi”,
bahwa teater di Indonesia identik sebagai “teater tokoh”. Bengkel Teater
identik dengan Rendra, Teater Mandiri dengan Putu Wijaya dan Teater Koma dengan
N.Riantiarno. Oleh karena itu, sepeninggal Teguh Karya, Arifin C.Noer, Jim
Adhilimas dan Suyatna Anirun, Teater Populer, Teater Ketjil dan Studiklub
Teater Bandung tak bergaung lagi, seakan mati suri. Hal yang sama, tapi dengan
nuansa berbeda, tampaknya juga berlangsung di Kalimantan Selatan.
Yang membedakan kelompok teater
nasional yang sudah mapan itu dengan kelompok teater di Kalimantan Selatan adalah
pada manajemen kader. Kelompok teater mapan di sini tidak mengenal kaderisasi.
Tidak ada pengkaderan yang terencana demi masa depan bersama, seakan semuanya
diserahkan kepada hukum alam. Mungkinkah karena masih kuatnya mentalitas budaya
feodal, seperti tercermin dalam ungkapan kada kawa tadua jagau?
Ungkapan
itu mengindikasikan (dalam kepemimpinan): terkecuali jagau yang
sebelumnya mati (secara alami atau karena mati bakalahi), baru jagau
yang lain bisa muncul. Demikian seterusnya. Bagaimana kalau (entah karena
sangat sakti, entah lantaran dibenci Tuhan atau disayangi setan) jagau yang ada tidak mati-mati? Jagau
itu selalu mau unjuk gigi, tidak mengayomi dan tut wuri handayani, kakanakan
nang handak cangul dihapaki. Dengan atmosfer semacam itu,
untungnya kakanakan tetap bermunculan. Ketokohan seakan tak lagi jadi
ukuran.
Meskipun dalam seni pertunjukan
(tari, teater, musik dan sastra lisan madihin) Kalimantan Selatan boleh
bangga sebagai yang terdepan di wilayah Kalimantan, tapi persoalan yang
menghadang tidak kurang. Selain belum memiliki gedung kesenian yang
representatif, ketidakjelasan alokasi dana di APBD bagi Dewan Kesenian
Kalimantan Selatan maupun Dewan Kesenian di kabupaten/kota membuat stamina
seniman dalam berkarya tidak maksimal. Hal itu dikarenakan belum adanya
Peraturan Daerah (Perda) tentang kebudayaan yang diterbitkan sebagai payung
hukum.
Mungkin lantaran sebagian seniman
menganggap “kesenian sebagian dari iman”-lah maka mereka terus berkarya, dengan
(atau tanpa) adanya lembaga yang mengurusi kesenian. “Biar susah sungguh,
(dengan) mengingat kau (kesenian) penuh seluruh...”1)
Persoalan lain yang tidak kalah
penting ialah tiadanya pengamat atau kritikus yang kapabel, kredibel dan mampu
mengulas serta mengkritisi secara komprehensif beragam seni pertunjukan. Beberapa
waktu silam harapan ada pada Jarkasi. Namun, dengan bergesernya orientasi
spiritual Jarkasi yang kini tengah mendalami tarikat, harapan itu sirna. Media
cetak Banjarmasin juga tidak memiliki wartawan budaya yang mampu mengulas
secara mendalam, seperti yang dimiliki sejumlah media cetak nasional.
Di tengah gambaran suram tentang
fasilitas, alokasi dana kesenian yang tidak jelas dan kendala kaderisasi itu,
sebersit cahaya muncul di wajah pelajar dan mahasiswa yang, sekurangnya dalam
lima tahun terakhir, antusias berkesenian. Di Banjarmasin, antusiasme itu
tampak dari kehadiran mereka yang memadati setiap pertunjukan kesenian di Taman
Budaya dan ramainya peserta festival teater dan lomba musikalisasi puisi (untuk
hanya menyebut dua jenis) yang mereka kelola secara swadaya.
Meskipun dalam beberapa tahun
terakhir institusi dan lembaga berkompeten jarang mengadakan festival, namun (sekurangnya
dua kali dalam setahun) komunitas pelajar dan mahasiswa mengadakan festival
teater (tingkat pelajar dan mahasiswa) se-provinsi. Itu yang dilaksanakan di
Taman Budaya Kalimantan Selatan saja, tidak terhitung lomba baca puisi,
musikalisasi puisi dan lain-lain yang dilaksanakan komunitas seni pelajar dan
mahasiswa di sekolah dan kampus masing-masing.
Jadi, harapan masih tetap ada – terutama
untuk kelangsungan seni pertunjukan terkini. Yang jadi soal, bagaimana masa
depan tantayungan, wayang gong, wayang kulit, lamut
dan kesenian tradisional lainnya? Teater mamanda, sastra lisan madihin,
musik panting dan tari baksa kembang barangkali relatif mudah
diwariskan pada generasi terkini, tapi empat khazanah seni tradisi yang disebut
sebelumnya mungkin menghadapi kendala tersendiri. Itulah tanggung jawab budaya
kita bersama.
*
[1] Teks Orasi Budaya pada Selamatan HUT ke-14 Sanggar Lawang,
disampaikan di Taman Budaya Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 17 Februari 2008.
1)Puisi Doa Chairil Anwar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar