Jumat, 08 Juni 2012

Esai


“MAWARIK TUNGGAL...”


Y.S. Agus Suseno


            Percayakah Anda, bahwa urang kampung dan urang bahari (bahari dalam arti “zaman dulu”, bukan dalam pengertian maritim) lebih arif dan bijaksana daripada orang kota atawa urang wayah ini? Orang kota (yang biasanya juga berasal dari kampung) umumnya identik dengan segala sesuatu yang serba “modern” atau, malahan, “postmodern” (entah makhluk apa itu): kaum intelektual dan cendekiawan, orang kantoran dan profesional, punya mobilitas tinggi, berwawasan “global”, mengikuti trend, “gaul”, memiliki akses tak terbatas pada teknologi telekomunikasi dan informasi, moda transportasi, hiburan, kuliner, dan seterusnya.

            Urang kampung (kalau kelak tidak pindah ke kota) umumnya identik dengan segala sesuatu yang serba “tradisional” dan, dengan sendirinya, “kampungan”: tinggal di kampung, hidup dari bertani, berkebun, atau menjadi nelayan, tidak berpendidikan (malahan, mungkin, buta huruf), dan tidak mengerti teknologi (tidak memiliki laptop, apalagi menjinjingnya kesana-kemari, seperti kaum snob). Bisa ditambahkan, urang kampung itu bila berbahasa Indonesia bajuju[1], tidak sefasih orang kota.
            Mau contoh dan bukti, bahwa urang kampung dan urang bahari lebih arif dan bijaksana daripada orang kota atawa urang wayah ini? Dalam tradisi lisan, kearifan lokal masyarakat tradisional dituturkan (dan diturunkan) dari generasi ke generasi, melalui pepatah, peribahasa, ungkapan, petatah-petitih, tamsil, ibarat, yang mengandung nilai-nilai etik; umumnya bersifat instruktif, imperatif maupun preventif, dengan tujuan edukatif.
  
            Untuk perilaku dan sifat orang yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain (selalu merusak tatanan, kerukunan dan persatuan), tergambar dalam peribahasa mawarik tunggal: ditinggal manawaki, dibawa malinggang ka jukung[2]. Dalam versi lain (dengan makna sama): dibawa malinggang ka jukung, ditinggal maningkalung.
            Peribahasa itu menggambarkan orang yang selalu tidak puas, suka mencari-cari kesalahan, kelemahan, atau kekurangan orang lain; suka membuat onar (tidak mesti secara fisik), walaupun sudah diberi tempat, peran, jabatan dan kedudukan terhormat. 
            Jika komunitasnya tengah membangun wadah, misalnya, atau sedang mengadakan aruh (kenduri, pesta, selamatan; boleh diperluas dengan perhelatan, festival, kongres), kalau tidak diikutsertakan dia akan kasak-kusuk, menyebar isu, mencaci maki dan, bilamana perlu, menebarkan fitnah. Sebaliknya, kalau diikutsertakan dia akan melakukan hal-hal yang dapat merusak wadah, gawi atau aruh itu, dengan menjelek-jelekkannya (atau memburuk-burukkan pekerjaan yang lain), padahal nota bene dia juga salah seorang ampun gawi.
            Bagi urang Banjar kebanyakan, orang yang mawarik tunggal itu ngalih diagungakan[3]. Baginya, orang lain selalu salah, hanya dialah yang benar. Baginya, seharusnya aruh itu dikerjakan begini, bukan begitu, dan seterusnya (sambil memamerkan konsep yang maanduh-anduh). Padahal, kalau dia sendiri yang mengerjakannya, belum tentu bisa. 
            Yang menjengkelkan, saat urang takumpulan dan berunding (bacucuk buku) menjelang aruh, ketika dimintai saran dan masukan, mengkompromikan ide dan gagasan (demi kepentingan dan tujuan bersama), dia diam saja, tak bersuara, nangkaya karak dikuwahi banyu[4]
            Celakanya, di saat (atau setelah) baaruhan, tiba-tiba dia mawada, manyambati, mencela: kenapa dikerjakan begitu, tidak begini? Kenapa nang ampun gawi (yang punya hajat) tidak begini-begini, tapi begitu-begitu? Dan seterusnya.
            Nah, pawayanggungan (seniman wayang gung) punya ungkapan khusus untuk perilaku semacam itu: mangguyang tungkat, kana kapala[5]. Ungkapan itu diambil dari pengalaman pawayanggungan sendiri dalam pertunjukan. Dalam sebuah adegan, manakala Rahwana (atau Dasamuka) muncul sambil menari (baigal), terkadang dia memutar-mutar “tongkat kebesaran”-nya. Kalau tidak hati-hati, tongkat itu bisa kena kepalanya sendiri. Dalam pepatah Melayu klasik: menepuk air di dulang, terpercik wajah sendiri.
            Orang yang memiliki watak, karakter dan kepribadian mawarik tunggal sulit berkomunikasi dan menjalin hubungan jangka panjang dengan orang lain, di manapun dia berada, karena sifatnya yang  piragah, paiyanya, pina musti. Dia cenderung cari selamat, penjilat, avonturir, manimpakul, mambatang timbul. Dalam bahasa awam: kada kawa bamasyarakat (tak bisa bermasyarakat).
            Seandainya jadi pemimpin (di manapun: institusi, lembaga, organisasi, formal maupun informal), dia haus publisitas, suka pujian (ambungan), otoriter, antikritik, tak bisa dibantah, tidak demokratis. Egonya menggelembung. Siang malam dia bercermin, mengagumi wajahnya sendiri yang dirasa paling sempurna (narsis). Tak pernah terbayangkan baginya untuk barandah pada kancur[6]
            Siapa yang dapat “menaklukkan” warik tunggal itu? Boleh jadi warik tunggal  lain, yang lebih besar, lebih berpengaruh, lebih berwibawa dan "lebih panjang taring”-nya. Hanya itulah yang bisa membuatnya alah tadah. Di depan warik tunggal yang lebih besar dan lebih berkuasa (apalagi kalau jumlahnya lebih banyak), si warik tunggal itu akan simpun (tertib), duduk sopan dan manis. Namun, itu hanya sandiwara. Sebab, dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, dia akan bersikap muha basungkam, buntut mahambat[7].
            Secara persuasif, masyarakat Banjar di masa lalu sudah memberikan banyak nasihat (papadah, pitua) bagi orang yang mawarik tunggal. Di mata masyarakat, orang baik adalah orang yang badiri sadang, baduduk sadang[8], bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan  kondisi sekitarnya.
            Orang yang bisa beradaptasi, menghargai tradisi, adat budaya dan lingkungan tempatnya bermukim, bekerja atau bergaul, akan membuat orang lain senang. Orang akan menghormati dan menghargainya. Bahkan, dalam cara berbicara pun sudah ada aturannya: banganga dahulu, hanyar baucap[9]. Boleh dikata, sistem budaya dan tradisi masyarakat Banjar sudah memiliki hampir semua jawaban atas segala persoalan, berkenaan dengan perilaku etik dan normatif.
            Tapi bagaimana kalau warik tunggal itu tidak berubah, walaupun sudah diberi peran, jabatan, kedudukan penting dan terhormat dalam sebuah gawi sabumi (yang, untuk itu, bahkan orang yang lebih berkompeten pun dengan sukarela memercayakan padanya)? Hal itu akan dinilai sebagai sudah dikilik, diandak ka bahu, handak ka kapala[10], dibari daging handak tulang[11].
 
            Bila upaya masyarakat mengoreksi perilaku anak, sanak saudara, keluarga atau warganya yang mawarik tunggal itu tidak membuahkan hasil, sudah ada jawaban lain (meskipun diungkapkan dengan  fatalistik): halin haja, bamban kada babuah[12]. Sudah takdir, tidak mungkin berubah. Dasar ajal[13]
            Bamban adalah sejenis tumbuhan berserat. Batangnya rata-rata sebesar jempol kaki, tinggi sekitar 2 meter, tumbuhnya di rawa-rawa. Seratnya dapat dijadikan sebagai bahan untuk membuat bakul pencuci beras, bisa jugla dimanfaatkan untuk tali pengikat atap rumah (daun rumbia). 
 
            Memang, walau bagaimanapun, bamban tak berbuah. Meskipun tak berbuah, tapi ia berbunga putih. Karena tak berbuah, ia tumbuh dan berkembang melalui akarnya. Oleh karena itu, di sekeliling batang bamban lazim tumbuh tunas-tunas bamban. Itulah cikal bakal bamban lainnya.
            Pada mulanya, peribahasa yang memakai bamban sebagai kiasan itu ditujukan bagi kehidupan seseorang yang tidak pernah berubah, secara sosial maupun ekonomi, walau sekeras apa pun dia bekerja dan berusaha. Tapi, peribahasa itu dapat pula dimaknai sebagai simbol perilaku individu yang kada masuk banyu, sudah kada kawa diapa-apai lagi[14].
            Lalu, apa yang dapat dilakukan terhadap orang yang mawarik tunggal itu? Diam-diam, orang akan menjauhinya, enggan berakrab-akrab dengannya. Memang, dalam sebuah acara, pertemuan atau silaturahmi, orang takkan terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya pada yang bersangkutan.
            Di hadapan si warik tunggal, orang akan bersikap biasa saja, seolah sewajarnya, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Tapi, orang sudah mencapnya sebagai buyang baciri[15], iya kandang, iya babi[16]. Ungkapan itu sebuah indikator stigma dalam perilaku budaya, berkenaan dengan seseorang yang telah merusak kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan orang lain kepadanya.
            Apakah cukup sampai di situ? Tidak. Sanksi moral dan sosial yang dijatuhkan masyarakat terhadap orang yang mawarik tunggal bisa amat berat: dibuang (atau diasingkan) dari lingkungan pergaulan sosialnya. Seorang anak akan dibuang orang tua dari keluarganya. Tak lagi diakui sebagai keturunannya. Hal itu diungkapkan dengan peribahasa baik mambuang hintalu sabuku, daripada tambuk sakataraan[17]. Nah! Pang parahu, siapa kana kada tahu...
             
*



[1]  terbata-bata
[2]  seperti monyet: (kalau) ditinggal, melempari; (kalau) diajak, mengolengkan sampan
[3]  sukar dihormati
[4]  bagai kerak nasi dikasih air
[5]  menggoyang tongkat, terkena kepala
[6]  lebih rendah daripada kencur, rendah hati
[7]  muka menunduk, ekor melecut
[8]  berdiri, cocok; duduk pun, cocok
[9]  menganga dulu, baru bicara
[10] sudah digendong, dinaikkan ke bahu, mau naik ke kepala
[11] diberi daging, mau tulang
[12] apa boleh buat, bamban memang tak berbuah
[13] sudah dari sono-nya
[14] sudah tak bisa diperbaiki lagi
[15] kartu bertanda, bertabiat buruk
[16] ya, pagarnya;  ya, babinya
[17] lebih baik membuang sebiji telur daripada membusuk semuanya

8 komentar:

  1. Puas banar mambaca tulisan pian. Himung mandapati tulisan bagus di internet.

    BalasHapus
  2. Maap hanyar tabuka blog, hanyar tuntung ma-Workshop Pergelaran Sastra Siswa SLTA/Komunitas/Sanggar Seni di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 5-7 Oktober 2012 (ampun gawi Dinsosbudpar Kabupaten Tabalong). Tulisan lawas, singhaja diandak di sini, sahibar sagan dokumentasi. Makasih. Hehehe...

    BalasHapus
  3. Asalamualaikum.. Ulun mainta kaizinan pian, ma copy posting pian ka dalam blog ulun, mudahan budaya kita dapat di baca di mana haja.

    BalasHapus
  4. Asalamualaikum. Ulun mohon keizinan untuk copy posting pian ka dalam blog ulun. Mudahan ada manfaatnya untuk generasi banjar di Malaysia.

    BalasHapus
  5. Ulun minta izin copy posting pian ka blog ulun. terima kasih

    BalasHapus
  6. Wa'alaikum salam Wr. Wb., Silahkan. Akur banar.

    BalasHapus
  7. Bujur mantap banar....hanyar tahu istilah WARIK TUNGGAL. Wahini banyak talihat di intirnit, pisbuk.. kawalan kita saurang. Biar ulun jauh ba'andak jadi tahu parigalnya dari apa nang ditulis sidin. Mun di tipi ada jua bahkan banyak 'politikus' nangkaya tikus haur manggaruguti wan mangaritik haur 'mancocor' urang kada sing ampihan nangkaya itik alias bebek. Padahal mun disuruh bagawi kada jua bisa.. juju banar mawada urang nangkaya WARIK BAMBAN.

    BalasHapus