Y.S.
Agus Suseno
Masyarakat Melayu punya peribahasa
tentang pentingnya bertenggang rasa dalam pergaulan antarsesama manusia: di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung. Masyarakat Banjar (yang juga berunsur Melayu) punya peribahasa
bermakna sama: badiri sadang, baduduk
sadang (“berdiri bisa, duduk pun bisa”). Artinya, “orang baik adalah orang
yang bisa menyesuaikan diri dalam pergaulan sehari-hari, dalam situasi dan
kondisi apa pun, kapan pun, di manapun”.
Dibandingkan dengan provinsi lainnya
di Pulau Kalimantan, Kalsel mungkin relatif lebih beruntung. Kondisi
geografisnya yang relatif dekat dengan Pulau Jawa dan Sulawesi membuat
mobilitas masyarakatnya relatif tinggi, dan itu menghasilkan masyarakat yang terbuka,
mudah bergaul dan gampang menerima perbedaan. Mungkin itu pula sebabnya,
mengapa (dibandingkan dengan Kalteng, Kalbar, Kaltim) kasus bernuansa SARA tak
pernah membesar di Kalsel. Di masa lalu, memang pernah timbul letupan konflik, tapi
yang segera menghilang seiring dengan berjalannya waktu.
Memang, 23 Mei 1997 terjadi konflik
yang menelan banyak korban jiwa di Kota Banjarmasin -- dikenal sebagai “Jumat
Kelabu” -- tapi tampaknya itu lebih bernuansa politis ketimbang etnis (di
tengah kekuasaan Orde Baru yang otoriter). Di masa lalu, di Kandangan juga
pernah terjadi “Amuk Hantarukung” (yang
banyak menelan korban jiwa) -- tapi itu lebih sebagai bentuk perlawanan rakyat
terhadap Pemerintah Hindia Belanda (yang dianggap sebagai “musuh bersama”).
Masyarakat Banjar sebetulnya relatif
terbuka dan toleran, asalkan pihak lain tidak keterlaluan -- apa, siapa, dan
dari manapun “pihak lain” itu, termasuk dari bubuhan papadaan-(sesama)-nya sendiri. Jika masyarakat Timor punya
ungkapan kitorang basodara (“kita
bersaudara”, sebagai tanda persaudaraan), masyarakat Banjar juga punya ungkapan
badingsanak (“bersaudara”). Di
pedalaman Kalimantan, tidak aneh kalau satu rumpun keluarga menganut agama dan
keyakinan yang berbeda-beda. Masyarakat Dayak Ngaju menyebutnya sebagai cermin
filosofi “rumah betang”, yang
memungkinkan sebuah keluarga menganut agama dan keyakinan berlainan.
Di masyarakat Banjar, orang yang
dapat menyesuaikan diri dalam situasi dan kondisi berbeda itu disebut badiri sadang, baduduk sadang (“berdiri
bisa, duduk pun bisa”). Peribahasa ini tak hanya bermakna simbolik. Secara riil
pun, kalau (misalnya) seseorang berdiri di tempat rendah, dia mesti merunduk saat
akan melewati sesuatu, agar kepalanya tak terbentur (yang bisa berakibat
benjol). Demikian pula saat duduk, dia mesti duduk dengan cara yang sepatutnya,
sesuai dengan norma, tata krama dan adat istiadat di sekitarnya.
Bagi
yang belum terbiasa, awalnya memang akan saraba
santuk: badiri santuk, baduduk santuk (“serba salah”: “berdiri salah, duduk
pun salah”). Namun, lama kelamaan, akhirnya orang akan terbiasa, dan bisa badiri sadang, baduduk sadang. Dengan
demikian, hubungan antarsesama manusia dan antarsesama anak bangsa akan tetap
terpelihara dalam kerangka Bhinneka
Tunggal Ika. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar