Sabtu, 19 Oktober 2013

"Badiri Sadang, Baduduk Sadang..."



Y.S. Agus Suseno

            Masyarakat Melayu punya peribahasa tentang pentingnya bertenggang rasa dalam pergaulan antarsesama manusia: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Masyarakat Banjar (yang juga berunsur Melayu) punya peribahasa bermakna sama: badiri sadang, baduduk sadang (“berdiri bisa, duduk pun bisa”). Artinya, “orang baik adalah orang yang bisa menyesuaikan diri dalam pergaulan sehari-hari, dalam situasi dan kondisi apa pun, kapan pun, di manapun”.

            Dibandingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Kalimantan, Kalsel mungkin relatif lebih beruntung. Kondisi geografisnya yang relatif dekat dengan Pulau Jawa dan Sulawesi membuat mobilitas masyarakatnya relatif tinggi, dan itu menghasilkan masyarakat yang terbuka, mudah bergaul dan gampang menerima perbedaan. Mungkin itu pula sebabnya, mengapa (dibandingkan dengan Kalteng, Kalbar, Kaltim) kasus bernuansa SARA tak pernah membesar di Kalsel. Di masa lalu, memang pernah timbul letupan konflik, tapi yang segera menghilang seiring dengan berjalannya waktu.

            Memang, 23 Mei 1997 terjadi konflik yang menelan banyak korban jiwa di Kota Banjarmasin -- dikenal sebagai “Jumat Kelabu” -- tapi tampaknya itu lebih bernuansa politis ketimbang etnis (di tengah kekuasaan Orde Baru yang otoriter). Di masa lalu, di Kandangan juga pernah terjadi “Amuk Hantarukung” (yang banyak menelan korban jiwa) -- tapi itu lebih sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap Pemerintah Hindia Belanda (yang dianggap sebagai “musuh bersama”).

            Masyarakat Banjar sebetulnya relatif terbuka dan toleran, asalkan pihak lain tidak keterlaluan -- apa, siapa, dan dari manapun “pihak lain” itu, termasuk dari bubuhan papadaan-(sesama)-nya sendiri. Jika masyarakat Timor punya ungkapan kitorang basodara (“kita bersaudara”, sebagai tanda persaudaraan), masyarakat Banjar juga punya ungkapan badingsanak (“bersaudara”). Di pedalaman Kalimantan, tidak aneh kalau satu rumpun keluarga menganut agama dan keyakinan yang berbeda-beda. Masyarakat Dayak Ngaju menyebutnya sebagai cermin filosofi “rumah betang”, yang memungkinkan sebuah keluarga menganut agama dan keyakinan berlainan.

            Di masyarakat Banjar, orang yang dapat menyesuaikan diri dalam situasi dan kondisi berbeda itu disebut badiri sadang, baduduk sadang (“berdiri bisa, duduk pun bisa”). Peribahasa ini tak hanya bermakna simbolik. Secara riil pun, kalau (misalnya) seseorang berdiri di tempat rendah, dia mesti merunduk saat akan melewati sesuatu, agar kepalanya tak terbentur (yang bisa berakibat benjol). Demikian pula saat duduk, dia mesti duduk dengan cara yang sepatutnya, sesuai dengan norma, tata krama dan adat istiadat di sekitarnya.

Bagi yang belum terbiasa, awalnya memang akan saraba santuk: badiri santuk, baduduk santuk (“serba salah”: “berdiri salah, duduk pun salah”). Namun, lama kelamaan, akhirnya orang akan terbiasa, dan bisa badiri sadang, baduduk sadang. Dengan demikian, hubungan antarsesama manusia dan antarsesama anak bangsa akan tetap terpelihara dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar