“MAWARIK TUNGGAL...”
Y.S. Agus Suseno
Percayakah Anda, bahwa urang
kampung dan urang bahari (bahari dalam arti “zaman dulu”,
bukan dalam pengertian maritim) lebih arif dan bijaksana daripada orang kota
atawa urang wayah ini? Orang kota (yang biasanya juga berasal dari
kampung) umumnya identik dengan segala sesuatu yang serba “modern” atau,
malahan, “postmodern” (entah makhluk apa itu): kaum intelektual dan
cendekiawan, orang kantoran dan profesional, punya mobilitas tinggi, berwawasan
“global”, mengikuti trend, “gaul”, memiliki akses tak terbatas pada
teknologi telekomunikasi dan informasi, moda transportasi, hiburan, kuliner, dan
seterusnya.
Urang kampung
(kalau kelak tidak pindah ke kota) umumnya identik dengan segala sesuatu yang serba
“tradisional” dan, dengan sendirinya, “kampungan”: tinggal di kampung, hidup dari bertani, berkebun, atau menjadi nelayan, tidak
berpendidikan (malahan, mungkin, buta huruf), dan tidak mengerti teknologi (tidak memiliki laptop, apalagi menjinjingnya kesana-kemari, seperti
kaum snob). Bisa ditambahkan, urang kampung itu bila berbahasa
Indonesia bajuju[1], tidak
sefasih orang kota.
Mau contoh dan bukti, bahwa urang
kampung dan urang bahari lebih arif dan bijaksana daripada orang
kota atawa urang wayah ini? Dalam tradisi lisan, kearifan lokal masyarakat
tradisional dituturkan (dan diturunkan) dari generasi ke generasi, melalui
pepatah, peribahasa, ungkapan, petatah-petitih, tamsil, ibarat, yang mengandung
nilai-nilai etik; umumnya bersifat instruktif, imperatif maupun preventif,
dengan tujuan edukatif.
Untuk perilaku dan sifat orang yang
tidak dapat bekerja sama dengan orang lain (selalu merusak tatanan, kerukunan
dan persatuan), tergambar dalam peribahasa mawarik tunggal: ditinggal
manawaki, dibawa malinggang ka jukung[2]. Dalam
versi lain (dengan makna sama): dibawa malinggang ka jukung, ditinggal
maningkalung.
Peribahasa itu menggambarkan orang yang
selalu tidak puas, suka mencari-cari kesalahan, kelemahan, atau kekurangan orang
lain; suka membuat onar (tidak mesti secara fisik), walaupun sudah diberi
tempat, peran, jabatan dan kedudukan terhormat.
Jika komunitasnya tengah membangun
wadah, misalnya, atau sedang mengadakan aruh (kenduri, pesta, selamatan; boleh diperluas
dengan perhelatan, festival, kongres), kalau tidak diikutsertakan dia akan
kasak-kusuk, menyebar isu, mencaci maki dan, bilamana perlu, menebarkan fitnah.
Sebaliknya, kalau diikutsertakan dia akan melakukan hal-hal yang dapat merusak
wadah, gawi atau aruh itu, dengan menjelek-jelekkannya (atau memburuk-burukkan
pekerjaan yang lain), padahal nota bene dia juga salah seorang ampun
gawi.
Bagi urang Banjar kebanyakan,
orang yang mawarik tunggal itu ngalih diagungakan[3]. Baginya,
orang lain selalu salah, hanya dialah yang benar. Baginya, seharusnya aruh
itu dikerjakan begini, bukan begitu, dan seterusnya (sambil
memamerkan konsep yang maanduh-anduh). Padahal, kalau dia sendiri yang
mengerjakannya, belum tentu bisa.
Yang menjengkelkan, saat urang
takumpulan dan berunding (bacucuk buku) menjelang aruh, ketika
dimintai saran dan masukan, mengkompromikan ide dan gagasan (demi kepentingan
dan tujuan bersama), dia diam saja, tak bersuara, nangkaya karak dikuwahi
banyu[4].
Celakanya, di saat (atau setelah) baaruhan,
tiba-tiba dia mawada, manyambati, mencela: kenapa dikerjakan begitu,
tidak begini? Kenapa nang ampun gawi (yang punya hajat) tidak begini-begini,
tapi begitu-begitu? Dan seterusnya.
Nah, pawayanggungan (seniman wayang
gung) punya ungkapan khusus untuk perilaku semacam itu: mangguyang
tungkat, kana kapala[5]. Ungkapan
itu diambil dari pengalaman pawayanggungan sendiri dalam pertunjukan.
Dalam sebuah adegan, manakala Rahwana (atau Dasamuka) muncul sambil menari (baigal), terkadang dia memutar-mutar “tongkat
kebesaran”-nya. Kalau tidak hati-hati, tongkat itu bisa kena
kepalanya sendiri. Dalam pepatah Melayu klasik: menepuk air di dulang,
terpercik wajah sendiri.
Orang yang memiliki watak, karakter
dan kepribadian mawarik tunggal sulit berkomunikasi dan menjalin
hubungan jangka panjang dengan orang lain, di manapun dia berada, karena sifatnya
yang piragah, paiyanya, pina
musti. Dia cenderung cari selamat, penjilat, avonturir, manimpakul,
mambatang timbul. Dalam bahasa awam: kada kawa bamasyarakat (tak
bisa bermasyarakat).
Seandainya jadi pemimpin (di manapun: institusi,
lembaga, organisasi, formal maupun informal), dia haus publisitas, suka pujian
(ambungan), otoriter, antikritik, tak bisa dibantah, tidak demokratis. Egonya
menggelembung. Siang malam dia bercermin, mengagumi wajahnya sendiri yang dirasa
paling sempurna (narsis). Tak pernah terbayangkan baginya untuk barandah pada kancur[6] .
Siapa yang dapat “menaklukkan” warik
tunggal itu? Boleh jadi warik tunggal lain, yang lebih besar, lebih berpengaruh,
lebih berwibawa dan "lebih panjang taring”-nya. Hanya itulah yang bisa membuatnya alah
tadah. Di depan warik tunggal yang lebih besar dan lebih berkuasa (apalagi
kalau jumlahnya lebih banyak), si warik tunggal itu akan simpun (tertib),
duduk sopan dan manis. Namun, itu hanya sandiwara. Sebab, dalam situasi yang tidak
menguntungkan itu, dia akan bersikap muha basungkam, buntut mahambat[7].
Secara persuasif, masyarakat Banjar di
masa lalu sudah memberikan banyak nasihat (papadah, pitua) bagi orang yang
mawarik tunggal. Di mata masyarakat, orang baik adalah orang yang badiri
sadang, baduduk sadang[8],
bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sekitarnya.
Orang yang bisa beradaptasi,
menghargai tradisi, adat budaya dan lingkungan tempatnya bermukim, bekerja atau bergaul,
akan membuat orang lain senang. Orang akan menghormati dan menghargainya.
Bahkan, dalam cara berbicara pun sudah ada aturannya: banganga dahulu,
hanyar baucap[9]. Boleh
dikata, sistem budaya dan tradisi masyarakat Banjar sudah memiliki hampir semua
jawaban atas segala persoalan, berkenaan dengan perilaku etik dan normatif.
Tapi bagaimana kalau warik
tunggal itu tidak berubah, walaupun sudah diberi peran, jabatan, kedudukan
penting dan terhormat dalam sebuah gawi sabumi (yang, untuk itu,
bahkan orang yang lebih berkompeten pun dengan sukarela memercayakan padanya)?
Hal itu akan dinilai sebagai sudah dikilik, diandak ka bahu, handak
ka kapala[10], dibari
daging handak tulang[11].
Bila upaya masyarakat mengoreksi
perilaku anak, sanak saudara, keluarga atau warganya yang mawarik tunggal itu
tidak membuahkan hasil, sudah ada jawaban lain (meskipun diungkapkan dengan fatalistik): halin haja, bamban kada babuah[12]. Sudah
takdir, tidak mungkin berubah. Dasar ajal[13].
Bamban adalah
sejenis tumbuhan berserat. Batangnya rata-rata sebesar jempol kaki,
tinggi sekitar 2 meter, tumbuhnya di rawa-rawa. Seratnya dapat dijadikan sebagai
bahan untuk membuat bakul pencuci beras, bisa jugla dimanfaatkan untuk tali
pengikat atap rumah (daun rumbia).
Memang, walau
bagaimanapun, bamban tak berbuah. Meskipun tak berbuah, tapi
ia berbunga putih. Karena tak berbuah, ia tumbuh dan berkembang melalui akarnya.
Oleh karena itu, di sekeliling batang bamban lazim tumbuh tunas-tunas bamban.
Itulah cikal bakal bamban lainnya.
Pada mulanya, peribahasa yang memakai bamban
sebagai kiasan itu ditujukan bagi kehidupan seseorang yang tidak pernah
berubah, secara sosial maupun ekonomi, walau sekeras apa pun dia bekerja dan
berusaha. Tapi, peribahasa itu dapat pula dimaknai sebagai simbol perilaku
individu yang kada masuk banyu, sudah kada kawa diapa-apai lagi[14].
Lalu, apa yang dapat dilakukan terhadap orang yang mawarik tunggal itu?
Diam-diam, orang akan menjauhinya, enggan berakrab-akrab dengannya. Memang, dalam
sebuah acara, pertemuan atau silaturahmi, orang takkan terang-terangan
memperlihatkan ketidaksukaannya pada yang bersangkutan.
Di hadapan si warik tunggal, orang akan bersikap biasa
saja, seolah sewajarnya, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Tapi, orang sudah mencapnya
sebagai buyang baciri[15], iya
kandang, iya babi[16]. Ungkapan
itu sebuah indikator stigma dalam perilaku budaya, berkenaan dengan seseorang
yang telah merusak kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan orang lain kepadanya.
Apakah cukup sampai di situ? Tidak.
Sanksi moral dan sosial yang dijatuhkan masyarakat terhadap orang yang mawarik
tunggal bisa amat berat: dibuang (atau diasingkan) dari lingkungan pergaulan
sosialnya. Seorang anak akan dibuang orang tua dari keluarganya. Tak lagi
diakui sebagai keturunannya. Hal itu diungkapkan dengan peribahasa baik mambuang
hintalu sabuku, daripada tambuk sakataraan[17]. Nah!
Pang parahu, siapa kana kada tahu...
*
[1] terbata-bata
[2] seperti monyet: (kalau) ditinggal, melempari; (kalau) diajak,
mengolengkan sampan
[3] sukar dihormati
[4] bagai kerak nasi dikasih air
[5] menggoyang tongkat, terkena kepala
[6] lebih rendah daripada kencur, rendah hati
[7] muka menunduk, ekor melecut
[8] berdiri, cocok; duduk pun, cocok
[9] menganga dulu, baru bicara
[10] sudah digendong, dinaikkan ke bahu, mau naik ke kepala
[11] diberi daging, mau tulang
[12] apa boleh buat, bamban memang tak berbuah
[13] sudah dari sono-nya
[14] sudah tak bisa diperbaiki
lagi
[15] kartu bertanda, bertabiat
buruk
[16] ya, pagarnya; ya, babinya
[17] lebih baik membuang
sebiji telur daripada membusuk semuanya
Puas banar mambaca tulisan pian. Himung mandapati tulisan bagus di internet.
BalasHapusMaap hanyar tabuka blog, hanyar tuntung ma-Workshop Pergelaran Sastra Siswa SLTA/Komunitas/Sanggar Seni di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 5-7 Oktober 2012 (ampun gawi Dinsosbudpar Kabupaten Tabalong). Tulisan lawas, singhaja diandak di sini, sahibar sagan dokumentasi. Makasih. Hehehe...
BalasHapusAsalamualaikum.. Ulun mainta kaizinan pian, ma copy posting pian ka dalam blog ulun, mudahan budaya kita dapat di baca di mana haja.
BalasHapusAsalamualaikum. Ulun mohon keizinan untuk copy posting pian ka dalam blog ulun. Mudahan ada manfaatnya untuk generasi banjar di Malaysia.
BalasHapusUlun minta izin copy posting pian ka blog ulun. terima kasih
BalasHapusWa'alaikum salam Wr. Wb., Silahkan. Akur banar.
BalasHapusMantap banar...
BalasHapusBujur mantap banar....hanyar tahu istilah WARIK TUNGGAL. Wahini banyak talihat di intirnit, pisbuk.. kawalan kita saurang. Biar ulun jauh ba'andak jadi tahu parigalnya dari apa nang ditulis sidin. Mun di tipi ada jua bahkan banyak 'politikus' nangkaya tikus haur manggaruguti wan mangaritik haur 'mancocor' urang kada sing ampihan nangkaya itik alias bebek. Padahal mun disuruh bagawi kada jua bisa.. juju banar mawada urang nangkaya WARIK BAMBAN.
BalasHapus