NYANYIAN TANPA
NYANYIAN
Kumpulan Cerita Pendek
Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan
Anna Fajarona
Dewi Alfianti
Dewi Yuliani
Hudan Nur
Nailiya Nikmah JKF
Nonon Djazouly
Rismiyana
Ratih Ayuningrum
Syafiqatul Machmudah
Hak Cipta @penulis
Tahura Media, 03.08
Cetakan Pertama, Desember 2008
Penulis:
Anna Fajar
Rona
Dewi Alfianti
Dewi Yuliani
Hudan Nur
Nailiya
Nikmah JFK
Nonon
Djazouly
Rismiyana
Ratih
Ayuningrum
Syafiqatul
Machmudah
Editor:
Y.S. Agus Suseno
Desain dan lukisan sampul:
Hajriansyah
Lay out:
Herry S.
Penerbit Tahura Media
Jalan Sultan Adam Nomor 46 C RT 16
Banjarmasin
Telepon (0511) 3302473, Faks. (0511)
3302472
E-mail: hajrian@yahoo.co.id
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Perpustakaan Nasional, Katalog Dalam Terbitan (KDT)
136 hlm.; 13 x 19 cm
Banjarmasin: Tahura Media, 2008
ISBN: 978-602-68414-03-6
SENARAI ISI
Pengarang Perempuan Kalimantan Selatan
Editor
Senarai
Isi
Anna Fajar Rona
Subuh Pertama di Masjidil Haram
Dewi Alfianti
Nyanyian Tanpa Nyanyian
Dewi Yuliani
Pasar
Hudan Nur
Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti
Nailiya Nikmah JKF
Episode Durian
Nonon Djazouly
Piano
Rismiyana
Pasar Itu Milik Ibuku
Ratih Ayuningrum
Dongeng Kesetiaan
Syafiqatul Machmudah
Sebuah Mata, Sejuta Sesal
Epilog
Tersebab Aku Seorang Pembaca
Burhanuddin Soebely
Tentang Penulis
Riwayat Publikasi
Prolog
PENGARANG PEREMPUAN KALIMANTAN SELATAN
Sastrawan dan pengamat sastra
Indonesia, Korrie Layun Rampan, menilai Kalimantan Selatan sebagai “...gudang
sastrawan, dibandingkan provinsi lainnya di Kalimantan, kini daerah ini
menyimpan sastrawan yang hampir sama jumlahnya dengan sastrawan asal Jawa
Tengah”[1].
Asumsi Korrie itu mungkin lebih didasari banyaknya penulis puisi di Kalimantan
Selatan, sebagaimana yang berkembang sejak Perang Kemerdekaan hingga 1980-an.
Yang tidak diketahui Korrie: sejak sekitar 1980-an di Kalimantan Selatan
bermunculan pengarang cerpen perempuan (maupun laki-laki) yang menulis di media
cetak Banjarmasin dan Jakarta.
Akan
tetapi, yang mesti digarisbawahi, berbeda dengan beberapa pengarang perempuan
yang hanya “menumpang lahir” di Kalimantan Selatan (terutama di Banjarmasin)
dan menjadi pengarang ternama setelah bermukim di luar kampung halamannya,
pengarang yang dimaksud di sini (hingga buku ini diterbitkan, masih tetap)
bermukim di Kalimantan Selatan.
Pengarang
perempuan yang tak lagi bermukim di Kalimantan Selatan itu, antara lain, Farah
Hidayati (Jakarta) dan Lan Fang (Surabaya). Sebelumnya, masih ada sejumlah
pengarang perempuan lain yang, dengan berlalunya waktu, tak tampak lagi
publikasi karyanya.
Sejak
1980-an hingga 1990-an, seiring dengan adanya rubrik sastra di Media Masyarakat
(dikelola mendiang Ajamuddin Tifani) dan Dinamika Berita (kini menjadi Kalimantan
Post, dikelola Kony Fahran), sejumlah pengarang perempuan muncul dengan
sejumlah cerpen, antara lain Dewi Yuliani. Ia tidak hanya menulis cerpen, tapi,
terutama, puisi.
Ketika
masih bermukim di Banjarbaru (kemudian pindah ke Bogor), cerpen-cerpen Katarina
Panji malang-melintang di Anita Cemerlang, Gadis dan Aneka.
Nanny S. adalah cerpenis lain yang, semasa kuliah di Program Studi PBSID FKIP
Unlam Banjarmasin, cerpennya kerap dipublikasikan Anita Cemerlang.
Dengan
adanya rubrik sastra di Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin dan Serambi
Ummah, para cerpenis mendapat ruang publikasi yang lebih luas. Seperti
dapat dilacak, Banjarmasin Post (1990-an), Radar Banjarmasin
(2000-an hingga kini) dan Serambi Ummah (2000-an hingga kini) pernah
memuat cerpen S. Wahyuni, Farida Ariani, Laila Alfisah, Misfah Kh Riwandi, Dewi
Sandan, Dina, Raudah, Era S. Soemarno, Sovina Sofyan dan lain-lain.
Berbeda
dengan koran lain, Radar Banjarmasin menyediakan rubrik Cakrawala
Sastra dan Budaya (berisi cerpen, puisi, esai, resensi buku, agenda budaya)
dua halaman penuh setiap hari Minggu. Rubrik itu telah menjadi semacam lahan
persemaian bibit cerpenis perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan,
sekurangnya dalam sewindu ini.
Cerpenis
perempuan yang mempublikasikan karyanya di Radar Banjarmasin, antara
lain, Anna Fajar Rona, Dewi Alfianti, Hudan Nur, Nonon Djazouly, Nailiya Nikmah
JFK, Rismiyana, Ratih Ayuningrum dan Syafiqatul Machmudah.
Selain
mereka, masih ada beberapa pengarang perempuan lain yang menulis di koran lain.
Tetapi, setelah sekali dua kali cerpen mereka terbit, kemudian tak tampak lagi
jejaknya.
Sembilan
cerpen karya sembilan cerpenis perempuan ini diseleksi dari Radar
Banjarmasin dan Dinamika Berita dengan pertimbangan subyektif atas
tema maupun kualitasnya, sebab lebih didasari niat mengumpulkan cerpen tersebut
dalam antologi bersama.
Selama
ini belum ada satu pun antologi cerpen yang secara khusus menghimpun karya
cerpenis perempuan Kalimantan Selatan. Buku kumpulan cerpen dari seorang (atau
beberapa orang) pengarang laki-laki sudah ada, tapi antologi cerpen pengarang
perempuan, dengan mutu yang relatif teruji (melalui lomba penulisan maupun
pemuatan di koran), belum pernah diterbitkan.
Korrie
Layun Rampan telah menyunting Dunia Perempuan, Antologi Cerita Pendek Wanita
Cerpenis Indonesia (1999). Akibat minimnya publikasi karya cerpenis
perempuan Kalimantan Selatan di rubrik sastra dan budaya media cetak Jakarta,
juga akibat tiadanya jejaring, buku itu tidak memuat satu pun karya cerpenis
perempuan banua.
Dalam
percaturan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan pun posisi cerpenis perempuan
seakan terpinggirkan. Keberadaannya antara ada dan tiada, atau sekadar
pelengkap belaka. Lembaga, institusi dan organisasi berkompeten tidak pernah
mengakomodasi keberadaannya, baik dalam sebuah forum sastra atau memfasilitasi
penerbitan antologi (tunggal atau bersama) mereka.
Hegemoni
budaya patriarki tampaknya masih menguasai masyarakat sastra Kalimantan
Selatan, hingga bahkan institusi, lembaga, organisasi sastra dan budaya,
mengabaikan kehadiran mereka. Puluhan antologi sastra (puisi, cerpen)
diterbitkan, tapi sastra Indonesia modern di Kalimantan Selatan (masih)
didominasi (sastrawan) pria; dan (sastrawan) pria lebih mengutamakan ego dan
kebesaran dirinya sendiri saja, tanpa komitmen membesarkan kaum hawa, tulang
rusuknya.
Dua
orang pengurus pusat dari dua organisasi sastrawan Indonesia bermukim di
Banjarmasin: Komunitas Cerpen Indonesia (KCI) dan Komunitas Sastra Indonesia
(KSI). Kedua organisasi itu diketuai oleh redaktur sastra Republika,
Ahmadun Yosi Herfanda. Alangkah elok seandainya dua orang pengurus pusat itu
mengumpulkan, menyeleksi dan merekomendasikan puisi dan cerpen karya cerpenis
perempuan (maupun laki-laki) Kalimantan Selatan ke koran bos mereka di
Jakarta itu.
Memang,
keputusan akhir tetap ada pada Ahmadun (tentang laik-tidaknya dimuat). Namun,
kalau langkah sederhana seperti itu saja tidak dilakukan, apa manfaat kedudukan
mereka (bagi sastra Indonesia di Kalimantan Selatan) dalam kepengurusan
organisasi sastrawan nasional?
Lihatlah
Horison. Sekali lagi, meskipun keputusan akhir tetap ada pada redaksi,
tapi frekuensi publikasi karya sastrawan Madura, Banten dan Jawa Barat di Horison
tidak terlepas dari posisi Jamal D. Rahman dan Moh. Wan Anwar sebagai redaktur.
Seperti
halnya seni lukis, sastra memang karya individual. Ia berbeda dengan seni
kolektif seperti tari, musik, teater dan seni multimedia seperti film, yang
mensyaratkan kerja sama tim dalam penggarapan dan pertunjukannya. Dalam
mencipta, sastrawan menciptakan karyanya sendirian. Meskipun berkarya secara
individual, alangkah elok seandainya sastrawan tidak individualis. Meminjam
bahasa agama: beribadah (berkarya) adalah kewajiban yang hablum minnallah,
bermasyarakat (bekerja sama dengan orang lain, mengayomi, nang tuha
dituhaakan, nang anum disayangi) adalah hablum minannas.
Idealnya, dalam diri siapa pun (bukan cuma sastrawan) keduanya seimbang: hablum
minnallah wa hablum minnanas.
Buku
ini mustahil terbit tanpa bantuan dan dukungan banyak pihak (hablum minnanas).
Oleh karena itu, ucapan terima kasih saja tentu tidak cukup, terutama kepada
para pengarang yang cerpennya dimuat dalam antologi ini. Terima kasih pula
kepada Radar Banjarmasin dan Dinamika Berita (dalam hal ini Kalimantan
Post) dan, terutama, kepada Maman S. Tawie; yang telah memberikan
keleluasaan bagi saya maudak, maudar dan manggulagai koleksi
kliping dan dokumentasi sastranya. Segala kelemahan dan kekurangan yang
terdapat dalam buku ini, termasuk subyektifitas dalam pemilihan cerpen, menjadi
tanggung jawab pribadi saya sepenuhnya.
Editor
SUBUH PERTAMA DI MASJIDIL HARAM
Anna Fajar Rona
Pintu Masjidil Haram sudah di depan mata Dargi.
Beberapa langkah lagi pria 28 tahun yang sebenarnya bernama Riduan Ahmad itu
bisa melewati pintu indah tersebut. Ia tentu segera masuk melakukan tawaf
pertama dalam ibadah haji bersama jutaan umat lain. Namun sebelum kakinya
mencapai pintu, pandangannya tiba-tiba berkunang-kunang diiringi rasa sakit
yang amat sangat pada perutnya.
Dargi tak kuasa lagi melangkah.
Tubuhnya terasa digayuti beban yang amat berat. Rasa nyeri pada perutnya tak
kuasa ia tahan. Ia terduduk di lantai teras Masjidil Haram. Tubuhnya yang
berukuran sedang itu dilangkahi berpuluh-puluh jamaah bertubuh tinggi besar,
ada yang berkulit hitam, ada pula yang wajahnya dipenuhi jambang dan jenggot.
Wajah Dargi pucat, sepertinya tak
berdarah lagi. Tak kuasa bergerak. Ia tersungkur di lantai teras Masjidil Haram
yang untuk pertama kalinya ia injak itu.
Rasa sakit pada perutnya tambah
menggila. Seluruh isi perutnya bagai beku. Membatu. Keringat membanjir.
Butirannya bagai biji-biji jagung mengucur dari seluruh tubuh. Dargi meringis
menahan sakit sambil memegangi perut. Ia mencoba berdiri, tersungkur kembali.
Mencoba lagi, tetap tersungkur lagi. Ia tak mampu menggerakkan kedua kakinya untuk menyangga tubuhnya sendiri. Rasa sakit yang amat sangat itu terasa
menjadi beban yang sangat berat menindih raganya. Ia merasa tak punya harapan
hidup lantaran hampir seluruh tubuhnya tak dapat ia gerakkan. Cukup lama ia
tersungkur. Menangis di bawah langkah-langkah kaki para jamaah yang tak peduli
dengan keberadaannya saat itu.
Hampir setengah jam ia membiarkan
dirinya di bawah langkah kaki para jamaah. Setelah ia merasa ada sedikit tenaga
untuk merangkak, maka merangkaklah ia. Pandangannya menyebar, mencari-cari
kamar kecil di sekitar depan Masjidil Haram. Setelah ia yakin di arah kiri
depan masjid ada kamar kecil, ke sanalah ia merangkak dengan sisa-sisa tenaga
yang ada.
Hampir 20 menit ia baru bisa
mencapai tempat buang hajat. Masih dalam keadaan merangkak sambil menahan sakit
yang luar biasa di perut, Dargi turut antri dengan jamaah lainnya di depan
pintu kamar kecil. Ia sudah tak tahu lagi rombongan jamaah yang tadinya
berangkat bersama-sama dari pemondokan. Dirinya terpisah akibat sakit yang
dideritanya itu.
Selama menunggu giliran masuk kamar
kecil, keringat terus mengucur. Kain ihram yang ia kenakan sejak turun
di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, sudah basah oleh keringat. Keringat yang
mengucur dari manahan rasa sakit di bagian dalam perut. Segenap ususnya seperti
ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Menahan rasa sakit itu, air mata Dargi
kembali meleleh.
Begitu Dargi mendapat giliran masuk
kamar kecil, berliter-liter air kotor keluar dari lubang anusnya. Air berwarna
hitam dan berbau menyengat itu keluar deras seperti air kran yang mengucur
dalam keadaan normal. Hampir satu jam ia berada di dalam wc dan selama
itu pula air kotor berbau menyengat tak terhenti melewati lubang anus ke lubang
kloset.
Untung saja kain ihramnya tak
terkena kotoran itu. Sebelum ia jongkok, ia sempat mengangkat ihram
tersebut ke atas kepala. Begitu banyak air kotor ia keluarkan. Dargi sendiri
memperkirakan sudah berember-ember air berbau busuk dari dalam perutnya keluar.
“Ya Allah, ampuni hamba. Atas
kuasa-Mulah hamba bisa tiba di tempat suci ini. Untuk itu lindungilah hamba,
mudahkanlah hamba dalam menunaikan perintah-Mu. Sehatkanlah hamba, ya Rabbi,”
ucap Dargi.
Begitu mengucapkan kalimat itu, air
kotor berbau busuk yang keluar dari perutnya tiba-tiba saja terhenti. Rasa
sakit dalam sekejap sirna. Beberapa detik Dargi tercenung.
Ia kemudian membersihkan dirinya.
Setelah itu dengan mudah ia dapat berdiri tegak dan melangkah keluar dari kamar
kecil berukuran satu setengah kali dua meter itu. Sekeluar dari ruang wc,
ia menuju ruang wudhu. Bersuci diri di situ. Selanjutnya dengan ringan ia
melangkah menuju pintu Masjidil Haram. Saat itu persis pukul dua dinihari waktu
Makkah.
Sebelum melakukan tawaf pertama, ia ingat pesan seorang ulama saat
mengikuti manasik haji di tanah air, bahwa dalam berhaji yang penting
luruskan niat, kemudian perbanyak salat taubat bila menghadapi masalah di
Masjidil Haram maupun di Masjid Nabawi atawa di Arafah dan tempat-tempat lain.
Ingat pesan itu, bergegas Dargi melaksanakan salat taubat tepat di sebelah
timur depan Kabah.
***
Bagaimana Dargi yang hanya calo
angkutan umum di terminal kota bisa berhaji. Sementara dirinya dikenal tak
lebih sebagai lajang yang suka menenggak minuman keras sampai mabuk. Bahkan
dalam darahnya sudah bercampur alkohol. Dalam pemeriksaan kesehatan sebagai syarat
berhaji, dokter mengetahui kalau darah Dargi merupakan darah alkoholis yang
selalu ketagihan minuman mengandung alkohol.
Yang namanya kuasa Allah, apa pun
bisa terwujud. Sebagaimana juga Dargi si pemabuk, dengan kuasa Tuhan ia bisa
berangkat haji.
Awalnya, di terminal tempat Dargi
menjalani hidup sejak kanak-kanak terdapat sebuah mushala berukuran 7 x 7
meter. Mushala tersebut hendak digusur oleh pengusaha dengan kekuatan uangnya.
Padahal keberadaan mushala tersebut sangat membantu para penumpang angkutan
maupun warga yang tiap hari beraktivitas di terminal untuk melaksanakan salat.
Juga kerap dijadikan tempat memperingati Hari-Hari Besar Islam yang
dilaksanakan warga terminal secara sederhana, misalnya memperingati Isra
Mikraj, Maulid Nabi dan lainnya. Bahkan tiap bulan Ramadhan, pengeras suara
mushala yang mengumandangkan azan Magrib dijadikan panduan ketepatan waktu
berbuka puasa warga sekitar terminal. Hingga lebih 9 tahun sudah mushala
terminal yang dibangun atas swadaya itu mendatangkan manfaat bagi warga.
Kini mushala terminal hendak
dikuasai pengusaha bahkan sudah tersiar segera digusur untuk kepentingan
bisnis.
“Kalau mushala ini digusur, kemana
kita mendirikan salat?” tanya Ibnu dengan nada protes. Ibnu adalah salah satu
warga yang kerap menjadikan mushala terminal sebagai tempat salat berjamaah,
terutama Magrib dan Isya, ia sehari-hari membuka kios rokok dan warung kopi di
terminal antarkota dalam provinsi itu.
“Masjid cukup jauh dari sini,” Kurdi
pedagang asongan menimpali.
“Tak ada cara lain, kita mesti
mencegah penggusuran mushala,” kata Hadri.
“Caranya?” sambut yang lain.
“Kita datangi DPRD dan pemerintah daerah sini. Minta agar pengusaha jangan seenaknya merampas mushala kita,”
ujar Murad berpendapat.
Kasak-kusuk soal mushala itu juga
didengar oleh Dargi, pemuda setengah preman yang yang dikenal selain suka mabuk
juga bernyali besar berhadapan dengan siapa pun. Merasa turut memiliki mushala,
meski ia tak pernah menggunakan mushala untuk salat selain untuk tidur-tiduran,
pemuda itu tampil sebagai pembela mushala.
Preman-preman yang menjadi kaki
tangan pengusaha yang memiliki modal untuk menggusur mushala untuk memperluas
toko serba ada di terminal, berhadapan dengan Dargi sang pria bernyali besar
itu. Sedikitnya ada 5 preman merasakan kekuatan Dargi dan semuanya jadi keder
bila diharuskan melawan Dargi. Pernah terjadi adu fisik dengan preman
peliharaan pengusaha, Dargilah yang menjadi pemenang meski ia juga mengalami
cidera ringan.
Atas campur tangan Dargi, warga
terminal jadi memiliki kekuatan untuk mempertahankan mushala. Bahkan dengan
gigih Dargi bersama warga lainnya mempertahankan pendapat di hadapan anggota
DPRD mengenai pentingnya mushala di terminal supaya tidak dipindahtangankan
kepada pengusaha yang di otaknya hanya mementingkan bisnis.
“Letak mushala itu strategis. Persis
di tengah-tengah terminal dan sangat gampang dijangkau tiap orang yang
memerlukannya,” ujar Dargi kepada anggota DPRD.
Saking gigihnya Dargi mempertahankan
mushala, membuat seluruh anggota dewan bersimpati. Bahkan akhirnya berkat
perjuangan Dargi, pengusaha tak berkutik. Pengusaha melepaskan niatnya untuk
memodali lahan mushala tersebut.
Dargi bagai pahlawan mendapat
pujian, bukan saja dari warga terminal juga dari para anggota DPRD. Tak
terkecuali ketua DPRD.
Dari rasa simpati terhadap Dargi
itulah, namanya dikenal di lingkungan DPRD daerah itu. Hingga sekitar 3 bulan
dan sampai pada musim menjelang pemberangkatan haji, Dargi jadi buah bibir di
lingkungan DPRD.
Begitu tiba persiapan pemberangkatan
haji, seperti tahun-tahun sebelumnya, anggota DPRD secara bergiliran mendapat
jatah berangkat haji. Tiap tahun 3 anggota dewan mendapat biaya haji yang
disisihkan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Pada pemberangkatan
haji tahun itu, salah satu anggota dewan yang mendapat giliran berangkat
mengundurkan diri. Anggota itu adalah ketua DPRD, alasannya ia sudah berhaji
jauh sebelum menjadi anggota DPRD. Ia memilih mundur dan memberikan jatahnya
kepada masyarakat. Masyarakat yang dipilihnya adalah Dargi yang ia ketahui
dengan gigih mempertahankan mushala terminal untuk umat.
Dari jatah berangkat haji ketua DPRD
itulah, Dargi bisa berangkat haji tanpa keluar uang serupiah pun. Sejak ia
dipanggil dan diserahi ketua dewan jatah berhaji, sejak itu pula pola hidup Dargi
berubah. Setidaknya dalam hari-hari menunggu keberangkatan haji, Dargi tak lagi
menyentuh minuman keras.
Ia pernah menggigil dan meradang
menahan ketagihan mereguk minuman beralkohol. Sekuat kemampuannya, ditahannya
keinginan untuk mereguk minuman keras meski tubuhnya terasa sakit-sakit.
Bahkan ia sempat sakit demam di
minggu pertama ia melewati tanpa minuman keras. Dalam demam, hampir 3 hari
Dargi serba merasa tak enak, bahkan untuk menelan makanan ia tak mampu.
Pada minggu kedua tenggorokannya terasa
dililit-lilit ingin dilewati minuman keras. Keinginan itu begitu keras dan
menggodanya. Apalagi di terminal, rekan-rekan minumnya dulu masih melakukan
aktivitas minum tiap malam usai aktivitas terminal. Dargi terus berjuang
menahan keinginan itu. Ia selalu menjauhi arena rekan-rekannya yang dengan
bebas mereguk berpuluh-puluh botol minuman keras.
Meski tubuhnya terasa sakit-sakit
lantaran tak dialiri minuman beralkohol, ia terus berjuang membunuh rasa
ketergantungannya pada minuman.
Agar betul-betul bisa menghindari
minuman keras, Dargi lebih rajin berada di mushala terminal melaksanakan salat
5 waktu. Pelajaran mengaji yang ia khatamkan waktu masih di sekolah
dasar di lingkungan terminal, kembali ia ulang. Ia masih mampu membaca Quran
meski sudah sekian tahun tak pernah disentuhnya.
Tadinya, Dargi tak pernah lepas dari
minuman keras. Tiap malam usai aktivitas terminal ia akrab dengan yang namanya
kencing iblis alias minuman beralkohol dengan kadar tinggi itu. Dalam semalam,
tak jarang berbotol-botol minuman memabukkan ia tenggak memenuhi rongga perut
dan dadanya.
Hampir sepanjang hidup Dargi tinggal
di terminal. Ada alasan yang memaksanya hidup di terminal itu, pertama ia
dilahirkan di lingkungan terminal hingga tumbuh besar dan menamatkan SLTA.
Ketika menjelang ujian SMP, ayahnya yang menjadi sopir di terminal meninggal
dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kehidupan di terminal itu dilanjutkan oleh
ibunya yang menjanda dengan Dargi sebagai anak tunggal. Di terminal itu pula
sang ibu bisa menyambung hidup dan menjadikan putra yang diberinya panggilan
Dargi sangat akrab dengan lingkungan terminal.
Kehidupan terminal itu pula yang
menempa perwatakan Dargi, menempa jiwanya yang selalu berhadapan dengan
kekerasan hidup. Dengan susah payah, ibu Dargi menghidupinya melalui usaha kios
pisang goreng dan jajanan kecil lainnya, hingga sang bunda mampu menyekolahkan
sang anak sampai menamatkan SLTA dengan harapan si anak kelak bisa menjalani
hidup yang lebih baik. Ternyata, ijazah SLTA yang diperoleh Dargi hanya bisa
menjadikannya calo angkutan umum. Terkadang juga menjadi sopir cadangan alias
pengganti sopir terminal. Karena Dargi dikenal sebagai peminum, maka Organda
setempat tak memberi izin bagi Dargi untuk menjadi sopir tetap.
Meski pola hidup Dargi tak
terpisahkan dari minuman keras, pria itu tak pernah mengganggu ketertiban
terminal. Apalagi sampai merugikan orang lain. Ia juga menghindari judi dan
perempuan penjaja seks komersial yang hampir tiap malam mampir di terminal. Dua
perbuatan maksiat itu memang tak pernah akrab dengan hidup Dargi, tetapi
minuman keras sudah menjadi keharusan bagi Dargi untuk selalu direguk sampai
mabuk sepanjang malam di terminal. Uang untuk membeli minuman, selain didapat
dari patungan teman-temannya, juga diperoleh dari hasil kerja calo di terminal.
Saat usia Dargi genap 21 tahun,
Imah, bunda Dargi yang tak kenal lelah membesarkan sang putra, berpulang
memenuhi panggilan Illahi. Sebelumnya wanita perkasa di mata Dargi itu
terjangkit demam berdarah. Ini akibat kebersihan selokan terminal tak
terpelihara. Namun setelah Imah menjadi korban, warga terminal jadi sadar untuk
menjaga kebersihan lingkungannya.
Sepeninggal bunda, Dargi kian tak
memiliki pegangan hidup. Ia gamang menghadapi hidup. Ia seperti diburu rasa
ketakutan menghadapi kenyataan. Kegamangan itu ia tutup-tutupi dengan caranya
sendiri, minum sampai mabuk hingga untuk sesaat bisa terlupakan kepahitan
hidup.
Pernah juga kerabatnya memberi
nasihat, namun tak pernah memberi jalan keluar. Sehingga hanya membuat Dargi
merasa didikte dan itu kian membuat dirinya tenggelam pada dunia yang ia
kiblati, yaitu mabuk hampir tiap malam.
***
Kini si pemabuk Dargi berada di
dekat Kabah. Jantungnya berdebar memandang simbol kemurnian Islam itu.
Memandang rumah Tuhan. Lantas ia terduduk lunglai di sela-sela jamaah lainnya
yang juga duduk memandangi Kabah di luar dari arus jamaah yang tawaf.
Tanpa Dargi sadari air matanya menetes. Ia terbayang wajah bunda yang teduh,
wajah ayah yang tegar. Ia ingat saat ayah membimbingnya salat waktu usianya
baru 7 hingga 9 tahun. Ingat tiap Jumat sang ayah menyempatkan pergi membawanya
salat Jumat ke masjid. Juga ingat ibunya yang selalu tak kenal lelah mencari
nafkah, tak kenal bosan mengingatkannya waktu kecil untuk datang ke Taman
Pendidikan AlQuran. Ingat sang bunda menyiapkan masakan ketan untuk merayakan khatam
Quran di tempatnya belajar membaca Kitab Suci itu. Semua kenangan indah itu
melintas silih berganti.
Ketika ingatan-ingatan itu memenuhi
benaknya, secara tiba-tiba perutnya kembali terasa melilit, padahal tawaf
pertama belum lagi ia kerjakan. Ia baru saja usai mendidikan salat taubat untuk
minta ampunan Allah atas segala kekhilafannya.
Hanya dalam waktu beberapa detik
rasa sakit itu tambah menjadi. Dargi buru-buru ke luar dari Masjidil Haram.
Kain ihram di badannya disingsingkannya ketika memasuki kamar kecil di
sebelah utara teras Masjidil Haram. Kembali di dalam wc itu
berliter-liter air kotor mengucur deras keluar melewati lubang anus. Air berbau
menyengat itu keluar dengan sendirinya. Sedikit pun Dargi tidak mengejan. Air
itu seperti dikuras dari dalam perutnya.
Ia sadar betul, kalau saat itu
dirinya mendapat teguran Allah. Ia bisa meyakini kalau air kotor berbau busuk
yang keluar dari dalam perutnya itu adalah kumpulan kencing iblis yang ia
kiblati dan ia anggap sebagai penenang jiwa selama hampir 8 tahun. Kini kencing
iblis itu dikuras dari dalam perutnya. Ia meyakini pula, pengurasan kencing
iblis itu dilakukan atas kuasa Allah di Tanah Suci Makkah, di saat ia menunaikan
haji.
“Ya Allah, bila ini cara-Mu untuk
membersihkan jiwaku sebelum Engkau izinkan aku melaksanakan tawaf
memenuhi panggilan-Mu di rumah suci-Mu, maka aku sebagai hamba-Mu yang lemah
hanya dapat berpasrah sepenuhnya kepada-Mu. Kuserahkan jiwa ragaku pada
kuasa-Mu,” ucap Dargi.
Seketika rasa sakit itu lenyap
kembali.
***
Setelah membersihkan diri dan
berwudhu, Dargi kembali salat taubat. Itu ia lakukan sekitar pukul tiga
dinihari menghadap Kabah. Di rumah Tuhan itu pula ia bersumpah tak akan pernah
lagi mengotori darah dalam dirinya dengan minuman keras.
“Di hadapan-Mu, ya Allah, dan di
rumah-Mu ini, aku bertekad dan bersumpah dengan sumpah yang sebenarnya sumpah
untuk tak lagi menyentuh yang namanya minuman keras. Untuk itu, bimbinglah
hamba, ya Allah, mudahkan hamba dalam menyelesaikan ibadah atas panggilan-Mu
ini,” ucap Dargi usai melaksanakan salat taubat yang ketiga.
Sosok pemuda bertaubat itu dengan
kekuatan fisik yang diberikan Allah dengan ringan menuntaskan gerakan haji. Tawaf
pertama dan sya’i ia selesaikan dengan tanpa ada lagi penghalang.
Gerakan itu Dargi selesaikan persis azan Subuh berkumandang di Masjidil Haram.
Subuh pertama di Masjidil Haram
Dargi tuntaskan dengan segenap doa.
Maret, 2006
NYANYIAN TANPA NYANYIAN
Dewi Alfianti
Ayah, dalam siluet di antara senja,
saat itu dia nampak seperti pohon bambu. Sosoknya yang tinggi semampai
menghalangi cahaya mentari senja masuk melalui jendela rumah. Cuma silau cahaya
senja saja yang menyelinap menerpa mataku. Ayahku seperti pohon bambu, tinggi
namun menenangkan dengan gemerisik daun yang seperti nyanyian tanpa nyanyian.
Senja ini, seperti senja-senja
biasanya, ayah akan berkeliling rumah kami yang rimbun dengan bermacam
tetumbuhan. Almarhumah ibu yang membuat pekarangan rumah serimbun itu.
Beliau mengumpulkan tanaman sejak lama sekali, bahkan sebelum menikah dengan
ayah. Hasil ketekunan selama puluhan tahun itu membuahkan sebuah hutan kecil di
pekarangan kami. Seingatku, waktu kecil, kakak, aku dan adik perempuanku sering
main petak umpet di situ. Bagi tiga orang anak kecil, pekarangan itu menjelma
menjadi hutan rimba. Aku ingat di suatu sore adik menangis kencang karena
tersesat di antara tumbuhan paku, ia tak tahu bagaimana keluar dari hutan kecil
buatan ibu.
Ayah, dengan langkah perlahan dalam
irama yang sama, biasanya berjalan-jalan di pekarangan sambil menggumamkan al-Matsurat,
zikir yang dilantunkannya tiap sore dan pagi juga. Menjelang azan magrib, ayah
akan masuk rumah lantas menuju ruangan tempat biasa kami sholat untuk melanjutkan
zikirnya dengan wirid al-Quran. Ketika azan berkumandang, ayah akan
memastikan kami sudah siap bersama-samanya untuk sholat.
Ayah, demikianlah. Dialah wujud
kebijaksanaan dalam diri seorang laki-laki. Ayah menjelma mata air dalam
keluarga kami. Tidak pernah mendominasi, namun dominasinya begitu terasa. Tak
ada yang sempurna tanpa sentuhan ayah, begitu pula saat ibu meninggal lima
belas tahun lalu. Ayah adalah ayah. Tatapan matanya senantiasa membisikkan
sesuatu, seolah dalam keadaan tidak berbicara pun dia selalu ingin membahasakan
sesuatu. Seperti percakapan yang tak putus-putusnya.
Adik perempuanku begitu memujanya.
Aku dan kakak lelakiku, takzim padanya sepanjang umur kami. Aku ingat saat aku
kelas 6 SD dan Kak Fahri, kakak lelakiku itu duduk di bangku SMP. Saat itu kami
bertengkar hebat. Aku menemukan catatan kecil Kak Fahri yang kutahu akan
dipakainya sebagai contekan waktu ujian. Tentu saja aku tak bisa terima, kami
terbiasa memandang bahwa satu sama lain adalah anak yang cerdas dan tidak akan mau
bergantung pada harta kaum pecundang seperti contekan itu. Saat itu kami
bertengkar hebat. Suasana saat itu begitu gaduh padahal hari sudah larut malam.
Kak Fahri berteriak padaku demikian pula aku. Ibu dan Nada, adik perempuanku
saat itu sedang menginap di rumah sakit menunggui saudara ibu yang sakit. Malam
itu di rumah cuma ada ayah.
Saat pertengkaran mulut itu kian
meruncing, tiba-tiba listrik padam. Kamar kami yang jadi arena pertengkaran
mendadak gulita. Kami terdiam sejenak. Tanpa kami sadari ayah sudah ada di
antara kami. Dipegangnya tanganku dan Kak Fahri. Dibimbingnya kami duduk dengan
bahasa yang begitu lembut dan suara yang renyah.
Dia menyuruh kami tidak berbicara.
Lama sekali kami diam sampai aku merasa kegelapan ini terasa begitu mengganggu.
Kegelapan ini menyekat pandanganku. Amat gelap. Kak Fahri yang tidak menyukai
kegelapan napasnya mulai tidak teratur. Kami merasa takut ditindih kegelapan.
Kecemasan itu mulai melemaskan pikiran. Sampai terlupa kami pada pertengkaran
tadi. Lama sampai ayah berkata agar kami melakukan kebaikan-kebaikan ketika
terang cahaya melingkupi kami sebelum cuma gelap yang bisa kami rasakan.
Tak berapa lama lampu mulai menyala.
Sejak saat itu aku dan Kak Fahri tidak pernah lagi bertengkar, semenjak itu
pula Kak Fahri juga tidak pernah lagi mencontek. Mendalam makna peristiwa itu
buat kami dan ayah semakin menakjubkan bagi kami. Belakangan, aku dan Kak Fahri
tahu bahwa listrik itu sengaja dipadamkan ayah.
Nawa, anak sulungku, sejak selesai
sholat magrib mengurung diri di kamar. Berbeda dengan Najma adiknya yang begitu
bersemangat tiap kali diajak ke rumah ayah, Nawa tidak menutupi keengganannya
untuk berada di rumah ini. Nawa mirip sekali dengan istriku. Jika kuajak
menginap di rumah ayah mereka menjadi canggung. Seperti tidak terbiasa dengan
suasana pinggiran kota yang tak segempita tempat tinggal kami. Nawa dan istriku
adalah sosok yang dibesarkan kota besar, jiwa mereka alir dalam nuansa kota
yang gemerlap, hedonis, dan modern.
Nawa, gadis 13 tahun itu kesal padaku
karena tiba-tiba kuajak ke rumah ayah. Dia seharusnya bersama teman-temannya
jadi panitia pentas seni di sekolahnya, tapi aku dan istriku berkeras. Akhirnya
dia turut serta. Sebagai bentuk ketidaksukaannya dengan keputusanku, sejak tadi
siang sampai malam ini dia tidak mau berbicara padaku. Ekspresi yang begitu
berbeda dengan Najma. Gadis kecilku ini adalah penggemar berat ayah. Dia begitu
menyukai rumah ini dan dia sangat dekat dengan ayahku. Sejak duduk di bangku
taman kanak-kanak sampai kelas 6 sekolah dasar ini dia selalu minta dikirim ke
rumah ayah tiap kali libur.
Dan ayah, dia mencintai keluargaku.
Pandangan sayangnya pada dua cucu perempuannya begitu kentara. Namun, Nawa
seperti telah diajarkan ibunya untuk bersikap canggung dan formal. Mereka berdua
paling jarang berinteraksi dengan ayah. Tapi tentu saja hal itu tidak
menghalangi ayah untuk tetap membahasakan cinta lewat matanya.
“Nawa sakit, Diq?” suara ayah
merentang di antara kami di meja makan.
“Oh, dia sedang merajuklah,
yah. Dia lagi sibuk-sibuknya jadi panitia pentas seni waktu saya suruh ikut ke
sini.”
“Mbak emang suka ngambek,
kek. Najma dong gak suka ngambek,” celoteh Najwa menyela
percakapan kami.
“Ya, Najma nggak suka ngambek,
tapi suka ribut,” sahut ayah sambil tersenyum pada Najma yang berubah cemberut.
Pembicaraan itu kembali ditujukan padaku, “Shiddiq, Shiddiq, kalau Nawa sibuk
ya tidak usah dipaksa ikut ke sini, biasanya juga kamu tidak pernah memaksanya,
kan? Lagipula kamu juga aneh, ini kan bukan libur sekolah. Kenapa
anak-anak kamu bawa bepergian, sejauh ini pula ke rumah ayah. Kenapa?”
Ayah memandangiku dengan wajah
sebijak biasanya, namun matanya begitu tajam. Istriku mencuri pandang ke arahku
demikian pula aku menatap matanya. Setelah itu kami berempat tak bicara, kecuali
celoteh Najma tentang pengalamannya sore tadi menaiki pohon rambutan di
belakang rumah bersama Sauqi anak tetangga.
Di rumah ini ada empat kamar,
awalnya cuma ada tiga. Kamar ayah dan ibu, kamarku dan Kak Fahri serta kamar
Nada adik perempuanku. Namun setelah aku SMP, ayah memutuskan membuat satu
kamar lagi untukku berpisah dengan Kak Fahri. Sekarang empat kamar itu dua di
antaranya kosong, karena aku dan Kak Fahri sudah tidak tinggal di rumah ini
sejak kami menikah, ayah tinggal bersama Nada dan suaminya. Mereka berdua
sengaja menemani ayah tinggal di rumah ini. Saat ini mereka berdua malah tidak
ada di rumah, Nada menemani suaminya melakukan penelitian sosial di sebuah desa
pesisir pantai. Suaminya adalah sosiolog. Nada sendiri seorang aktivis LSM antikorupsi.
Kali ini aku dan Shila istriku menempati kamarku yang sekarang beralih fungsi
jadi kamar tamu, sedang Nawa dan Najma tidur di bekas kamar Kak Fahri.
“Aku merasa ayah seperti ingin
menelanjangi kita, Mas. Matanya, matanya, matanya seperti menuduh,”
Shila bicara yang lebih seperti teriakan yang ditahannya.
“Cukup, Shil, ayah tidak tau
apa-apa, oke! Kau yang terlalu paranoid. Kau memang selalu merasa ayah
tidak menyukaimu, kan, jadi wajar saja kalau pandangannya bagimu tak
pernah akan terasa bersahabat,” sahutku mencoba menenangkan, tapi suara yang
keluar malah tercekat karena aku merasa disudutkan.
“Ayahmu memang seperti itu, kan,
Mas, pandai sekali membuat orang merasa tidak enak, canggung dan risih,”
nada suara Shila meninggi.
“Sttt… Cukup, kubilang. Kita
selalu bertengkar kalau kita membicarakan ayahku. Kau tahu betul kita perlu
untuk ada di sini. Bersikap baiklah,” aku mencoba bersikap sabar namun
sepertinya Shila merasa tertekan dengan semua ini.
“Nanti kalau ayah tahu apa yang akan
ia katakan, Mas? Keluargamu terlalu mendayu-dayu memegang prinsip.
Keluargamu adalah rombongan orang-orang cerdas yang menjemukan, Mas.
Kalau ayahmu tahu ia bisa saja…”
“Diam! Dia akan tahu kalau kau
berteriak-teriak! Ayahku adalah urusanku. Dan apa pedulimu. Jika semua sudah
membaik kita pergi supaya kau tidak terus histeris seperti ini. Kau membuatku
gila!”
Malam itu, seperti beberapa malam
sebelumnya, aku dan istriku tidak bisa tidur nyenyak. Aku merasa kepalaku diisi
dengan batu-batu besar.
Selepas subuh, aku tak menemukan
ayah di rumah. Selalu begitu memang. Ayah adalah saudagar sayuran. Di masanya
sekarang, beliau cuma mengontrol pekerjanya yang berjualan di berbagai pasar di
kota ini. Biasanya beliau akan pulang ke rumah menjelang zuhur. Beliau membawa
serta Najma.
Isteriku dan Nawa pagi-pagi sekali sudah
memanggil taksi. Shila bilang dia mau mengajak Nawa jalan-jalan agar Nawa
berhenti merajuk. Tentu saja, mereka akan bisa bernapas lega jika sudah berada
di tempat-tempat yang mereka sebut pusat peradaban, mall. Shila,
isteriku yang cantik, kudapatkan dengan susah payah. Dia adik angkatanku waktu
kuliah. Ayahnya seorang pebisnis yang belakangan mulai surut. Kami berpacaran
tiga tahun. Setelah karirku menanjak ayahnya cepat-cepat memintaku menikahi anaknya.
Keluargaku
cukup merasa kaget ketika dia kuperkenalkan. Kak Fahri yang sudah lebih dulu
menikah dengan gadis yang dikenalnya lewat ustad mengajinya yang satu profesi
dengannya, dokter, tak banyak bicara waktu itu. Almarhumah ibu dan Nada
yang mengisi udara kosong dengan percakapan dengan Shila. Dan ayah, dia jelas
terlihat risih melihat calon menantunya, cantik, elegan, berkelas dan angkuh.
Matanya
berbicara dengan baik padaku, betapa harapannya aku menikahi gadis seperti Mbak
Vina, istri Kak Fahri yang sederhana, buyar dengan menghadirkan Shila. Tapi
beliau juga tahu betul apa arti cinta, sesuatu yang mengendap dalam hati yang
tak bisa dibuang begitu saja. Sesuatu yang akhirnya membuatnya tetap tak
menikah sepeninggal ibu. Dia tahu itu, itu sebabnya dia diam. Dia tidak setuju,
tapi dia juga tidak menolak.
Ketiadaan
ayah membuatku leluasa di rumah ini. Aku putuskan mengecek lagi isi dua koper
yang kubawa dari Jakarta, tempat tinggalku. Membawa-bawa koper itu membuatku
benar-benar tidak merasa tenang. Kubuka koper-koper itu, kuperiksa ulang
isinya. Utuh dan memang harus utuh.
Aku
sudah akan menutup koper-koper itu ketika ayah tiba-tiba sudah berdiri di
belakangku. Suaranya kali ini begitu tegas, seperti kemarahan yang menjelma
menjadi kata. Bicara ayah datar, namun menikamku, “Kau tahu kenapa aku
menamaimu Shiddiq? Tahukah kau ada begitu banyak harapan tersimpan dalam nama
itu?”
Tubuhku
beku, tak bisa bergerak. Perlahan ayah duduk di pinggiran ranjang di sisiku.
Aku menunduk tak berani menoleh menatap wajahnya, apalagi matanya. Aku merasa
sekelilingku membatu.
“Benar
dan jujur, kata-kata itu yang menghinggapi aku dan ibumu saat menamaimu
Shiddiq. Nama tetap saja doa. Kami menyelipkan harapan dalam nama itu. Seperti
juga pada Fahri dan Nada. Selalu ada harapan. Kau tahu benar kalau...”
“Aku
bukan Fahri atau Nada, yah. Mereka tetap bisa menjadi apa yang ayah inginkan
meski telah mengalami berbagai hal dalam hidup mereka. Mereka bisa jadi seperti
apa yang ayah harapkan, saleh, jujur, idealis. Tapi aku... Aku tidak bisa,
ayah. Aku, Shiddiqmu yang kau harapkan seperti Abu Bakar itu, itu cuma dalam
cerita!” Tubuhku bergetar.
“Ayah
sebenarnya sudah tahu. Nada sudah menceritakan tentang kecurigaannya padamu.
Itu sebabnya kau bawa uang tunai itu ke sini. Karena uang itu tidak mudah
terlacak, tidak seperti jika kau minta uang itu ditransfer ke rekeningmu.
Berapa uang dalam koper-koper itu? 1 milyar? 2 milyar? 3 milyar?” suara ayah
bergetar.
Duniaku
serasa runtuh. Betapa sulit bernapas, tubuhku semakin membeku. Ayah seperti
kekelaman yang ingin kuhindari sejauh mungkin. Aku selalu berusaha menjadi anak
ayah yang baik karena buatku ayah begitu luar biasa. Kokoh seperti beringin,
lentur seperti pohon bambu. Dalam tiap pandangan matanya, senantiasa akan
kutemukan sebuah tempat yang nyaman untuk menetap. Matanya adalah hujan saat
terik, matahari saat kelabu. Ayah adalah ayah, aku selalu ingin membuatnya
menyediakan tempat yang nyaman untukku dalam matanya.
Tapi
keputusanku untuk kuliah jauh darinya membawaku pada dunia tanpa ayah yang
begitu buas. Mengenalkanku pada hitam yang tak kusangka bisa sepekat itu.
Awalnya adalah Shila, lalu keinginan untuk menyediakan hidup yang sempurna
untuknya sampai keinginan untuk menikmati dunia sepuasnya mulai merasukiku.
Lalu uang menjadi penting. Teramat penting dan bayangan ayah semakin kabur...
Ayah,
sekarang dia mulai mendekatiku, lalu berdiri di hadapanku. Dia menangis. Ayahku
menangis. Aku merasa hatiku sangat sakit.
“Ayah
mencintaimu, sulit sekali ayah sampaikan karena selama ini ayah ingin kau bisa
membaca rasa cinta itu lewat perbuatan ayah, bukan apa yang ayah katakan.
Shiddiq...” Suara ayah pelan, seperti kehilangan kekuatan, “Bukan siapa dirimu
yang akan menunjukkan kedudukanmu, tapi apa yang kau pilih. Kau telah memilih.
Dan kau tahu betul seperti apa risikonya. Shiddiq... Shiddiq... anak ayah.”
Perlahan
diciumnya keningku, direngkuhnya aku. Tangisku tak bisa lagi kubendung,
meluncur deras bersama airmata yang juga tak bisa kubendung. Aku seperti
Shiddiq puluhan tahun lalu. Kubenamkan kepalaku di dada ayah yang gemetar. Aku
sesenggukan, tapi aku merasa begitu lega. Ini jadi jauh lebih baik.
Bertahun-tahun aku hidup dalam dunia yang membuatku kerontang. Hidup dalam
ketakutan jika tiba-tiba ayah tahu. Sekarang ayah tahu dengan cara yang begitu
sederhana, memergoki milyaran uang dalam koper-koper itu. Uang yang diserahkan
rekananku sebagai suap.
Sungguh
aku merasa begitu lega dalam pelukan ayah. Sudah puluhan tahun ia tak memelukku
begini.
Menjelang
sore Shila dan Nawa pulang. Ayah sudah menelepon polisi. Najma terus saja
bertanya pada kakeknya, kenapa kakek dan ayahnya menangis saat ia pulang dari
rumah Sauqi. Semua takkan lagi sama setelah hari ini. Tapi aku telah
mendapatkan lagi apa yang dulu terasa begitu jauh... Aku lihat mata ayahku
bernyanyi, nyanyian tanpa nyanyian.
PASAR
Dewi Yuliani
Suasana Pasar Ahad hari ini hiruk-pikuk. Aku tahu
sekali hari ini banyak yang datang bukan sekadar belanja untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, tapi lebih dari itu. Hari Rabu ini mendadak
orang-orang menjadi pemurah, menjadi orang yang sangat dermawan.
Bayangkan saja, dengan uang seribu
lima ratus, orang dapat menjadi kaya mendadak. Bisa jadi akan menambah jumlah
konglomerat di Indonesia. Itu kalau nasib lagi mujur, kalau tidak? Untuk
sementara mimpi jadi konglomerat pun patut disyukuri.
Aku memperhatikan orang-orang yang
berseliweran di depanku. Aku sudah hafal sekali wajah-wajah siapa saja yang
mampir di sini, sekadar tanya tentang kode buntut.
Sebenarnya aku tertawa sendiri. Amat
Tukak jualan kode buntut untuk mereka yang memasang Rabu malam nanti. Kalau
Amat Tukak tahu angka yang akan keluar, kenapa bukan Amat Tukak sendiri yang
membeli secara diam-diam agar ia tidak usah lagi berpanas-panas jualan buntut
di trotoar pasar ini.
Pernah suatu kali aku menanyakan
keberadaannya di pasar ini. Katanya, ia sudah bosan membeli kupon sugih,
tidak pernah kena. Lalu ia berinisiatif untuk jualan kode. Kalau kebetulan
angkanya cocok, syukur. Kalau tidak? Paling-paling lain hari ia sudah tidak nongkrong
di pasar ini lagi.
Waktu itu kami sama-sama tertawa,
menertawakan nasib sendiri. Aku memilih diam dan memperhatikannya berteriak
menyebutkan angka-angka sementara orang-orang yang mengerumuninya memandangi
Amat Tukak dengan terkagum-kagum.
Selain Amat Tukak, aku juga tahu
manusia yang ahli dalam keterampilan tangan, bagaimana tekniknya sehingga orang
sama sekali tidak merasakan tangan si copet yang merogoh saku belakangnya. Tapi
aku tak acuh. Biar, mereka juga cari makan seperti aku, dan aku tidak mau
berhadapan dengan gembong copetnya. Bisa-bisa habis aku dikeroyoknya. Dan itu
juga untuk menjaga stabil dan amannya caraku mencari makan.
Aku hampir terkantuk-kantuk ketika
hari semakin panas terik, anginnya sepoi-sepoi basah. Tetapi, cacing yang ada
di ususku tak mau diajak berdamai. Ia selalu saja menggerogoti perutku. Rupanya
ia marah melihat kantong perutku hanya berisi air putih, selebihnya hanya angin
busuk saja yang tidak bisa keluar karena tidak punya kekuatan untuk menekan
perutku.
“Kasihan orang itu ya, Bu. Lihat,
kaki kanannya buntung. Hiii... banyak kudisnya, Bu!”
Aku tersentak kaget lalu menoleh ke
samping kiriku. Kulihat ada nyonya gendut berbaju merah darah. Aku melirik
lehernya yang berlipat, tapi dihiasi gandulan kalung emas. Aku tidak habis
pikir, berani sekali ibu gendut itu membawa anaknya yang juga diliputi emas di
lehernya yang tidak kalah gendut dan berdagu
dua. Rupanya kedua anak-beranak itu kelebihan gizi.
Tiba-tiba nyonya gendut tadi
melemparkan ratusan yang sudah kusam dan lusuh di kaleng bekas susu yang sudah
kusiapkan. Bah! Aku ngedumel dalam hati. Benggol buat
mengerik punggungku saja tidak sejelek ini. Aku mengira, uang itu sudah lama
terjepit di sudut dompetnya.
“Copet! Copet! Kurang ajar!” sumpah
serapah nyonya itu, kakinya dihentak-hentakkan ke trotoar. Pantatnya yang
sebesar baskom bergoyang-goyang, lucu. Aku melihatnya seperti badut Ancol yang
tengah menari.
Rupanya pencopet itu masih perlu
latihan lagi, buktinya ia dengan mudah dapat ditangkap. Ampun. Ia dipukuli,
persis memukuli ikan gabus yang sering kulihat di pasar ikan. Dahi pencopet itu
mengeluarkan darah, dompet yang dirampasnya tadi dikembalikan lagi pada nyonya
gendut yang masih merengek-rengek persis anak kecil yang kehilangan permennya.
Aku menyumpah-nyumpah dari jauh.
Seharusnya sebelum anak itu beraksi, ia harus rajin bangun pagi untuk latihan
lari. Rupanya ia baru turun lapangan, sehingga kelihatan agak canggung.
Udara semakin panas saja. Aku
melirik Ijum yang asyik menidurkan anaknya di kain sarung yang telah
dikaitkannya pada seutas tali rafia, lalu digantungkannya di atas kayu atap
tempatnya berdagang. Suaranya bagus. Rupanya ia bekas penyanyi dangdut.
Seandainya ada pencipta lagu yang tersesat di pasar ini mungkin ia akan tertarik
mendengar suara Ijum. Aku mengakui, soal tampang Ijum tidak kalah dengan
penyanyi dangdut terkenal. Masalah nama, ia nanti bisa mengganti namanya
menjadi Voni atau Ivon, untuk lebih komersil.
Aku hampir tertidur mendengar suara
Ijum, tapi cacing di perutku tak mau diam. Apalagi ketika suara lagu dangdut
menggema mengawani tukang jual obat mempromosikan produknya, obat kudis dan
penyakit kulit lainnya.
Sebenarnya obat itu murah, cuma lima
ratus per botol. Aku pernah beli setengah botol, tapi kudis di leherku masih
saja nakal.
Aku hampir menggoyangkan pinggulku
ketika mendengar lirik lagu Basofi Sudirman. Tidak semua laki-laki bersalah
padamu... Aku tahu kalau Basofi sekarang menjadi gubernur Jawa Timur.
Jelek-jelek aku juga baca koran. Jadi, tidak hanya basi di dalam pasar ini, aku
juga tahu kalau di Indonesia masih banyak orang yang melarat.
Aku tahu semuanya bukan melalui
koran, tapi aku langsung berkecimpung dalam kemelaratan itu, bergumul di
dalamnya.
Dari koran bekas sebagai alas
dudukku, aku juga dapat membaca tentang Amerika dan produk-produk politiknya.
Aku pernah membaca buku filsafat hidup bahwa diam itu adalah emas. Aku artikan
saja sendiri, menurut status pendidikanku yang rendah, kalau diam itu membuat
diriku lebih aman.
“Hari ini... aku bersumpah...
akan kubuka pintu dompetmuuu...”
Tiba-tiba aku mendengar lirik lagu
Basofi berubah reff-nya. Dan aku hafal pemilik suara yang menggelitik
itu. Gurdis! Rupanya ia sudah keluar dari penjara. Pipinya masih benjol,
mungkin di sel pun ia menjadi bulan-bulanan buntat-buntat di sana.
Gurdis tertawa senang melihat
tampangku. Giginya yang agak kuning tapi tersusun rapi tersembul kelihatan di
antara bibirnya yang hitam.
Aku melirik lengan Gurdis yang
bertato burung rajawali, di dada kanannya bergambar naga. Terus terang, aku
takut sekali melihat kehadiran Gurdis kali ini.
“Sudah makan, Jon?” tanya Gurdis
sambil memandangiku tajam. Suasana pasar rasanya tambah panas. Taksi-taksi
kuning hilir-mudik mengangkut penumpang.
Aku mengalihkan pandanganku pada
televisi umum yang tengah menyiarkan berita tentang perang etnis di
Bosnia-Herzegovina.
“Sudah makan, Jon?!” hardik Gurdis.
“Belum. Kau?” tanyaku pelan.
“Sudah.”
Pantas saja, perutnya agak gembul
dan aku tambah iri mendengar dengkur kekenyangan cacing dari perut Gurdis.
“Lapar?” tanya Gurdis agak bodoh.
“Sampian ini bagaimana? Dari
pagi aku belum makan, ya laparlah...”
“Tunggu sebentar, ya...”
Tubuh Gurdis yang gendut tapi tinggi
itu berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama ia datang lagi dengan sebungkus
nasi. Entah, dari mana ia mendapatkannya. Setahuku, Gurdis raja copet di pasar
ini.
“Kau curi di mana?”
“Aku beli,” jawabnya singkat.
“Ah, dusta. Mana ada Gurdis Jagau
tiba-tiba jadi makhluk yang manis...” Aku tertawa hambar, tapi membuka juga
nasi bungkus yang dibawakannya.
“Sumpah, kali ini uang halal,”
Gurdis membuka dompet lusuhnya, terlihat olehku lembaran-lembaran ribuan.
“Uang siapa yang kau copet, heh?”
tanyaku penasaran, mulutku penuh oleh nasi kuning sehingga berhamburan.
“Aku jadi penjaga rumah Ta Ching,”
katanya pelan.
“Wah, wah... Jadi buldognya,
ya?”
“Biar. Aku sudah bosan keluar-masuk
penjara. Besok-besok aku mau beli sepeda motor, jadi tukang ojek.”
“Ooo...,” itu saja seterusnya yang
keluar dari mulutku.
Gurdis bertobat, lalu siapa lagi
temanku bercakap kalau ia meninggalkan tempat ini.
Percakapan kami terhenti ketika
Tibum datang. Suasana pasar menjadi semrawut. Pedagang-pedagang yang
berseliweran di tengah jalan lari ketakutan. Tukang becak berusaha
menyembunyikan becaknya. Acil Ijah jatuh tertelungkup karena kainnya
yang melorot terinjak temannya sendiri ketika mereka mencoba lari.
Gurdis memandangiku dengan sorot
mata sedih, lalu menyelinap di antara lorong pasar yang gelap.
“Itu orangnya!” tiba-tiba Tibum yang
bertubuh gemuk pendek menunjuk ke arahku. Cepat-cepat kutarik kakiku yang penuh
perban yang terbenam di dalam tanah berlubang yang sudah kusiapkan, lalu
mengambil jurus seribu.
“Penipu! Buntungnya dusta! Otak
busuk!”
Entah teriakan apalagi, tak sempat
kudengar. Aku tidak peduli dengan teriakan marah mereka. Rupanya mereka sudah
tahu kedokku, yang kadang berubah jadi copet atau pengemis buntung.
Aku tahu tempat yang aman sebagai
persembunyian. Satu bulan atau dua bulan aku tidak pernah jera datang kesini. Tentu
dengan sosok lain.
Aku tak peduli teriakan cacing yang
geram karena tidurnya terganggu disebabkan nasi si Gurdis, karena cacing-cacing
ini juga tidak peduli kalau tuannya sudah pucat pasi dan pontang-panting lari
ketakutan.
SOFIA,
PERPISAHAN ITU MENGANDUNG DUA ARTI
Hudan Nur
Dulu sekali sebelum kamu pergi.
Meninggalkan kota kecil ini, aku sering mengirimimu puisi-puisi, setiap hari
malah. Aku juga sering membaca puisi-puisi itu di Sabtu sore sambil menunggu
waktu malam yang tidak kalah indahnya. Apapun cuacanya di malam minggu tetaplah
mengasyikkan bagi kita. Kita ke warnet bersama. Makan kacang rebus di taman air
mancur. Atau kamu menonton aktingku di Taman Van Der Vijl. Kamu juga sering
memarahi aku tanpa sebab yang pasti. Kamu keluarkan umpatan-umpatan yang tidak
beralasan ke hadapanku. Tapi aku hanya diam, aku tidak kuasa membalas
umpatan-umpatan itu. Karena satu dan lain hal.
Di hari Minggunya, kita latihan
teater bersama pula. Aku selalu bilang bahwa aktingmu bagus, jika kamu minta
penilaianku. Aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu senang,
aku tidak mau ada kata-kata yang keluar dari mulutku menyakiti perasaanmu. Kamu
perempuan, Sofia, tentunya pula sensitif. Aku tidak mau kamu tersinggung.
Bukankah berbohong demi kebaikan itu dianjurkan?
Kadang, sorenya aku mengantarkanmu
berkunjung ke rumah pamanmu. Lantas aku memboncengmu bersama kendaraan yang
kupinjam dari tetangga sebelah rumahku. Aku sering ngerem mendadak. Dan
kamu memukul pundakku, kamu bilang kamu nggak suka. Tapi aku suka, kapan
lagi ada kesempatan berdekapan tanpa sengaja seperti ini, pikirku.
Senin, Selasa, Rabu hingga Sabtu
kita ke sekolah bersama. Kita diajar oleh guru-guru yang sama. Kita melewati
waktu istirahat bersama. Lalu pulang bersama. Kita tak pernah bosan dalam
kebersamaan itu, meskipun kadang-kadang kita tidak akur.
Waktu tiga tahun di bangku SMA
terasa sangat singkat, Sofia. Tiga tahun bersamamu terasa pendek, dibandingkan
waktu pelajaran yang dijalani walau cuma empat puluh lima menit di setiap mata
pelajaran. Aku merasa jenuh jika harus memperhatikan penjelasan dari guru. Aku
lebih suka merangkai kata demi kata, lalu kukirimkan kepadamu.
Pernah suatu kali, aku ketahuan oleh
guru, aku kena skors. Ia juga menyuruhku membacakan apa yang sudah aku
tulis di podium, tempat pembina upacara memberi amanahnya. Dapat dibayangkan,
bagaimana reaksi adik dan kakak kelas. Mereka me-huhui aku. Seharusnya
aku malu, tapi karena aku peteater aku tidak sedikit pun merasakan malu. Justru
aku bangga. Malah aku bermonolog di atasnya.
Kamu tidak tahu betapa gelisahnya
aku jika mataku mulai disirep kantuk. Aku takut jika harus memejamkan
mataku. Aku takut kalau-kalau di dalam mimpiku tidak ada dirimu, atau melihatmu
bersama lelaki lain. Aku begitu takut. Segeralah aku meminum obat penolak
kantuk dan kembali merangkai kata ke dalam puisi. Yang akan kukirimkan kepadamu
jika pagi menjelma. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membuat puisi
ketimbang belajar atau mengerjakan pe-er.
***
24 Juli 2005
Kukirimkan sebuah catatan harianku
yang isinya tentang aku selama dua tahun terakhir. Selepas perpisahan itu.
Bunyinya seperti ini:
Aku sudah susah membuktikan betapa
ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu, tapi kejanggalan akan
cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar
yang kelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan
diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakarsa serta
pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri,
sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naif. Aku betul-betul aku.
Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku
adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab
terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini
semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita
merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa
yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke
arah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan
ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana melodi dari
jiwa yang tak berkesudahan.
Yang menyetiamu,
***
Sudah ribuan puisi aku pintal,
Sofia. Kalau dibuat antologi sudah puluhan, hitunganku. Semuanya aku tulis atas
dasar ketidakpahaman jiwaku. Meski aku
katakan tidak, tapi aku tak kuasa. Aku tak mengerti, mengapa semua cita harus
berujung pengorbanan. Kalau aku berpikir lebih jauh, itulah alasanku bertahan.
Aku
tahu kita berbeda, Sofia. Aku orang kebanyakan. Sedang kamu? Apa pun mampu kamu
beli. Diriku pun, kalau kau mau? Tapi, sesiapa pun tahu bahwa perasaan tidak
mengenal itu. Aku tulus, Sofia.
***
15
Agustus 2005
Aku
di sini sedang mengalami musim liburan. Aku berencana untuk pulang. Tunggu aku
ya. Oh... ya! Aku ingin memperkenalkan kamu dengan seseorang. Aku kangen pada
situasi di sana. Aku ingin membawanya berkeliling di daerah kita. Aku dan dia
sekarang sedang menikmati musim semi. Aku ingin memperpanjang musim semi itu di
sana.
***
17
Agustus 2005
Aku
tidak merasa merdeka. Aku tidak memiliki kebebasan untuk menautkan hati. Lalu
kutuliskan balasan suratnya:
Benarkah,
Sofia? Aku akan menunggumu. Ini kegembiraanku yang menyeluruh. Cepatlah
kembali, Sofia...
Yang
menyetiaimu,
Aku pura-pura turut berbahagia.
Melalui suratmu yang kubaca berkali-kali itu, aku sebenarnya menangis. Tapi aku
bisa apa. Asalkan aku bisa melihat kamu tersenyum, aku rela melakukan apa saja.
Sekalipun mengorbankan perasaanku. Bahkan kalau kamu menginginkan nyawaku, maka
aku akan menyerahkannya.
***
Lima hari aku menunggu kepulanganmu.
Selama itu pula aku sibuk memintal kata menjadi rajutan puisi yang akan aku
berikan setibanya kau di hadapanku. Aku menyibukkan diri memilah kata mana yang
pas untuk seorang kamu, Sofia.
Dalam waktu itu, aku terdiam.
Melamun. Aku terkenang masa-masa itu lagi. Di SMA. Aku mengulang kaset kenangan
yang isinya tentang semua tingkahmu. Apa-apamu. Aku mencoba mengingat akan
dirimu, khususnya wajahmu. Aku paling suka dagumu, terbelah dua. Seperti
laba-laba kembar menggantung. Belum lagi alismu, yang seperti semut berjejer.
Kamu begitu indah.
Sebagai peteater, aku juga memiliki
paras yang bisa dikatakan... boleh juga. Namun aku tidak terpengaruh akan
kenyataan itu, karena kamu sering bilang wajahku jelek. Tapi kalau jelek,
kenapa kamu mau berteman sama aku? Kamu diam, jika aku balik menohok macam itu.
Kamu kehilangan kata-kata dan segera saja kamu alihkan dengan tawaran. Sebuah
senyuman.
***
“Apa kabar kamu?” sapamu setelah
sekian lama tidak bertemu.
“Seperti yang kamu lihat,” jawabku
sambil mengamati penampilanmu yang jauh berbeda. Dandananmu sudah berubah. Kamu
sudah gunakan pewarna bibir. Pun pakaian yang kau pakai sudah semakin minim,
apalagi rok mini dan stelan tanktop yang membaluti tubuhmu membuatku
pangling.
“Oh... Ini Dirga, yang mau
kuperkenalkan denganmu lewat suratku tempo hari,” sambungmu sambil merengkuh
tangan lelaki yang sejak tadi berdiri di sampingmu.
Aku sesenggukan saja menyalami
lelaki yang kau sebut Dirga itu. Aku merasa asing dengan kehadiranmu. Aku tidak
kenal dirimu lagi, Sofia. Tidak hanya penampilan, tetapi sifatmu. Kamu tidak
semanis dulu.
“Sofia, ini untukmu....” Kuserahkan
puisi-puisi yang sudah kubuat sebelum kepulanganmu.
“Terima kasih. Sudah dulu, ya. Aku
mau menemani Dirga jalan-jalan...” Lalu, kamu menggandeng lelaki itu menjauh
dari hadapanku. Sekali lagi, aku bisa apa?
Aku hanya bisa menelan air liur.
Pahit.
***
Seminggu kemudian engkau datang ke
rumahku. Kali ini tidak bersama lelaki itu. Kamu sendirian.
“Ada apa, Sofia?” tanyaku karena
kulihat air mukanya memancarkan kegelisahan.
“Aku pamit. Hari ini seluruh
keluargaku akan ikut aku menetap di Jawa...” Setelah itu kamu menyalami
tanganku. Aku merasakan hangat. Menyeruakkan seluruh samudera biruku. Aku tak
ingin berpisah denganmu, Sofia. Aku tak mampu mengucap apa-apa. Karena
airmataku yang menetes cukup mewakili kata apa yang mesti terucap. Aku remuk mendengarnya. Seandainya aku
burung, maka sayapku ini patah karena angin berita itu. Pun ketika aku hendak
memelukmu, kamu menghindarinya. Malah kamu pergi meninggalkanku dalam tangisan.
***
24
Juli 2006
Seperti
kemarin aku tetap membuat puisi untukmu, Sofia. Aku tuliskan kata-kata di
selembar kertas berwarna kelabu. Aku luapkan segala rasaku yang tak pernah
sampai. Sebab, aku bisa apa.
Sofia
terukir di prasastiku
setiap
penghujung malamku
yang
juga sempat menghantui
jati
diriku kemarin
sore
pun
aku mengeluh padamu;
temani
aku mengukur jalan-jalan
yang
akan kulalui
esok
hari
tapi
kau tak pernah menjawab,
membuat
aku
semakin
khawatir akan
kebungkaman
yang kau miliki
Sofia
terukir di prasastiku
pada
hatiku yang mulai merekah
sementara,
jam berdetak cepat
dibelenggu
jiwaku
yang lain
lalu
di setiap detiknya, aku hanya
mencoba
berbagi
rasa
untuk mentasbihi namamu;
Sofia!
karena
itulah kerjaku adanya
Sofia
terukir di prasastiku
membukakan
beberapa ayatku
yang
ditulis
matahariku
karena
aku hidup bukan untuk
aku,
tetapi
demi
dini-petangmu
di
kancah mendatang
Sofia
terukir di prasastiku
pernah
menghadang sudut
kegelisahanku
yang
kemudian menuaikan aroma
kharismatik
buluh airmata
bunga
di persinggahan waktu
Duh,
Sofiaku yang kian hari
kian
dekat,
sedekat
pemisah antara jasad
dan
ruhnya
peletak
degup jembatan kenanganku
di
perkosaan zaman
Sofia
terukir di prasastiku
dengan
pena asmara ini
aku
tuliskan dalam
kalimat-kalimat
penabuh dendang
irama
dewa
bahwa
syair penyejuk kembaraku
telah
menembus
tulang-darah
serta segala apa
yang
kumiliki
untuk
memahamimu yang kini
terukir
di prasastiku; Sofiaku!
Tapi
baik puisi atau pun surat yang kutulis tidak lagi pernah kukirim kepadamu.
Alamatmu sekarang aku tidak tahu dan kamu tidak pula memberitahunya. Semua
surat yang pernah aku kirimkan ke alamatmu dulu, dikembalikan tukang pos.
Aku
tidak tahu lagi bagaimana kamu sekarang. Ada dua arti yang aku simpulkan dari
salam perpisahan setahun lalu. Sampai jumpa atau selamat tinggal.
Tanpa
sadar aku menangis, mengingat semuanya. Aku bisa dikatakan lelaki cengeng, tapi
apalah aku. Inilah adanya.
“Dicari
kemana-mana ternyata piannya di sini? Itu nah Sofia menangis, ulun
mau ke pasar dulu menjual sayur!”
“Iya...,”
jawabku memelas sambil menghapus airmataku. Sedang puisi yang baru saja kutulis
itu aku sobek. Seperti perasaanku. Lalu kukunci kamar itu dan pergi menghampiri
putriku yang sedang terlelap.
Lekat-lekat
aku memandangnya. Baru dua minggu ia menjalani usianya. Aku tercenung,
perasaanku mestinya lebih besar tercurah padanya. Kucium dahinya. “Sofia,
sayang, jangan tinggalkan Bapak ya, Nak?” Lalu kucium lagi dahinya...
inspired by
someone
Sofiandi
Sedar
Guntung
Payung, 30 Agustus 2005
05:40 PM
PIANO
Nonon Djazouly
Kudentingkan jari jemariku di atas tuts
tuts piano melagukan Symphony 40-nya Mozart. Sementara Zelda istriku mengomel tak
karuan. Suaranya terdengar timbul tenggelam dari balik kamar, seriring bunyi
denting pianoku yang kadang nyaring dan kadang pelan. Selesai melagukan Symphony
40 kulagukan lagi For Alice-nya Bethoven. Kali ini tak terdengar
lagi omelan Zelda, mungkin ia sudah tertidur lelap dan bermimpi.
Setelah
puas main piano, aku duduk sambil meluruskan pinggang di sofa.
Zelda...
Selalu saja ia ribut kalau aku main piano. Kadang aku bingung kenapa ia
sepertinya benci sekali dengan yang namanya piano. Sering ia berkata bunyi
piano itu bising, padahal menurutku suara piano itu sangatlah romantis. Pernah
juga dikatakannya bunyi piano itu mengerikan, namun kubilang alunan suara piano
itu malah memberi kesejukan dan rasa damai di hati. Tapi Zelda tak pernah mau
kalah, ia selalu mengomel dan mengomel terus kalau aku main piano.
Piano
ini kubeli lima bulan lalu, dari sahabatku Wiby. Memang bukan piano baru, tapi
piano lama warisan kakeknya. Aku membelinya karena selain modelnya yang sudah kuno
hingga terkesan antik, juga karena harganya jauh lebih murah daripada membeli
yang baru. Tapi waktu aku membawanya ke rumah, Zelda membelalakkan matanya.
”Bang, kenapa kau tak kompromi dulu denganku kalau mau membeli lemari ikan
kering begini?” katanya.
“Kau
tidak menghargai barang antik, Zelda. Piano ini sudah puluhan tahun umurnya,
harusnya Wiby menghargainya mahal, tapi karena dia sahabatku...”
“Aku
tak suka piano!” jawabnya ketus sambil berlari masuk kamar.
Esok
harinya sepulang kerja, piano yang tadinya kutaruh di sudut ruangan sudah
berpindah tempat ke samping kamar pembantu. Oh, Zelda, kau benar-benar tak
menghargai suamimu. Tapi biarlah dulu, aku berusaha sabar.
Kubuka
koleksi lagu-lagu lama yang kusimpan dalam laci. Habis rapat direksi di kantor
tadi cukup membuatku lelah. Aku ingin bersantai sejenak dengan memainkan
beberapa lagu kesukaanku dulu. Apalagi Zelda sedang pergi arisan, berarti aku
bisa bebas bermain piano sepuasnya.
Dua
lagu kumainkan, aku pun tenggelam dalam kenangan masa lalu bersama guru pianoku
yang manis, Deborah. Wanita berdarah Belanda itulah dulu yang mengajarku main
piano sejak aku SD hingga tamat SMA. Usianya terpaut lebih tua lima tahun
dariku. Deborah yang manis tak segan-segan memukul jari-jari tanganku dengan
penggaris jika aku dilihatnya kurang konsentrasi memainkan lagu.
Namun
pernah beberapa kali aku mendapat hadiah ciuman di pipi tatkala permainanku
dianggapnya sempurna. Sayang setelah menikah Deborah diboyong suaminya ke
Belanda. Sejak itu aku hampir tak pernah lagi menyentuh tuts tuts piano,
dan setelah aku menikah piano kesayanganku diminta oleh Nina adikku yang juga
menyenangi musik.
Malam
hari, saat kami akan tidur Zelda berkata dengan dengan wajah sedikit cemberut.
“Bang, apa kau tak pernah berpikir untuk menjual saja piano tua yang jelek
itu?”
“Zelda,
yang namanya jiwa seni itu tak pernah bisa hilang dalam diri seseorang. Aku
menyukai seni musik, dan piano adalah alat musik yang kusenangi sejak kecil.”
“Aku
mengerti itu, tapi kau juga harusnya bisa mengerti aku. Bunyi piano itu sungguh
tak kusukai,” katanya sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Aku
ingin bertanya sesungguhnya apa yang menyebabkan ia tak suka mendengar suara
piano, tapi kuurungkan karena ia pasti tak pernah mau menyebutkan alasannya
juga seperti yang sudah-sudah. Duh,
Zeldaku, ada apa gerangan dengan dirimu?
Sesungguhnya
yang tambah membuatku bingung adalah bahwa istriku ini seorang perempuan yang
juga berjiwa seni. Ia suka membeli lukisan dan suka memelihara bunga. Di
dinding rumah kami penuh dengan pajangan lukisan, di pekarangan pun penuh
dengan berbagai jenis bunga tanamannya. Dan yang kutahu, sebenarnya Zelda juga
penggemar musik. Namun lucunya, istriku yang penampilannya selalu anggun ini
menyukai jenis musik rock. Koleksi kasetnya sangat banyak tersimpan
dalam lemari khusus yang berkunci. Tapi kini ia sudah jarang mendengarkan
kaset-kaset kesayangannya itu. Hanya sesekali kalau kami jalan keluar kota, ia
mengeluarkan beberapa kaset itu dan memutarnya dalam mobil. Lagu-lagu Queen,
Deep Purple, Beatles. Katanya biar aku yang nyetir tidak
mengantuk!
Pernah
kutanya, bukankah dalam lagu-lagu kesayangannya itu juga ada suara piano walau
tidak dalam setiap lagu. Jawabnya, bunyi piano dalam sebuah grup band
itu tenggelam oleh suara alat musik yang lain, jadi artinya dia hanya tak
menyukai suara piano tunggal. Aku membahas lagi, bukanlah kalau banyak alat
musik dimainkan itu lebih berisik daripada alat musik tunggal? Jawabnya
berulang lagi, “Aku tidak suka bunyi piano!” Wah, wah, wah...
Namun
uniknya, semakin Zelda protes maka semakin pula hatiku selalu ingin bermain
piano. Bias-bias rindu untuk menekan tuts tuts piano malah semakin
menggebu setiap saat. Semakin Zelda mengomel, makin keras pula aku menekan tuts
tuts piano. Pernah suatu ketika, saat aku melangkah menuju piano di
samping kamar pembantu, Zelda masuk kamar lalu kulihat ia menutup kedua lubang
telinganya dengan kapas. Saat aku mulai membuka tutup piano, ia bergegas pergi
ke taman menyiram bunga-bunganya dengan kapas basah menempel di telinga.
Dan
sore itu saat pulang kantor kulihat pemandangan yang sungguh membuat hatiku
mulai gusar. Piano kesayanganku telah ditutup dengan lakband di
sekelilingnya!
Malamnya
aku bertandang ke rumah Wiby dan kuceritakan semua tingkah laku Zelda. “Mungkin
kau sering memainkan satu lagu berulang-ulang hingga membuat ia curiga,”
katanya.
“Maksudmu?”
“Mungkin
ia curiga kalau lagu itu merupakan lagu memorymu bersama mantan
kekasihmu dulu,” jawabnya.
“Tidak,
Wiby. Aku selalu memainkan bermacam lagu, dan tampaknya masalahnya memang bukan
itu.”
“Atau
kau mungkin terlalu kemaruk main piano sehingga ia merasa kurang
diperhatikan, dengan kata lain kebersamaan kalian jadi berkurang?”
“Aku
tak pernah lupa waktu. Paling banyak tiga empat lagu kumainkan, aku sudah puas.
Jadi kurasa itu juga bukan alasan.”
“Lalu
menurutmu sendiri apa sebenarnya masalahnya?”
“Justru
itulah yang membuatku pusing, dia hanya sering berkata bunyi piano itu berisik,
mengganggu dan sebagainya. Padahal kan alunan denting piano itu justru
menghasilkan nada-nada yang syahdu,” kataku.
Wiby
menghela napas dalam-dalam tanpa bersuara apa-apa. Namun saat kuceritakan bahwa
Zelda dulu menyukai lagu rock, Wiby mengernyitkan dahi kemudian tertawa
terbahak-bahak. “Berarti memang ada sesuatu yang tersembunyi di balik tingkah
istrimu itu,” katanya. “Kau harus menyelidikinya sendiri, kawan. Baru kita cari
solusinya,” sambungnya lagi.
Sepanjang
jalan ke rumah, aku berpikir apa mungkin istriku mengalami phobia, phobia
terhadap piano. Kalau mungkin, lalu apa sebabnya?
Suatu
ketika aku bertandang ke rumah Amri temanku di SMA dulu yang sekarang
berprofesi sebagai psikiater. Aku lalu menceritakan tentang Zelda kepadanya.
“Kau kan tahu Zelda itu orangnya anggun, sikapnya tenang. Tapi ketika
mendengar bunyi piano ia langsung berubah panik, gelisah dan cerewet. Aku
benar-benar tak habis mengerti, Amri. Apa mungkin ia mengalami phobia?”
“Mungkin
saja. Jangan dikira orang yang perilakunya tenang seperti istrimu tak akan
pernah mengalami phobia. Karena phobia bisa menghinggapi siapa saja. Namun
banyak orang yang mengalami phobia selalu menyembunyikannya, bahkan pada orang
terdekat sekalipun...”
“Apa
mungkin karena takut dianggap abnormal?”
“Bisa
jadi, bukankah irasional jika seseorang takut melihat benda semacam piano saja?
Takut mendengar suara piano? Ogi... Setiap orang sebenarnya wajar memiliki rasa
takut. Takut berada dalam kegelapan, takut sendirian dalam rumah, takut
terhadap ular karena ular itu berbisa, takut melihat truck batubara yang
ngebut di jalan raya. Dan rasa takut itu memang harus dimiliki setiap
orang dalam hidup ini agar kita selalu berhati-hati. Berhati-hati di jalan
raya, berhati-hati terhadap binatang berbisa. Tapi kalau rasa takut itu
berlebihan dan di luar kewajaran sehingga mengganggu kejiwaannya, apalagi
terhadap obyek yang tidak berbahaya sama sekali, maka berarti ia memang
mengalami phobia.”
“Lalu
apa yang harus kuperbuat? Kadang aku merasa tersiksa juga, Amri,” tanyaku.
“Kau
harus bisa memberi pengertian, pengertian yang sangat mendalam karena phobia
bukanlah rasa takut biasa. Lama kelamaan mungkin akan timbul keinginan melawan
dan membunuh rasa takut itu sendiri dari dalam jiwanya...”
Aku
mengernyitkan alit, sekilas teringat waktu akan berangkat tadi, Zelda sempat
berkata bahwa ia akan menyuruh pembantu untuk memindahkan piano kesayanganku
itu ke ruang atas.
Amri
meneruskan, “Penyebab phobia itu ada yang hanya sekali tetapi ekstrim, tapi ada
pula yang hanya karena masalah kecil tapi kontinyu mengganggu perasaannya. Satu
contoh ada seseorang yang phobia terhadap eskalator karena waktu kecil ia
pernah menyaksikan seorang anak yang jatuh dari pagar atas eskalator ke lantai
bawah dan tewas seketika di depan matanya.”
Lama
sekali aku berbincang dengan Amri. Ternyata begitu banyak orang yang mengalami
phobia di dunia ini, hanya kadar dan intensitasnya berbeda. Bahkan
penyanyi sekaliber David Bowie pun mengaku mengalami phobia terbang, dan selalu
mengkonsumsi obat penenang jika akan naik pesawat.
Di
pagi Minggu saat aku baru pulang mengantar Zelda ke salon, Dino abang Zelda
menyambangiku ke rumah dan kami duduk-duduk di teras. Di tengah obrolan, Dino
menanyakan piano tua yang kubeli dari Wiby. “Kenapa tak kelihatan piano itu,
Ogi?”
Mendengar
pertanyaannya, aku merasa ini mungkin kesempatan bagiku untuk mencari tahu
sebab musabab phobia Zelda terhadap piano. Kembali aku bercerita panjang lebar
seperti yang pernah kusampaikan pada Wiby dan Amri tentang Zelda. “Bahkan
beberapa kali ia menyuruhku menjual saja piano yang dikatakannya seperti lemari
ikan kering itu,” kataku menutup cerita.
Dino
tersenyum. “Sudah kuduga, Ogi. Waktu kalian pacaran dulu Zelda pernah bilang
padaku bahwa menurutmu waktu remaja kau suka main piano. Aku berpikir suatu
saat bukan tak mungkin hal ini akan menjadi problema bagi kalian, walau mungkin
tak akan begitu serius, tapi cukup mengganggu.”
“Mungkin
ada kenangan buruk yang berkaitan dengan piano itu terhadap diri Zelda?”
tanyaku.
“Ya,”
Dino menghela napas sejenak. “Waktu kecil saat kami masih tinggal di daerah
Batu Jawa Timur, tak begitu jauh dari rumah kami ada sebuah bangunan tua
peninggalan Belanda yang sangat angker. Kalau kebetulan kami lewat di sana
Zelda selalu saja ketakutan. Tangannya selalu memeluk erat tubuhku dan mulutnya
komat-kamit membaca surah surah kecil sambil matanya dipejamkan. Padahal
ketika kami lewat tak pernah sekali pun ada sesuatu yang aneh atau menakutkan
keluar dari rumah itu. Satu kali, pernah aku memaksanya bersama-sama mendekati
rumah tua itu. Dengan langkah terpaksa Zelda mengikutiku mengintip ke dalam
rumah itu dari balik kaca jendela yang agak tinggi. Dari luar kami melihat
ruangan yang tertata rapi. Ada kursi malas, sebuah sofa yang sangat bagus tapi
sudah lusuh, dan sebuah piano tua di sudut ruangan. Melihat ruangan yang bersih
dan rapi itu, aku yakin sebenarnya dalam rumah itu ada penghuninya. Mungkin
saja ada orang yang ditugaskan oleh pemiliknya untuk merawatnya. Suatu malam
sepulang mengaji, aku kembali memaksa Zelda melewati rumah itu. Sebenarnya bisa
saja lewat jalan lain, tapi aku memang suka penasaran, aku ingin tahu siapa sih
penghuninya. Baru saja berada di depan rumah itu tiba-tiba kami mendengar
alunan bunyi piano yang semakin lama terdengar semakin nyaring. Sesungguhnya
tak ada rasa takut sedikit pun di hatiku karena kupikir ini justru membuktikan
bahwa di rumah itu ada penghuninya. Tapi Zelda... ia pucat pasi, terlihat dari
pantulan sinar bulan yang menimpa wajahnya. Tangannya yang memegang tanganku
terasa dingin seperti es. Semakin nyaring suara piano itu, semakin ia tak mampu
bersuara apa-apa, dan beberapa saat kemudian tubuhnya pun lunglai. Aku
memboyongnya pulang ke rumah. Setelah itu seminggu lamanya Zelda sakit. Ia
sering mengigau dan katanya sering bermimpi ada orang Belanda di rumah tua itu
sedang bermain piano sambil tersenyum kepadanya.”
“Mungkin
sejak itu ia jadi takut dan ngeri mendengar suara piano?” tanyaku.
“Ya,
terlebih pada piano tua yang antik bentuknya, seperti yang kau beli dari Wiby
itu. Padahal dulu sudah berkali-kali kukatakan bahwa ia harus berani memerangi
rasa takut itu, karena sebenarnya rasa takut itu timbul dari khayalannya
sendiri.”
Aku
termangu, berarti Zelda tak mau mengakui ketakutannya itu padaku karena ia
memang menyadari bahwa ketakutannya itu tak beralasan, namun ia tak mampu
menguasai rasa takut yang diciptakannya sendiri itu.
“Mas,
bagaimana kalau istriku kusuruh meditasi saja, misalnya ikut latihan yoga.
Mungkin itu akan membantu?”
“Kalau
kau hanya menyuruh dia, kurasa dia takkan mau. Kalau bersama-sama denganmu
mungkin dia mau. Semoga berhasil.” Dino
pamit pulang.
Seminggu
sudah aku dan Zelda ikut yoga di rumah seorang keturunan India. Setelah itu ia
kusuruh ikut latihan sendiri. Kenapa? Karena sewaktu ia berlatih yoga, maka di
rumah aku bisa main piano sepuasnya. Namun sebulan kemudian ia berhenti
sendiri, malas katanya.
Habis
makan malam aku naik ke lantai atas lalu kulagukan Love of My Life-nya
Freddie Mercury dengan piano tuaku. Namun di pertengahan lagu, ”Bang,
berisiiik...,” teriak Zelda tiba-tiba sambil mengeraskan suara TV. Wah,
rupanya meditasi sebulan untuknya belum membawa hasil juga!
Aku
pun pasrah, ikut yoga, memberi pengertian dengan kata-kata lemah lembut agar ia
mampu menggunakan pikiran sehatnya dalam membebaskan dirinya dari belenggu rasa
takut terhadap sebuah benda yang bernama piano ini juga tak berhasil. Bahkan
kadang sambil marah ia berkata bahwa tak sedikit pun ia pernah merasa takut
pada piano. Lalu cara terakhir yaitu sesering mungkin kumainkan lagu-lagu
kesukaannya dulu, tampaknya juga tak memberi arti.
Kini
hampir sebulan sudah aku tak menyentuh piano. Malam ini kami menonton TV
berdua.
“Bang,
kenapa sekarang aku merasakan kelengangan di dalam rumah kita ini,” berkata
Zelda yang membuat konsentrasiku menonton siaran berita jadi buyar.
“Lengang?
Berarti kau merasa sepi?” tanyaku.
“Ya...,”
sahutnya datar.
“Kalau
begitu, gimana kalau kau putar saja kaset lamamu itu?”
Zelda
cemberut, lalu melirik ke arahku.
“Ya,
sepi karena sudah tak ada lagi suara piano di rumah ini,” aku meneruskan tanpa
memandang wajahnya. Tiba-tiba ia mencengkeram tanganku membuatku kaget. “Ada
apa, Zelda?”
“Nggak,
aku cuma mengantuk,” katanya sambil menyipitkan matanya, lalu beranjak ke
kamar. Beberapa waktu ini ia kuperhatikan selalu tidur lebih dulu dariku, namun
kulihat ia sering bangun tengah malam dan salat tahajud.
Pagi
sekali saat aku baru membuka mata, terdengar olehku suara Zelda ribut di dapur.
Tiba-tiba ia masuk kamar dan mengguncang bahuku. “Bang, apa benar kata Sumi kau
telah menjual piano tuamu itu?”
“Memang
kenapa?”
“Kenapa
kau tak kompromi denganku dulu sebelum menjualnya?”
“Lho,
kan aku membelinya dulu juga tanpa kompromi? Dan bukankah berkali-kali
kau minta aku menjual saja lemari ikan kering itu?”
“Iya
sih, tapi...”
“Tapi
apa?” Sekilas kulihat ia seperti bingung, diam tak berkata-kata lagi lalu
melangkah pelan ke luar kamar.
Habis
mandi kuhampiri Zelda yang duduk sendiri, termenung di ruang tamu.
“Bang,
aku sungguh tak mengerti,” ia berkata pelan.
“Kenapa?”
“Aku,
aku kini merasakan suasana yang begitu sunyi, bahkan teramat sunyi.”
“O
ya.”
“Ya,
Bang, kurasa ternyata rumah ini sekarang demikian sepi dan terasa hampa
tanpa...”
“Tanpa
apa, Zelda?”
Ia
diam sejenak, lalu menggigit ujung kukunya seperti menahan sesuatu yang ingin
diucapkan. “Mungkinkah itu karena tiadanya lagi alunan suara pianomu di rumah
ini?” bisiknya dengan tatapan syahdu.
Aku
terdiam, seakan tak percaya pada pendengaranku sendiri. “Sungguh, Zelda?”
“Ya...
Aku tak mengerti kenapa sekarang aku malah merindukan dentingan suara pianomu.”
Kupandang
wajah istriku, berusaha menemukan apakah ada isyarat canda, namun yang kulihat
hanyalah dua bola mata sendu yang memancarkan ketulusan.
“Maafkan
aku selama ini...”
“Tak
ada yang perlu dimaafkan, sayang. Asal besok kau izinkan aku meletakkan sebuah
piano di sudut ruang tamu kita, gimana?”
Zelda
mengangguk sambil tersenyum. Aku tak tahu, apakah upaya terakhirku ataukah
perpaduan dari ketiga cara yang pernah kulakukan itu yang telah menaklukkan
traumanya, atau ia sendiri yang telah berusaha sedemikian rupa untuk membunuh
phobianya tanpa sepengetahuanku, entah dengan cara apa...
Mtp, 071009
EPISODE DURIAN
Nailiya Nikmah JKF
Musim hujan telah tiba. Setelah sekian lama udara
panas bercokol di kota Banjarmasin, kini hawa dingin mulai menyapa. Aku
merapatkan jaket. Sebuah gerak spontan ketika tiba-tiba aku merasa dingin mulai
menyusup ke tulang. Aku mengayuh sepeda agak cepat. Beberapa pasang mata
menatapku, tepatnya menatap sepeda bututku. Aku punya alasan sendiri kenapa di
era serba canggih ini aku masih setia bersepeda. Tak ada yang tahu alasan itu
selain aku. Sudahlah, tak perlu membicarakan perihal sepeda ini.
Aku membaui aspal yang dibelai hujan
sore ini. Ah, tak murni baunya. Ada bau lain yang mengusik. Bau harum dengan
aroma khas yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Otakku langsung
menampilkan format buah dengan banyak duri dan muncullah kata durian. Ya,
durian! Sekarang sudah musim durian lagi. Aku mengayuh sepeda sambil
bersenandung lirih,
aku yang lemah tanpamu
aku yang rentan karena
cinta yang tlah hilang darimu
yang mampu menyanjungku...[i])
Durian... aku bergumam dalam hati.
Durian membuatku teringat pada Iwar. Buah berdaging lembut dan manis itu nyaris
membuatku menceraikan Iwar, istriku yang putih bersayap. Aku menyebutnya putih
bersayap karena ia seperti bidadari. Sejak pertama melihatnya di resepsi
perkawinan sepupuku, aku sudah jatuh cinta pada Iwar. Tangannya begitu terampil
meracik ketupat. Waktu itu ia kebagian menjaga stand ketupat tumis.
Senyum tulusnya terpamer indah ketika aku minta diambilkan sepiring penuh
ketupat tumis buatan ibunya itu. Kata Indah, adikku, semua makanan yang ditata
prasmanan itu dibuat oleh Acil Imah, ibunya Iwar. Aku yakin di makanan
itu ada jejak jari putih Iwar yang selalu turun tangan membantu pegawai ibunya.
Rupanya Iwar pun sudah terkena panah
asmara ketika kami berkenalan di acara itu. Aku masih ingat Iwar dengan
malu-malu menangkupkan kedua tangannya di depan dada ketika aku akan menjabat
tangannya. “Namaku Wardani, Kak. Semua orang memanggilku Iwar,” ucapnya
bersahabat.
Nama yang singkat tetapi indah di
telingaku. Entahlah, mungkin karena si empunya berwajah indah. Tidak seperti
adikku, bernama Indah tapi orangnya tidak indah. Astaghfirullah, kok
jadi menjelekkan adik sendiri? Inilah cinta. Kalau sudah mata ketutupan cinta,
ya begini ini. Adik sendiri malah jadi tidak jelas keberadaannya. Kupikir tidak
hanya aku yang jadi kacau begini kalau lagi jatuh cinta.
Aku pun dengan lantang menyebut
namaku. “Namaku Gusti Hermansyah, ortu sih ngasihnya itu, tapi
teman-teman memanggilku Aman...,” candaku. Kulihat ia tersenyum dan subhanallah
ada lekuk kecil di kedua pipinya.
Kata
Indah itu namanya lesung pipi. Aku tak peduli apa namanya. Tapi yang jelas aku
selalu ingin melihat lekuk kecil di kedua pipinya itu.
darimu kutemukan hidupku...[ii])
Sejak itu semua menjadi aneh. Di
kamarku kulihat ada Iwar. Di meja makan, di ruang tamu, bahkan di kamar
mandiku! Di mana-mana ada Iwar. Bahkan dalam tidurku aku melihat Iwar dengan
lekuk kecil pipinya melambai ke arahku. Ia berbaju pengantin warna putih dan
bersayap! Esoknya aku seperti anak kecil merengek minta dibelikan mainan baru
kepada ibunya. Aku ingin bidadari bersayap itu. Aku ingin memiliki Iwar. Tidak
main-main, aku ingin menikahinya. Maka seisi rumah kalang-kabut menanggapi
permintaanku.
“Kamu jangan mengada-ada, Man. Baru
dua semester kuliah sudah minta kawin,” komentar Abah.
“Iya, Man. Lagian kenapa juga
harus Iwar bungas[iii])
itu yang kau pilih? Mama tak tahu berapa nanti jujuran[iv])
yang diminta keluarganya. Untuk ukuran Iwar dan keluarganya pastilah di atas harga
pasaran, Man,” sahut Mama.
“Harga pasaran apa sih, Ma?
Memangnya Aman mau beli barang?” Aku melotot.
“Eh, si Kakak, dikasih tahu nggak
mau mendengarkan. Si Iwar tuh banyak kelebihannya. Ibarat mangga tuh
kada bapira, kada masam, kada pangar[v]),
pokoknya sip,” sahut Indah. “Dia anak orang kaya, cantik, sholehah,
pintar lagi,” sambungnya.
“Oya? Tambah semangat nih,”
tukasku.
Semua kepala menggeleng.
“Man, jangan menyupanakan[vi])
keluarga. Kalau kita ditolak, mau ditaruh di mana muka kita?” usik Mama.
“Ma, apa salahnya kita usaha dulu.
Lagipula Aman pikir kita tidak terlalu miskin kalau memang kekayaan yang jadi
ukuran mereka. Coba Mama perhatikan Aman. Aman gagah, penampilan menarik, otak
encer, keturunan baik-baik, punya bisnis kecil-kecilan, pokoknya ngaak
memalukan deh...,” promosiku disambut timpukan tisu oleh Indah.
“Ada satu yang belum kamu miliki,
Man...,” lirih Mama.
“O,ya? Apa itu?” sahutku heran
karena merasa aku sudah terlalu sempurna untuk sekadar melamar Iwar.
“Iwar itu masih keturunan almarhum
Haji Rusdi. Ulama berpengaruh di Hulu Sungai. Tidak ada keturunan Haji Rusdi
yang tidak alim. Semua pintar ngaji, soleh dan sholehah.
Iwar tidak pantas denganmu, Man. Terlalu jauh...,” jawab Mama.
“Aman juga bisa ngaji kok,
Ma! Ya...memang sih tartilnya masih belum sempurna. Tapi Aman
janji akan belajar ngaji lagi supaya bacaannya sebagus Iwar,” harapku.
“Man... Abah dan Mama tidak
melarang kamu berteman dengan Iwar. Tapi tolong... untuk yang lebih dari itu
nanti dulu... kita belum siap,” Abah menengahi.
Aku tidak puas dengan jawaban Abah.
Hari itu aku bolos kuliah. Aku mencari info sebanyak-banyaknya tentang Iwar.
Ternyata selama SD sampai SMA Iwar hidup bersama neneknya di Amuntai. Lulus SMA
baru ia tinggal bersama orangtuanya yang kaya raya itu. Iwar kuliah di IAIN.
Konon suara Iwar sangat merdu bila sedang mengundangkan ayat-ayat suci.
Aku tak peduli dengan semua itu. Aku
hanya peduli pada satu hal, bahwa Iwar adalah bidadari putih bersayap yang
turun ke bumi untukku. Aku harus segera melamar Iwar. Bukan apa-apa, sejak dulu
aku sudah bertekad tidak akan pacaran dan apabila tertarik atau jatuh hati
dengan seseorang, maka akan langsung kulamar. Aku tidak main-main.
Begini-begini aku sudah sering ikut seminar tentang menikah dini dan bahayanya
pacaran. Buku-buku bertema pernikahan pun sudah pernah kubaca. Tapi aku tidak
menyangka juga akan bertemu dengan soulmate secepat itu.
Aku tidak berani menemui Iwar. Bukan
karena aku merasa tidak pantas dengannya, bukan pula karena takut dengan ibunya
atau ayahnya. Aku hanya tak sanggup melihat senyum bulannya yang selalu terbit
setiap waktu. Aku ingin memiliki senyum itu. Ingin meletakkannya di kamarku,
menyelipkannya di sakuku, memformatnya jadi wallpaper di hpku, ah
tidak... aku ingin menempatkannya di hatiku agar tidak ada orang lain yang
turut menikmatinya.
Hampir sebulan aku seperti orang
sakit. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, biasa... gejala penyakit kasmaran
pada umumnya. Tapi baru pada saat itu aku benar-benar paham bagaimana rasanya
merindu. Aku pun mendadak puitis. Berlembar surat cinta untuk Iwar teronggok di
laci meja belajar, sebagian di tempat sampah. Bahkan aku pernah kehilangan
sebuah surat yang lupa kusimpan di laci.
Anehnya suatu hari aku mendapat
titipan surat dari Iwar melalui Indah. Isinya benar-benar mengagetkanku.
Singkat, jelas, padat, menarik dan perlu!
Bila yakin dan percaya pada
ketetapan-Nya, maka bismillah tawakal dan bangunlah dari mimpi panjang...
demikian tulis Iwar. Aku yakin, yakin sekali Iwar akan menerimaku. Tapi, eit...
tunggu dulu, sebelum berlonjak kegirangan aku menyadari satu hal. Dari mana
Iwar tahu aku sedang bermimpi?
Indah seakan bisa membaca isi
hatiku. Sambil tersenyum jahil ia melesat pergi mencari perlindungan Mama.
Pasti, pasti Indah yang mencuri suratku dan menyerahkannya pada Iwar. Aku ingin
menarik rambut panjangnya dengan gemas atau mencubit lengannya kuat-kuat.
Tapi tidak, aku tidak jadi
melakukannya. Seharusnya aku berterima kasih pada Indah. Adikku yang perhatian.
Maka Abah, Mama, aku dan
Indah mendatangi rumah Iwar. Prosesnya begitu mudah. Tak ada jujuran
yang mahal-mahal, tak ada tawar-menawar, tak ada persyaratan ini-itu. Yang ada
hanya cinta. Cinta di mana-mana. Jadilah Iwar bidadariku. Hak milik pribadi.
Iwar istri yang sempurna. Pandai membagi waktu antara kuliah dan keluarga.
Hari-hari bersama Iwar menjadi episode indah yang penuh kejutan dan cinta.
Bagiku...Kaulah cinta sejati[vii])
Sampai tragedi itu terjadi... Baru
empat bulan pascapernikahan. Waktu itu musim durian seperti sekarang. Berlatar
senja dan gerimis. Aku baru pulang dari mengantar orderan spanduk anak Hukum.
Bisnis cetak dan sablon yang kukelola amatiran dapat untung yang lebih dari
biasanya. Aku memutuskan membeli durian tiga biji.
Kubayangkan Iwar akan tersenyum senang
melihatku membawa buah mahal itu. Ya... setidaknya setelah menikah semua jadi
barang mewah dan mahal bagi kami. Tak apa menyenangkan istri sekali-sekali.
Lagipula aku sudah kangen ingin
makan durian. Durian adalah adalah buah favoritku. Kelelahanku langsung pamit
setelah kelebat sayap putih Iwar melambai di khayalku.
“Assalamu’alaikum, War...
Iwar, lihat aku bawa apa nih untukmu...,” teriakku tak sabar menanti sambutan
hangatnya.
“Alaikumsalam... Kak, bawa
apa?” Kulihat Iwar melakukan gerak penajaman penciuman. Durian tak dapat
disembunyikan. Baunya pasti akan menyapa lebih dulu. “Kak Aman bawa... du...
rian...?” tanyanya. Kulihat senyum bulannya yang selalu terbit tiba-tiba enggan
hadir. Mukanya memucat.
“Ada apa, War? Kamu sakit? Kita ke
dokter?” Aku cemas sekali. Tak pernah terlintas bagaimana jadinya kalau
bidadariku terkulai lemas tak bertenaga.
Iwar menggeleng. Gugup ia menjawab,
“Ah, tidak, Iwar tidak sakit. Kecapekan
saja barangkali.”
“Ya sudah, kamu istirahat. Tapi
sekarang kita makan durian dulu, ya?” sahutku lega.
“Maaf, Kak, Iwar ke kamar dulu. Ada
yang mau dikerjakan,” pamitnya buru-buru.
“War! Tolong duriannya dibukakan,
ya! Aku mau mandi!” Aku bergegas mengambil handuk. Rasanya segar sekali. Iwar
menyiapkan air hangat untukku mandi. Aku jadi merasa tersanjung. Keluar dari
kamar mandi aku tidak tak mendapati Iwar di dapur. Padahal aku sudah tak sabar
ingin mencomot durian dan melumatnya. Durianku masih utuh.
“War! Iwar!” agak kesal aku
mencarinya.
Di kamar tidak ada, di ruang belajarnya
juga tidak ada. Penasaran aku lari ke depan. Kulihat Iwar duduk di kursi pelataran[viii])
kami. “Kamu ngapain ke sini?” selidikku.
“Maaf, Kak. Tadi Iwar agak pusing.
Mau nyari angin segar.”
Jawaban Iwar bagai tamparan keras di
pipiku. Entah setan apa yang membisikiku. Bagiku Iwar menjawab, “Maaf, Kak.
Iwar sudah bosan di rumah terus. Iwar ingin beraktivitas di luar.”
“Durian, kenapa belum dibuka juga?”
kucoba menyimpan kekesalan.
“Maaf, Kak, Iwar tidak bisa
membukakan duriannya....” Agak takut ia menjawab.
“Nanti kuajari. Ayo, ke dapur. Kamu
harus bisa, durian buah kesukaanku. Ayo!”
“Tapi... Iwar tidak suka durian...”
Kalimat itu seperti bantahan bagiku.
“Kalau kamu tidak terlalu suka, tak
apa mencicipi saja. Asyik dong, aku bisa puas makan duriannya,” godaku.
“Tapi Iwar benar-benar tidak suka,”
ucapnya lagi.
“Ya, sudah, kamu tidak usah ikut
makan. Kamu membukakannya, lalu menemani aku makan durian di dapur,” aku nyaris
kehilangan makna sabar.
“Iwar tidak bisa... Maaf...,”
matanya berkaca-kaca. Mungkin ia sudah menangkap kemarahanku.
“Mau kamu apa sih?! Sudah
berani membantah? Aku sudah capek-capek kerja, kupikir kamu senang
dibelikan durian. Oke! Kamu mungkin sudah bosan makan durian! Di rumahmu
tiga biji durian ini tidak ada harganya, kan! Tapi tolong hargai aku.
Suamimu ini baru kali ini bisa membelikanmu sesuatu. Maaf, War, aku baru bisa
membelikanmu durian, bukan permata.
Maaf,” teriakku lantang.
“Iwar tidak bermaksud seperti itu,
Kak...” Ia menangis. Sesungguhnya aku gugup juga melihat butiran kristal
meleleh di pipinya. Aku ingin merengkuhnya. Tapi egoku sedang berdiri pongah.
“Sejak kecil Iwar tidak suka makan durian... Iwar...”
“Sejak kecil, sejak kecil! Itu masa
lalu! Sekarang kamu hidup denganku. Aku suka durian, kamu istriku, seharusnya
kamu juga suka durian. Banyak hal bisa diubah!” potongku.
“Iwar tidak tahan mencium
baunya...,” ucapnya sesegukan.
“O,ya? Jadi seumur hidup aku tidak
boleh lagi makan durian karena kamu tidak tahan mencium baunya?!” Aku melotot
seperti kucing jantan siap menerkam kucing jantan lainnya saat berebut ikan.
Iwar menunduk. Kulihat ia berulang
kali menyeka airmatanya. Pasti besok mata indahnya jadi sembab dan tak bagus.
Peduli adul! Aku lagi marah. Marah pada Iwar. Aku memohon ampun pada-Nya
karena saat ini aku merasa menyesal telah menikah dan memilih hidup bersama
Iwar.
Bidadariku ternyata memiliki cela.
Ia memiliki sifat pembenci. Celakanya ia membenci sesuatu yang paling aku suka.
Durianku, cintaku. Seumur hidup belum pernah ada yang melarangku makan durian.
Selamanya akan tetap begitu. Tak ada yang akan bisa mengubahnya, termasuk Iwar.
Iwar yang baru hitungan bulan mendampingiku.
Hidup, durian!
Kulihat para durian bertepuk tangan
menyambut pidatoku. Apakah ini pertanda aku dan Iwar tidak cocok? Apa aku harus
berpisah saja dengannya? Aku bergidik ngeri sambil buru-buru men-delete
pikiran buruk itu. Iblis, pasti iblis sedang terkikik kegirangan. Aku tidak
sadar sedang melakukan hal yang kontras dengan apa yang baru saja kuucapkan.
Aku tak ingin Iwar mengubah kesenanganku, tapi aku justru memaksa Iwar
mengikuti kesenanganku.
Iwar melesat ke dapur. Aku umpama
suara guntur yang menguntit di belakang kilat. Iwar-lah kilatnya.
Ia mengambil pisau tajam di rak
piring. Aku kaget. Kutepis prasangka buruk sambil menghimpun kekuatan. Iwar
dengan tangkas membelah sebiji durian, mencomot isinya dan memasukkannya ke
mulut. Aku ternganga.
Tiba-tiba Iwar berlari lagi. Langkah
seribunya hampir menabrakku. Ia ke kamar mandi dan mengunci pintunya dari
dalam. Aku menggedor-gedor pintu. Kudengar suara orang muntah dari dalam kamar
mandi. Iwar muntah-muntah!
Aku panik, seperti Jerry tokoh tikus
dalam kartun favorit Indah yang sedang mencari jalan keluar dari kejaran Tom si
kucing. Tapi aku tak secerdik dan selincah Jerry. Aku mematung sekian menit
sampai pintu kamar mandi terbuka.
Iwar kuyu. Ia pasti sudah
mengeluarkan separuh isi perutnya. Pasti menyakitkan. Aku merasa bersalah. Tak
ada sepotong kata pun yang keluar dari mulutnya. Iwar ke kamar. Lagi-lagi aku
mengekor. Untuk kesekian kalinya aku terperangah, Iwar mengganti dasternya
dengan gamis coklat dan memadukannya dengan kerudung putih tulang.
“Mau ke mana, War?” tanyaku lebih
mirip memelas.
Dia tetap bisu. Di depan pintu ia
mengambil tangan kananku dan menciumnya. “Selamat makan durian, Kak. Maaf, Iwar
pergi dulu.”
Aku tak dapat mencegahnya. Mukaku
tak cukup tebal untuk sekadar menanyakan kemana tujuannya. Aku yakin, Iwar
masih bidadari yang manis. Supra Fit merah melaju bersama pemiliknya,
meninggalkan aku dengan sejuta rasa bersalah.
Setelah Isya aku mendapat telepon
dari Iwar. Aku lega. Setidaknya kini aku tahu posisi Iwar. “Kak, Iwar nginap
di rumah Mama dulu, ya? Kebetulan Abah dan Indah lagi ke Jakarta. Iwar
menemani Mama. Kak Aman jaga rumah kita aja. Makan malam sudah ada di
meja. Besok pagi-pagi sekali ada yang ngantar nasi kuning buat sarapan.”
Itulah Iwar. Ia tak seperti
perempuan pada umumnya. Kalau ngambek sama suami ngadu ke orang
tua. Iwar malah pulang ke mertua. Tidak mengadu. Tapi sekadar menyembunyikan
diri dan menyepikan kerumitan yang baru saja terjadi. Aku menarik napas lega.
Malam seperti penjara tanpa Iwar. Ke
pelataran, sepi. Ke dapur, sunyi. Ke kamar, nyeri. Aku tak berselera
lagi makan durian. Durian tragedi, siapa yang mau makan? Aku keluar bersepeda
menyusuri jalan bercahaya setelah memberikan durian-durian tragedi ke tetangga
sebelah. Jalan-jalan berhias petromaks memaksaku mampir.
“Durian, Mas?” tanya pedagang
durian.
“Ya,” aku malas menawar. Aku
memakannya sambil lesehan di samping anak penjualnya. Bocah laki-laki kurus
tujuh tahunan itu menatapku tak berkedip.
“Mau?” Aku tak yakin ia sudah pernah
makan durian dagangan ayahnya. Buktinya ia mengangguk dan cepat mencomot
durianku.
“Bapak baik sekali. Pasti senang
jadi anak Bapak,” ucapnya.
“Ah, kamu bisa aja. Saya
belum punya anak.” Aku agak tak biasa dipanggil Bapak.
“Kalau begitu, pasti istri Bapak
bahagia punya suami sebaik Bapak,” ralatnya. Istri... bahagia...? Aku tersedak.
Segera kusudahi pesta durianku dengan bocah kurus itu.
“Mau ke mana, Pak?” tahannya.
“Pulang! Sisanya kamu habiskan
saja!” Aku segera mengayuh pedal Phoniex bututku melaju membelah malam
yang mulai semakin kelam. Aku ingin tidur dan bermimpi tentang Iwar.
***
Sepulang kuliah hari itu aku tak
kemana-mana. Tidak ada niat ke rumah Mama. Nanti suasana malah kacau. Di pelataran
kudapati sebiji durian besar menggiurkan. Sepucuk surat sengaja diletakkan di
bawahnya. Tergesa kubaca,
Kak, maafkan semua kesalahan
Iwar. Durian ini sebagai tanda perdamaian dari Iwar. Dimakan, ya! Kalau sudah
selesai makannya jangan lupa gosok gigi dan tolong jemput Iwar di rumah Mama.
Nanti malam kita bicarakan baik-baik soal perbedaan selera kita. Tadi Iwar naik
angkot, kunci Supra Fit Iwar titip di tetangga depan.
Ah, Iwar, tak ada yang perlu
dimaafkan. Akulah yang meniup di atas bara. Iwar masih bidadariku. Bidadari
putih bersayap dengan lekuk kecil di pipi dan senyum bulan yang selalu terbit.
Mengingat senyum Iwar membuat aku
mempercepat laju sepedaku. Aku tak takut pada langit yang mulai gerimis lagi.
Aku ingin segera sampai di rumah. Membuka lembaran album kenangan saat terindah
bersama Iwar. Iwar sekarang pasti sedang tersenyum di atas sana.
Besok Mama mengadakan acara haulan.
Setahun kepergian Iwar. Angkot yang ia naiki dikemudikan sopir mabuk. Entah
bagaimana kejadian persisnya, yang jelas aku sudah mendapati Iwar sudah tak
bernyawa di Rumah Sakit Islam.
Maafkan aku, durian... Sejak
kepergian Iwar aku tak tahan mencium bau durian lagi. Selain itu aku juga tak
sanggup memakai Supra Fit atau sepeda motor apa pun lagi karena semua
itu hanya mengingatkanku pada Iwar menjelang kepergiannya. Iwar dengan Supra
Fit merah adalah gambaran terakhir yang terekam dengan jelas di memoriku.
Aku semakin mempercepat laju sepeda.
Kepalaku pusing, aku tidak tahan lagi, aku ingin muntah...
Bila yang tertulis untukku adalah
yang terbaik untukmu
Kan kujadikan kau kenangan yang
terindah dalam hidupku
Namun takkan mudah bagiku
meninggalkan jejak hidupmu
Yang tlah terukir abadi sebagai
kenangan yang terindah...[ix])
[1]) Korrie Layun Rampan, Kalimantan
Dalam Sastra Indonesia,
makalah, disampaikan pada Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV di Amuntai,
Kabupaten Hulu Sungai Utara, 14-16 Desember 2007
[i] ) lirik lagu Kenangan Terindah/Samsons.
[ii] ) ibid
[v] ) tidak ada keburukan/cacat
[vi] ) mempermalukan
[vii] ) ibid
[ix] ) ibid
PASAR ITU MILIK IBUKU
Rismiyana
Aku
senang bermain
menyusun bawang merah yang tercecer dengan Anto di pasar, saat kurasakan
sepasang tangan menggoyang-goyangkan kedua tanganku. Hari masih sangat pagi.
Aku baru bangun, dan mataku terasa sangat malas karena sisa kantuk yang masih
menggantung. Dengan malas kubuka kelopak mataku yang terasa berat.
“Wan, mandi. Nanti kamu
terlambat ke sekolah.” Ternyata sepasang tangan itu milik ibu. Sekarang, ia
berusaha membantuku berdiri.
“Hari ini Jumat, Bu,
masuknya jam 8. Jadi tidak apa-apa agak siangan...” Tapi ibu seperti tidak
mendengar penjelasanku. Tangannya kini menuntunku ke ruang bawah, ke kamar
mandi. Eh, bukan kamar mandi, tapi lorong kecil antara dinding rumah dan
pagar tembok rumah sebelah yang kami jadikan sebagai tempat mandi dan mencuci.
Setelah menyiram
badanku dengan beberapa gayung air dan sedikit bilasan sabun, aku bergegas
mengenakan seragamku. Tadi aku lupa, sejak Senin lalu aku harus berjalan kaki
ke sekolah. Jadi, walaupun hari ini masuk jam 8, tetap saja aku harus berangkat
jam 07.15 pagi.
Aku benar-benar tidak
menyukai keadaan ini. Seharusnya sepeda motor bapak tidak dijual.
Mengapa sepeda motor
bapak dijual? Padahal selain dapat digunakan untuk mengantar dan menjemputku
sekolah, sepeda motor itu digunakan oleh bapak untuk mengojek. Bapak kan
tukang ojek. Kalau sepeda motornya dijual terus bagaimana bapak bisa mengojek?
Ya... seharusnya bapak
tidak menjual sepeda motornya. Kalau sepeda motor itu ada aku tidak harus
berangkat begitu pagi seperti ini. Aku juga tidak harus menempuh perjalanan
yang cukup jauh untuk sampai ke sekolahku karena bapaklah yang akan mengantar
dan menjemputku.
***
Siang ini panas sekali.
Walau sudah memasuki bulan September, hujan belum juga turun. Terik matahari
siang ini sama seperti kemarin. Tenggorokanku terasa kering. Lututku ngilu. Aku
masih belum terbiasa berjalan jauh seperti ini.
Di depan pintu rumah
kulihat dua pasang sepatu bagus berjejer rapi. Siapa yang bertamu ke rumah? Pasti
teman sekolah Kak Irni.
“Jadinya bagaimana, Ir?
Kamu datang atau tidak di acara perpisahan kelulusan SMU kita?”
“Belum tahu, aku masih
belum punya uang untuk menyewa baju adat buat perpisahan.”
“Itu bisa kita siasati.
Kita bisa ngumpulin duit buat kamu.”
“Ya, Ir, kita bisa
mengumpulkannya untuk kamu.”
Dugaanku tepat, dua
orang anak perempuan itu adalah teman sekolah Kak Irni. Aku mengucap salam lalu
bergegas melewati mereka, langsung ke loteng.
Rumah kami terdiri dari
tiga bagian. Ruangan bawah hanya cukup untuk dua sofa tua yang berlobang di
sana-sini yang sekarang menjadi tempat Kak Irni menerima tamunya, selebihnya
didereti meja dan rak tua lapuk tempat peralatan memasak. Dan terakhir loteng,
tempat kami bersama-sama nonton TV, tempat rak-rak pakaian, dan tempat bagi
kami untuk beristirahat tidur.
Setelah teman-temannya
pulang, Kak Irni naik ke loteng.
“Kak, kenapa sepeda
motor Bapak dijual. Wawan capek jalan kaki ke sekolah.” keluhku padanya.
“Wan, sepeda motor
Bapak dijual digunakan untuk beli beras dan modal Ibu jualan.”
“Jualan? Jadi, Kak, ibu
akan jualan lagi?”
“Ya.”
Perkataan Kak Irni
bahwa ibu akan jualan lagi membuatku merasa senang. Ibu akan jualan lagi!
Hore...! Itu artinya, aku bisa ketemu Anto lagi. Kami bisa bermain-main bersama
lagi. Aku juga bisa bertemu Budi anak penjual beras yang warungnya ada di pojok
kanan pasar, bertemu Ima anak penjual sayur yang warungnya dekatan dengan
warung mamanya Anto, dan aku juga bisa bertemu dan bermain dengan yang lainnya!
Ibu memang sudah lama
tidak jualan. Sudah tiga bulan. Kata ibu, warung tempat Ibu jualan akan
diperbaiki. Bahkan bukan hanya warung milik ibu, tapi seluruh pasar.
Nanti, kalau sudah
diperbaiki, pasar tempat ibu jualan akan menjadi pasar yang bagus dan megah.
Menurut ibu, sebutannya bukan lagi Pasar Banjarmasin, tapi Sentra Banjarmasin.
Tempat itu katanya kelak akan menjadi tempat orang-orang berjualan terbesar di
Kalimantan!
Membayangkan semua itu
aku tidak dapat menahan senyumku. Sebenarnya dengan keadaan pasar yang dulu
bagiku tidak masalah. Karena, asal bisa melihat ibu berjualan dengan tenang dan
bisa bermain bersama-sama Anto, Budi dan Ima, itu semua sudah membuatku senang.
Tapi, bila tempat ibu berjualan menjadi lebih bagus dan tempat kami bermain
menjadi lebih luas, tentu itu akan jauh lebih menyenangkan bukan.
Tapi, tiba-tiba muncul
pertanyaan di benakku. “Kak, berarti pasar tempat ibu jualan sudah selesai
diperbaiki, ya?” kataku pada Kak Irni yang sedang melipat pakaian.
“Belum,” sahut Kak
Irni.
Jawaban itu membuatku
bingung.
“Terus, ibu jualan di
mana?”
“Di pinggir jalan pakai
gerobak.”
Mendengar jawaban Kak
Irni kegembiraanku tiba-tiba hilang. Aku menjadi ketakutan.
“Kak, kalau ada razia, gimana?
Kan jualan di pinggir jalan dilarang. Aku pernah melihat petugas-petugas
berseragam mengambili gerobak pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir
jalan raya. Nanti gerobak jualan ibu bisa diambil oleh mereka.”
“Ibu jualannya jam 4
sampai malam. Jadi tidak akan kena razia.”
Perasaanku sekarang
tidak tenang. Aku ingin sekali perbaikan pasar tempat ibu jualan dulu segera
selesai. Aku ingin melihat ibu jualan di pasar pagi dan siang hari, bukan di
gerobak pinggir jalan malam-malam. Aku juga ingin bertemu dan bermain dengan
Anto dan yang lain...
***
Sudah dua bulan ibu
berjualan di pinggir jalan. Sekarang, musim hujan telah tiba. Aku tidak
menyangka, berubahnya keadaan membuatku tidak lagi menyukai hujan. Aku benci
hujan!
Dulu aku menyukai
hujan. Setiap hujan tiba, dan baru berbentuk gerimis, aku, Anto, Budi dan Ima
akan berloncatan ke tepi pasar. Di sana kami melihat ke langit, berharap hujan
dengan tetes-tetes air besar jatuh. Biasanya bila hujan lebat itu turun kami akan
bergegas ke tanah lapang di dekat masjid untuk bermain bola. Atau kami juga
bisa membuat sungai-sungai di atas tanah berpasir di belakang pasar.
Tapi sekarang... hujan
selalu membuatku sedih.
Dua minggu lalu aku
melihat wajah ibu sangat khawatir. Saat itu mendung, dan ibu akan berjualan di
pinggir jalan dengan gerobaknya. Wajah ibu berubah muram dan sedih saat hujan
benar-benar turun deras. Ibu menunda berjualan, menunggu hujan reda. Kata ibu,
kalau hujan seperti itu, pembeli hampir tidak ada. Selain itu dagangan ibu akan
basah. Aku telah tidur saat ibu berangkat, dan baru terjaga saat ibu dan bapak
pulang, waktu itu malam sudah larut sekali.
Sejak itu, aku tahu
hujan sore hari atau menjelang malam akan membuat ibu susah.
Selain itu, hujan yang
turun pagi-pagi membuatku khawatir. Bapak tidak bisa mengantarku lagi. Aku
tetap harus berjalan kaki ke sekolah walaupun hujan. Sepatuku dan seragamku
selalu lembab dan kotor terkena percikan hujan. Padahal aku sudah memakai
payung.
Dan kalau hujan turun
siang-siang seperti sekarang ini, aku juga sedih. Aku kangen teman-teman.
Sekarang, bila hujan seperti sekarang ini, aku hanya memandanginya saja. Tidak
ada Anto, Budi dan Ima yang mengajakku bermain. Mereka sekarang di mana, ya?
Apakah ibu dan bapak mereka juga jualan di gerobak seperti Ibuku?
Aku tahu, manusia tidak
boleh membenci hujan. Hujan adalah ciptaan Allah. Dengan hujan, Allah
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi minum hewan, mengairi sungai-sungai.
Manusia juga perlu air untuk keperluan hidupnya. Lagipula, membenci hujan sama
saja membenci ketentuan Allah.
Ya, Allah, semoga hujan
turun pada saat ibuku tidak jualan, tidak saat aku sedang berangkat ke sekolah,
dan tidak siang-siang saat ingatan pada teman-teman membuatku menangis.
Hujankan saja saat aku dan orang-orang sedang terlelap beristirahat...
***
Hujan masih berbentuk
gerimis saat angkot yang kami tumpangi sampai di GOR. Hari ini, kami anak kelas
V belajar berenang. Karena di sekolah tidak ada kolam renang, aku dan
teman-teman diajak Pak Guru ke GOR.
Tapi, tunggu dulu!
Rasanya aku mengenal jalan yang kami lewati tadi. Yah! Sekarang aku dapat
mengingat dengan jelas. Letak GOR itu tidak jauh dari pasar, tempat ibu jualan
dulu. Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku ingin memastikan apakah tempat itu
sudah hampir selesai? Aku ingin sekali ibu kembali jualan di situ.
Diam-diam, saat Pak
Guru dan teman-teman sibuk berenang, aku pergi menjauh ke luar GOR. Aku
tahu, pasar tempat ibu jualan dulu hanya
berjarak beberapa ratus meter saja. Dengan setengah berlari, bergegas aku ke
sana.
Lama kelamaan jalan
yang kulalui mulai macet. Aku membayangkan, mungkin itu akibat proses perbaikan
pasar. Untuk memperbaiki pasar, pasti digunakan banyak pasir dan semen.
Pastilah bahan bangunan itu yang membuat jalanan macet.
Tapi dua ratus meter di
depanku terbentang pemandangan yang membuatku kaget. Mungkinkah aku salah
jalan? Jelas-jelas yang kulihat di depanku sekarang bukanlah pasar yang sedang
diperbaiki.
Di hadapanku sekarang
adalah halaman parkir yang luas dan bangunan besar dan megah. Ada banyak toko
dan orang-orang hilir-mudik di sana.
Cepat-cepat aku memutar
langkahku. Aku harus kembali ke GOR! Aku ingin cepat pulang dan memberitahu
ibu. Ibu pasti senang kalau tahu tempatnya jualan dulu kini telah selesai
diperbaiki.
***
Di rumah aku tidak
menemukan ibu. Kata Kak Irni, ibu sudah pergi jualan. Memang sudah seminggu ini
ibu jualan agak siang. Keluarga kami perlu uang untuk bayar uang biaya rumah
sakit bapak. Dua minggu lalu bapak masuk rumah sakit. Kata dokter, bapak kena
TBC. Uang sekolahku juga sudah 4 bulan belum dibayar. Semoga ibu tidak kena
razia, aku berdoa sambil memejamkan mataku.
“Kak, tadi aku diajak
Pak Guru berenang di GOR. Terus aku ke pasar tempat ibu jualan dulu. Ternyata,
sekarang pasar itu sudah selesai diperbaiki.” Aku bercerita pada Kak Irni
dengan bersemangat. Kak Irni pasti senang mendengar ceritaku.
“Kalau itu kakak sudah
tahu,” jawab Kak Irni. Dan aku kaget sekali mendengarnya.
“Terus kenapa kakak
tidak memberitahu ibu?”
“Ibu juga sudah tahu.”
“Kalau ibu tahu, kenapa
ibu belum kembali berjualan di sana?”
“Wan, ibu tidak bisa
lagi berjualan di sana. Kalau ibu mau kembali berjualan di sana, ibu harus
membayar puluhan juta ke pihak pengelola pasar. Ibu tidak memiliki uang
sebanyak itu.”
“Tapi kan warung
di pasar itu dulu milik ibu. Mereka hanya memperbaikinya saja?”
“Wan, peraturan
pemerintah sudah menetapkan seperti itu.”
Perkataan Kak Irni
membuatku sedih. Kini aku tahu ibu tidak akan jualan di pasar lagi. Dan entah
sampai kapan ibu akan jualan di pinggir jalan dengan gerobak. Aku juga tidak
akan bertemu dan bermain dengan Anto, Budi dan Ima lagi.
Ini semua sungguh tidak
adil! Seingatku, dari dulu ibuku sudah berjualan di situ. Warung itu milik ibu.
Tetapi, mengapa setelah pasar itu diperbaiki ibu tidak boleh berjulan lagi di
situ.
Aku harus ke kamar
mandi. Di sana tidak ada yang akan melihat dan menggangguku. Aku bisa menangis
di sana diam-diam dan lama.
DONGENG
KESETIAAN
Ratih Ayuningrum
Ternyata memelihara kesetiaan adalah
luka. Luka itu kini menganga. Sakit. Luka itu menggurat perjalanan malam yang
selalu mengantar kita dengan dongeng indahnya. Sementara, kita tahu bahwa
semuanya absurd. Kita selalu menimang bermil-mil jarak yang dipisahkan
oleh lautan tanpa tepi. Namun, kita pun selalu membangun impian tentang kastil
dan taman hijau yang luas. Setelah itu, kita pun terlelap dengan lagu nina
bobo yang selalu kita bisikkan masing-masing di heningnya malam. Mata
kita mengancing terkatup setelah seharian lelah mengumbar rayu dan puja yang
abstrak.
Kesetiaan itu bukanlah sesuatu yang
mudah untuk dibangun, walau teramat agung kita letakkan. Ia terlalu manis meski
selalu mencipta ribuan anak sungai di tengah sepi yang menjerat ruang kita
masing-masing.
***
“Aku ingin melamarmu...”
Suara bas di seberang sana mengalir
manis lewat ponsel mungil yang berada di genggamanku. Bulan separuh. Ini
adalah musim pertama perjalanan tentang janji kesetiaan.
Aku tergelak sembari berusaha
menyembunyikan bahagia yang perlahan mengalir menyusupi sanubari.
“Oya? Ini mimpi, ya? Sebentar...,
sebentar..., aku cubit tanganku dulu. Auw! Sakit. Wah, ternyata
aku tidak berkhayal.”
“Sedang apa kamu, Non?” Selalu saja
dia memanggilku dengan sebutan Nona. Sebutan yang menerbangkan keakuanku
sebagai seorang perempuan.
“Sedang tes kesadaran,” ucapku
setengah manja. “Ternyata aku tidak bermimpi.”
Sekarang gantian dia yang
tergelak mendengar ucapanku. Aku mengulum senyum mendengar tawa khas miliknya
yang berderai di telingaku. Terasa sosoknya saat ini tengah tergelak di
sampingku meski sekarang kami dipisahkan oleh ribuan jarak dan samudera yang
luas.
“Kamu lucu, Non. Benar-benar lucu.
Membuatku geregetan. Aku jadi ingin benar-benar melamarmu.”
“Kapan? Dengan apa?”
“Dengan sebuah senja.”
“Gombal!”
Dia pun kembali tergelak.
“Non, adat di sana seperti apa, sih?
Apa pihak laki-laki perlu memberi sesuatu kepada pihak perempuan sebelum
pernikahan dilangsungkan?”
“Kalau di sana adatnya seperti apa?”
“Si Nona kok balik bertanya, sih?”
“Hehehe, di sini sebelum pernikahan
biasanya diadakan acara meantar jujuran.”
“Meantar... apa?”
“Jujuran. Pihak laki-laki
biasanya memberikan sejumlah nominal uang kepada pihak perempuan sebelum
pernikahan. Uang itu yang nantinya akan digunakan sebagai biaya pernikahan.”
“Biasanya besar uang itu berapa,
Non?”
“Tergantung, Mas. Tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Misalnya pihak laki-laki mengajukan angka
sepuluh juta rupiah dan pihak perempuan menyetujuinya, maka dicapailah
kesepakatan jumlah yang akan diberikan.”
“Hah! Sepuluh juta, Non?!
Mahal sekali. Aduh, bilang sama orangtua kamu jangan mahal-mahal ‘menaruh
harga’ kamu.”
“Ya, itu kan cuma contoh, Mas.
Lagipula kalau menggunakan adat Banjar, jumlah sebesar itu masih sedikit karena
murni hanya uang jujuran itu yang digunakan untuk biaya pernikahan.
Pihak laki-laki tidak perlu menambah biaya untuk penyelenggaraan pernikahan
karena uang jujuran itulah yang dipakai. Jadi, seandainya ada kekurangan
biaya, pihak perempuan yang akan menambah kekurangan itu.”
Terdengar nada “oooo” panjang dari ponsel
di seberang.
“Kalau begitu pakai adat aku saja.
Kalau adat Jawa kan semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak
laki-laki. Kamu tinggal terima beresnya saja.”
“Ya terserahlah, Mas. Memang
kita nikahnya mau besok, ya? Kok jadi ngomongin masalah
pernikahan.”
Dia terkekeh.
“Ya setidaknya kita kan punya
niat untuk membicarakan hal itu. Aku kan perlu tahu dulu kebiasaan
masyarakat sana seperti apa. Eh, ternyata begitu tho’ kalau mau menikahi
gadis Banjar. Harus memberi uang dulu. Tapi, Non, kesannya seperti orangtua
kamu mau ‘jual’ anak gadisnya sama aku dengan menaruh harga yang terlalu
tinggi.”
“Hust, memangnya aku apaan?”
“Ya, sudah. Tuh penjaga malam
sudah memukul loncengnya duabelas kali, di sini sih baru sebelas. Tidur
sana. Nanti besok tidak bisa bangun buat kerja.”
Klik. Telepon pun dimatikan
setelah janji kesetiaan dirangkai. Serta dongeng dibingkis dan dikemas dengan
teknik penceritaan narator ulung. Setelah itu kembali sepi beradu dengan suara
jangkrik yang membelah malam.
***
“Emailmu sudah kubaca tadi
siang...”
Malam hening. Terdengar suara
setengah berbisik mencoba memecah kebekuan malam. Mengalir lewat benda mungil
bernama ponsel. Langit cerah. Jutaan bintang berpendar di sana, seperti
pendar yang berbinar pada lukisan jiwa.
“Oya? Lalu?”
“Suka bunga lily? Gambar yang
dikirim bagus, tapi kenapa harus lily?”
“Karena aku menyukai orang yang
kupanggil Lily.”
Aku tersenyum. Sewaktu-waktu dia
memang suka memanggilku dengan berbagai macam sebutan. Hari ini Nona, besok
Gadis, besok Dinda, dan terkadang juga Lily. Sebuah nama yang diambil dari nama
bunga bakung kecil yang indah, lily. Semuanya mencipta sebuah romansa
yang terlalu sulit untuk dijabarkan.
“Mas, di sana sedang musim
apa? Kalau di sini tiap hari hujan, jadi susah kalau keluar rumah. Tapi, aku
suka memandangi hujan-hujan itu. Bagiku hujan yang luruh dari langit adalah
sebuah nuansa yang sangat indah dan romantis.”
“Di sini sedang musim apel.”
“Yah... di sana kan memang
gudangnya apel. Mas ini bagaimana sih?”
Wajahku berkerut mendengar jawaban
asal yang meluncur dari mulutnya. Cemberut. Sebuah ekspresi yang tak mungkin
tercatat dalam benaknya karena kini kami hanya bisa saling beradu suara.
Mengalir melalui udara yang berembus. Selebihnya, kesunyian terlalu cepat
menyergap. Selebihnya lagi imajinasi lebih berperan menciptakan adegan-adegan
khayal yang penuh rekayasa.
“Aku senang ngusilin kamu.
Kamu pasti akan lebih cerewet kalau digoda seperti itu. Aku senang mendengar
ucapan yang keluar dari mulut kamu. Seperti boneka yang baterainya masih baru.
Oya, kapan mau online lagi? Besok, ya. Sudah lama nggak chatting
sama kamu.”
Aku mengangguk, namun kesadaran
cepat menyergap. Tak ada gerak fisik yang bisa saling kami pahami. Percintaan
ini bukanlah percintaan rupa. Segera kujawab iya.
“Bunyi apa itu, Ly?”
Sebuah bunyi panjang menyelinap pada
udara yang menghantarkan suara kami. Itu
bunyi tanda kapal baru saja berangkat.
“Bunyi kapal mau berangkat.”
“Kapal? Rumah kamu dekat pelabuhan? Kok
ada bunyi kapal?”
Aku tersenyum. Sebuah isyarat yang
hanya bisa ditangkap oleh ekor mataku pada bayangan yang terpantul di cermin
tepat di depan tempat tidurku.
“Bukan. Rumah aku dekat laut. Jadi,
seandainya ada kapal yang lewat dan mengeluarkan bunyi, maka angin membawa
bunyi itu serta hingga ke tempatku. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi bunyi
itu diterbangkan angin.”
“Wah, asyik ya, Ly,” ujarnya
seperti anak kecil. Aku membayangkan binar sorot matanya saat berkata seperti
itu. Sebuah momen yang sudah lama sekali ingin kunikmati.
“Iya. Rumahku dekat dengan hutan
bakau. Kalau pagi hari di sini banyak burung yang berkicau. Suasananya selalu
membuat hati rindu untuk kembali lagi.”
“Sepertinya tempat kamu itu indah
sekali. Di mana sih tepatnya tempat tinggal kamu, Non?”
“Di Kotabaru. Salah satu kabupaten
yang ada di Kalimantan Selatan. Kotabaru sebuah kepulauan yang dikelilingi oleh
lautan dan juga pegunungan. Indah sekali daerahnya. Kamu pasti betah kalau
tinggal di sini.”
“Wah, kamu promosi, ya?
Supaya aku cepat-cepat datang dan menjemput kamu.”
“Tidak juga. Tapi, kalau kamu
berniat seperti itu, ya tentu aku akan senang sekali.”
“Ly, malam semakin merambat naik.
Kamu pasti capek. Sekarang istirahat, ya.”
Aku menuruti kata-katanya. Malam ini
kembali dongeng dilafalkan. Kesetiaan yang diagungkan. Absurd.
***
Semuanya berawal dari suatu
kebetulan yang tak pernah tertulis pada skenario manapun.
Hari itu, aku berniat mengirimkan
tulisan kepada seorang teman lewat email. Sembari menunggu proses loading,
ku-klik menu enter pada chat room. Hanya iseng.
Tiba-tiba muncul di layar sebuah id
yang belum pernah kukenal sebelumnya. Sedikit basa-basi mengisi kekosongan waktu,
kujawab saja setiap pertanyaan yang terlontar dari “orang asing” tadi.
“Asl pls.”
“Bjm f 21, u?”
“Mlg m 21.”
Bla...bla...bla...,
perbincangan pun berlanjut dengan saling menukar nomor ponsel dan
bertukar foto. Sebuah hal yang lazim kulakukan dengan teman alam mayaku yang
lain. Dan setelah itu aku hanya menganggap semuanya angin lalu semata.
***
“Bulan kita sama, Nona.
Memiliki harapan dengan terangnya. Menyiram pekatnya malam agar memiliki
keindahan. Bulan di kotamu sesempurna wujud bulan di kotaku dan kini kupandang
bulan itu di bayang wajahmu...”
Aku tersenyum. Sebuah email
darinya hari ini. Selalu, setiap hari ada saja email darinya yang masuk inbox-ku.
“Samudera kita terlalu luas
untuk ditapaki dengan jejak langkah kita. Namun, tak ada yang tak nyata pada
jarak kita karena semuanya telah lebur menjadi satu. Aku, kamu, sebuah kesatuan
yang agung dalam janji dan kepercayaan yang dalam...”
Ku-klik item send.
Balasan email untuknya. “Kapan kita bisa bertemu?” Hal itulah yang
selalu mengusik relungku. Sebuah pertanyaan yang selalu saja dijawab dengan
berjuta alasan abstrak. “Aku capek dengan hubungan seperti ini. Aku
ingin mewujudkan mimpi yang selalu saja menjadi bunga tidurku....”
Semusim telah berlalu. Janji
kesetiaan itu tetap utuh tanpa cela. Walau absurd. Janji untuk saling
percaya meski hanya dunia maya yang menjadi jembatan bagi kami. Namun, entah
kekuatan bernama apa yang sanggup membuat aku bertahan dengan hubungan penuh
keserbatidakjelasan seperti ini. Percintaan ini mungkin bukan percintaan rupa,
namun jiwa yang lebih memanggil untuk mengikatnya pada janji kesetiaan.
“Entahlah...,” terdengar nafas
dihela, berat. “Sabar ya, Non. Aku belum bisa menjemputmu sekarang. Maafkan aku
atas ketidakmampuanku membuatmu bahagia. Waktu mungkin bisa menghancurkan
semuanya. Namun aku berharap perasaan kita tidak akan pernah hancur hanya
karena waktu.”
Sekarang gantian aku yang
menghela nafas berat. Selalu seperti ini ketika aku menagih janjinya untuk
menjemputku. Janji itu selalu dimentahkan oleh alasan-alasan klise yang
terkadang di luar nalarku dan tak dapat kucerna. Namun, entah kenapa aku selalu
saja berhasil dibuat percaya. Mungkin saja aku telah mabuk oleh biusan kata-kata
manis yang dia bisikkan melalui ponsel mungilku. Entahlah.
***
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan,
bahkan hingga purnama keenam tidak pernah ada lagi email yang masuk ke inbox-ku.
Semenjak pertanyaanku silam, nada dering hp-ku pun seolah enggan
berbunyi. Tak ada telepon, tak ada sms. Semua nomor yang dia miliki
selalu dijawab oleh suara dari operator. “Nomor yang Anda tuju sedang di
luar jangkauan...”, atau “...telepon yang Anda tuju sedang
tidak aktif...” Upf! Aku kesal. Menghilang kemana dia?
Kubanting ponsel-ku ke sudut kamar. Untunglah benda mungil itu cukup
kuat menerima perlakuanku sehingga masih tetap utuh dengan jasadnya.
Tak ada hal yang bisa kulakukan.
Menangis mungkin bukan pilihan tepat. Namun, hati wanita terlampau tipis hingga
mudah mengeluarkan airmata. Ada rindu yang memuncak dan ingin kulabuhkan
segera. Rindu ini tak mampu berdamai dengan jiwaku yang merintih perih. Apakah
rindu selalu sembilu seperti ini?
Kuputuskan untuk mengarungi
perjalanan ini. Perjalanan panjang menemukan jejak rindu dan kesetiaan yang
terlampau diagungkan. Pagi masih basah oleh embun, bermodalkan keberanian
kutinggalkan jejak kotaku untuk menemukan jejaknya di Kota Apel yang dingin.
Perjalanan ini benar-benar kurasakan sangat lama. Delapan jam waktu kuhabiskan
dari kotaku menuju Bandara Syamsuddin Noor di Landasan Ulin Banjarbaru.
Kemudian, pesawat yang membawaku terbang ke
Surabaya kurasakan bergerak sangat lambat. Waktu empat puluh lima menit bagiku
berputar terlalu lambat. Tiba di Surabaya, Kota Pahlawan tersebut, aku pun
menumpang bis menuju tempat labuhan rinduku di Kota Apel. Aku tak punya
apa-apa. Aku hanya punya rindu yang teramat dalam ingin bertemu dengan separuh
jiwanya yang lain.
Perjalanan dua jam dari Surabaya
kulalui dengan hati yang berdebar. Tak sabar rasanya aku ingin segera
menjejakkan kaki di kota yang selama ini hanya bisa kami angankan menjadi rumah
bagi kami kelak.
Sesampainya di Terminal Arjosari,
Malang, aku dijemput oleh Sha, teman SMA-ku dulu yang sekarang kuliah di Kota
Apel tersebut. Kuhirup bau kota ini dalam. Akh, sekarang aku telah
berada di kota ini dan akan segera menelusuri perjalanan rinduku akan janji
kesetiaan.
“Daerah mana, Na?”
“Mergosono, Kedung Kandang...,” jawabku singkat.
“Nanti aku temani kamu ke sana, tapi
sekarang kita ke kostku dulu. Kamu harus istirahat dulu. Perjalanan yang
kamu tempuh sangat jauh. Pasti kamu kelelahan.”
“Sha, aku sudah tidak sabar lagi.
Kamu tahu kan bagaimana perasaanku?”
“Aku mengerti, Na. Kamu ikuti
saranku saja. Kamu punya alamatnya, kan? Nanti aku akan bantu kamu
mencarinya.”
“Ada. Alamatnya masih kusimpan
ketika dia dulu memberikannya saat aku mengirimkan paket ulang tahun padanya.”
***
Petang di Kota Apel. Udara menggigit
ruas kulit. Kurapatkan jaketku. Aku tidak terbiasa dengan udara sedingin ini.
Di kotaku matahari kadang bersinar terlalu garang.
Kutelusuri lekuk kota ini dengan asa
yang menggunung. Harapan untuk menautkan asa yang selama ini telah berani
menyusup di jiwa.
Perjalanan ini memang melelahkan.
Namun, aku tidak ingin membiarkan jiwaku lelah lebih dulu menggantungkan rindu
itu di kotaku.
Hatiku semakin berdegup kencang
ketika langkah kaki kami menemukan rumah yang dimaksud. Pasti aku tidak salah.
Nomor rumah mungil di depanku ini persis dengan alamat yang diberikannya. Kuberanikan
untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Hatiku semakin berdegup bagai irama
drumband yang biasa aku lihat pas perayaan hari kemerdekaan.
Terdengar suara langkah mendekat.
Seraut wajah muncul di balik daun pintu. Mulutku terbuka ingin menyapa dan
memberinya kejutan. Tapi, aku tercekat. Keadaan berbalik seolah menampar
kesadaranku ke sebuah ruang hitam. Sosok di depanku, seorang sosok laki-laki
yang kukenal, tapi, ah, tidak! Dia tidak pantas kusebut laki-laki, tapi tidak
pantas juga kusebut sebagai seorang perempuan.
“Non...,” desisnya dengan suara
tertahan. Suara itu, suara yang selama ini kurindukan. Ternyata dia? Pantas
saja dia selalu menghindar setiap kali aku meminta dia memenuhi janji
kesetiaannya. Jadi, ini alasannya kenapa dia selalu mengelak dengan menciptakan
bermacam alasan. Ternyata dia memiliki sisi feminin yang sama denganku. Apakah
ini lelucon?
Aku berbalik. Ingin berlari
meninggalkannya. Namun, tangannya terlalu kokoh menahanku. Tak ada guna aku
meronta karena bagaimanapun juga tenaganya jauh lebih kuat dariku.
“Dengarkan penjelasanku dulu!”
Aku tak mampu mengeluarkan suara.
Tenggorokanku rasanya tercekik. Lidahku kaku. Aku tidak percaya kenyataan yang
tengah kuhadapi.
“Non, maafkan aku. Aku berbohong
padamu. Tapi, inilah aku. Jiwaku sakit. Semuanya menolakku. Lingkungan
menolakku. Aku merasa terbuang dengan keadaan seperti ini. Aku tahu ini salah,
aku sudah berusaha untuk berubah. Aku tidak betah dengan jiwaku yang sakit.
Terperangkap dalam tubuh yang kau pun tidak ingin hal ini terjadi padamu.”
“Kenapa tidak kau jelaskan dari
awal?”
“Memilikimu adalah suatu keindahan.
Mengenalmu aku merasakan sebuah penerimaan yang tulus. Aku terlalu takut
kehilanganmu walau aku tahu suatu hari hal itu pasti terjadi. Maafkan aku, Non.
Mungkin aku telah menipumu. Kamu berhak pergi dariku. Belajar mencintaimu
adalah hal paling indah yang pernah terjadi di hidupku meski aku tahu itu
sulit....”
Senja itu airmata luruh di tengah
sobekan-sobekan janji kesetiaan yang tak berwujud lagi.
***
Pesawat terakhir yang membawaku baru
saja berangkat. Kutinggalkan luka dan janji kesetiaan. Di Kota Apel yang dingin
kutinggalkan jejakku. Kubawa senyumku serta. Sebait doa kukutip agar jiwanya
yang sakit dapat menemukan sebuah rumah teduh yang di sana semuanya
menerimanya. Bila saat itu tiba, tentu dia telah menemukan jiwa dan dirinya
yang sesungguhnya.
Kupejamkan mata sembari menahan
airmata yang berebut ingin luruh. Janji kesetiaan itu absurd. Kesetiaan
itu adalah luka. Luka itu menganga. Sakit.
Semuanya kuleburkan bersama deru
roda pesawat yang perlahan naik membumbung ke angkasa. Abunya kutabur di batas
jarak samudera yang kembali memisahkan ruang kami, kini perpisahan yang nyata.
Dongeng tentang janji kesetiaan berakhir sudah.
Banjarmasin, Juni 2006
SEBUAH
MATA, SEJUTA SESAL
Syafiqatul
Machmudah
Mata itu menerorku terus menerus. Entahlah,
aku tak tahu di mana kesalahanku hingga mata itu selalu menganggapku musuh
bebuyutannya. Aku sudah terlalu lelah untuk lari dan berlari, sepertinya kekuatanku
untuk melangkah sudah berada pada titik nol.
Yah, terlalu lama rasanya
jika aku terus-terusan menghindar dengan cara seperti ini. Aku takut ketika
mata itu terus saja memelototiku, mata merah yang selalu merah seperti haus
dengan darahku. Saat ini pun mata itu terus saja membuntutiku seperti bayangan.
Tidak siang, tidak malam, terus saja tanpa lelah seperti menggerogoti setiap
persendianku, menjadikan aku lemah tanpa tenaga dan hanya bisa berlari
sejauh-jauhnya untuk menghindarinya.
Mata itu mengejarku, menjadikanku
seperti buronan, mengejar-ngejarku dengan nyala marahnya. Sungguh aku tak tahu
apa yang telah aku lakukan sampai mata itu terus saja memburuku. Saat ini aku
telah merasa berlari sampai jarak yang telah jauh dengan mata itu. Napasku tak
karuan, denyut nadiku tak teratur, seperti dentuman musik rock,
mencekikku dan menahan pernapasanku, tapi langkahku tak jua kuhentikan.
Langkah ini terus saja berlari,
berlari dan berlari, walau dalam keadaan yang sangat lemah sekalipun. Rasa haus
dan lapar yang mendera begitu hebat tak jua kuhiraukan, aku seperti tubuh
kosong yang hanya punya rasa takut. Aku tak tahu rasa takut yang seperti apa
itu, perasaan yang selalu ingin menjauh dari mata itu, perasaan yang ingin
menghindar.
Rasa takut yang menekanku begitu
dahsyat, yang apabila aku pikirkan bisa membuat jiwaku perih, teriris-iris tak
karuan, luka yang pedih. Entahlah, takut yang seperti apa itu? Perasaan yang
selalu menghipnotisku untuk selalu merasa bersalah, tak membiarkanku tersenyum
sedikit pun. Perasaan yang selalu ingin menendangku, ingin mengeluarkan
darahku, ingin memotong-motong setiap bagian tubuhku... Ya, takut yang seperti
apa itu?
Mata itu, entahlah, sudah sejak
kapan begitu kuat menatapku. Hidupku yang semula berjalan teratur, hancur
dibuatnya. Cinta, kesedihan dan amarahku berantakan tak karuan. Kosong, jiwaku
yang kini telah kosong, hanya mengelana, berjalan dan berlari untuk
menghindarinya. Aku telah teramat takut.
Mata itu telah begitu lama rasanya
tak jua mau berhenti dan berteman denganku, teman. Kapan aku mulai bisa
memikirkan untuk berdamai saja dengan mata itu! Atau aku sudah gila dan tidak
waras lagi sehingga menganggap mata itu mau berdamai dan mengakhiri semua ini.
Tak mungkin...Ya, tak akan pernah mungkin. Memikirkannya saja telah membuat
bulu tengkukku bergidik. Tapi di mana kesalahanku?
Langkahku terus saja berlari,
meninggalkan jejak-jejak malam yang tak kukehendaki. Seluruh tubuhku telah
basah dibanjiri oleh keringat, keringat dingin yang tak meninggalkan apa pun, hanya
bau yang kurang enak dan basah yang tak karuan. Kakiku terus saja melangkah,
melalui gelap, tanah, kubangan, lumpur, rumput liar, batu, ya...
Semua terlewat begitu saja, tak ada
yang berharga sedikit pun, yang tersisa hanya bekas luka, goresan yang perih
dan kalut yang entah keberapa jumlahnya. Langit masih saja keruh, bulan tak jua
nampak, bintang hanya tersisa begitu kecilnya. Tapi aku sama sekali tak
berharap apa pun pada semua itu, karena kuyakin tak ada yang bisa menolongku,
untuk terlepas dari mata itu. Bahkan semua orang yang kulalui, semua jenis
wajah yang terlalui, semuanya, tak ada yang bisa menolongku, tak ada yang bisa
membantuku.
Aku hanya bisa berlari, menjauh dan
berusaha bersembunyi dari mata itu, tapi sampai sekarang tak jua aku temukan
persembunyian yang aman. Semua sudut telah aku lewati, tapi tak satu pun yang
bisa luput dari mata itu.
Saat ini, tanpa aku sadari mata itu
telah tepat berada di depanku. Kaget yang luar biasa, aku panik, tak tahu harus
kemana lagi. Angin yang berhembus perlahan berubah garang, bak angin topan yang
tak sopan, seperti mencabik tubuhku. Aku mencoba menghindar, berlari ke arah
hutan di seberang tempatku berdiri.
Kulihat mata nanar merah menatap
setiap sudut, menjelajahi bagian per bagian hutan tempatku bersembunyi, mencari
sosokku. “Apa yang kau harapkan dari aku...?!” Aku berteriak tak karuan, tapi
sia-sia, suaraku tenggelam oleh gemuruh angin.
Mata itu semakin ganas, warna
merahnya berubah menjadi sangat merah, merah darah. Yah... Setetes demi
setetes darah itu mengalir. Mata itu seperti bergolak, biji matanya bergerak,
berputar seperti angin puyuh. Mata itu sepertinya sudah mencium di mana
keberadaanku. Sebentar saja ia telah menatap lurus ke arahku. Aku terkesiap,
tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Tubuhku terasa kaku, seperti kehilangan
tenaga untuk bergerak. Aku biarkan saja mata itu mendekatiku perlahan.
Mata itu mulai berjalan ke arahku
menyebarkan aroma darah yang amis. Kututup hidungku, tapi penciumanku seperti
pernah mencium bau yang khas itu, entahlah, tapi di mana. Mata itu terus saja
mendekatiku. Tubuhku terasa lunglai. Ingin rasanya aku pingsan dan tertelungkup
agar mata itu mengira aku telah mati, setidaknya saat ini aku telah mulai
berharap. Tapi tetaplah hal itu hanya harapan, karena tubuh ini seperti bukan
milikku lagi, tak kuasa lagi untuk kuperintah. Semakin dekat, mata itu telah
semakin dekat. Aku semakin terpojok. Seluruh inderaku seperti lumpuh.
Akhirnya mata itu telah persis
berada sejengkal dari tempatku berdiri. Ia memandangku, memandangku begitu
kuat, tak bergerak, sepertinya tak mau melewatkanku sedetik pun.
Darah itu pun semakin lama mengalir
semakin banyak, jatuh membasahi bumi. Rasa takutku mulai memuncak. Tapi
sungguh, tubuhku telah lumpuh total. Aku tak bisa berbicara, mendengar
gemuruhnya, mencium baunya, tangan dan kakiku seperti dibelenggu. Jantungku
seperti berhenti berdetak, tapi aku belum mati. Tubuh ini terasa ringan,
melayang, dan sakit yang teramat. Mata itu menatapku. Tak ada belas kasihan,
tak ada sedih tak ada bahagia, hanya terlihat pedih dan perih yang teramat.
Mata itu mulai memandang setiap bagian tubuhku, meneliti satu per satu seperti
mencari sesuatu, tapi aku tak tahu apa.
Kemudian mata itu mengeluarkan
cahaya yang entah berwarna apa, warna yang tak karuan, tapi cahaya itu begitu
menyilaukan pandanganku. Hanya dengan hitungan detik cahaya itu telah memenuhi
seluruh bagian hutan. Pepohonan yang hijau dalam gelap berubah bercahaya.
Cahaya itu pun semakin menyilaukan dan menyebarkan aroma kamboja, wangi yang
mengerikan. Bulu kudukku berdiri dengan teratur seperti merapat menutup setiap
pori-pori tubuhku. Kunikmati saja cahaya itu, yah, mungkin ini kali
terakhir aku bisa menikmati cahaya terang seperti itu.
Cahaya itu semakin lama semakin
terang, membentuk sebuah bayang menyerupai tubuh-tubuh manusia, semakin nampak,
semakin terbentuk. Cahaya itu kini seperti layar. Entahlah, mata itu seperti
ingin menunjukkan sesuatu. Manusia yang berlari kesana-kemari, barang-barang
berserakan tak karuan, tubuh-tubuh yang hancur berkeping-keping, di mana?
Kapan? Tubuhku yang sedari tadi terasa ringan kini berubah menjadi berat
seperti menahan berton-ton batu. Kepalaku sakit yang teramat. Aku seperti
pernah melihat semua itu, tapi di mana. Tolong! Tolong!
***
23 Mei 1997
Tepat hari Jumat. Jumat, yah,
Jumat...
“Die, kamu nda ngikut
jalan, nih? Buruan gih, kita cabut. Asyik kan, rame-rame
bareng!”
Terdengar suara Roni begitu jelas di
telingaku, mengejutkan tidurku yang indah. “Gila, jangan teriak-teriak, dong!
Iya, iya, tungguin aku mandi dulu, yah!” sahutku sambil
melemparkan bantal ke wajahnya. Hari itu kami memang sudah janjian untuk
ikut kampanye, itung-itung tidak ada kerjaan di rumah.
Aku segera masuk kamar mandi. Tak
kuhiraukan lagi ocehan Roni yang tak karuan. Kubayangkan hari ini kami akan
berada di jalan seharian. Yah, seharian teriak-teriak menghabiskan suara
dengan tujuan yang tak jelas. Yah, cuma ikut nampang doanglah. Lagian,
yang penting kan acara rame-ramenya itu.
Setelah semua beres, aku, Roni dan
beberapa orang pemuda yang tidak kukenal segera berangkat. Bendera-bendera
partai dan segala aksesoris kampanye telah komplit kami siapkan, tapi, yah,
tanpa tujuan. Hari ini kami sepakat memakai kaos warna kuning, seragam dengan
segala warna aksesoris partai yang kami dukung untuk hari ini. Sekadar
informasi, kami, aku dan Roni, memang setiap hari selalu berganti-ganti warna
kaos di setiap kampanye. Maksudnya, sebenarnya tidak ada partai yang kami
dukung dengan setia.
Hari ini keadaan jalan terlihat
sangat ramai. Banyak sekali orang yang antusias mengikuti kampanye, dari
anak-anak sampai para manula turun ke jalan. Aku dan Roni begitu percaya
dirinya bergaya di depan kap mobil yang telah kami hiasi. Sangat berbahaya, memang,
tapi itulah; saat-saat seperti ini urusan keselamatan diri masuk nomor sepuluh,
yang penting kami bisa rame-rame dan menikmati suasana hari ini.
Saat ini kami berada di seputar
Jalan Kayu Tangi (H. Hassan Basry). Kami berputar-putar mengelilingi daerah itu
dengan berbagai gaya berani, yang akan membuat orang terperangah. Dari gaya
berdiri di atas kap mobil dengan kedua tangan tidak berpegang pada apa pun,
sampai berjoget mengiringi musik yang kami stel keras-keras. Saat itu
jam menunjukkan pukul 12 siang. Matahari telah berada di atas kepala kami, tapi
tak kami hiraukan sedikit pun. Aku pun telah melupakan kegiatan rutinitas jumatan
(sholat Jumat) yang sering aku lakukan.
“Kamu nggak sholat Jumat,
Die?”
“Males. Lagian, lagi rame
gini, Ron. Apalagi, katanya subsidi buat kita besar, nih,
he-he...”
“Aku sih terserah kamu aja.”
Kami meneruskan perjalanan ke jalan
besar, arah tujuan kami tepatnya akan berhenti di depan salah satu plaza yang
terbesar di kota kami (Mitra Plaza). Saat ini jumlah anggota kampanye yang
bersama kami sekitar 200-an orang. Semua anggota kampanye dari kelompok lain
akan berkumpul tepat di depan plaza tersebut.
Kami melewati setiap masjid dengan
perasaan yang tidak bersalah sedikit pun. Kami pun tak segan berteriak-teriak
di depan masjid di saat orang sedang mengikuti khotbah Jumat. Kulihat
orang-orang menggeleng ketika kami lewat. Aku tahu bagaimana perasaan mereka,
tapi itu memang mauku, yah. Aku menganggap diriku hebat karena berani
untuk berontak dari kebiasaan seperti itu, berontak dari dogma-dogma ajaran
ayahku yang sangat menyebalkan. Aku merasa bangga dengan hal ini.
Saat ini kami telah berkumpul dengan
anggota lengkap, yang lainnya mungkin akan menyusul beberapa jam lagi. Semua
berkumpul seperti satu saudara. Saling bercengkerama satu sama lain dan
memamerkan aksesoris yang didapatkan dan yang dimiliki saat ini.
Di depan plaza kulihat orang sangat
ramai, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Mereka sepertinya dari daerah
lain yang berkunjung ke Banjarmasin dan memanfaatkan momen ini. Anak-anak
bermain dengan senangnya di salah satu ruang bermain yang memang dipersiapkan
untuk mereka, sedangkan ibu mereka sibuk memilih barang-barang yang akan mereka
beli dengan teliti.
Aku dan Roni berjalan-jalan mengisi
waktu untuk melihat-lihat baju di lantai dua plaza tersebut. Kami memang orang
yang terhitung sangat jarang untuk berjalan-jalan ke tempat yang seperti itu,
karena sebagian besar waktu kami hanya diisi untuk kuliah dan bermain musik.
Kami punya kelompok band dan sudah sering manggung di kota-kota
lain. Walaupun kami bukan band tenar, tapi siapa sih yang tak
kenal kami.
Aku dan Roni tidak terlalu tertarik
untuk membeli barang-barang itu. Timbul niatku untuk membuat sedikit kekacauan
di tempat itu. Malam tadi aku memang membaca buku tentang kehidupan seorang sniper,
seorang yang awalnya tidak memiliki keberanian sedikit pun hingga terkenal
sebagai orang yang sangat penakut; sampai akhirnya menjadi orang yang memiliki
keberanian yang sangat dahsyat hingga menjadi sniper yang selalu dipakai
orang untuk membunuh orang-orang penting di negaranya.
Tapi sniper itu memiliki
kepribadian ganda. Pada pagi hari ia menjadi orang biasa yang sangat baik,
penakut dan agak bloon; sedangkan ketika malam ia menjadi seorang sniper.
Malam merupakan alam lain bagi sniper itu, matanya akan berubah seperti
seekor kucing yang menyala-nyala. Aku sangat tertarik dengan cerita itu, sampai
berharap bisa menjadi seperti sniper itu. Hebat, menurutku.
Aku hampir membayangkan aku menjadi
salah satu bagian dari sniper itu. Keberanian timbul dalam hatiku,
memenuhi otakku dengan pikiran-pikiran jahil untuk mengikuti sosok khayalanku.
Mataku jelalatan melihat potensi yang bisa aku lakukan.
Kulihat Roni sedang terlibat
pembicaraan dengan seorang anggota kampanye seperti kami. Penampilan orang itu
terbilang cukup mengesankan. Orang itu juga membawa koper yang entah berisi
barang apa, tapi sepertinya sangat penting. Roni terlihat serius sekali
berbicara dengan orang itu, sedangkan teman-teman kami yang lain telah banyak
yang meninggalkan plaza ini dan kembali beratraksi; rencananya mereka akan
berkumpul lagi di sebuah lapangan bola di kota kami untuk menghadiri dan
mendengarkan orasi dari anggota partai yang segera akan naik kursi menjadi
wakil mereka.
Aku menunggu Roni dengan agak kesal,
karena hampir setengah jam ia berbicara dengan orang yang sama sekali belum
kukenal itu. Akhirnya, orang itu meninggalkan Roni sambil menyerahkan koper
tersebut kepadanya. Roni tersenyum dengan puas dan segera beranjak menemuiku.
“Die, kamu mau uang banyak, nggak?”
“Emangnya aku nda
normal? Yah, maulah.”
“Nih, ada job!”
Roni membuka sedikit isi koper,
terlihat tumpukan uang yang jumlahnya perkiraanku sebesar 200 jutaan.
“Gila, Ron! Kamu dapat dari mana?”
“Ini bukan punyaku. Kita cuma dapat
10 % dari ini. Tugas kita hanya mengantarkan uang ini kepada orang yang disuruh
Bapak tadi, dan selesai.”
“Gitu aja?”
“Iya. Cepat, kita nggak punya
waktu, Die.”
“Eh... Tau nggak, Ron.
Aku punya rencana bakar ini plaza.”
“Ehm, he-he...”
Aneh, wajah Roni tak mencerminkan
ketakutan sama sekali ketika aku mengemukakan pendapatku. Ia hanya tersenyum,
seperti menyembunyikan sesuatu.
“Die, senang kamu punya kesamaan
dengan aku, he-he...”
“Hah? Kamu nggak
bercanda?”
“Nggak. Itu dah lama. Yah,
agak sadis, memang, tapi kita kan punya hak untuk menjadi manusia yang
agak gila. Aku bosan, Die, jadi orang waras, ha-ha...”
“Hah... Ron, kayanya
kita memang gila.”
“Agak psikopat, gitu,
he-he...”
Kami berjalan menuju lorong plaza
yang sepi karena toko-toko yang berada di sekitar tempat tersebut sedang tutup.
Di sana kami bertemu dengan beberapa orang berpakaian gelap dan berpenutup
wajah. Agak aneh, memang, tapi jujur aku merasa bergetar, jantungku berdegup
cepat. Yah, aku menikmati suasana seperti itu.
Roni berbicara dengan orang-orang
itu. Jumlah mereka sekitar 10 orang, pakaian mereka sama, perawakan mereka pun
hampir sama, tinggi besar.
Roni segera menyerahkan koper itu.
Seorang pria menyambut koper tersebut dan membukanya. Sepertinya ia menghitung
jumlah uang tersebut, mengambil beberapa lembar dan menyerahkannya kepada Roni.
Mereka segera pergi dari tempat itu sambil mengucapkan terima kasih. Aku dan
Roni pun segera beranjak dari tempat itu.
“Lumayan, Die. Dapat dua juta.”
“Hah? Cuma gitu kita
dapat uang sebesar itu? Emangnya mereka siapa, sih?”
“Oya, aku belum cerita. Mereka itu
yang akan mewujudkan keinginan kita.”
“Hah? Jadi, serius?”
“Ya, Die. Lah, kok
kamu jadi pucat gitu?”
“Aku... aku gila, tapi sekarang kan
banyak anak-anak dan wanita?”
“Kenapa? Kita kan memang nggak
waras? Ha-ha!”
Sumpah, walaupun punya niat seperti
itu, aku bukan orang yang nekat dan segila ini. Aku hanya ingin melakukan
kejahatan kecil saja.
“Kenapa kamu, Die? Ayo, cepat. Plaza
ini akan hancur, tinggal seperempat jam lagi.”
“Terus, kita mau apa, Ron? Lari?”
“Wah, kita masih harus...”
Suara Roni tertahan.
Kami melihat segerombolan orang
berlari cepat ke arah kasir dan counter-counter, sambil begitu beringas
mengambil barang-barang yang ada di plaza tersebut. Ada yang mengambil setumpuk
pakaian, alat-alat rumah tangga, TV, radio dan sebagainya. Kulihat ibu-ibu,
anak-anak dan pegawai yang mayoritas perempuan berteriak histeris.
Di lantai satu kudengar letup
tembakan. Aku tidak tahu ada apa sebenarnya. Roni menarik tanganku dengan
cepat, mengajakku segera berlari menuruni eskalator. Kulihat beberapa orang
satpam terbujur kaku, terluka parah. Anak-anak menangis tak karuan.
Parah. Aku terlalu kagum dengan
keadaan itu dan tidak tahu harus melakukan apa. Yang bisa kulakukan hanya
berlari, ya berlari.
Suara ledakan besar mengejutkan
kami. Pintu-pintu di sekitar kami tertutup dengan otomatis. Semua tegang.
Sepertinya tingkat yang paling atas akan segera runtuh. Kacau, semua kacau.
Tempat itu seperti kena gempa. Ruangan tersebut sudah gelap gulita, membuat
semua orang menjadi panik dan histeris.
Tanganku terlepas dari Roni. Suara
ledakan itu terdengar lagi. Kami terkurung. Tak ada yang bisa keluar.
Satu-satunya yang kupikirkan hanya menyelamatkan diri, karena aku masih ingin
hidup.
Terlihat olehku ada seberkas cahaya,
sepertinya cahaya lampu kecil. Kudekati cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal
dari mainan senter seorang anak perempuan kecil. Aku lihat ia menangis meratapi
mayat seorang perempuan yang terbujur kaku.
Kurampas seketika senter kecil dari
tangan anak itu. Kami saling berebut dan yakinlah bahwa tenaganya teramat kecil
untuk mempertahankan barang miliknya tersebut. Kutendang kakinya. Tanpa
kusadari, aku menendangnya teramat keras hingga ia terjungkal. Seketika tubuh
anak itu dijatuhi sebuah benda aneh yang aku yakin begitu berat. Aku tak bisa
melihatnya dengan jelas. Ia berteriak minta tolong. Suaranya begitu menyayat
hati.
Tapi aku tahu, aku tak akan
memikirkan untuk menyelamatkannya. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat
itu. Napasku tersengal-sengal, tubuhku kaku tak karuan, akhirnya aku pingsan.
***
Satu bulan kemudian...
Aku terbangun dari sadarku. Kata
saudaraku, aku koma. Padahal luka-lukaku tidak serius. Tapi semua dokter
bingung, aku tetap tak sadarkan diri. Entahlah, aku bersyukur mata itu hanya
mimpi. Mata itu, mata anak itu, yang memanggilku. Aku tak bisa berpikir lagi.
Sesal menggerogoti jiwaku. Airmataku pun tak terbendung lagi.
Maafkan aku. Walaupun aku tak tahu
siapa namamu, tapi aku pernah berbuat kesalahan padamu. Roni, temanku,
ditemukan meninggal dengan kondisi sangat mengenaskan. Maafkan aku, dik...
Catatan:
terinspirasi kejadian 23 Mei 1997, Jumat Kelabu, Banjarmasin
Epilog
TERSEBAB
AKU SEORANG PEMBACA
Burhanuddin Soebely
Sembilan
perempuan pengarang Kalimantan Selatan, demi sebuah gagasan, berusaha
menangkapi dan menghayati berbagai momen kehidupan, menyusupi masa lalu-masa
kini-masa depan dengan penuh totalitas, pun menjelajahi tempat hibuk berpikuk dan
sunyi menceruk. Sembilan perempuan pengarang Kalimantan Selatan itu agaknya
sudah mahakuni untuk menempuh konvensi dan konsekuensi jalan seorang
penulis, jalan tempat menjembai letik gagasan yang diperanakkan letup momentum.
Tersajilah kemudian kepada kita beragam
tempatan, bermacam perwatakan, berbagai persoalan, beraneka keakhiran. Mulai
tempat setan bertelur hingga kawasan setan kabur oleh lemparan batu-batu. Mulai
dari pendekar mabuk hingga orang kemaruk. Mulai dari bunyi piano hingga buah
durian. Mulai balutan bahagia hingga tinggalan luka.
Meski masih bersetia dengan realisme, varian
yang tersaji itu setidaknya membuktikan bahwa mereka punya keberanian untuk ke
luar dari diri dan lingkungan sehari-hari. Pengambilan penokohan atau
penggunaan sudut pandang lelaki juga bisa dijadikan bukti lain keberanian
tersebut.
Bertolak dari semua itu, catatan macam apakah
yang harus diterakan di epilog ini? Tersebab aku seorang pembaca maka aku akan
menuliskan kesan seorang pembaca saja. Pilihan ini sesungguhnya juga merupakan
upaya mengelak dari hal-hal yang bersifat akademis, karena kesan seorang
pembaca tidaklah senantiasa bersinggungan dengan teori-teori sastra—yang
menurut Sainul Hermawan bejibun mulai dari Marxis sampai rasis itu.
***
Anna Fajar Rona lewat Subuh Pertama di
Masjidil Haram menyuguhkan pertobatan Dargi, sang pendekar mabuk. Melalui
kalimat-kalimat yang menyentuh, Anna menggambarkan bagaimana isi perut Dargi
dikuras sebelum diperkenankan bertamu ke rumah Allah. Sayang cerpen ini
diganduli berbagai unsur kebetulan. Kebetulan-kebetulan itu muncul karena lemah
atau bahkan tiadanya motif bagi munculnya peristiwa. Tiadanya ikatan emosional
maupun spiritual antara Dargi dengan mushala di terminal itu, misalnya, membuat
motif sang pendekar mabuk untuk terlibat, bahkan mempertaruhkan nyawa, terasa
agak dipaksakan. Padahal Anna telah bertutur tentang masa lalu Dargi, ayahnya
yang sopir, ibunya yang berjualan di terminal, belajar baca Al-Qur’an sewaktu
SD, yang pastilah bisa dikaitkan dengan keberadaan mushala sehingga tercipta
motif untuk menentang penggusuran.
Dewi Yuliani mengajak kita memasuki sebuah
pasar untuk menyaksikan beragam polah dan peristiwa. Hal-hal yang berlangsung
di pasar barangkali dinilai sebagai peristiwa yang hidup sehingga pencerita
terkesan sekadar memotret peristiwa itu dan mewartakannya kepada kita. Jadilah
cerpen ini sketsais kehidupan kaum marjinal yang mengais hidup di sebuah pasar.
Kendati posisi pencerita lebih sebagai pewarta, pembaca tetaplah diajak terlibat.
Lewat dialog dan komentar ringan
pencerita—yang terkesan disampaikan sambil lalu—terselip pesan, sindiran,
kritikan. Kesemuanya disampaikan dengan nada bercanda dan jenaka. Ketika si
pencopet tertangkap, umpamanya, si aku berkomentar bahwa seharusnya pencopet
itu rajin bangun pagi dan latihan lari. Atau tentang Ijum yang jika sudah jadi
penyanyi terkenal bisa mengganti namanya dengan Ivon atau Voni agar lebih
komersial. Kita pun dibuat tersenyum pahit: menyenyumi ironi kehidupan dan
penghidupan. Dalam kubangan penderitaan ternyata orang masih bisa melucu dan
tertawa. Juga masih punya cinta sebagaimana ditunjukkan Ijum saat meninabobokan
anaknya.
Cinta? Ah, ihwal cinta memang merupakan tema
yang tak lekang dilimbur waktu, tema yang senantiasa intim dan menggetarkan
jiwa. Hudan Nur dalam Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti telah
habis-habisan mengeksplorasi dan mengeksploitasi perasaan cinta—baik itu
melalui surat, catatan harian, maupun puisi—sehingga mewujudkan pemujaan tak
berkesudahan.
Menyelesaikan cerpen ini setidaknya kita juga
punya dua kesan. Pertama, Hudan tengah menelanjangi kebusukan lelaki yang
mengaku demikian cinta namun dalam hitungan sembilan bulan setelah
perpisahan—katakanlah terhitung mulai September 2005 hingga Juli 2006—ternyata
telah beristri dan punya anak berusia 2 minggu. Dan kedua, Hudan terlalu
terobsesi sehingga tidak cermat dalam soal waktu sehingga pembacaan misi cerpen
ini jadi melenceng jauh.
Cinta tak kesampaian juga dihidangkan oleh
Ratih Ayuningrum lewat Dongeng Kesetiaan. Ini kisah cinta era teknologi
komunikasi. Kisah cinta yang terjalin lewat ponsel dan e-mail.
Kisah cinta tanpa tatap muka secara langsung. Tema ini terbilang tidak
istimewa. Tapi keindahan sebuah cerpen tidaklah selalu terletak pada apa yang
disampaikannya tetapi juga pada bagaimana cara menyampaikannya. Dan Ratih
terbilang pencerita yang baik. Struktur yang terjaga, pemilihan bahasa berikut
metafor-metafor yang digunakan membuat cerpen ini terkesan liris—sebuah warna
yang agak berbeda dengan cerpen lain di kumpulan ini. Ratih agaknya hendak
menumpukan kekuatan cerpennya pada deskripsi suasana, termasuk suasana hati
orang kasmaran.
Episode Durian merupakan kisah cinta berujung luka dengan
versi yang sedikit berbeda. Sekejap bahagia lalu derita menjemba. Di cerpen ini
Nailiya Nikmah JFK memperlihatkan kepiawaian dalam mengelola ide melalui
beragam teknik penceritaan dan alur yang jernih. Sebuah kejadian bermula dari
kejadian lain lalu menimbulkan kejadian lainnya lagi didedahkan dalam deskripsi
dan dialog yang hidup dan tak kehilangan motif. Lewat paradoks dan ironi yang
dikembangkan, Nailiya mengamanatkan bahwa batu penarung ikatan perjodohan atau
perkawinan tidaklah selalu berwujud soal-soal besar—dalam cerpen ini jujuran—tetapi
justru hal-hal kecil yang nyaris sepele—di sini berupa perbedaan selera
terhadap buah musiman, durian; bahwa sifat-sifat yang tak terlihat sebelum
perkawinan dalam waktu singkat dapat muncul ke permukaan setelah berpredikat
suami istri, limbah kawin hanyar kalihatan balang sabujurnya...
Pada sisi yang lain, Nailiya
terkesan “menghindar” untuk mengeksplorasi tema besar semacam keberadaan jujuran
dalam budaya Banjar atau pemberontakan terhadap budaya patriarki. Dalam
tempo tak berbilang hari leraian dikembalikan kepada “pakem” patriarki: kendati
berbuat salah lelaki tak merasa perlu meminta maaf, sebaliknya perempuanlah
yang harus meminta maaf; dan hanya lewat permaafan itulah komitmen baru dapat
dibicarakan. Untuk sampai pada komitmen itu, perubahan itu, perempuan harus
rela berkorban. Dan Nailiya Nikmah pun tega mengorbankan si perempuan dengan
menghadirkan supir angkot yang mabuk (kenapa tidak truk atau pikap yang
sarat bermuatan durian?) Mati ranai, pinda wani-wani wan laki!
Perbedaan selera yang menimbulkan
konflik juga terjadi pada Piano. Di cerpen ini sumber masalahnya adalah
piano, alat musik kesukaan si suami. Jika Nailiya meraut konflik hingga runcing
dan melukai maka Nonon Djazouly mengisahkan konflik itu dengan datar dan
dingin. Nyaris tak kita temui penggemparan bahasa padahal besaran konflik kian
meningkat. Daripada bakakarasan lalu manyanyarik, si suami memilih
melakukan investigasi dan mencari cara pengobatan terhadap phobia istrinya.
Di cerpen ini kita barangkali
menangkap siratan pesan kesetaraan gender. Cuma bahasa yang datar dan dingin
itu terasa kurang mendukung “karakter” tema yang diangkat, sebuah persoalan
yang bagi banyak lelaki terbilang hual ganal.
Nyanyian Tanpa Nyanyian juga
menyajikan perbedaan selera, malah dalam skala yang lebih besar, yakni sistem
nilai berikut ajarannya. Penceritaan Dewi Alfianti yang banyak dimuati
metafor-metafor segar berhasil mendedahkan peristiwa dan karakteristik dengan
hidup. Sayang, masalah sistem nilai itu
diselesaikan dengan enteng. Ibarat sebuah pertarungan, baru sejurus lelaki yang
berpuluh tahun diam-diam mengibarkan panji pemberontakan itu langsung keok.
Dewi agaknya harus lebih jeli dan
sabar dalam mengelola konflik. Jeli dalam memilih dan memilah mana ihwal yang
harus dihadirkan atau disingkirkan, mana pula hal yang perlu mendapat porsi
besar atau kecil. Sabar dalam merajut tahapan cerita hingga mendapatkan daya
ledak dalam klimaks. Tokoh-tokoh sampingan, peristiwa-peristiwa sampingan,
insiden-insiden kecil yang sekilas seakan tak berarti, hendaknya dapat dimanfaatkan
sebagai penguat alur dan motif.
Benar, cerpen memang bukan argumentasi
perkara, bukan beberan fakta, bukan pula berita.; tapi jika kemudian muncul
pembacaan intertekstual antara fakta dan fiksi maka itu hal yang wajar saja.
Persintuhan penulis dengan kehidupan sehari-hari, dengan fakta yang
berseliweran di berbagai media massa, akan menimbulkan tanggapan tersendiri.
Mereka mungkin mempersoalkannya, mendukungnya, mengejeknya, menentangnya.
Pembacaan intertekstual antara fakta dan
fiksi tersebut terlihat pada cerpen Sebuah Mata, Sejuta Sesal karya
Syafiqatul Machmudah dan Pasar Itu Milik Ibuku karya Rismiyana. Sebuah
Mata, Sejuta Sesal berkelindan dengan peristiwa 23 Mei 1997 yang oleh
masyarakat Banjarmasin dijuluki Peristiwa Jumat Kelabu. Amuk massa saat itu
tidak hanya menghancurkan pusat perbelanjaan Mitra Plaza tetapi juga memakan
banyak korban. Pasar Itu Milik Ibuku berkait dengan pembangunan pusat
perbelanjaan Sentra Antasari yang menuai banyak masalah.
Peristiwa Jumat Kelabu memang kontroversial.
Ada banyak versi, mulai dari kecelakaan sejarah hingga rekayasa tangan-tangan
cerdas. Sebuah Mata, Sejuta Sesal merupakan bagian dari versi rekayasa
tangan-tangan cerdas itu. Syafiqatul Machmudah menempatkan pencerita aku-an di
Tempat Kejadian Perkara (TKP), bahkan berperan sebagai kurir penyerahan uang
kepada para pelaku.
Pada awalnya cerpen ini menjanjikan sesuatu
yang berbeda. Gambaran surealis yang disuguhkan seakan menjanjikan eksplorasi
sisi-sisi psikologis, namun ternyata surealisme itu terhenti di tengah jalan
dan penceritaan kembali ke jalur realis
Berbeda dengan Syafiqatul Machmudah,
Rismiyana menciptakan jarak antara fakta dalam berita dengan kisah dalam
cerpen. Melalui sudut pandang anak SD kelas V peristiwa dan persoalan seputar
pembangunan Sentra Antasari Banjarmasin diungkap dengan penggambaran yang lugu
dan bersahaja. Penceritaan dengan sudut pandang anak SD ini menimbulkan
defamiliarisasi bagi tema yang disuguhkan. Dengan demikian Rismiyana
bisa berkelit dari jebakan fakta-fakta umum maupun cara pandang umum yang telah
diketahui bersama.
Cerita pun lancar melaju. Ibarat
sebuah balapan, Rismiyana dengan mulus melalui tikungan demi tikungan, namun di
tikungan terakhir dia melakukan sebuah hal yang tidak perlu sehingga nyaris
tersungkur. Rismiyana tak dapat menahan hati untuk menambah beban penderitaan
tokohnya. Ini merupakan hal klise, apalagi beban penambah itu juga amat klise:
anggota keluarga jatuh sakit plus uang sekolah sekian bulan tak terbayar.
***
Begitulah, sebuah cerpen, apalagi yang sejak
semula hendak dipublikasikan di koran, memang tak memberi banyak ruang untuk
berpanjang-panjang. Keterbatasan itu bukanlah berarti orang bisa dengan begitu
saja mengabaikan kejelasan motif dan alasan bagi tindakan yang kemudian
memunculkan peristiwa. Pengabaian terhadap hal itu akan memunculkan ihwal yang
serba kebetulan. Dan ihwal yang serba kebetulan justru mengurangi kenikmatan
pembaca, bahkan berpotensi kehilangan perhatian pembaca.
Bicara soal kenikmatan, maka selepas
kenikmatan menyelesaikan tulisan (sebuah cerpen) sebenarnya terdapat satu
tahapan kenikmatan yang lain, yakni kenikmatan mengedit hasil tulisan.
Kata orang, nikmat sekali bertangkap-lepas di situ: menimbang, menambah,
membuang, menimbang, menambah, membuang... berada pada situasi diigut layat
dibuang sayang.
Di luar hal-hal yang bersifat teknis itu,
kesan paling mendalam dari seorang pembaca ini adalah kesan kehadiran. Sembilan
perempuan pengarang Kalimantan Selatan ini perlahan mulai menelusurkan panjinya
masing-masing di tegak tiang. Kendati telusuran panji masih memerlukan waktu
dan upaya untuk sampai ke puncak tiang, namun di petanahan yang sering
disebut-sebut gersang bagi penulisan cerpen (prosa) ini sudah tampak kibaran
yang meletikkan kembang harapan. Sungguh, aku sudah amat lama menunggu kibar
panji itu, yakni ... satu generasi!
Tentang
Penulis
Anna Fajar Rona dilahirkan di Banjarmasin, 15 Juli 1987.
Puisi dan cerpennya dipublikasikan Radar Banjarmasin, harian Merdeka,
Republika, Koran Tempo, majalah Muslimah dan Annida.
Menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat
(Unlam) Banjarmasin. Puisinya, Seperti Apa Aku Dapat Menyeberangi Arusmu?,
terpilih sebagai salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan
Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru
dan, bersama karya pemenang lain, dibukukan dalam antologi sastra Kau Tidak
Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Diundang
sebagai peserta Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007).
Dewi Alfianti dilahirkan di Banjarmasin, 25 November 1983.
Semasa kuliah di Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
(PBSID) FKIP Unlam aktif di organisasi kemahasiswaan, antara lain sebagai
Sekretaris Jenderal BEM FKIP Unlam (2006-2007), Ketua II BEM Unlam (2005-2006)
dan Sekretaris Jenderal Ikatan Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan Seluruh
Indonesia (IMAKIPSI), 2005-2007. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan artikel
pendidikan di Radar Banjarmasin. Puisinya, Pengembaraan Jukung,
salah satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh
Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru, dibukukan dalam
antologi sastra Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak
Bersebab (2006). Dua puisinya dimuat dalam Antologi Puisi Penyair
Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Barantai, yang diterbitkan dalam
rangkaian Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru
(2006). Puisi dan cerpennya juga terdapat dalam Antologi Sastra Bunga
Penyejuk Hati (2007). Peserta aktif Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di
Banjarmasin (2007).
Dewi Yuliani dilahirkan di Banjarmasin, 16 Juli 1972.
Pendidikan SMA Corpatarin, Jakarta (1990) dan sempat menempuh pendidikan di
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Menulis puisi, cerpen dan esai sastra sejak
1990-an, dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI
Banjarmasin (yang dikelola mendiang Hijaz Yamani), Banjarmasin Post, Dinamika
Berita, Radio Suara Jerman (Deutsche Welle), majalah Remaja
(Jakarta) dan majalah Bahana, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Bulan
di Atas Rawa (1990) dan Surat Merah Jambu Bagi Desmon George (1990)
adalah antologi puisinya yang telah diterbitkan. Puisinya juga dimuat dalam
antologi bersama: Festival Poesi Kalimantan (1992), Tamu Malam
(1992) dan Jendela Tanah Air (1995). Sempat bekerja sebagai
penyiar di Radio Swasta Nada Mustika Banjarmasin. Juara I Lomba Penulisan Puisi
Bahasa Banjar yang diadakan Himpunan Sastrawan Indonesia (HIMSI) Kalimantan
Selatan untuk memperingati Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan (1994).
Hudan Nur dilahirkan di Banjarbaru, 23 November 1985,
menempuh pendidikan di FKIP Unlam. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Radar
Banjarmasin. Ia sering mengikuti lomba baca (dan cipta) puisi, cerpen,
lomba musikalisasi puisi, lomba bakisah bahasa Banjar, selain aktivis
teater. Puisinya termasuk salah satu dari 30 Puisi Nominasi Lomba Cipta Puisi
Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten
Kotabaru (2006). Puisi dan cerpennya diterbitkan dalam antologi bersama di
Banjarbaru, Banjarmasin, Kotabaru dan Medan: Narasi Matahari (2002), Notasi
Kota 24 Jam (2003), Bulan Ditelan Kutu (2004), Bumi Menggerutu
(2005), Dimensi (2005) Jejak Tsunami (2005), Melayat Langit
(2006), 142 Penyair Menuju Bulan (2007), Kau Tidak Akan Pernah
Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Antologi Puisi Penyair
Kalimantan Selatan, Seribu Sungai Paris Barantai (2006) dan
Antologi Sastra Bunga Penyejuk Hati (2007). Peserta aktif Kongres Cerpen
Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007) dan Kongres Komunitas Sastra Indonesia
(KSI) di Kudus, Jawa Tengah (2008).
Nailiya Nikmah JFK dilahirkan di Banjarmasin, 9 Desember 1980.
Putri pertama pasangan Drs.H. Junaidi, M.AP dengan Hj. Mulyani Hilmi, Ama.Pd.
Sejak kanak-kanak menyukai sastra, gemar membaca dan menulis. Semasa kuliah di
Program Studi PBSID FKIP Unlam menikah dengan Jumiadi Khairi Fitri, S.Pd dan
dikaruniai buah hati Nadiya Nisrina dan M. Ihda Ulyadi. Setelah merampungkan
Program Magister PBSID FKIP Unlam, dosen Politeknik Negeri Banjarmasin ini
lebih serius menulis cerpen. Sejumlah cerpennya dipublikasikan Radar
Banjarmasin. Sekretaris Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan
ini sering diminta sebagai pembicara dalam diskusi, seminar, pelatihan dan workshop
seputar sastra dan keterampilan berbahasa. Peserta Kongres Cerpen Indonesia
(KCI) V di Banjarmasin (2007).
Nonon Djazouly adalah nama pena Ir.Hj. Noor Camelia
Djazouly, anak ketiga dari enam bersaudara, putri H.M. Djazouly Fadil Camal S.,
ulama terkemuka Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, yang dikenal
dengan panggilan Abah Anang. Menempuh pendidikan di SDN Putri Martapura,
SMPN 1 Martapura, SMAN Martapura dan Fakultas Pertanian Unlam di Banjarbaru.
Sejak remaja, Nonon (nama panggilannya) gemar menulis, melukis, travelling
dan aktif di organisasi karya pemuda (OKP) dan organisasi sosial politik
(orsospol). Pernah menjadi Ketua Karang Taruna Remaja Kompas Martapura
(1988-1994), Ketua Biro Urusan Peranan Wanita DPD KNPI Kabupaten Banjar
(1990-1994), Pjs Ketua Generasi Muda Kosgoro Tingkat II Kabupaten Banjar
(1990-1994), Wakil Ketua Generasi Muda Kosgoro Kalimantan Selatan (1998-2002)
dan seterusnya. Karena aktivitasnya di OKP dan orsospol itu, Nonon (yang
sebelumnya bercita-cita menjadi dokter ini) sempat menjadi anggota legislatif
termuda DPRD Kabupaten Banjar dan, kemudian, DPRD Kalimantan Selatan. Cerpennya
dipublikasikan Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin.
Rismiyana dilahirkan di Tebing Abang, 11 September
1982. Dalam tulisan, terkadang menggunakan nama Ana, Padang Langit
dan Rain Fajar. Pendidikan di Program Studi PBSID FKIP Unlam. Bersama
Ratih Ayuningrum dan Fitri As’ad menerbitkan buletin Friend’s (berisi
esai), yang sempat terbit sampai Edisi VI. Ia juga sempat menjadi redaksi
buletin Insani dan kontributor tabloid Ahsan LDK Unlam. Cerpen
dan esai sastranya dipublikasikan Radar Banjarmasin dan Serambi Ummah.
Cerpennya, Memandang Ayah dari Bawah Pohon Mangga, Pemenang Harapan II
Lomba Menulis Cerita Pendek Kalimantan Selatan dalam Aruh Sastra
Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru dan, bersama karya pemenang lain,
dibukukan dalam antologi sastra Kau Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih
Tak Bersebab (2006). Bersama dua penulis perempuan lain menerbitkan
antologi Ulatih (2008). Di samping mengajar di MTs Al Furqon, MTs Al
Ghazalia dan SMKN 5 Banjarmasin, bersama teman-temannya ia mendirikan lembaga
bimbingan belajar SmartPlus (+). Pengurus Aliansi Penulis ProSyariah
(Alpenrosa) dan aktivis Hizbut Tahrir. Aktif hadir dan menjadi pembicara dalam
diskusi, seminar dan dialog sastra. Mengikuti Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V
di Banjarmasin (2007).
Ratih Ayuningrum dilahirkan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan
Selatan, 17 Juli 1984. Menulis puisi, cerita pendek dan esai sastra sejak 2004,
dipublikasikan di Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Serambi
Ummah. Cerpennya, Kebablasan, Juara II Lomba Seni dan Kreativitas
Islami KSI Al-Mizan Fakultas Hukum Unlam (2004). Di tahun yang sama, Juara III
Lomba Penulisan Reportase Komtek Kalimantan Selatan. Cerpennya, Lelaki di
Titik Sepi, Juara II Kompetisi Menulis Cerpen Pelajar dan Mahasiswa (KCPM)
Kalimantan Selatan (2005). Puisinya, Kau tidak Akan Pernah Tahu, salah
satu dari 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan dalam Aruh
Sastra Kalimantan Selatan III di Kabupaten Kotabaru. Pada event yang
sama, cerpennya, Epilog Seorang Wakil Rakyat yang Terhormat,
Pemenang Harapan III Lomba Menulis Cerita Pendek Kalimantan Selatan dan,
bersama karya pemenang lain, puisi dan cerpen tersebut dibukukan dalam Kau
Tidak Akan Pernah Tahu, Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006). Masih 2006,
ia sekaligus meraih dua kejuaraan: Juara I Lomba Artikel Kreasi dan Juara I
Lomba Artikel Ilmiah pada Pesantren Jurnalistik Kalimantan Selatan yang
dilaksanakan Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) bekerja sama dengan
Radar Banjarmasin. Mengikuti Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di
Banjarmasin (2007). Pernah dua tahun bekerja sebagai wartawan Bisnis
Tablomagazine. Setelah menyelesaikan S1 di Program Studi PBSID FKIP Unlam,
kini tengah menyelesaikan program pascasarjana di fakultas yang sama, selain
mengajar di lembaga pendidikan swasta.
Syafiqatul Machmudah dilahirkan di Kebumen, Jawa Tengah, 13
Oktober 1984. Sejak 2004 menulis puisi dan cerpen, dipublikasikan di Radar
Banjarmasin dan Serambi Ummah. Semasa menempuh pendidikan di
Program Studi PBSID FKIP Unlam aktif dalam pers kampus dengan menjadi jurnalis Corong,
buletin terbitan BEM FKIP, dan aktivis teater dalam Komunitas Ilalang. Pernah
dua tahun bekerja sebagai wartawan Bisnis Tablomagazine. Menjadi peserta
Kongres Cerpen Indonesia (KCI) V di Banjarmasin (2007). Di Kota Martapura,
Kabupaten Banjar, tempatnya bermukim sekarang, ia bergabung dengan Sanggar
Matahari; di samping menjadi pembina Teater Pangeran Antasari di sekolah
tempatnya mengajar.
Riwayat Publikasi
1. Anna Fajar Rona, “Subuh Pertama di Masjidil Haram”, Radar
Banjarmasin, Minggu, 9 April 2007
2. Dewi Alfianti, “Nyanyian Tanpa Nyanyian”, Radar Banjarmasin,
Minggu, 2 September 2007
3. Dewi Yuliani, “Pasar”, Dinamika Berita, Minggu, 7 November
1993
4. Hudan Nur, “Sofia, Perpisahan Itu Mengandung Dua Arti”, Radar
Banjarmasin, Minggu, 30 Oktober 2005
5. Nailiya Nikmah JFK, “Episode Durian”, Radar Banjarmasin,
Minggu, 18 Februari 2007
6. Nonon Djazouly, “Piano”, Radar Banjarmasin, Minggu, 23
September 2007
7. Rismiyana, “Pasar Itu Milik Ibuku”, Radar Banjarmasin, Minggu,
30 September 2007
8. Ratih Ayuningrum, “Dongeng Kesetiaan”, Radar Banjarmasin,
Minggu, 18 Juni 2006
9. Syafiqatul Machmudah, “Sebuah Mata, Sejuta Sesal”, Radar
Banjarmasin, Minggu, 29 Mei 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar