Senin, 02 Desember 2013

"Meditasi Rindu", Sajak-sajak Pilihan Micky Hidayat (1980-2008)



Micky Hidayat

MEDITASI RINDU

Sajak-sajak Pilihan 1980-2008

 Catatan Pengantar:

Agus R. Sarjono








Hak Cipta@ Micky Hidayat


Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia
oleh Penerbit Tahura Media
Jalan Sultan Adam Nomor 46 C
Banjarmasin
Telepon (0511) 3302473, Faks. (0511) 3302472

Desain cover dan tata letak: Hery S.
Foto sampul: Didik Trio Marsidi
Foto biodata: Bambang Widiatmoko
Penata aksara: Hajriansyah

Cetakan Pertama, Desember 2008



Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
All rights reserved



Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun (seperti cetakan, fotokopi, microfilm,
CD-ROM, VCD, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis
dari pemegang hak cipta. Izin khusus diberikan kepada pengulas untuk mengutip secara singkat sebagian isi buku ini dalam artikel atau ulasannya di surat kabar atau media massa lainnya.



Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
216 hlm: 15 x 20 cm
ISBN 978-602-84140-05




meditasi rindu






dengan segenap penghargaan dan terima kasih
 buat orang-orang yang telah banyak berjasa
 memberikan perhatian, dukungan, kasih sayang, 
cinta, kepercayaan, pengertian, kebahagiaan, kekuatan, doa,
semangat, inspirasi, sumber energi
 dan kreativitas kepenyairanku:

- ayahnda (almarhum), hijaz yamani,
di hamparan sajadah kebijaksanaan
berkelebatan cahaya sajak-sajak langitmu
menerangi semesta kerinduanku

- ibunda, farida hanoum,
seperti matahari, ibu
kau pancarkan sinar kasih sayang
hingga bayangan teduh di wajahmu
berkelebatan di puncak kesunyianku

- istriku, nellawati,
kau adalah lautku
di keluasannya aku berlayar dan bertualang
menaklukkan angin, badai, dan gelombang

- anak-anakku, muhammad adhitya hidayat putra
dan dita rebana hidayat putri,
di dalam diri kalian
kutanam benih kejujuran dan keberanian
untuk menantang kehidupan

kakak dan adik-adikku, sahabat-sahabatku
para penyair kalimantan selatan dan di seluruh tanah air,
 juga bagi semua yang mencintai karya sastra,
kepada mereka semualah buku kumpulan sajak ini kudedikasikan







Catatan Pengantar

Sepi, Luka, Cinta,
dan Meditasi Rindu Micky Hidayat

Agus R. Sarjono


INDONESIA kita tahun-tahun belakangan ini kelewat bising dengan pelbagai soal. Suara-suara keras yang dulu ditekan kini berhamburan tanpa aturan, mirip bising klakson di jalanan Indonesia yang kelewat sering dibunyikan, kadang bahkan tanpa alasan apa-apa. Di tengah suasana bising dan serba teriak ini, kehadiran sajak-sajak Micky Hidayat yang lirih menggemakan kembali kerinduan kita pada suara alam yang asali. Kebanyakan sajak-sajak Micky ibarat ngungun lantunan seruling di tengah ingar-bingar rock dan organ tunggal; ibarat nyanyi burung di tengah sirene yang mengabarkan hutan yang terbakar, ibarat bisik di tengah riuh demo dan debat parlemen. Dan kita pun merindukan sunyi itu kembali, bisik itu kembali, bersama lirih sajak-sajak Micky.
       “Sajak Untukmu” yang menjadi sajak pertama dalam buku Meditasi Rindu ini bisa dijadikan preambule bagi keseluruhan buku puisi ini. Saya kutipkan sajak yang indah ini seutuhnya.


       bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
       adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu

       bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
       adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

       bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
       adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

       bila lukaku meneteskan darah di batu
       adalah kekerasan hatiku mencintaimu

       bila ternyata kau tak mencintaiku
       aku tetap menulis sajak-sajak untukmu
      

       Sajak ini bisa dianggap berbicara dan menyapa sekaligus dua sasaran, yakni engkau personal (sahabat, kekasih, bahkan sangat boleh jadi Tuhan), dan sekaligus para pembaca pada umumnya. Sajak ini adalah sapaan personal bagi sesuatu yang akrab dan personal, sekaligus sapaan personal bagi publik impersonal yang coba untuk direngkuh menjadi bagian dari hubungan personal penulisnya. Dengan rendah hati namun tegas, penyair mengatakan bahwa bila toh ternyata kau (kekasih, Tuhan, dan para pembaca sajak ini) tak mencintai sang penyair, dia akan tetap menulis sajak-sajak untuk kita semua.
       Tetap menulis sajak-sajak – diterima maupun tidak, digubris maupun diabaikan, dicintai maupun dibenci – adalah sikap hidup sekaligus kredo Micky. Menulis sajak adalah “jalan” yang dipilih dengan tegas oleh penyair sebagai cara hadir sang penyair ke tengah dunia ini. Dan jika kita cermati sajak pembuka ini, kita akan menemukan pula sejumlah kata kunci yang kelak akan terus menerus muncul dalam hamparan sajak-sajaknya, yakni rindu, sepi, luka, dan cinta. Menulis sajak adalah pilihan dan jalan hidup yang diletakkannya atas dasar kerinduan, kesepian, luka, dan cinta. Tidak mengherankan jika buku kumpulan puisi ini ia beri judul Meditasi Rindu. Apalagi judul tersebut merupakan judul salah satu puisi cukup panjangnya (8 bagian) yang berupa nyanyi rindu Micky Hidayat kepada ayahandanya, almarhum sastrawan terkemuka Kalimantan Selatan Hijaz Yamani.
       Dengan perspektif rindu, sepi, luka, dan cinta inilah pada umumnya ia memandang, mengolah dan menyapa dunia. Bahkan sajak-sajaknya yang bertema kritik sosial politik pun ia lahirkan dari perspektif ini. Sepi yang asali, tempat dunia merupakan hamparan alam dan jiwa-jiwa murni merupakan cita ideal penyair Micky Hidayat. Karena alam dan jiwa murni lah dasar yang kokoh bagi lahirnya cinta yang juga murni, yakni cinta yang memiliki potensi untuk mengembangkan sayapnya membumbung menggapai cinta yang ilahiah. Oleh karena itu, dunia yang tercemar dari kemurniannya akan mengakibatkan luka dalam diri penyair yang pada gilirannya melahirkan sajak-sajak kritik-kritik sosialnya. Semua sajak kritik sosialnya menggemakan kritik atas kemurnian yang tercemar sekaligus membentangkan kerinduannya atas dunia yang murni itu.
       Namun, sajak-sajak kritik sosial bukanlah tema utama Micky Hidayat. Sajak kritik sosial hanya jeda akibat pengalamannya atas dunia sepi dan murni yang terluka. Yang menjadi perhatian utamanya adalah kemurnian dunia itu sendiri yang dicobanya untuk dituliskan dengan kemurnian dan kekeraskepalaan cintanya pada puisi. Puisi adalah:

lapar dari segala laparku
dahaga dari segala dahagaku
hasrat dari segala hasratku
rasa dari segala rasaku

       … dan seterusnya, yang ditutup dengan

puisi
doaku
puisi
zikirku
puisi
istighfarku
puisi
ngajiku
puisi
i’tikafku
puisi
makrifatku
puisi
rindu dari segala kerinduanku
puisi
nikmat dari segala kenikmatanku
puisiku
melebur
dalam
genggaman-Mu
seluruh

(sajak “Ekstase Puisi, 1”).


       Pada sajaknya “Ekstase Puisi, 2” juga Micky menerakan kepercayaannya yang teguh pada puisi. Bahkan dalam sajaknya “Aku Berguru Pada Sajak”, penyair menyatakan: aku berguru pada sajak / karena sajak begitu banyak / memberiku ruang gerak / di mana pun aku berpijak. Kecintaan dan kekeraskepalaannya memilih puisi dan kepenyairan sebagai “jalan” mengada  di dunia ia rumuskan dengan cita ideal kepenyairan yang dirindukannya, sebagaimana tergambar dengan indah dalam sajak “Aku Ingin Menjadi Penyair Yang”.
       Kembali pada sikapnya yang penuh hormat pada sajak hingga membuatnya berguru pada sajak, kita pun tergoda untuk mengetahui kepada siapa Micky berguru. Dengan jelas dalam buku kumpulan puisi ini kita melihat guru-guru Micky, yang bahkan disebutkan dengan jelas oleh penyairnya, yakni: Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Kahlil Gibran, di samping hubungan tekstual dengan Taufiq Ismail, Jamal D. Rahman, Isbedy Stiawan, Ajamuddin Tifani, Kriapur, serta tentu langsung tak langsung, ayahandanya. Periode belajar pada sajak ini membuat kita menemukan jejak-jejak para penyair yang menjadi acuannya dalam sajak-sajak Micky Hidayat. Sajak “Literatur Kesaksian” misalnya, menunjukkan pengaruh Afrizal Malna pada judul, dan jejak-jejak Rendra pada isi yang menggemakan kembali sajak Rendra “Aku Tulis Pamplet ini” dan “Sajak Sebatang Lisong”, namun dengan perbedaan bahwa pada sajak Micky ini ia mengadukan semua yang dilihat dan dikritiknya kepada Tuhan.
       Dalam banyak hal sajak-sajaknya yang menunjukkan hasil berguru dan mengaji pada sajak (orang lain) ini, tidaklah kelewat mengesankan dibanding sajak-sajaknya yang berguru dan mengaji pada kemurnian alam. Posisi kepenyairan Micky yang berdiri atas dasar rindu, sepi, luka, dan cinta memang kontradiktif jika mengambil dan berguru serta menanggapi dunia kedua – realitas kedua – olahan para penyair yang diacu dan menjadi hypogram dalam proses intertekstualnya. Justru pada saat ia menanggapi dan menjalani dunia yang murni dengan perjumpaan dan hubungan yang murni pula sajak-sajaknya menjadi bercahaya dan menggemakan kembali kemurnian dan sepilukarinducinta yang rawan dan syahdu tapi sekaligus tajam dan kerap kali membawa kita pada perjumpaan dengan cinta dan kerinduan pada yang asali, pada Illahi.
       Itu pula sebabnya mengapa pada saat Micky berhadapan dan menanggapi “dunia yang diasumsikan” – bukan dunia yang murni – sajaknya kurang bercahaya seperti dalam “Malam Jakarta” di mana Jakarta digambarkan sebagaimana diasumsikan orang selama ini dan telah menjadi stereotipe, yakni:

       Udara yang gerah, debu-debu bergelantungan di langit
       malam. Raung mobil dan motor berseliweran,
       menggetarkan gendang telinga. Warna-warni lampu,
       gedung-gedung kaca menjulang, bioskop, hotel, motel,
       night club, pub, diskotek, kafe, dan bordil dan lokalisasi
       dan panti pijat dan taman remang-remang dan tugu
       monas dan tawa cekikikan pelacur dan waria jalanan
       dan para pengemis dan gelandangan dan pengamen dan
       segala fasilitas kota. O, betapa asingnya kita, sayangku.

Dari sajak di atas menjadi jelas bahwa udara gerah, debu, motor, gedung tinggi, bioskop, night club dan sebagainya (kecuali Monas) adalah penanda-penanda yang ada di berbagai kota besar di mana saja termasuk di Medan, Surabaya, Makassar, bahkan Banjarmasin. Semua stereotipe dan pengalaman serba umum dengan tanggapan yang umum semacam ini menghalangi pertemuan penyair dengan realitas murni Jakarta (dan kota manapun) dengan segala ditelnya yang khas dan partikular. Bandingkan sajak ini dengan kecerlangan sajak-sajak di bawah ini:

       …..
       dibanting bosan, kutelan bintang-bintang
       juga matahari dan bulan
        hingga tak bisa lagi memijarkan cahayanya
       pada hatiku yang membara

       (Sajak “Interlude [2]”)

atau

       sebuah hutan
       tak bernama
       tak berpeta
       tak terbaca
       terhampar di anganku

    
       sebuah hutan
       tak berpohon
       tak berakar
       tak berdahan
       tak beranting
       tak berdaun
       terbakar di jantungku
       (Sajak “Hutan di Mataku”)

serta

       Ibu, kuabadikan kamu dalam sajakku
       karena aku lahir dari kegelapan rahimmu
       yang menyimpan cahaya dari waktu ke waktu

       (Sajak “Ibu, 1”).

       Kecintaan dan kerinduan penyair pada kemurnian membawanya pada cinta dan rindu kepada Yang Maha Murni, yakni Allah SWT. Maka, hampir semua sajaknya sengaja atau tidak menyiratkan jiwa relijius yang menggapai kemurnian Illahi. Dan jiwa relijius Micky Hidayat tampak benar-benar bercahaya ketika ia menghayati rasa ketuhanan tersebut dalam kaitan dengan soal sehari-hari yang tidak ekstrem, di mana yang hak dan yang batil tipis batasnya, di mana rasa sesal dan rasa syukur berebut tempat berebut makna.
       Jiwa relijius itu segera redup cahayanya manakala penyair membawanya dalam pengalaman bermuka-muka dengan dunia pelacuran, diskotek, dan wilayah-wilayah kebatilan lainnya, karena umumnya jiwa relijius yang berhadapan dengan masalah pornografi, seksualitas banal dunia pelacuran, dunia  narkoba dan pemabok  di night club, dan sebagainya, cenderung tergoda pada penyederhanaan-penyederhanaan yang berakar pada moralitas vulgar dan dangkal, berupa kesimpulan-kesimpulan dan penghakiman yang dangkal pula. Hal semacam ini, meski tidak kelewat terasa mengancam juga batin relijiusitas Micky Hidayat ketika ia menemui dunia banal kota besar (yang kini sudah merata dengan sangat suksesnya di kota-kota pedalaman seluruh Nusantara). Namun, jiwa sufi Micky Hidayat niscaya kelak akan membawanya pada perspektif mulia nabi besar Muhammad SAW yang memandang dunia sakral dan dunia banal dengan kebijaksanaan dan rasa cinta luar biasa pada manusia. Jiwa dan lengan penuh cahaya yang menyentuh dunia-dunia gelap manusia bukan dengan geram dan kebencian, melainkan dengan cinta dan keprihatinan, hingga cahaya dari jiwa dan akhlaknya menerangi (dan bukan menghakimi dengan vulgar) ruang-ruang gelap manusia.
       Micky Hidayat telah melangkah ke sana. Hamparan sajaknya mengajak kita merindukan kemurnian dunia. Ini adalah kumpulan sajaknya setelah 28 tahun kepenyairannya yang mengikat seluruh tema yang diolahnya selama ini. Selepas kumpulan sajak ini, kita berharap Micky Hidayat akan melangkah ke tahap berikutnya dalam kepenyairannya, yakni tahap yang sebenarnya sudah ada benihnya dalam kumpulan sajak ini, namun yang tidak lagi terganggu oleh kesilauan akan dunia fana, seperti nama-nama selebriti penyair Indonesia maupun stereotipe-stereotipe atas dunia. Setengah abad lebih kepenyairan adalah bukan main-main, apalagi bagi penyair Micky Hidayat yang bersajak bukan untuk main-main.
       Untuk Micky Hidayat, selamat menjalani dunia kepenyairan yang pedih dan penuh syukur ini. Untuk pembaca, selamat menikmati kerinduan, kesepian, luka, dan cinta yang mengalir dari sajak-sajak Meditasi Rindu ini. Semoga pembaca berbahagia menikmatinya, sebagaimana saya telah berbahagia. Salam.

Agus R. Sarjono, Sastrawan, Redaktur Majalah Sastra Horison, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (2003 – 2006).


































Daftar Isi

Catatan Pengantar
Sepi, Luka, Cinta, dan Meditasi Rindu Micky Hidayat
Agus R. Sarjono –

Sajak Untukmu –
Tangkap Aku, Kekasihku –
Fantasi Malam –
Bicara pada Batu –
Mabuk Aku –
Sungai Martapura –
Bayangkan –
Interlude (1) –
Aku Ingin Jadi Penyair Yang –
Ada yang Memisah Kita –
Belati –
Angin –
Batas –
Lelah –
Ekstase Puisi, 1 –
Interlude (2) –
Kemerdekaan Gelatik –
Mata Pisau –
Masuklah, Pintu Masih Terbuka –
Di Kaki Malam –
Lagu Lapar –
Sajak Petualang –
The Power of Love, (1) –
The Power of Love, (2) –
Cerita tentang Musim –
Interlude (3) –
Yang Bernama –
Ekstase Puisi, 2 –
Pelayaran –
Muhammad –
Beri Aku Kata-kata –
Semakin Senja Hari –
Sajak Intermeso bagi Sapardi Djoko Damono –
Lanskap Kota –
Terminal –
Sajak Cinta (Interlude) –
Seperti Laut –
Jalan Sunyi –
Memandang Langit –  
Pergi –
Ziarah –  
Kalau –  
Ramadhan –
Perjalanan –  
Sehabis Percakapan –  
Malam Jakarta –
Berkali-kali Aku Mabuk –  
Instrumentalia Jakarta, 1 –  
Tubuhmu yang Terpahat di Batu Dasar Kali –  
Diskotek Tanamur –
Persenggamaan Matahari dan Bulan –  
Instrumentalia Jakarta, 2 –
Sajak Perpisahan –
Lukisan Bapak –  
Fantasia Gunung Tangkuban Perahu –  
Sajak Intermeso bagi Sutardji Calzoum Bachri –
Memo Jakarta –
In Memoriam Sajak, 1 –  
In Memoriam Sajak, 2 –  
Membaca Sajak Afrizal Malna –  
Sajak, 1 –
Aku tak Sanggup Lagi –  
Sudah Kutebak Kemauan Angin –  
Sajak Perkawinan –
Sajak bagi Istri –
Daerah Kematian –  
Peristiwa –
Doa Awal Tahun –  
Literatur Kesaksian –  
Ibu, 1 –
Memandangi Kota –  
Ibu, 2 –
Tahajud Sunyi –  
Testimoni Penyair –  
Aku Berguru pada Sajak –  
Doa Sederhana, 1 –
Sajak, 2 –
Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi –  
Banjarmasin, 23 Mei 1997 (1) –
Banjarmasin, 23 Mei 1997 (2) –  
Doa Sederhana, 2 –
Kepadamu Aku Bertanya –  
Instrumentalia Matahari –  
Reportase dari Kaki Pegunungan Meratus –  
Palestina, Palestina, tak Bisa Aku Melupakanmu –  
Fragmentasi Api, Angin, Air, dan Matahari –
Air Matamu yang Mawar –
Sampit –
Meditasi Rindu –  
Tanah Perjanjian –  
Jalan Sunyi Pendakian –  
Luka Sajak –
Sajakku tak Pernah Selesai Menulismu –  
Memo Usia –
Duh, Aceh –  
Di manakah Kamu –  
Tentang Laut –
Membaca Bahasa Sunyimu –  
Hutan di Mataku –
Aku Sampan Kau Sungai –  
Beribu Kata –
Tak Bisa Kucatat dalam Sajak –  
Dongeng Kecil tentang Seorang Bocah dan Batu –
Telah Kuhapus Kata-kata –
SOS Kalimantan Selatan –  
Sebab Sajak Masih Kutulis –  
Sajak tak Berisi –
Hilang Kata –  



Komentar para Sahabat –  
Catatan Penyair –
Tentang Penyair –















Sajak Untukmu


bila kuseru-seru namamu dalam setiap rinduku
adalah rinduku yang mengharap kehadiranmu

bila kurindu-rindu dirimu dalam setiap sepiku
adalah kesepianku ingin selalu bersamamu

bila sepi jadi pisau menikam dan melukaiku
adalah ketidakberdayaanku di hadapanmu

bila lukaku meneteskan darah di batu
adalah kekerasan hatiku mencintaimu

bila ternyata kau tak mencintaiku
aku tetap menulis sajak-sajak untukmu

                                                                  1980
























Tangkap Aku, Kekasihku


tangkap aku, kekasihku
peluklah aku sesuka-sukamu
sekian lama kurendam rindu
tak tahan lagi kupendam hasrat bertemu

tangkap aku, kekasihku
ciumlah aku sepuas-puasmu
sekian lama kusimpan aroma wangi napasmu
tak tahan lagi kuperam syahwat menciummu

tangkap aku, kekasihku
jangan menghindar dari diriku
jangan menjauh dari kasih sayangku
jangan lari meninggalkan cinta tulusku

tangkap aku, kekasihku
aku ingin setiap saat berdekatan denganmu
sebagaimana pagi menyongsong siang
dan sore memeluk malam

tangkap aku, kekasihku
jangan lepaskan lagi diriku
jerat erat-erat jiwaku di tiang cintamu
biar kita bisa bercumbu di setiap waktu

                                                                       1980















Fantasi Malam


Ceritakan padaku, o, malam
Rentetan riwayat rahasia alam
Di langit yang mengambang
Di bumi yang telanjang

Ceritakan padaku, o, malam
Siklus waktu tak pernah diam
Di terang cahaya bintang
Di remang cahaya bulan yang tumbang

                                                                1980





























Bicara pada Batu


bicara pada batu
aku atau batukah lebih dungu
batu atau akukah sering membisu

bicara pada batu
ternyata batu tak dungu
ternyata batu tak bisu
sebab batu lebih cerdas
merahasiakan kedunguannya
sebab batu lebih tabah
menerima kebisuan abadinya

bicara pada batu
diam-diam aku ingin seperti batu
tahan didera derasnya arus
dihantam ombak dan badai
kehidupan sangsai

                                                     1980





















Mabuk Aku


Mabuk aku
Anganku semakin jauh terbang
Jiwaku tergoncang, pecah bertaburan
Bagaikan bintang-bintang

Mabuk aku
Akukah si pemabuk jalang
Hari-hari selalu sempoyongan
Hari-hari rasa pening menggoyang

Mabuk aku
Akukah si pesakitan diperbudak bayangan
Tak bisa membedakan mana setan mana tuhan
Tak bisa merasakan nikmat kehidupan
Dan betapa sengsaranya kematian

                                                                          1980























Sungai Martapura


bulan menari-nari di atas sungai
betapa erotis dan gemulai
menerbitkan syahwat kelelakianku
betapa genit dan menggoda senyumnya
mengundang gairahku ingin memeluknya

lalu-lalang sampan
senantiasa menciptakan riak gelombang
hingga lanting-lanting* bergoyang
hilir-mudik sampah dan kayu hasil tebangan
membersitkan tanya dan sesal berkepanjangan
: masih adakah sungai kehidupan?

membaca riwayatmu, o, sungaiku
tak habis-habis kubaca berjilid-jilid buku
kesaksian tetaplah menjadi misteri
sebagaimana usia tak pernah abadi

                                                                   1980


____________
* lanting – rumah di atas air

















Bayangkan


bayangkan bila kita menatap cermin
kita tak bisa menangkap bayangan kita sendiri
dan bayangkan bila kita tak bisa menangkap bayang
lalu kita pecahkan cermin agar bayang-bayang tertangkap
ternyata bayangan tak pernah kita temukan
karena ia sembunyi di dalam diri kita

bayangkan bila bayangan hilang di cermin
apa yang terbayangkan tentang diri kita
tak ada, kecuali kita membayang-bayangkan
bahwa bayangan itu adalah diri kita sendiri
dan diri kita adalah bayangan itu sendiri

bayangkan kalau kita tak mau membayangkan
dan tak memedulikan bayang-bayang
tentu kita tak pernah mengenali
siapa diri kita sesungguhnya
cobalah bayangkan!

                                                                          1980






















Interlude (1)


dulu aku senang membayangkan
yang seharusnya tak pantas dibayangkan
betapa terang kehidupan
kalau bisa kujaring cahaya bulan

dulu aku senang memandang
sesuatu yang asing untuk dipandang
betapa remang jiwa mengambang
di antara gugusan bintang

sekarang aku sering merasakan
tertikam perih tak tertahankan
terperangkap gelisah berkepanjangan
yang tak mampu kutaklukkan

                                                           1980
























Penyair


aku ingin jadi penyair
yang setia mencintai bunga
tak peduli wangi yang disemburkannya
hanya meracuni taman angan-anganku

aku ingin jadi penyair
yang rindu memeluk keindahan bulan
tak peduli tanganku yang hampa
hanya mampu menggapai udara

aku ingin jadi penyair
yang senantiasa menunjukkan ketegaran
seperti matahari yang terus tengadah
tak pernah mengeluhkan lelah

aku ingin jadi penyair
yang kuasa mengarungi keluasan laut tiada tara
tak peduli kedahsyatan badai dan ombaknya
menenggelamkanku ke kedalaman dasarnya

aku ingin jadi penyair
yang hidup seperti burung-burung
bebas terbang ke mana suka
bebas melesat ke segenap penjuru cakrawala
bebas mengarungi bentangan bumi
bebas hinggap ke dahan-dahan pohonan
sambil terus berkicau
dan bernyanyi sepanjang musim

aku ingin jadi penyair
menulis puisi tak sekadar bermain kata-kata
apalagi tega mempermainkan kata-kata
tapi aku ingin memperlakukan kata-kata
sesungguh-sungguh kata
jadi bermakna

                                                            1981




Ada yang Memisah Kita


Ada yang memisah kita; kau dan aku
aku dan rindu, kita dan cinta
yang terluka dikoyak-koyak waktu.

Ada yang memisah kita; siapa?
mimpi dan igau, kenangan purba
tinggal jejak, gerutu sebuah suara
entah suara siapa?

                                                           1981






























Belati


sepisau belati menghunjam diri
tak netes darah, perihku tak berarti, sepiku mati
sepi kutikam perih kutahan, belati kupatahkan
darah! kukubur di liang kebekuan

sepisau belati, serisauku
enyah, enyahlah!
asal besi, tidur, tidurlah besi
jadilah tumpul belati
Tuhanku, atas nama-Mu lah
tak setapak pun kusurutkan langkah
tak bakal aku menyerah

                                                              1981




























Angin


angin adalah suara
hiruk di lautku pikuk di pantaiku
ingar di buihku bingar di ombakku
gegap di mabukku gempita di huyungku

deru angin adalah isyarat
di ladang perburuanku
di padang pencarianku
di puncak pendakianku

angin tak pernah berkabar
kapan datang kapan pergi
kapan marah kapan ramah
kapan baik kapan buruk

angin selalu saja ada
di setiap peristiwa dan bencana
di setiap musim dan cuaca

                                                        1981


















Batas


aku dan kau terpisah dalam batas
antara dua dunia samar-samar:
dunia nyata dan dunia maya
aku pun menyadari atas tindakanku
yang salah menafsirkanmu
dalam kebingungan
dan ketidakmengertianku

ah, ternyata aku sudah terlanjur
terlibat di dalam pertunjukan ini
layar pentas telah terkuak lebar
di panggung ini, aku berdialog
dengan lawan main entah siapa
semula aku berharap kau adalah
lawan bicaraku sekaligus pendengar
monolog-monolog panjangku
tetapi hingga pertunjukan selesai
tak sekali pun kau tampakkan
wujudmu

di manakah kau?

                                                          1981

















Lelah


lelah kucari-cari di awan-awan di langit-langit
di bukit-bukit di gunung-gunung
di laut-laut di ombak-ombak
di buih-buih
tak juga
kutemu
di mana
kau

lelah kuhitung-hitung dari waktu ke waktu
ke detik-detik ke menit-menit
hari ke hari
minggu ke minggu
bulan ke bulan
tahun ke tahun
abad ke abad
tak juga
kutemu
di mana
kau

lelah berlari-lari mengejarmu di jalan-jalan mendaki
di jalan-jalan menurun di jalan-jalan penuh tikungan
sampai terjerembab dan terkapar pingsan
masih juga tak
kutemu
di mana
kau

lelah aku berdiri duduk nungging berbaring telentang
tiarap merangkak-rangkak siang dan malam
hingga ngilu nyeri pedih perih
luka berdarah-darah
bernanah-nanah
belum juga
kutemu
kau
ternyata kau ada di setiap
lelah
ku

1981
Ekstase Puisi, 1


puisiku
lapar dari segala laparku
dahaga dari segala dahagaku
hasrat dari segala hasratku
rasa dari segala rasaku
diam dari segala gerakku
gerak dari segala diamku
gairah dari segala puncakku
puncak dari segala gairahku
puisi dagingku puisi tulangku puisi denyut urat nadiku 
puisi darahku puisi nanahku puisi kelaminku puisi zakarku
puisi liang duburku puisi beribu-ribu kesabaranku
puisi berjuta-juta kekuatanku
puisi bermilyar-milyar keberanianku
bertarung melawan hembusan angin napasku
gelora laut nafsuku
getaran dinding jiwaku
geliat asap sukmaku
geliat api syahwatku
geliat luka jantungku
bertarung melawan setan segala setan di dalam diriku
puisi sembahyangku puisi doaku puisi zikirku puisi istighfarku
puisi ngajiku puisi i’tikafku puisi makrifatku
puisi rindu dari segala kerinduanku
puisi nikmat dari segala kenikmatanku
puisiku
tunduk takluk nyerah pasrah hancur lebur luluh luruh
 di hadapan ciptaan-Mu seluruh



1982









Interlude (2)


ditampar bosan, tubuhku bagaikan bola
ditendang waktu yang datang dan pergi
menggelinding menuju gawang – usia

dan waktu, tak pernah mau kompromi
kekosongan bersemayam dalam rindu
mimpi-mimpi beterbangan
menuju entah ke mana

dibanting bosan, kutelan bintang-bintang
juga matahari dan bulan
hingga tak bisa lagi memijarkan cahayanya
pada hatiku yang membara

                                                                     1982

























Kemerdekaan Gelatik


bila kau pernah melihat seekor burung
terbang meninggalkan sangkarnya
menembus langit putih cuaca
itulah aku – si burung gelatik yang terluka
mencari kemerdekaan di jagat semesta

terbang dan terus terbang dalam kepedihan
hanya angin menggerak-gerakkan sayapku
aku tak ingin lagi terperangkap dalam sangkar
kemewahan, yang dipasang beribu tangan
dan disambut dengan upacara sakral dan kehormatan
aku tak perlu lagi suguhan makanan lezat-lezat
dan minuman nikmat-nikmat
tapi aku ingin memakan dagingku sendiri
dan minum darah keringatku sendiri
aku pun tak perlu lagi janji-janji surga gemerlap
juga terbuai impian-impian kosong
yang membersitkan kesia-siaan

kalau kau lihat seekor burung terbang
berkicau dan terus berkicau dalam kesendirian
itulah aku, si gelatik berlumur darah
ditikam kekecewaan dan teror tak pernah sudah
lantaran hidup melulu diwarnai kengerian
dan keputusasaan
juga sekian banyak tuntutan

o, akulah si gelatik yang terbang sendiri
akulah si gelatik yang berkicau tak henti-henti
di kesunyian abadi

                                                                          1982








Mata Pisau


Mata pisau itulah yang bikin aku risau
Padahal tak pernah aku berlama-lama menatapnya
Apalagi menjamahnya dan membayangkan tajamnya
Pun terpukau kilau cahayanya

Mata pisau itulah yang senantiasa menghimpit
kecemasanku. Padahal rasa cemas itu jauh-jauh
kucampakkan, dalam-dalam kukuburkan dan
kuinjak-injak sampai lumat. Sungguh keparat!
Mata pisau makin liar menatapku, sia-sia
kujinakkan. Mata pisau makin geram mengancamku,
sia-sia kutantang. Mata pisau makin bernafsu
mengejarku, sia-sia aku berlari. Mata pisau siap
menikam jantungku, sia-sia kutangkap. Sia-sia
kupadamkan api amarahnya yang berkobar, sia-sia
kuredam dendamnya yang berkarat. Ah, maut,
mautku. Mautku di ujung mata pisau, semakin
mendekat, dekat, tak sempat lagi kuelak; crak, crak!
Heran, kenapa aku tak luka tak berdarah tak
jadi mayat?

Mata pisau itu, mata pisau itu
Mata pisau apakah?
Tiba-tiba saja kutemukan tergeletak
tak berdaya di sajakku
Bergelimang darah berbusa
Berlumuran darah berbisa

                                                                          1982











Masuklah, Pintu Masih Terbuka


Masuklah, pintu masih terbuka
tak perlu was-was. Langkahkan kakimu
tak perlu cemas. Sudah lama aku menunggu
kehadiranmu.

Masuklah, pintuku terbuka lebar,
jangan ragu. Tak ada jin dan setan di sini,
jangan takut. Tak ada satu malaikat pun
berjaga di balik pintu. Kecuali sunyi
di ruangku yang berdebu.

Masuklah, pintu tetap terbuka
Datang kau padaku, tak perlu ucapkan salam
Enyahkan rasa was-was dan cemasmu
Masuklah, aku merindukanmu
Peluklah aku, ciumlah aku!
Sepuas gairahmu

                                                                     1982





















Di Ujung Malam


kemukus bintang yang menyalakan mimpiku
redup diterpa angin mengalirkan sunyi di bumi
di sini, tak lagi kudengar desau laut, desau gerimis
dan desau daun di musim penghujan

kecuali sunyi menjemukan
angin pun enggan mengirimkan kabar pada bintang
dan bulan tentang mimpi-mimpiku yang menakutkan
tak mau mengusik dukaku yang masai, kesedihan dan
kepedihanku yang sangsai

kecuali musim yang tetap bertahan
dengan keangkuhannya
langit pun tak mau lagi menyapaku
begitu pun malam, tak mau peduli

di ujung malam, aku berlari
mengejar bayanganku sendiri
sebelum sirna ditelan matahari pagi


                                                                            1982



















Lagu Lapar


laguku hanyalah ratapan; lapar, lapar!
mengumandang dalam perut, mencabik dan mencakar
aku menggelepar
laguku hanyalah kepedihan; pedih, perih!
mengalun bagai irama Mozart dan Beethoven
mengembara ke puncak pendakiannya

laparku berlari, berlari
melolong-lolong di padang tandus
terjerembab di jalan terjal

dari lapar ke lapar aku gelisah
dari nyeri ke nyeri lukaku, laparku makin berdarah
dari duri ke duri dukaku, aku pasrah berserah
dari rintih ke tak berdayaanku, aku menyerah

dengan lapar kumakan angin, cuaca panas dan hujan
dengan lapar kujilati batu-batu jalanan
dengan lapar kukunyah syair-syair getir kehidupan
dengan lapar kucium bau busuk limbah kekayaan
di onggokan sampah kemelaratan

dan lagu itu, lapar itu
terus bernyanyi – mengalun syahdu
kadang menghentak-hentak bagai irama rock ‘n’ roll
kadang mendentam-dentam bagai irama blues
kadang meliuk-liuk bagai irama dangdut
kadang mendayu-dayu bagai irama keroncong
kadang mendesis-desis bagai irama jazz
kadang mendesah-desah seperti kehabisan suara

laguku adalah lagu lapar
adakah kalian dengar?

                                                                               1982





Sajak Petualang

                              untuk Eko Suryadi WS


kita adalah penyair petualang
dari kota asing menuju ke kota asing lain
dari negeri asing singgah ke negeri asing lain
hanya berbekal sekeranjang sajak-sajak
berlumur darah, perih, duka, mimpi,
kenangan, kekecewaan, dan luka-cinta

kitalah penyair yang selalu merindukan
pantai dengan hamparan pasir putihnya
laut dengan deburan ombaknya
angin dengan rahasia badainya
batu karang dengan keangkuhan dan ketegarannya

kita adalah penyair petualang
yang selalu merindukan jalan pulang
tapi rintangan selalu saja berulang menghadang
seperti cakrawala tak terjangkau ketinggian gelombang

                                                                           1982



















Atas Nama Cinta (1)


atas nama cinta:
demi langit dan bumi yang bersaksi
aku selalu mengasihi dan menyayangimu
tak siang tak malam, bagaimana pun cuaca
atas nama cinta:
demi matahari, bulan dan bintang yang bersaksi
aku selalu mengingat dan merindukanmu
tak lupa tak sirna, gelap maupun terang cahayanya
atas nama cinta:
demi laut dan gemulung ombaknya yang bersaksi
aku selalu membayangkan dan memimpikanmu
jemu tak jemu, tidur tak tidur, apapun suasana
atas nama cinta:
demi angin dan badai dahsyat yang bersaksi
aku selalu ingin bercumbu dan berpeluk denganmu
mesra tak mesra, di ruang mana pun adanya
atas nama cinta:
demi hidup sebelum matiku yang bersaksi
aku bersumpah tetap mencintaimu
dengan segairah dan sepenuh kekuatan cintaku

                                                                        1983


















Atas Nama Cinta (2)


Aku mencintaimu
Bukan lantaran keayuan wajahmu
Dan keindahan tubuhmu
Tapi aku sungguh-sungguh cinta kamu
Karena dirimu adalah inspirasi bagi sajak-sajakku
Dan mata air yang tak henti mengalir ke telaga kepenyairanku

Aku mencintaimu
Bukan karena kelihaianku memikatmu
Bukan karena kepintaranku mencuri perhatianmu
Bukan pula kepiawaianku menggoda dan merayumu
Tapi aku benar-benar cinta kamu
Tersebab dirimu adalah kata-kata bagi sajak-sajakku
Dan metafor-metafor penjinak keliaran syahwat imajinasiku

Aku mencintaimu
Tersebab dirimulah yang menjebak hatiku
Masuk ke perangkap hatimu
Aku mencintaimu
Tersebab dirimulah yang menyeret hidupku
Masuk ke penjara hidupmu
Aku mencintaimu
Tersebab dirimulah yang tak ingin melepaskanku
Mencari ke lain cinta selain cintamu

Aku mencintaimu
Seluas lautan kata-kata sajakku
Sebesar gelombang kata-kata sajakku
Yang tak pernah bisa memaknai
Misteri cintaku dan cintamu

                                                              1983










Cerita tentang Musim


angin di udara ungu
berbisik pada pohonan
sebentar lagi musim tiba
menggugurkan daun dan ranting
ke sunyi bumi

angin nyanyikan lagu
ratapan anak-anak burung
tak punya sarang
musim telah melukai sayapnya
hingga tak bisa terbang
menembus langit putih cuaca

tiba-tiba ada yang meledak
sungguh dahsyat gelegarnya,
merobek cakrawala
tak tahu, apa? barangkali matahari
mengirimkan teror dan bencana
atau musim yang mengabarkan
kematian di mana-mana

                                                        1983


















Interlude (3)

pekik langit menyelusupi dada
tulang-tulang retak, usus-usus terkoyak
“apa kabar, jantung?” kata lambung
(matahari pun berduka)
dan burung-burung limbung
terkurung kabut
menggelepar

asap, hanya asap, berpendaran di selangkangan
“di mana kau sembunyikan sayatan daging
dan ceceran darahmu?” kata ulat menggelinjang

langit pun menangis
kota-kota serentak berseru: mari kita tersedu,
menyeret kepedihan – ke batu karang lautan
mari kita kubur kekosongan dan kebimbangan
dari ada ke tiada

                                                                         1983






















Yang Bernama


yang bernama keberadaan
                       adamukah itu atas adaku
yang bernama kesendirian
                       sendirimukah itu atas kebersamaanku
yang bernama keabadian
                       abadimukah itu atas kefanaanku
yang bernama kebesaran
                       besarmukah itu atas kekecilanku
yang bernama keagungan
                       agungmukah itu atas kemunafikanku
yang bernama kesucian
                       sucimukah itu atas kekotoranku
yang bernama kemurnian
                       murnimukah itu atas kepalsuanku
yang bernama kepastian
                       pastimukah itu atas kesimpang-siuranku
yang bernama keputusan
                       putusanmukah itu atas penolakanku
yang bernama kemutlakan
                       kemutlakanmukah itu atas pengingkaranku
yang bernama kebenaran
                       sebenar-benarmukah itu atas kesalahanku
yang bernama kesabaran
                       sesabar-sabarmukah itu atas keteledoranku
yang bernama keramahan
                       seramah-ramahmukah itu atas keangkuhanku
yang bernama kemarahan
                       semarah-marahmukah itu atas dosa-dosaku
yang bernama kejujuran
                       sejujur-jujurmukah itu atas kebohonganku
yang bernama keadilan
                       seadil-adilmukah itu atas kerakusanku
yang bernama kebijaksanaan
                       sebijak-bijakmukah itu atas kecuranganku
yang bernama kearifan
                       searifmukah itu atas penindasanku
yang bernama kekuatan
                       sekuat-kuatmukah itu atas kelemahanku
yang bernama kekuasaan                      
                       kuasamukah itu atas ketidakberdayaanku
yang bernama atas segala nama-nama
                       namamukah yang senantiasa kuseru-seru
                       di setiap waktuku
                       di setiap heningku
                       di setiap rinduku
                       di setiap khusyukku
                       di setiap kesepianku
                       di setiap pendakianku

                                                                                1983


































Ekstase Puisi, 2


hari-hari ini
puisi masih kutulis
hari-hari esok
puisi akan kutulis
kapan pun
puisi terus kutulis

aku tulis puisi
sebab puisi
menulis diriku
dan menjadi saksi hidupku

hari-hari adalah puisi
hari-hari lapar
kumakan puisi
hari-hari haus
kuminum puisi
aku begitu kenyang
hingga terberak-berak puisi
dan terkencing-kencing puisi

hari-hari adalah puisi
kucumbu-cumbu
kucium-cium
kujilat-jilat
kuremas-remas
dengan gairah berkobar
hingga libido
dan ereksi
memuncak
puisi
kuperkosa
sampai orgasme
dan perutnya yang bunting
kucakar-cakar
kucabik-cabik
kurobek-robek
hingga janin di rahim
berloncatan
berdarah-darah
berceceran
hingga daging dan tulang
berserakan
menggeliat-geliat
dalam ruang
syahwatku
hari-hari adalah puisi
adalah kata-kata
berbilang kata
jadi kata
mengejarku
menangkapku
mengikatku
mengurungku
merajamku
hingga ruh
lepas di badan
kata-kata
tetap ada
dan tertulis
sebagaimana
adanya


1983



















Pelayaran


Kalau laut tak berombak
Bukan laut namanya

Kalau pantai tak berpasir
Bukan pantai namanya

Kalau angin tak meniupkan badai
Bukan angin namanya

Kalau perahuku tak bertolak
Bukan aku takut dihantam ganasnya ombak

Kalau ada isyarat di cakrawala
Aku siap berlayar
Mengarungi keluasan semesta-Mu

                                                                      1983























Muhammad


bermula adalah firman: jadi, maka jadilah dia
bergetaran daun-daun emas sidratulmuntaha
setetes nur, telah lama – terjaga

inilah karunia maha karunia
telah menghadirkannya ke bumi; tanah nestapa
hamparan gurun berpasir keluh-kesah,
berdebu kezaliman
tanah jahiliyah, berzikir mendamba kehadirannya

maha besar Allah, menurunkan wahyu pertama
di bukit cahaya maha cahaya, di malam gelap-gulita
inilah keajaiban; jadi, maka jadilah dia insan perkasa
memerangi kemunkaran, mengabarkan kebaikan,
kedamaian, kejujuran, keadilan, kesetiaan,
kecerdasan, dan kebijaksanaan

ya Muhammad, Al-Amin pembawa amanah
dan penegak kalimatullah
ya Rasul, kaulah rahmat semesta alam
teladan umat dari zaman ke zaman
ya Muhammad, Quran mukjizatmu, Israk-Mikraj-mu
adalah kehendak Allah, Yang Maha Berkehendak
ya Muhammad, puncak makrifat manusia
nabi pilihan dan terakhir
sampai dunia berakhir

                                                                   1983 (1404 H)












Beri Aku Kata-kata


beri aku kata-kata
setajam pisau setajam kapak
untuk menikam bumi sampai koyak
dan menghunjam langit sampai retak

beri aku kata-kata
sewangi dupa seampuh mantera
untuk mengasapi jagat semesta
dan membuyarkan arak-arakan mega

beri aku kata-kata
sesejuk hawa surga sepanas api neraka
untuk menyejukkan rasa resah di jiwa
dan memijarkan kekuatan yang hampir tiada

berilah aku kata-kata
untuk menyembunyikan hidupku
di balik sayap-sayapnya

                                                                       1984




















Semakin Senja Hari


semakin senja hari
matahari menepi
waktu menepi

jarak tak terentang
tak terentang jarak

di setiap simpang
kau menyapaku
di setiap ruang
kau membayangiku

langit telah menutup tanahku!

semakin senja hari
senantiasa tak kupahami
hidup bersayap misteri

aku membaca dunia
mengeja rahasia semesta-Mu
berulangkali kubaca
terbata-bata kulafadzkan
tapi tak pernah kutamatkan

siapa Kau, siapakah aku?

                                              1984













Sajak Intermeso
bagi Sapardi Djoko Damono


Apakah yang kutangkap dari swara hujan, ricik air yang turun di selokanmu? Tak ada. Kecuali langit. Ya, hanya langit yang membayang samar. Langit yang memantulkan beribu kata duka; dukamu yang abadi.

O, dukamu duka abadi, kenapa tak kau bagi-bagi padaku? Padahal aku juga punya duka, tapi tak seabadi dukamu. Bukankah beribu kata duka sama-sama milik kita, satu napas dengan kita, dan satu suara dengan kita? Ah, rupanya aku lupa menyebut kata demi kata dan tak mengerti isyarat yang pernah kau beri dan ajarkan padaku; bukankah duka tak seabadi hidup kita.

                                                                    
                                                                                     1984























Banjarmasin


Inilah kota
Sisa sejarah masa lalu yang terlupa
Dan peradaban yang hampir sirna
Semakin renta dan berkarat ditelan usia
Tinggal puing-puing dibalut jelaga

Kota adalah bangkai
Mengambang diseret arus sungai
Terkapar sia-sia di jalan-jalan sangsai
Digilas roda kehidupan tak pernah damai

Kota adalah tonggak yang patah
Terpancang angkuh di tanah haram manyarah*
Berulangkali berubah wajah
Tapi gurat-gurat luka semakin parah
Kota pun berdarah

Kota bagaikan diserang wabah
Malu dipandang tapi mau dijamah
Sibuk berbenah, latah bermegah-megah

Inilah kota
Kota yang tertikam beribu anak panah
Kota yang terbakar api amarah
Kota terkutuk! yang ingkar atas sumpah
Lupa peradaban, lupa sejarah

Inilah kota
Bagaikan asap, kabut, dan sampah
Mengundang gairah orang-orang saling meludah
Kota pun basah

Inilah kota
Kota tua, penuh jelaga
Seorang penyair yang hidupnya terpenjara
Senantiasa meratapi nasib kota
Dalam cemas dan duka

                                                                      1984



_____________
*haram manyarah – semboyan pahlawan nasional Kalimantan Selatan,
                                  Pangeran Antasari, melawan kolonial Belanda dalam
                                  Perang Banjar. Haram manyarah, waja sampai kaputing 
                                  = semangat pantang menyerah sampai titik darah penghabisan.































Terminal

                          bagi almarhum D. Zauhidhie


Saat pun tiba bagimu, Zauhidhie. Istirahlah di puncak
kesunyianmu yang abadi. Seperti istirah yang pernah kau
impikan, ketika kau berbaring di bawah langit semesta.
Hari sudah senja,”* katamu di suatu hari yang murung,
ketika kau berfirasat lewat sajak-sajak kematianmu.
Ya, betapa cepat perjalanan usia, seperti meteor melesat
dan menembus dari awan ke awan. Seperti pesawat
mengangkasa dari satu negeri ke lain negeri.
Seperti kereta api melaju dari stasiun ke stasiun.
Seperti bus kota berangkat dari terminal ke terminal lain.

Mengingat kembali dirimu, aku tak kuasa membendung
kenangan yang terus mencair, kesunyian yang mengalir
deras dari puncak rinduku, dan kedukaan sajak-sajakku
yang menyungaikan air mata – mencari muara.

Selalu kuingat dalam-dalam petuah arifmu:
Jika puisi itu nasi, kunyah. Sirna laparmu
Jika puisi itu telaga, reguk. Penawar hausmu
Jika puisi itu api, pegang. Hangus dukamu
Jika puisi itu doa, tadah Aminmu**

Telah berulangkali kubaca sajak-sajakmu
Selalu saja kurasakan, kematian begitu mesra
dan eratnya memelukmu.

                                                                                                             
                                                         1984


____________
  * selarik sajak “Hari Sudah Senja”, karya D. Zauhidhie
** empat larik sajak “Jika Puisi Itu”, karya D. Zauhidhie







Sajak Cinta (Interlude)

 – Aku mencintaimu kekasihku, sebelum kita berdekatan,
    sejak pertama kulihat engkau. Aku tahu ini adalah takdir. 
    Kita akan selalu bersama dan tidak akan ada yang
    memisahkan kita.

                                            (Kahlil Gibran)

1
Karena cintalah, kupersembahkan kepadamu
sajak panjang tentang cinta – sepanjang usia cinta kita
yang lahir dari lautan kata-kata, perasaan, pikiran, dan
hasratku yang sederhana. Di luar perhitungan dan
rekayasa yang tak bisa kuhindarkan. Seperti cahaya
matahari melintasi cakrawala, menembus bayang-
bayang rahasia. Seperti cahaya bulan, tiba-tiba padam.
Sebentar malam membuka layarnya yang hitam.
Seperti angin yang terus memainkan cuaca, menderu
di tengah kegelapan semesta, berpusar di tengah
abstraksi waktu, dan mengendap di kediaman batu.
Gerimis pun berderai, kata-kata mengurai.
Pengembaraan hidup dan kehidupan pun kumulai.

2
Aku mengembara di semesta terbuka
Kuarungi lautan dengan kedahsyatan ombaknya
Kudaki tebing-tebing terjal, kurangkaki jurang-jurang
curam. Kuseberangi sungai-sungai dalam, kunaik-
turuni bukit-bukit berbatu. Aku keluar masuk hutan
belantara, berpacu dengan terik cuaca dan hujan yang
datang dan pergi, dan berlalu merampas usia.

3
Karena cintalah yang membuatku tak tahu
Ke mana dan akan sampai di manakah
aku mengembara. Seperti Adam mula-mula dikirim
ke dunia. Cintalah yang terkadang membuatku tak
bisa memadamkan keinginan yang berkobar dan
menghanguskan dinding jiwaku.

4
O, cinta! Apakah makna cinta sesungguhnya bagiku?
Adakah sebenar-benar cinta yang hakiki dan suci
Adakah cinta datang begitu saja dari relung hati
Adakah cinta abadi bersemayam di dalam diri?

5
Pada batu di dasar hatimu, kupahat cintaku,
kubaringkan tubuhku yang letih. Angin mencatatkan
dendam rindu, dan mimpi-mimpi selalu mengusik
kelelapan tidurku. Lalu bayang-bayangmu meleleh
dalam napasku. Menanggalkan daun gelisahku.

6
Pada batu di dasar jiwamu, kuukir cintaku
Tiba-tiba kutemukan kau dan aku saling peluk
Di bawah reruntuhan langit cinta membatu.

7
Kini, kita pun saling merasakan
Beginilah hakikat kebersamaan
Seperti kehidupan bermakna keluasan
Antara ada dan tiada kepastian
Kadang-kadang kehidupan berkabut menyesatkan
Kadang-kadang kehidupan seperti sinar
dalam bayangan. Kadang-kadang kehidupan bagai
lingkaran setan, yang dijejali oleh nafsu keserakahan,
kerakusan, kebohongan, kemunafikan, kebencian,
rasa dendam dan amarah, kesewenang-wenangan,
ketidakadilan, dan kehancuran.

Ya, kehidupan kadang sangat menyiksa,
meletihkan dan membosankan. Kehidupan adalah
peperangan dan penderitaan. Kehidupan adalah
keterasingan yang menggelisahkan. Tetapi, kita
tidaklah sendiri, kekasihku; tersiksa, letih, bosan,
menderita dan merasa asing dengan kehidupan.
Karena setiap manusia di bumi ini bisa juga
mengalaminya. Karena semua ini adalah hukum
alam kehidupan.

Hidup dan kehidupan adalah beribu persoalan
tak pernah sudah, tak terumuskan. Tetapi, kita tak
perlu mengeluh dan mengaduh, cintaku. Seperti
kata penyair bijak: Hidup dalam khayalan, hidup
dalam kenyataan tak ada bedanya. Kerna
khayalan dinyatakan, dan kenyataan dikhayalkan,
di dalam peradaban fatamorgana.*
Beginilah cermin kehidupan, kekasihku
Seperti juga alam semesta, Tuhan menciptakan.

8
Engkau masuk ke dalam hidupku
Aku masuk ke dalam hidupmu
Darahmu mengalir di urat nadiku
Darahku mengalir diurat nadimu
Dagingmu adalah dagingku
Dagingku adalah dagingmu
Tulang-belulangmu adalah tulang-belulangku
Belulang-tulangku adalah belulang-tulangmu
Dirimu seluruh diriku
Diriku seluruh dirimu
Jiwamu menggemuruh di jiwaku
Jiwaku menggemuruh di jiwamu

9
Masih kusisakan untukmu, kekasihku, selembar cinta
Tak perlu kau tanyakan; di manakah kusimpan
ceceran cintaku yang dulu? Karena cintaku itu telah
kulempar ke laut tak berbatas.

Sekarang, aku pun telah siap mencatat segala
peristiwa baru yang melekat di celah jari-jari waktuku.
Aku telah siap menerima hal-hal terburuk sekali pun
– dalam sejarah hidupku. Mungkin kekalahan demi
kekalahan baru yang bakal menyergap dan
memenjarakanku.

10
Seperti tak pernah kucatat kejadian itu
Sekali pun ia berserakan di dalam pikiranku yang lelah
Karena sebaris kalimat pun tak mampu lagi kususun
Ah, betapa keringnya sungai kata-kata
Terbakar matahari yang terus berkobar
Dalam jiwaku yang tiada.

11
Kusemaikan bibit-bibit cintaku, tanpa pupuk ke taman
jiwamu. Kusiram bunga-bunga kemesraan agar tetap
bermekaran dan mewangi di dasar hatimu. Kukecup
embun di kelopak bibirmu tak bergincu, kurasakan
denyutnya hingga semakin memacu denyut jantungku.
Bumi pun bergetar dahsyat – bagaikan gempa tektonik
dengan kekuatan tak terhitungkan dalam skala richter

12
Hanya angin, angin, dan angin
Menyaksikan lakon teater kita
Hanya ranting, ranting, dan ranting
Mendengarkan bisik-bisik percakapan kita
Hanya hening, hening, dan hening
Larut dalam desah napas kita
Hanya dinding, dinding, dan dinding
Merahasiakan permainan cinta kita.

13
Sepotong keletihan terbanting
Adalah keletihanku bergulat dengan sunyi
Seperti tak ingin berhenti

Sepotong kerinduan menetes
Adalah kerinduanku, bersumber dari langit cinta
Seperti meresap ke dalam jiwaku yang terluka

Sepotong mimpi terguling
Dari puncak pendakian tidurku
Aku tersentak, menggigil ketakutan
Kusaksikan tubuhku bagai sesosok mayat
Berlumuran darah hitam di ranjangku yang berdebu

14
Bagai ada yang melolong-lolong di rimba batinku
Bagai ada huru-hara di laut jiwaku
Bagai ada tangisan di ruang sunyiku
Tak seorang pun tahu
Juga kau

15
Akan terus kunyanyikan
Lagu-lagu cinta untukmu
Dengan lirik-lirik merdu
Akan terus kutuliskan
Sajak-sajak cinta untukmu
Dengan kata-kata liar imajinasiku

16
Ada yang lebih berarti dalam hidup ini
Daripada menyiksa diri dengan duri
Daripada menawan diri dengan sepi
Daripada membakar diri
Dengan cahaya matahari

17
Kukubur sepi
Di tanah pekuburan yang kering ini
Pohonan pun meranggas
Mengabarkan huru-hara
O, alangkah pedih perpisahan!

18
Barangkali kau pun bisa mengerti
Jika bukan karena pertemuan yang menjerat jiwa
Tak akan pernah tersingkap rahasia
Yang menghunjam ke bibir cakrawala hidup kita

Di luar kesangsian, berbenih persesuaian
Di dalam kepercayaan, berbunga percintaan
Segalanya begitu saja terjadi
Terbang bersama mimpi

19
Bahwa ada kilat berpantulan di cermin
Bahwa ada pisau tajam menyayat-nyayat
Bahwa ada dendam membatu
Aku pun tahu, tetapi aku tak peduli
Aku merasakan sedikit pun tak terluka
Dan aku masih bisa meredam dendam
Dengan menghunjamkan belati kata-kata

20
Rinduku padamu
Mengalir deras
Bagai banjir bandang
Tak tertahankan!

21
Tuntaskan rinduku, wanitaku
Agar aku tak jemu menunggu
Di pintu pelukku
Di jendela hasratku

22
Tuhanku, beri aku satu kekasih
Cukup satu saja, sesungguh-sungguh kekasih
Jangan beri aku dua atau tiga kekasih
Aku tak sanggup berbagi kekasih
Aku tak ingin berpaling ke lain kekasih

23
Hidup ini harus diapakan, kekasihku?
Rasanya gelap sudah ruang kita ini
Suara hatimu dan hatiku
Masih bisakah menyatu?

24
Tetapi, kita masih punya matahari, cintaku
Yang tak pernah lelah membagikan sinarnya
Kita masih punya bulan, cintaku
Yang setia memantulkan kemilaunya
Kita masih punya bintang-bintang, cintaku
Yang senantiasa memancarkan kelap-kelipnya
Kita masih punya awan, cintaku
Yang menaungi dan menurunkan hujan
Kita masih punya langit, cintaku
Yang tak pernah mengubah kebiruan warnanya
Kita masih punya laut, cintaku
Yang setiap saat mempertontonkan tarian ombaknya
Kita masih punya angin, cintaku
Yang tak henti-hentinya mengirimkan badai
Kita masih punya perahu, cintaku
Yang sekali waktu membawa kita berlayar
Ke pulau-pulau mana pun hendak kita tuju

25
Tuhanku,
turunkan hujan berkah-Mu
di sabana tandusku
di sungai keringku
di laut dangkalku.
Deraskan hujan rahmat-Mu
biar basah tubuhku
biar kedinginan tubuhku
biar menggigil tubuhku.
Curahkan hujan rahman-Mu
agar jiwaku tumbuh bunga
amin!



26
Tak ada lagi cinta dalam bola mataku
Hanya bayang pohonan yang kehilangan warna
Dari gelap hutan menawarkan keasingan
Burung-burung menyerbu sunyi kota
Matahari pun semakin membara.

                                                                           1984

_____________
* larik sajak “Sajak Kenalan Lamamu”, karya Rendra.

































Seperti Laut


aku ingin seperti laut
tak pernah lelah menarikan ombaknya
tak pernah henti menggerakkan arusnya
dan menyimpan misteri kedalamannya

aku ingin seperti laut
tak lelah-lelah
tak henti-henti
dengan segenap keikhlasan
bersujud
berdoa
berzikir
bersyukur
dan melebur
di keluasan semesta-Mu

                                                        1984























Jalan Sunyi


Jalan-jalan sunyi membaca jejak pengembaraanku
Membaca jiwaku yang berkobar pada kepedihan waktu

Aku tanam, aku tanam diri
di keasingan yang menyimpan beribu tahun
nama-nama kematian – dalam kebisuan tanah
: kesunyianku, Allah
mengental dalam dinding jarak-Mu

                                                                                 1985






























Memandang Langit


Setiap kali memandang langit
Hidupku menjadi asing dan sunyi
Keinginan pun diam-diam tumbuh
Meneduh dalam kebisuan rahasianya

Setiap kali memandang langit
Serasa aku tak berpijak di bumi
Melayang-layang di ketinggian semesta-Mu

Langit menelan tubuhku!

                                                            1985




























Pergi


Diam-diam
Gerimis masih juga berguguran
Dingin dan mengabut
Hari pun jadi asing

Jalan-jalan sunyi, jalan-jalan gelap
Angin pun mendenguskan anyir darah
Membuatku mabuk, menggigil
Dan kehilangan jalan

Siapakah menyeret tubuhku
Ke padang telanjang tak kukenal?

Gerimis hinggap
Di pohonan
Maut menyergap
Menghembuskan kepedihan

Siapakah membawa jasadku pergi
Ke kubur sunyi tak bermatahari?

                                                        1985


















Ziarah


di tanahmu
kutempuh ziarahku
doa demi doa mengembara
kenangan pun beterbangan

di tanahmu
kutempuh ziarahku
kutempuh ziarahku
di tanahmu

angin
                bernyanyi
     matahari
                      bernyanyi
            pohon-pohon
                                     bernyanyi
                   burung-burung
                                              bernyanyi
lalu menangis
                         lalu senyap
        dan kita pun
                                lenyap
              tak pernah jelas
                                           kenapa?

                                                             1985














Kalau


kalau aku pohon, kaulah kapak
takik kulitku cencang dagingku
remukkan belulang tulangku
biarkan darahku deras memancar
menggenangi tanahmu

kalau aku laut, kaulah angin
tamparlah gelombangku
dahsyatkan badaimu
nyanyikan gemuruhmu
berpusar-pusar terus menarilah
berputar-putar terus meliuklah
sampai karam perahuku

kalau aku batu, kaulah godam
lampiaskan bara dendam
remukkan aku seremuk-redam

                                                    1985





















Ramadhan


1
Kutikam laparku, lukanya tak berdarah
Kusayat-sayat laparku, kujilat-jilat dan
kukunyah lumat-lumat dagingnya, sepanjang
siang sampai padam matahari. O, bergelora
rasa nikmat dalam perutku.

Aku bakar hausku dalam panas hari
Kureguk asapnya seteguk-seteguk
Jam demi jam tak lagi kuhitung hingga
senja menanti. O, berdenyut-denyut
rasa sejuk di tenggorokku.

2
Jika lapar yang menampar
Membikin jiwa memar dan menggelepar
Jika dahaga yang menyiksa
Membikin nasib sengsara tak berdaya
Ya tubuh, jangan mengeluh
Dan mengaduh.

3
Laparku menangis
Laparku terisak-isak
Sukmaku teriak: Hooiii, masih banyakkah
rakyat di negeri ini hidup kelaparan?!

4
Jika hanya deru angin laut merusuhi kapalku
Tak akan patah tiang-tiangku
Jika hanya deru ombak menampar karangku
Tak akan pecah batu-batuku

Jika tiang-tiang kapalku patah
Aku pun tak menyerah
Jika batu-batu karangku pecah
Pada-Mu aku berserah

5
Tuhanku, berilah aku setetes air dari kesejukan
dan kebeningan telaga-Mu untuk kualirkan
ke tenggorokanku agar hilang rasa hausku dan
lidahku tak lagi kelu melafadzkan ayat-ayat-Mu,
sehingga cintaku makin dalam pada-Mu

Tuhanku, beri aku selezat-lezat makanan dari
periuk-Mu, agar perutku tak lagi ditikam lapar
sampai menggelepar, sehingga tubuhku tak
lunglai memeluk-Mu.

                                                       1985 (1405 H)
































Perjalanan


rohku terbang
tanpa sayap
matahari mengerang
langit senyap

sejumlah bayangan
mengejarku
ingin menerkam
dan mengepungku

gemuruh takbir
menelan tubuhku
dari gelap dunia
keterasingan istirahku

kudengar samar-samar
suara entah siapa
riuh zikir entah siapa
kumandang azan entah siapa
irama tangisan entah siapa

jasadku jadi batu
terbang melambai
kenikmatan ruang dan waktu
dalam perjalanan
menuju puncak kesunyian
dan kerahasiaan
maha sempurna

                                              1986










Sehabis Percakapan


Sehabis percakapan
Semuanya menjadi gaib
Langit terbongkar
Matahari terbakar
Menggambarkan huru-hara
Di bumi yang asing

Kata-kata yang diucapkan
Berbatu-batu
Semakin kesepianku membatu

Betapa terasa jauh jarak antara kita
Terpisah dari satu negeri asing
Ke lain negeri asing
Padahal percakapan masih kubutuhkan
Tapi hanya sepi yang mengucap

Sehabis percakapan
Segalanya menjadi gaib dan tersimpan
Di kerahasiaan maha rahasia ini
Aku ingin tenggelam menyelam
Ke dalam kegelapan dan ketiadaan
Lewat doa dan sujudku
Dan abjad-abjad kesunyianku

Baiklah, sebelum langit menawarkan kelam
Atau kesia-siaan
Di kediaman batu diri kusembunyikan
Sendirian, sendirian
Mengimani sisa-sisa kehidupan

                                                              1986








Malam Jakarta


Udara yang gerah, debu-debu bergelantungan di langit malam. Raung mobil dan motor berseliweran, menggetarkan gendang telinga. Warna-warni lampu, gedung-gedung kaca menjulang, bioskop, hotel, motel, night club, pub, diskotek, kafe, dan bordil dan lokalisasi dan panti pijat dan taman remang-remang dan tugu monas dan tawa cekikikan pelacur dan waria jalanan dan para pengemis dan gelandangan dan pengamen dan segala fasilitas kota. O, betapa asingnya kita, sayangku.

Wanitaku, wanitaku! Ini malam milik kita. Ya, hanya milik kita. Mari kita lupakan segala kepenatan hidup dan kehidupan ini. Kita lupakan segala problema, keruwetan pikiran, duka-derita yang membatu, dan luka-cinta yang menyembilu. Mari kita kubur kebimbangan dan putus asa, sepanjang malam ini – malam milik kita. Malam Jakarta, cintaku.

(dan bulan dan bintang-bintang mengantuk dan menggeliat lalu tertidur dan mendengkur, menyanyikan mimpi-mimpi kita di jalan-jalan malam yang semakin kelam)

Jalanan bisu, jalan yang ditumbuhi pohon-pohon kejemuan. Di manakah tempat kita berlabuh, manisku? Di manakah tempat kita menganyam rindu dan kasih yang telah terlanjur kita pilih?

Wanitaku, wanitaku! Ini malam adalah rimba segala kemerdekaan bagi sayap hidup yang dibentangkan. Ini malam adalah langit segala kehangatan untuk mengekalkan cahaya harapan.

Wanitaku, wanitaku! Bertahun-tahun mencari, bertahun-tahun sudah aku menanti. Hanya siksaan, hanya kesia-siaan kutemukan. Bertahun-tahun aku bercermin, hanya bayang-bayang menakutkan senantiasa mengancam. Bertahun-tahun aku mabuk, sempoyongan, sakaw, pikiran pening, jiwa tergoncang ditempeleng bosan.

Udara yang gerah, debu-debu bergelantungan di langit malam, malam Jakarta, malam kita, wanitaku. Tapi sampai kapankah kita bisa bertahan menanggung beban maha berat begini, dalam keterasingan ini?

                                                                                     1986




































Berkali-kali Aku Mabuk


berkali-kali aku mabuk
tak peduli kedahsyatan ombak
mengombang-ambingkan tubuhku
terus saja aku mabuk
                  ke laut-laut
                       ke hanyut-hanyut
                            ke pucuk-pucuk
                                 ke rusuk-rusuk

berkali-kali aku mabuk
     kudaki gunung dengan mabuk
           kugapai bulan dengan mabuk
                kupeluk matahari dengan mabuk
                     kutelan bintang-bintang dengan mabuk

berkali-kali aku mabuk
sampai pecah botol-botolku dibanting waktu
sampai retak gelas-gelasku dibentur batu
menyemburkan busa-busa kenikmatan semu
dan menebarkan racun-racun di darah membeku

berkali-kali aku mabuk
berkali-kali mabuk menyeret jiwaku
ke puncak pendakian
tak pernah kesampaian

                                                                       1986













Instrumentalia Jakarta, 1


“Diam! Hentikan sedu-sedan cengengmu,” Jakarta membentakku. Jantungku meledak, darah pun muncrat lewat mata lewat kelaminku. Kota bergelepotan dan banjir oleh darahku, menjadi lautan merah, menggelegak dan menggemuruh.

Kulihat orang-orang saling terkam, saling cakar, saling mengumpat dan hujat dalam bahasa yang tak kumengerti. Aku terpana menatapi orang-orang saling menggapai-gapai dan timbul-tenggelam dalam kolam kaca. Kusaksikan orang-orang pingsan dalam kotak beton berjulangan dan rumah-rumah baja hampa udara. Sementara aku semakin terasing dalam rahim peradaban, menggeliat-geliat dalam ruang industri teknologi, megap-megap di kedalaman sumur zaman tanpa dasar*. O, aku terbata-bata melafadzkan aksara demi aksara-Mu.

                                                                                           1986


____________
*Sumur Tanpa Dasar, judul lakon drama karya Arifin C. Noer.    

















Tubuhmu yang Terpahat
di Batu Dasar Kali


                                  untuk almarhum Kriapur


Sampai juga waktu
Yang kau tunggu-tunggu
Dan kau rindu-rindu
Memasuki kesepian abadi
Batu-batu memuntahkan darah
Mengubah sungai menjadi dataran merah
Cakrawala berteriak
Burung-burung dan pohonan juga berteriak
Semua berteriak
Kemudian sunyi

Kabut pun diam-diam luruh
Kulihat kau terayun-ayun di udara
Sambil menatapi tubuhmu yang terpahat
Di batu dasar kali – tanpa suara

                                                                  1986



















Diskotek Tanamur

                            bersama penyair Yuyun Hendriawati

Irama musik ingar-bingar menggelegar
menggetarkan ruang jiwaku yang memar.
Berjuta cahaya lampu berpendar
menusuki mataku yang liar.

“Ayo tripping dan ajojing. Nikmati dunia gemerlap,
rengkuhlah kebebasan kota Jakarta,” teriak seseorang
dengan tubuh sempoyongan.

Musik makin menghentak-hentak
Orang-orang saling berjejalan dan berjingkrak
Melupakan kepenatan hidup sejenak
Menyingkirkan persoalan hidup yang berserak.

“Ayo minum, seteguk dua tiga teguk. Segarkan
tenggorok jiwamu dengan air telaga surga dunia,”
ajaknya dengan mata memerah, sambil menyodorkan
se sloki vodka. “Ayo telan, setelan dua tiga telan.
Tenangkan ruang pikiranmu dengan pil-pil setan,”
bujuknya setengah memaksa. “Rasakan sesedot dua
tiga sedotan asap ganja. Lupakan saja laut dan ombak.
Lupakan bulan, bintang, dan matahari. Lupakan
kerinduan, kesepian, dan kepedihan. Lupakan segala,”
teriaknya di tengah kebisingan house music.

Musik masih saja berdentam-dentam
Menyentakkan keterasinganku yang dalam
Membangkitkan gairahku yang terpendam
Tak mampu kuredam.

Musik terus saja memainkan iramanya
Orang-orang terus menarikan mabuknya
Orang-orang terus melampiaskan keliaran syahwatnya
Orang-orang terus memburu-buru dunianya
Orang-orang terus mencari-cari surganya
Orang-orang terus mengobarkan api nerakanya.





Malam semakin kelam. Mari kita pulang, Yun!
Di luar, setumpuk kata-kata indah telah menanti kita
Juga sajak-sajak tentang cinta, dosa, surga, dan neraka.


                                                                          1986



































Persenggamaan Matahari
dan Bulan


            matahari bersenggama dengan bulan
bulan hamil
       sembilan bulan sembilan hari kemudian
                    perut bulan pecah, melahirkan bayi
                                 berkepala bulan
                         berbadan matahari
          matahari panik dan cemas, marah
                dan mencaci-maki bulan
      matahari tak mau mengakui anak dari rahim bulan
                            adalah zat cahayanya
bulan menangis tersedu-sedu
                 memendam kecewa dan putus asa
                             dilemparnya sang jabang bayi lucu
                      berkepala bulan dan berbadan matahari
                                         ke bumi
bulan pun bunuh diri
               loncat ke bumi
                            meninggalkan matahari
                                        matahari menyesali diri
                                                           berteman sunyi
                        dan meledakkan diri
                                                                 ke bumi


                                                                              1986














Instrumentalia Jakarta, 2


Mengapa hanya dinding, dinding, dinding beton dan baja
memisah jarak kita? O, metropolitan masih saja gelisah,
menjerat batin dan melemparkanku ke jurang
peradaban semu.

Telah kumasuki ruang demi ruang, lorong demi lorong
Kunaik-turuni lift gedung demi gedung baja berjulangan
Mengembara keluar-masuk belantara iklan raksasa
gemerlapan. Kususuri jalan-jalan asing di antara lalu-
lalang orang yang saling berbicara dengan bahasa isyarat
tak kumengerti. Ah, kengerian pun diam-diam tumbuh,
menghentak jantungku. Kota pun berputar-putar dalam
bola mataku. Tembok beton dan baja semakin memenjara
jiwaku, tanpa kompromi dan tanpa sepenuhnya kupahami.
Aku tersedu. Lalu kubaringkan tubuhku yang letih dan
berkeringat darah di gedung bioskop, di dalam etalase
toko elektronika, di show room dan panti pijat,
di pelataran parkir mal dan pasar swalayan,
di keremangan ruang diskotek Tanamur yang
menggemuruh dengan irama keras Michael Jackson dan
Madonna. Terkapar aku di gubuk-gubuk kumuh
bantaran kali Ciliwung yang keruh, di stasiun, terminal,
dan halte. Terkapar aku di warung-warung pojok,
di kafe-kafe, di halaman museum kota, di Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Graha Bhakti
Budaya Taman Ismail Marzuki, di kaki tugu Monas, dan
di plaza penyair Chairil Anwar. O, lapar dan hausku
semakin berdarah. Berdarah!

Kutahan saja derita ini, sementara jiwaku berontak
menatap ketidakadilan, di tengah simpang-siur nilai-
nilai abad yang menipu ini. Kupendam saja duka ini,
sementara aku saksikan kesewenang-wenangan menjadi
ular kobra, penindasan menjadi singa, dan kebenaran
berubah menjadi berhala. Kubiarkan saja lukaku tetap
menganga, sementara darahku terus menetes dan
menyatu dengan keringat zaman, menggetarkan semesta
terbuka, menghadirkan ketidakberdayaan, tanpa
kompromi, mengabarkan kematian bagi keserakahan
dan keangkuhan manusia.


Aku pun tertidur, lelap sekali, dan bermimpi tentang
sekawanan serigala lapar berpesta-pora,
memperebutkan mayatku yang menebarkan
bau busuk di udara.

                              
                                                                          1987



































Sajak Perpisahan


“Hidup ini hanya ladang angan-angan,” katamu pasti
“Barangkali saja, entah,” gumamku. Ah, yang pasti
hidup hanyalah dipenuhi bencana dan gelombang
segalanya mesti kita pulangkan kepada-Nya,
berserah diri

Ya, hidup dan cinta, saling bertautan
Tapi apakah sebenarnya makna cinta antara kita?
Kalau setiap kata dan tindakan tak lagi berbunga
Ataukah bunga hanya sekadar bunga
Tak ada warna-warni keindahan dan wanginya

Tinggal kesia-siaan menulisi dinding batin kita
Yang berlumur luka dibakar matahari membara
Tinggal waktu ke waktu hampa tak lagi berdentang
Segalanya mengekalkan kepedihan riwayat
kemanusiaan yang terpendam

Karena hidup hanya ladang angan-angan, katamu
O, tak ada yang dapat kupersembahkan lagi padamu
: Selain hatiku yang sunyi
Atau sajak-sajakku yang mendesahkan suara luka
Juga hidupku yang berteman dengan kediaman batu


                                                                        1987














Lukisan Bapak


bapakku senang memandang langit
memandang bintang-bintang
karena langit terus berkibar menyimpan
rahasia hidupnya
dan bintang-bintang senantiasa memancar
dalam jiwanya

bapakku jatuh cinta pada langit
pada bintang-bintang
dicumbu-cumbunya dalam gairah
yang berkobar
hingga langit dan bintang-bintang tergoncang
mengucurkan darah hitam dari tubuhnya
yang terbongkar

bapakku mati di langit
ditaburi bintang-bintang

                                                               1987





















Fantasia Gunung
Tangkuban Perahu

                          di sini, akulah Sangkuriang


Memandang tebingmu
jiwa pun bergetaran
Menghirup uap belerangmu
kawah batinku bercipratan

“Ayo, ayolah sentuh aku. Bangunkan aku
dari kelelapan beribu tahun tidurku
Peluk, peluklah hingga menggelegak
kawah birahiku!”

Memandang puncak kabutmu
anganku beterbangan, entah ke mana
Tinggallah keluasan sunyiku – sendirian
tanpa apa dan siapa-siapa

Hanya hening hanya hening hanya hening
Hanya mimpi hanya mimpi hanya mimpi
Keheningan mimpiku tergelincir
ke kedalaman kabutmu
Mengembara ke masa silam
Menemukan rindu

“Usaplah wajahmu dengan pasir panasku
Jadilah kau Sangkuriang perkasa dan ksatria
Semedilah dalam kabut abadi
Hancur-leburkan gunung-gunung
Galilah cinta-kasihmu yang terpendam!”

Langit pekat jagat pun gelap
O, Dayang Sumbiku, di manakah kamu?

                                                                 1987





Sajak Intermeso
bagi Sutardji Calzoum Bachri


untuk apa kutanya sebab kenapa rasa-resahmu yang dalam menikam-nikam risau sepi dan rindu lukamu? sebab segala rasa resah risau sepi rindu luka telah kau kecup kau cium kau belai kau raba dan kau pukau dengan pesonamu yang aduhai

untuk apa kuhiraukan sebab apa kau mengigau berngiau-ngiau berwau-wau sampai suaramu parau? sebab segala igau yang ngiau dan wau telah kau jadikan senyap yang renyai dan sangsai

untuk apa kutulis dan kubaca huruf demi huruf sajak kalau kau bilang huruf-huruf habislah sudah, alifbata dan kepenyairanmu takkan sampai sebatas Allah? sebab jejak telah kau temukan setelah tanya dan resah mengguncang jiwa batinmu, ruang telah kau masuki setelah lepas dari kekosongan yang memerangkap dirimu, lapar dan haus rohmu telah terlampiaskan setelah kau reguk berpuluh-puluh salat dan kau kunyah beribu doa, dan jalan telah kau capai, walau Tuhan belumlah sampai

teruslah kau bercakap-cakap dalam kenyerian saat, meskipun kau tahu apa maunya abad. biarkan luka aortamu meronta-ronta, barah darahmu meraung-raung, nyeri jantungmu mengerang-erang, dan duri-dukamu mencakar-cakar. biarkan pisau menghunjam tanah kau berpijak, menakik almanakmu, dan menimbun luka-lukamu hingga maut menjemputmu segobang-segobang

telah kau pecahkan gelas-gelas jiwa yang gelisah, kau banting hingga remuk botol-botol duniawi, kau cabik-cabik aorta risau yang membuatmu terigau-igau, kau sayat-sayat kucing yang mengiau-ngiau meraung-raung dalam darahmu, dan kau bunuh mabuk-mabukmu dengan kapak tajam berkilau

ayolah, Tardji, jangan merasa tak berdaya walau usia terus mengejar diri kau. jangan merasa tua dan lelah untuk memulai lagi langkah, sebagaimana kau tak lelah-lelah mengitari Ka’bah dan bolak-balik antara Safa ke Marwah. sebelum usia menelan habis kata-kata, kau tulislah sebanyak-banyak sajak!


                                                                               1987


































Memo Jakarta

                        kepada Rendra


di Jakarta, aku tersesat
bagai orang linglung dan pesakitan
menjadi cemas, gamang, dan ketakutan
hingga lupa ke mana arah jalan pulang

di tengah rasa putus asa
tiba-tiba aku ketemu kamu
tengadah menatap ketinggian cakrawala
di keriuhan jalan raya, di antara para pelacur
jalanan, gelandangan, dan orang-orang yang
terhina dan kalah di dalam pergulatan kehidupan
engkau jabat tangan kurusku
dengan kehangatan cahaya matahari
aku genggam erat tangan kekarmu
dengan ketulusan pelangi
tanpa saling berprasangka dan curiga
percakapan pun mengalir ke langit jingga

di hadapanku, kau baca lagi sajak-sajak
tentang cinta, kebenaran, dusta, kemunafikan,
ketidakadilan, penindasan, dan tirani kekuasaan,
sepenuh penghayatan
tanganmu terkepal ke udara, penuh kegeraman
hingga burung-burung kondor beterbangan

kudaki ketinggian gunung sajakmu
di puncaknya aku tancapkan bendera semaphore
mengibarkan kesaksian-kesaksian
mengabarkan perjuangan dan harapan
yang tak pernah terumuskan

Jakarta mengangkang
tak henti-henti mengerang
begitu bengis dan kejam
begitu dendam menerkam

                                                                 1988



In Memoriam Sajak, 1


beribu sajak kutulis
beribu imajinasi kudaki
beribu kata tak kumengerti

beribu sajak sembunyi
di buku-buku antologi
tak pernah kubuka
dan kubaca

beribu sajak kukubur
di pemakaman tak bernama
bernisan tanpa kata

                                             1988


























In Memoriam Sajak, 2


hanya satu sajak kutulis
lebih berarti dari seribu sajak

“hei, penyair malas,
galilah liang dalam-dalam
untuk mengubur sajakmu,” ejek
sebuah suara entah, di suatu malam
tak berbintang

hanya satu sajakku
tak perlu seribu
kubawa mati
kubaca di akhirat nanti

                                                        1988



















                           





Membaca Sajak Afrizal Malna


Aku membaca sajakmu seperti membaca cerita di suatu ruang gelap tak bernama, entah di mana, yang dijaga oleh mitos-mitos kecemasan. Dan aku tak tahu saat ini kau di mana? Mungkin di sebuah negeri yang juga tak bernama.

Tak selesai-selesai kubaca sajak-sajakmu. Mataku mulai perih karena disemprot cairan cat berwarna hitam. Mataku mulai berkunang-kunang hingga dinding, langit-langit, dan lantai ruang tiba-tiba saja berubah menjadi hitam dalam pandanganku. Mataku menderaikan tangis hingga air mata membasahi setiap kata dan kalimat yang berjatuhan, berlompatan, dan berlarian meninggalkan sajak-sajakmu.

Barangkali peradaban ini tidak lagi berpihak kepada kita, Malna. Begitu pun puing-puing matahari yang berceceran di sepanjang jalan, tidak lagi mengajari kita membaca ketinggian abad yang berlari. Seperti juga aku, telah kau tinggalkan sajak-sajak dalam gagasan bahwa dunia adalah sebuah penjara besar yang menyisakan impian seribu permainan.

Dunia minta dipacu. Peradaban minta dipacu. Sajak-sajak minta dipacu, Malna. O, kepada siapa kau bertakbir di saat-saat kesepian mendera? Kepada siapa doa kau panjatkan, sedangkan Tuhan telah kau ciptakan sendiri dalam kata-kata dan bahasa benda-benda?

Membaca sajak-sajakmu, aku seperti membaca langit yang tumbuh dalam bola mataku.


                                                                                     1988









Sajak, 1


berdekatan denganmu
aku tak bisa berkata apa-apa
sebab aku telah kehilangan kata-kata

berjauhan denganmu
aku bisa berkata apa saja
sebab kata-kata melintas tanpa sengaja

berdekatan denganmu
serasa kata-kata menjauhiku
berjauhan denganmu
serasa kata-kata mendekatiku

lalu kata-kata apakah
mesti kuucapkan
ketika berdekatan
dan kutuliskan
di saat kita berjauhan?

                                                  1989




















Aku tak Sanggup Lagi


Aku tak sanggup lagi memandang dunia
dengan segala warnanya
Sebab langit telah membutakan mataku
dan matahari yang terus memburu kematianku

Aku tak sanggup lagi mendengar segala doa
dan pekik-tangis duka
Sebab awan hitam telah menyumbat telingaku
Begitu pun hujan yang tak henti-henti
mengguyur tubuhku

                                                                  1989




























Sudah Kutebak
Kemauan Angin


Sudah kutebak kemauan angin
Yang menyusup dalam kehidupan kelam
Dan menaburkan bibit-bibit luka
Pada bumi yang makin padat oleh peristiwa

Tak ada lagi yang bisa kukejar
Apalagi ombak di laut tak berbatas
Sebab gerak dan kebebasanku telah terampas
Oleh kegelapan yang luas

Sudah kutebak kemauan angin
Yang meredakan hidupku dari segala bencana

                                                                
                                                         1989
























Sajak Perkawinan


Berbekal kekerasan hati
Aku nekat meminangmu
Tanpa banyak bekal dan harapan masa depan
Memasuki gerbang sakral bernama perkawinan

Berbekal keberanian jiwa
Aku nekat melebur ke dalam hidupmu
Berlayar mengarungi samudera maha luas
Menaklukkan badai dan gelombang maha dahsyat

Berbekal ketulusan dan sepotong cinta sederhana
Sebuah kehidupan telah kita masuki
Sebagaimana kata-kata dan puisi penuh misteri
Kita pun mesti memberinya arti

                                                                         1989
























Sajak bagi Istri

                             Nellawati

Sebuah kehidupan
Telah kita awali
Tanpa sangsi

Sebuah bayangan
Senantiasa menghadang
Di ruang gelap maupun terang

Sebuah kebersamaan
Telah melahirkan perasaan
Kegembiraan dan kesengsaraan

Sebuah rumah
Adalah berkah
Bisa pula berubah
Jadi surga atau neraka
Dan penjara yang menyiksa
Tergantung kita yang menghuninya

Seorang anak
Atau beberapa anak
Adalah anugerah
Dan amanah Allah
Yang harus kita jaga
Sebagaimana adanya

Sebuah kesaksian
Telah kita catat
Di pohon-pohon hayat

Sebuah peristiwa
Yang pernah mendera
Adalah seribu kenangan
Tak perlu dilupakan
Sebuah pengembaraan
Yang melelahkan
Telah kita tuntaskan
Di puncak pendakian

                                          1990

Daerah Kematian


Aku semakin mengerti dunia yang tertutup kabut
Tak ada lagi kebebasan jalan bagi diriku
Segalanya telah dipagar oleh dinding-dinding terbakar
Aku pun makin terkurung di daerah kematian

Sejengkal tanah yang berkelebat dalam mimpiku
Berserak pecahan bulan dan bintang-bintang
Tanpa kilatan cahaya menyambar-nyambar cakrawala
Juga bangkai matahari yang meledak
Menebarkan bau busuk di udara tanpa nama dan alamat
Segalanya membersitkan kengerian

Tapi buat yang bernama kematian
Tak pernah lagi kutakutkan

                                                                      1990























Peristiwa


Diam-diam gerimis berguguran
Mengabarkan peristiwa duka pada pohonan
Di pinggir musim penghabisan

Jalan-jalan lengang mendenguskan keasingan
Kota pun tertidur lelap tanpa cahaya bulan
Dan angin menaburkan aneka warna kembang ziarah
Pada tanah yang berlumur anyir darah

Kulihat orang-orang menyelinap dalam kegelapan
Sambil menundukkan wajah berkeringat kepedihan
Dari mulut mereka bermuntahan batu-batu zikir
Menimbuni keharuan, dan pekik-tangis pun berakhir

Segala peristiwa hanya tinggal abu kenangan
Seperti matahari yang meledak seketika
Lalu jatuh di hutan, mendesahkan suara luka
Dari kejauhan, kudengar ratap burung-burung kehilangan

                                                                              1991






















Doa Awal Tahun


Tuhanku
inilah doaku yang paling awal
di tahun baru ini
seperti juga doa-doaku terdahulu
di tahun-tahun berlalu
tentu Engkau pun ingat selalu
dan mencatatnya di dalam kitab-Mu

Tuhanku
inilah doaku yang paling awal
semoga bukan yang terakhir
amin!

                                                      1991




























Literatur Kesaksian


Aku tulis sajak ini
Setelah menyaksikan rumah-rumah rakyat kecil dibuldoser
Setelah menyaksikan lapak-lapak pedagang kaki lima
dibasmi tanpa ampun
Setelah menyaksikan gelandangan, pengamen, pedagang
asongan, para preman, waria, dan pelacur jalanan diburu-
buru bagaikan anjing
Demi keindahan, ketertiban, penataan jalur hijau,
dan kejayaan kota besar, juga iming-iming janji
hari esok penuh harapan
Inilah gambaran kota yang sibuk memoles wajahnya
dengan bedak dan lipstick superfisial
tapi tanpa nurani, manusiawi, dan rasa keadilan.

Aku mendengar jerit-tangis orang-orang yang terhina
Aku merasakan harapan hidup mereka tak lagi berjiwa
Nasibnya melayang seperti awan, tanpa daya
Wajah-wajah mereka memelas, tanpa rupa
Membayang di bau busuk air selokan, tanpa warna.

Aku tulis sajak ini
Setelah menyaksikan para cukong, konglomerat, politisi
busuk, dan tikus-tikus negara, berkomplot dengan para
tiran. Mereka berpesta-pora di hotel berbintang, di gedung
kaca berjulangan, di villa-villa, di night club dengan para
penjaja syahwat. Sambil memutar blue film, mereka
menghitung untung yang menyebar di bursa saham dan
rekening gelap di bank-bank manca negara.

Ya Allah Yang Maha Rahman
Segala peristiwa yang kusaksikan ini
Membuat nuraniku yang diam jadi berontak
Tak dapat terus kuberdiam diri
Tak dapat mulutku terus membungkam dan dibungkam
Tak kupedulikan segala teror dan intimidasi
Agar aku tidak bicara tentang segala yang kusaksikan ini

Gelap, betapa gelap pandanganku
Setelah menyaksikan nasib orang-orang yang dihinakan
Orang-orang yang bersimbah keringat di pasar-pasar,
di pabrik-pabrik, di pelabuhan, di trotoar, dan di sepanjang
jalan. Orang-orang yang senantiasa dizalimi dan tergencet
oleh ketidakberuntungan nasibnya sendiri; tergencet oleh
tumpukan sampah, kotoran, besi dan baja. Hatiku remuk-
redam, ya Allah.

Gelap, betapa gelap pandanganku
Setelah menyaksikan tumpukan kekayaan dan kerakusan
Setelah menemukan kenyataan, bahwa kemakmuran
dianggap wajar diperoleh dengan cara apapun; tipu-daya,
menindas, menggusur, dan penghilangan paksa nyawa
manusia. Ya, Allah, di masa-masa yang serba sulit,
menegangkan dan serba menakutkan ini, lindungilah aku.
Hindarkan diriku agar tidak terjerumus mempertuhankan
benda-benda duniawi yang menyilaukan, memabukkan,
dan merusak akal sehat ini.

Gelap, pandanganku gelap!
Jalan manakah kubur bagi benua batinku, ya Rabb?
Agar aku mudah membongkar sampah yang menyesak
di dadaku. Agar aku terbebas dari himpitan dinding beton
dan baja, terbebas dari ketidakberdayaan dan gelap mata.
Bebaskan aku dari peradaban benda-benda yang
diberhalakan, iklan-iklan gaya hidup hedonisme yang
menjanjikan kepalsuan, himpitan ranjang-ranjang hotel
yang menjual lendir dan keringat kemaksiatan. Tutuplah
mataku dari pemandangan yang membangkitkan syahwat
berkobar, eksploitasi aurat perempuan yang membangkai
di jalan-jalan, di pasar-pasar, di mal-mal, di hotel-hotel,
di villa-villa, di lokalisasi, di klab malam, di diskotek,
di lembaran-lembaran majalah dan tabloid birahi, di balik
bingkai kaca televisi yang menggelombang. Suburkanlah,
ya Rabbi, tanah ladang garapanku, sumber hidup dan
kehidupanku, anak-anak dan istriku. Beri, beri aku
kekuatan untuk mempertahankan lahan kebunku agar
tidak tergusur oleh pembangunan gedung-gedung pencakar,
tower, plaza dan mal, rumah toko, hotel berbintang,
lapangan golf, sirkuit balap, dan pacuan kuda.
Tak lelah-lelah kupanjatkan doa kepada-Mu, ya Allah
Aku muntahkan lahar kekecewaan yang menggelegak
di dadaku. Dan air mataku yang tumpah, kureguk bersama
ayat-ayat-Mu dengan cawan permata, sehingga membasahi
etalase jiwaku. Dan kebekuan perasaanku yang tersumbat
ini, cairkan, ya Maha Pengasih, agar aku tidak kehilangan
keberanian untuk memimpikan kebenaran. 


Gelap, pandanganku gelap!
Setelah menyaksikan dan membaca tanda zaman yang
membingungkan ini. Kulihat tubuhku terkapar setelah
kuhikmati berita demi berita mengerikan: kudeta berdarah,
terbunuhnya presiden, demonstrasi massal kaum buruh,
rakyat, dan mahasiswa, gempa bumi, longsor, banjir
bandang, hujan dahsyat dan angin puting beliung,
kecelakaan demi kecelakaan sarana transportasi di darat,
laut dan udara, mewabahnya virus HIV-AIDS, ribuan
hektar hutan yang terbakar, meledaknya kapal tanker
minyak hingga mencemari air laut, perang saudara tak
berkesudahan, mayat di mana-mana, kebocoran reaktor
nuklir, dan seterusnya …

Aku tulis sajak ini
Setelah menyaksikan peristiwa demi peristiwa aneh
yang terjadi di sebuah negeri kaya raya, gemah ripah loh
jinawi dan dihuni oleh orang-orang terkaya sekaligus
termiskin di dunia. Negeri yang memiliki ragam budaya;
dari budaya pungli, upeti, uang pelicin, uang terima kasih,
uang komisi dan budaya korupsi yang menjadi fosil
sungguh mengerikan.

Matahari menangis karena kehilangan sinarnya
Rembulan bersedih karena kehilangan purnamanya
Bintang-bintang sirna karena kehilangan kemilaunya
Sedangkan laut tak lagi mampu memainkan gemulung
ombaknya
Karena angin enggan meniupkan badai dahsyatnya

Inilah sajakku. Inilah kesaksianku!
Lihatlah! Kemacetan, polusi, erosi, dan ruwetnya birokrasi
Apalah artinya sumber daya alam, sebagai asset negeri
Bila dikuras habis-habisan, tanpa kesadaran menjaga
keseimbangan alam?
Dan lihatlah, wajah-wajah kuyu dan pucat pasi, tubuh-
tubuh letih tak berdaya para buruh yang di PHK, karena
menuntut upah kerja yang layak dan manusiawi. Mereka
berunjuk rasa menuntut hak dan nasib yang dikebiri.
Lihatlah, wajah-wajah para mahasiswa yang lebam dan
luka berdarah karena dipentungi dan diinjak-injak sepatu
lars aparat. Kampus-kampus diserbu polisi dan tentara,
para mahasiswa dikejar-kejar seperti mengejar para
bajingan, copet, jambret, bandar togel, dan pengedar narkoba.
Para mahasiswa disemproti gas air mata lalu ditangkapi,
diseret-seret, dibanting-banting dan dilempar ke bak truk
pengendali massa, karena aksi demo mereka dianggap
merusak, anarkis, mengganggu ketertiban dan stabilitas.
Aku melihat lautan darah, darah di mana-mana.

Telah melesat matahari bersama kicau burung
Terbang dari benakku yang sudah terprogram di komputer
Meretakkan otakku yang dikonfrontasi oleh perhitungan
matematis. Aku bersujud pada-Mu, ya Rabb,
memasrahkan ketidakberdayaanku yang membatu.
Seperti mereka, rakyat kecil yang merasa terhina dengan
istilah ‘akar rumput’. Bah! Kekurangajaran, penghinaan dan
pelecehan model apalagi ini? Rakyat yang notabene juga
manusia, kok dibilang sebagai akar rumput?
Ya, mereka rakyat kecil yang dibikin frustrasi oleh
keadaan yang tidak kondusif, kehilangan martabat,
cita-cita dan harapan masa depan. Mereka sama sekali
tak berdaya mengusir kemiskinan dan kelaparan
yang telah dirampok oleh kekayaan yang mengerang.

Aku bertanya, walaupun membentur jidatku sendiri:
Inikah wajah pembangunan dan kemajuan negeri?
Inikah pemerataan penuh tipu, nepotisme, kolusi
dan korupsi?
Inikah slogan pengentasan kemiskinan yang nyatanya
malah semakin mengembangbiakkan kemelaratan?
Sementara aku masih melihat puluhan juta rakyat
di kota dan di desa-desa, dibungkam keadaan yang
suram, di bawah bayang-bayang gelap kehidupan.

Dengarkan aku bicara!
Dengan kesabaran dan kesadaran yang menuntunku
tanpa kata, maafkanlah bila aku bicara vulgar dan agak
kurang ajar, tentang keadaan. Aku sebal terhadap tipu-
daya yang dicanggihkan. Aku kesal terhadap penderitaan
yang dipoles gincu kesejahteraan. Aku mual terhadap
demokrasi dan keadilan yang dibengkokkan. Aku sesal
terhadap kebobrokan yang disembunyikan di balik
topeng stabilitas dan keamanan. Maka, tak perlu lagi
segala macam pidato berbusa-busa. Tak perlu lagi
menjual program-program, obral janji dan segala omong
kosong, karena rakyat bukan burung beo atau nuri
yang bisa diajar menyanyi.


Telah kulintasi jalanan berliku, ya Rabbi
Kukekalkan syahadat penempuhanku dalam gelisah
ombak, topan dan badai di laut jiwaku dengan kediaman.
Aku ingin tenggelam menyelam ke dalam kegelapan
dan ketiadaan – lewat doa dan sujudku. Kuimani abjad-
abjad kesunyian, sebelum langit menawarkan kelam.

Aku tulis sajak ini
Aku bentangkan kesaksian ini
Karena kritik dan aspirasi hanya boleh melalui
saluran resmi
tetapi sebagai penyair, aku menolak untuk meletakkan
nuraniku di bak sampah
aku menolak untuk menukar akal sehat dengan keedanan
karena penyair adalah penyaksi keadaan dan zaman.

Janganlah aku dibungkam
Sementara kamu seenak udel bicara
Janganlah aku diintimidasi dengan kekuatan
Sementara kamu dengan arogan memaksakan keinginan
Janganlah sajak-sajakku dilawan dengan senjata
Karena kekuatan senjata tak mampu melumpuhkan
keperkasaan dan kecerdasan kata-kata
Janganlah kamu mengagung-agungkan kekuasaan
Karena kekuasaan bisa melemparmu ke jurang kenistaan

Aku tulis sajak ini
Aku berikan kesaksian ini
Agar suaraku di dengar di mana-mana dan ke mana-mana
Sampai ke puncak gunung, hutan, laut, dan cakrawala
Sebagai pernyataan simpatiku pada kemanusiaan.

                                                                               1989/1991












Ibu, 1


ibu, kuabadikan kamu dalam sajakku
karena aku lahir dari kegelapan rahimmu
yang menyimpan cahaya dari waktu ke waktu

karena sajak adalah mata air hidupku
yang selalu mengalirkan kata-kata
bersumber dari kejernihan telaga jiwamu
yang menyimpan kedamaian sepanjang masa

air matamu, ibu
adalah mata air kehidupan dan sajak-sajakku

                                                                       1992





























Memandangi Kota

                           Banjarmasin suatu malam


Memandangi kota
Mataku perih disileti asap, debu,
gedung-gedung kaca menjulang,
baliho-baliho iklan gemerlapan,
mobil dan motor berseliweran –
memburu dan diburu-buru waktu.
Sepotong bulan tiba-tiba jatuh
Pecah berkeping di hadapanku
Tanpa sempat aku memungutnya.

Memandangi kota
Memandang jalan raya kehidupan
Mataku berdarah
Menetes di sepanjang trotoar
Di tengah kerumunan para gelandangan,
preman, waria, dan pelacur jalanan.
Sepotong langit meledak
Menggetarkan jantungku
Tanpa sempat aku memeluknya.

Memandangi kota
Kutelan impian demi impian
Kutasbihkan tangis di hatiku
Pada abad-abad kesepian yang berlari
Bersama cintaku kepada-Mu.

Memandangi kota
Memandang nafsu kemanusiaan
Yang berkobar di mana-mana
Menjadi api keserakahan
Menjadi abu kesengsaraan
Menjadi limbah bencana dan kehancuran
Hingga kemanusiaan hanya tinggal kemanusiaan
Yang terpendam dan terkubur di jalan-jalan
Menyisakan kesia-siaan.





Memandangi kota
Diam-diam tumbuh perasaan
Antara kesanggupan dan ketidakberdayaan
Untuk mencintai dan membenci
Atau mengejek dan menertawai
Kekalahan diri sendiri

Memandangi kota
Pertanyaan terus menjejali benakku
Di tengah kegaduhan dan bising pembangunan
Di saat penyelewengan masih dianggap kewajaran
Di saat kemunafikan dengan bangga dipertontonkan
Di saat kesombongan dianggap bukan kekurangajaran
Ketika penindasan, pemaksaan, penggusuran,
intimidasi dan teror
Tidak lagi menarik untuk diperbincangkan.

Memandangi kota
Aku sudah bosan menulis sajak-sajak
Tentang sungai yang kotor
Sampah dan kesemrawutan fasilitas kota
Yang tersimpan dalam disket benakku.

Memandangi kota
Hanya zikir dan tafakur
Menelanku dari keterasingan.

                                                                   1993

















Ibu, 2


Seperti laut, ibu
kau susun gelombang
tanpa kenal waktu
hari-hari letihmu yang panjang.

Seperti angin, ibu
kau hembuskan kesejukan
di cakrawala jiwaku
yang dirundung kecemasan.

Seperti langit, ibu
kau lukisi dengan warna kebiruan
hingga awan di hatiku
memendam kedamaian.

Seperti matahari, ibu
kau pancarkan sinar kebijakan
hingga bayangan pohonan di wajahmu
berkelebatan di puncak kerinduan.

                                                             1994





















Tahajud Sunyi


tahajudku
adalah sunyi
pusat segala sunyi
puncak segala sunyi
inti segala sunyi
hakikat segala sunyi

tahajudku
adalah sunyi
takbir ke takbir sunyi
sujud ke sujud sunyi
salam ke salam sunyi
mengalirkan doa ke doa sunyi
meneteskan air mata dari mata air sunyi

tahajudku
di malam-malam sunyi
betapa sunyi
betapa diri
tak henti-henti mencari
rahasia sunyi
yang paling sunyi

                                                    1994


















Testimoni Penyair


Bagiku, kata-kata yang dibangun atas nama kemegahan estetika, belum cukup untuk sebuah puisi (apalagi puisi sejati), bila hanya menawarkan ratapan merdu dan kepedihan luka jiwa menakjubkan. Lihatlah, di sekitar kita, jurang mengerikan telah kita ciptakan sendiri menjadi sebuah pentas teater kolosal. Begitu megah, penuh hura-hura dan gemerlapan. Sebagai aktor dan penulis skenario sekaligus sutradara, begitu fasih dan piawainya kita berdialog dan berimprovisasi dalam setiap lakon. Kita berikan kesaksian demi kesaksian dengan teramat santunnya. Kita pidato sampai lidah keseleo dan ludah membusa bagai limbah sabun mandi, hingga mencemari panggung pertunjukan. Kita tertawa ngakak, menangis sesenggukan, melolong-lolong, meraung-raung kemudian merintih-rintih dengan teramat sempurnanya. Otak kita pun bercanggih-canggih mengutak-atik tentang bait-bait kemanusiaan, moralitas yang sedemikian gampang digadaikan, ingar-bingar peradaban, dan carut-marutnya hak asasi manusia. Kita pun merasa paling hebat berargumen dan berdebat soal ilmu, rumus-rumus, teori-teori, visi-misi, dan konsepsi-konsepsi. Dan kita merasa diri paling pakar bicara soal sistem-sistem nilai dan rekayasa politik, tatanan dan moralitas hukum, struktur ekonomi mikro dan makro, kualitas sumber daya manusia, dampak pencemaran lingkungan, kecanggihan informasi dan teknologi era globalisasi hingga ke persoalan stabilitas dan disintegrasi bangsa, dan seterusnya. Kita pun merasa dituntut untuk senantiasa berperilaku peka dan peduli dengan berbagai kenyataan yang menari-nari di hadapan kita: ketidakadilan, keserakahan, kesewenangan, ketimpangan sosial, kebobrokan moral, kemunafikan, perilaku elit politik lapar kekuasaan, soal pemasungan kreativitas hingga ke persoalan korupsi berjemaah berjilid-jilid, manipulasi tak habis-habis, monopoli, gratifikasi, suksesi, euforia reformasi dan omong kosong demokrasi.  Akhirnya kita pun lelah dan meratap dan meraung dan mengutuki diri sendiri; ah, kita ini sesungguhnya apa dan siapa? Di tanah manakah kita berpijak? Kita berpijak di tanah merdeka! Tapi kemerdekaan itu bukanlah milik kita. Dan kita pun ternyata  bukan  siapa-siapa  dan  apa-apa.  kita  hanyalah

pion-pion bisu di papan catur besar; maju selangkah dua langkah, lantas disikat menteri atau paduka raja. Kita telah terlanjur memroduksi prasangka dan menumpuk bayangan kecemasan kita sendiri – sebagai kotoran dan sampah!

Kini aku pun bermelodrama. Kepada angin aku bertanya: “wahai angin, komedi macam apalagi yang kau pertontonkan padaku?” Aku bertanya, walau kutahu pertanyaan ini harus membentur jidatku sendiri: Kenapa harus tercipta jarak antara realitas dan kata-kata, kata-kata dan tindakan? Kenapa kemunafikan semakin marak diternakkan? Kenapa makin banyak pemimpin yang seolah terpercaya tetapi sesungguhnya tidak bisa dipercaya? Kenapa para wakil rakyat mempermainkan amanah, aspirasi dan berkhianat kepada rakyat pemilihnya? Sadarlah wahai wakil rakyat yang tidak lagi terhormat; kalian adalah pesuruh rakyat, dan rakyatlah yang sesungguhnya majikan kalian! Wahai angin, kenapa pelenyap identitas diri sedemikian kotor dan berdebu itu dianggap wajar dan manusiawi belaka? Wahai angin, tunjukkan keperkasaanmu. Bersihkan dan lenyapkan segala kotoran dan debu itu dengan kedahsyatan badai dan puting-beliungmu. Sekian banyak pertanyaanku, wahai angin, sekian banyak pula yang tak terjawab; kenapa ia hanya berputar-putar hingga membentuk semacam lingkaran tak bermakna di dalam benakku?

Ya Allah Yang Maha Rahman. Gelap, betapa gelap pandanganku. Segala lakon yang kusaksikan ini membuat nuraniku yang diam jadi berontak. Tak sanggup aku terus berdiam diri. Tak bisa aku terus membisu untuk berkata tidak! Tak kupedulikan segala ancaman dan teror agar aku tidak bicara tentang segala yang kusaksikan ini. Tak bisa  aku berhenti  menuliskan sajak-sajakku, walau tembok penjara sekali pun mengurungku. Hanya Engkau ya Allah, yang bisa menghentikan tindakan dan langkahku.

Dan kini, kata-kata tinggal menanti ajal
Seperti suara hewan terluka
Di keheningan semesta.

                                                                                               1995/1999
Aku Berguru pada Sajak


aku berguru pada sajak
karena sajak begitu banyak
memberiku ruang gerak
di mana pun aku berpijak

aku berguru pada sajak
karena sajak senantiasa mengajak
dan mengajariku bersikap bijak
menghadapi kehidupan yang terkoyak

aku berguru pada sajak
karena sajak adalah tonggak
tempatku berpegang agar tetap tegak
mengikuti ke mana pun awan berarak

aku berguru pada sajak
karena sajak adalah ombak
senantiasa tegar walau gemulungnya pecah berserak
diterjang badai maha dahsyat yang congkak

                                                                        1995





















Doa Sederhana, 1


ya Allah
di tengah lautan maha luas ini
jangan biarkan aku terombang-ambing
dihempas amuk gelombang
diseret derasnya arus
dilempar dahsyatnya badai

ya Allah
di tengah keluasan semesta
di tengah hiruk-pikuk kehidupan
dan peradaban memabukkan ini
jangan biarkan aku tersesat
di rimba-belantara kenikmatan sesaat
di jalan raya dan lorong gelap
sehingga terbersit keinginan bertindak nekat

ya Allah
di tengah sekian godaan menggiurkan ini
jangan biarkan mataku silau memandang
jangan biarkan pikiranku kotor menerawang
jangan biarkan nafsuku liar tak terkekang
jangan biarkan, ya Rabb, aku sendirian
menanggung beban cobaan tak tertahankan

                                                                    1996

















Sajak, 2

beribu sajak
dari ribuan kata yang kutulis
menghambur jadi debu
mengotori udara
dan memerihkan mataku

beribu sajak
dari ribuan kata yang kuhamburkan
tak pernah menemukan jejak
di jalan-jalan kegelapan

beribu sajak
beribu kata
percuma saja
tanpa bahasa

                                        1996


























Akhirnya Kutempuh Jalan Sunyi


Dengan hati yang jelaga
Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Di antara kebisingan dan polusi kota
Di balik tatapan aneh iklan-iklan baja
Gemerlap cahaya lampu elektronika
Dan gedung-gedung kaca berjulangan
Memantulkan bayanganku yang seakan tiada

Rasanya tak ada tempat bagi diriku
Untuk merenungi hakikat hidup ini
Bahkan di dalam tubuhku sendiri
Tak ada sedikit pun celah-celah
Untuk mengenali jiwaku
Yang senantiasa diteror keletihan panjang
Menghadapi hidup yang tegang dan mengambang
Tak habis-habis menimpukku batu demi batu kepalsuan
Hingga jiwaku yang mawar mabuk dan sempoyongan
Menjelajahi belantara kegelapan
Terperangkap dalam sergapan kecemasan

Akhirnya kutempuh juga jalan sunyi
Dalam getar sujudku, kuseru berulang nama-Mu
Telah kusempurnakan pasrahku yang membatu
Di tengah himpitan peradaban zalim dan jahiliyah ini
Di tengah cengkeraman materialisme dan hedonisme ini
Di saat terpaan kanker teknologi
Membius akal sehat ini
Hanya kepada-Mu aku mengadu
Menyampaikan ketidakberdayaanku

Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Ya Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Bijaksana
Ampuni kelancangan hamba yang dhaif ini
Mencoba mengumandangkan retorika kebenaran kalam
Mencoba melafadzkan ayat-ayat kejujuran dan keadilan
Mencoba dengan suara terbata-bata berikrar:
Bukan jabatan atau kedudukan yang kuharapkan

Bukan kekayaan dan kejayaan yang kulaparkan
Bukan sajak-sajak yang kuberhalakan
Bukan kepenyairan yang kuagung-agungkan
Bukan pula kehebatan dan keunggulan yang kuhauskan
Atas ridho-Mu, hanya kemenangan Akhirat kudambakan

Subhanallah
Alhamdulillah
Lailaha Illallah
Allahu Akbar

Bismillah
Akhirnya harus kutempuh jalan sunyi yang paling sunyi
Dengan kesabaran dan kesadaran
Yang menuntunku tanpa kata
Aku telah siap mendaki ketinggian gunung
Tak gentar walau terjatuh dari puncaknya
Aku siap memasuki rimba lebat tanpa alamat
Tak perlu takut kehilangan arah ataupun tersesat
Aku pun siap menyusuri keriuhan jalan raya
Tanpa matahari, bulan, dan bintang-bintang
Aku ingin tenggelam menyelam ke dalam kegelapan
Kureguk darah kehidupan dengan air mata doa
Kuimani abjad-abjad kesunyian di puncak keberadaan
Sebelum langit menawarkan kelam bahkan kesia-siaan

Akhirnya kutempuh jalan sunyi
Sendirian, sendirian
Seperti hatiku yang sunyi
Pasrah di atas batu, diterjang arus air kali
Tak pernah cemas menerima duka abadi

                                                                                1997
















Banjarmasin, 23 Mei 1997 (1)


matahari
meledak
menyemburkan
api
kota terkepung
api
kota terpanggang
api
kota luluh-lantak
diamuk
angkara murka
berkobar-kobar
menyisakan hangus mayat-mayat
di jantungku
melelehkan bara amarah
di hatiku
menyimpan puing-puing luka
di jiwaku

kota
hilang bentuk
hilang rupa
hilang warna
remuk-redam
dibakar dendam
tak padam-padam

1997














Banjarmasin, 23 Mei 1997 (2)


dendam
politik
frustrasi
politik
putus asa
politik
marah
politik
murka
politik
brutal
politik
anarki
politik
provokasi
politik
darah
politik
jarah
politik
bakar
politik
api
politik
panas
politik
hangus
politik
bara
politik
asap
politik
puing
politik
mayat
politik
rakyat
dipolitiki
ambisi
politisi

1997
Doa Sederhana, 2


seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah
yang merasa tak pantas masuk surga
tapi takut pada panasnya api neraka

ya Allah,
aku pun takut azab neraka
tapi tak pernah takut masuk surga

                                                         1997

































Kepadamu Aku Bertanya


Mengapa fatamorgana dunia memabukkan ini sedemikian
mudah memerdaya akal sehatmu? Mengapa tatawarna
kekuasaan sedemikian menyilaukan dan membutakan
mata batinmu, sehingga engkau pun menjelma jadi drakula
pemangsa dan pengisap darah sesamamu?

Mengapa matarantai ketidakadilan semakin kokoh
membelenggu dan memenjara hidupmu, sehingga nurani
kemanusiaanmu menjadi pekak terhadap luka-derita
rakyatmu sendiri?

Mengapa bau busuk keserakahan engkau pendam dalam-
dalam di jiwamu, sehingga engkau pun tak lagi memiliki
rasa malu untuk memperkaya diri, anak-cucu, dan kroni-
kronimu. Sementara kemiskinan, kesengsaraan dan
kelaparan bersimaharajalela di negeri yang katamu gemah
ripah loh jinawi ini?

Mengapa setelah kekayaan negeri ini engkau gadaikan,
jarah dan kuras habis-habisan, berpuluh tahun lamanya,
hingga ekonomi bangsa ini sekarat, ah, betapa tak
berperasaannya ketika engkau menebar senyum berbisa
lalu terkekeh-kekeh mengumbar tawa, seraya menggumam
dalam hati kejimu: “peduli apa dengan keadaan negeri
yang hampir bangkrut ini, emangnya gue pikirin!”
Dan engkau pun tak sungkan-sungkan menghardik (walau
cuma dalam batin kotormu): “dasar kalian rakyat yang
dungu dan telmi alias telat mikir, rasain lu!”

Mengapa engkau berdalih bahwa tak sepersen pun uang
kau punya, padahal triliunan rupiah dan milyaran dolar
hasil jarahanmu sudah aman ngumpet di manca negara?
Mengapa lembaga peradilan yang diagung-agungkan
begitu gampang dikendalikan, sehingga untuk mengadili
mbahnya koruptor semacam engkau, para jaksa dan
hakimnya tak punya nyali, gemetaran dan lari tunggang-
langgang meninggalkan gelanggang persidangan bagaikan
melihat setan zombie gentayangan?

Mengapa engkau tak punya rasa malu memanipulasi fakta
sejarah? Mengapa engkau begitu leluasa menjarah daulat
rakyat? Mengapa engkau begitu menyepelekan harkat dan
martabat rakyat, begitu bernafsu menindas hak asasi manusia?
Mengapa engkau sedemikian ngotot mempertahankan rezim
kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan rekayasa
canggihmu?

Mengapa engkau tak bosan-bosan pidato dengan mulut
membusa? Engkau kelabui rakyat dengan sihir kata-kata
berbisa. Engkau bodohi rakyat dengan retorika
kenegarawananmu yang terbungkus strategi tipu muslihat,
padahal engkau pun tak menyadari bahwa rakyat ternyata
semakin kritis dan cerdas untuk merespons segala bualan
atau omong kosongmu. Mengapa demi kelanggengan
tahta engkau mesti berperilaku tak bijak bahkan begitu
bengis menangkapi dan menculik para aktivis yang tak
henti-hentinya mengkritisimu? Telah engkau bungkam
mulut kami, engkau rampok hati nurani kami, dan
engkau rampas hari depan warga bangsamu sendiri.

Wahai, engkau penguasa negeri berpuluh tahun lamanya
Apabila nuranimu ternyata masih buta dan tuli
Apabila nafsu berkuasa tak dapat engkau kendalikan
Apabila kebohongan dan tipu muslihat tidak engkau enyahkan
Apabila tirani di dalam diri terus engkau ternakkan
Apabila keadilan dan kebijaksanaan tidak engkau tanamkan
Apabila ketulusan dan keikhlasan tidak engkau tumbuhkan
Apabila kesadaran di pintu kalbumu tidak engkau bukakan
Maka tunggulah kehancuran dan siksaan
Akan engkau rasakan.

Wahai, kepadamu aku bertanya!

                                                                                      1998 













Instrumentalia Matahari


1
pada matahari aku bercermin
menatapi peristiwa demi peristiwa
yang terkadang tak kupahami
lewat bahasa isyarat cahayamu
berpendaran di jiwaku

cuaca tak lagi terbaca di dalam pijar bola matamu
kau pun tak pernah tahu, bagaimana aku senantiasa
memimpikan hujan pada dunia yang semakin panas
terpanggang peradaban ingar-bingar ini

musim yang meranggas
kusirami dengan air mata
dengan harapan dan cinta
kutanami dengan doa-doa
kecemasan dunia
ke pendakian abadi

2
inilah saat terbaik bagiku
untuk menuliskan bahasa gerak hujan
yang telah kuterjemahkan ke dalam ayat-ayat
 barangkali semacam puisi sejati
lalu atas nama kehendak angin
kubiarkan melayang-layang di udara tanpa nama
tiba-tiba aku harus membangkitkan kesadaran dan
keberanianku kembali memimpikan kebenaran
yang telah lama tersembunyi di saku batinku

3
matahari membakarku
langit hanya membisu
o, kepada siapa lagi aku harus menyatakan keadilan
di tengah simpang-siur abad menipu ini?
bagaimana pula aku harus membiarkan kesewenang-
wenangan menjadi ular kobra, penindasan dan
kekerasan menjadi singa, dan kebenaran berubah
menjadi arca?
bagaimana aku harus meyakinkan setiap orang yang
kukenal dan tak kukenal, bahwa matahari sebentar
lagi akan meledak dan menyemburkan hawa panas
beracun, menggetarkan semesta terbuka, menghadirkan
ajal, dalam memar luka kota dan gemuruh jalan raya
kehidupan, tanpa kompromi
mengabarkan kematian bagi keserakahan
dan kesombongan manusia

4
matahari berpijar
langit pun mendadak berubah warna
aku tahu, apa sesungguhnya yang tersimpan
di balik cahayanya yang membeku: amarah purba!
tapi tanpa dendam kesumat pada bumi
menggema ke semesta nuraniku yang mengerang
dihimpit ketiak peradaban
digerogoti kanker teknologi
digilas roda kehidupan yang makin sumpek
menjelma kebisingan yang menulikan pendengaranku
menelan teriakanku dalam gemuruh dunia
yang tak henti-henti mengejarku
dan mengasingkanku di belantara gedung-gedung
menjulang, monumen bisu menandai keangkuhan kota
menjelma pohon-pohon raksasa
dari sunyi ke sunyi
o, kuhikmati persenggamaan rohani
dengan kediaman batu
sendiri

5
matahari berdarah, menetes di tubuhku berkeringat debu
sudah sekian jauh aku berjalan, merangkak dan mendaki
tapi tak sampai-sampai ke puncak
tak henti-henti aku membaca gerak semesta-Mu
dalam kefanaan ruang dan waktuku
tak bisa kupantulkan suara
karena terhalang bangunan pencakar langit
yang mengajarkan kengerian
dan kota ini, kota ini telah mencurigai kehadiranku
yang tak mampu kompromi untuk mengkhianati
kebenaran, iman dan perasaan
demikian pun segala yang bernama ancaman,
teror dan interogasi
hanya menaburkan bahasa lelucon
yang tak terjangkau akal sehatku
juga impian sesaat dan kenikmatan semu

benda-benda duniawi yang berubah menjadi
arca berhala, tanpa kompromi, membuldoser
bangunan-bangunan kumuh yang mengapung
dalam benakku
matahari berdarah, membasahi jalan raya
menggelincirkan derap langkah pengembaraanku

6
o, kehidupan yang semakin panas dan berpijar
terbakar matahari
tak pernah kompromi pada kedamaian
takaran nilai keimanan pun sedemikian mudah
digadaikan, telah menjemukanku

ya Allah, tak tahan lagi rasanya aku bersentuhan
dengan kengerian ini: kengerian yang terus hadir
di belantara kehidupan maha lebat, gelombang dahsyat
lautan dan cakrawala yang menipu, korupsi yang
menari-nari, kolusi yang dirasionalisir, nepotisme yang
dilegalisir, pidato-pidato politik yang berubah jadi
logam berkarat, slogan-slogan, sopan-santun
dan kebohongan resmi, konsepsi-konsepsi yang
melambung, statemen-statemen sekarat yang membelit
lidah dan membusa bagai iklan sabun mandi dan shampo
di televisi, penuh dusta dan kemunafikan
o, inilah fragmen dari pertaruhan sebuah zaman yang kejam
pengap dan gelapnya peradaban yang mengerang

dengarkan aku bicara, o, matahari
di tengah kegelapan jalanku
aku ingin tenggelam dalam kediamanmu
menghadapi kehidupan yang tegang
hari depan yang mengambang di awan
berbagi susah dan senang, adalah bekal energiku
yang kuserap dari cahayamu
untuk menghadapi setting kehidupan
yang membeku di jalan
dan aku tak pernah tahu, bagaimana waktu terus bergulir
meninggalkan diriku – di antara hari esok yang tak pasti
bersama terang dan padamnya cahayamu

7
pada matahari aku senantiasa bercermin
menatap bayang-bayang wajah yang kosong
memandang dengan mataku yang terlanjur berdarah
: keputusasaan dan kehancuran kalian
yang dimiskinkan oleh rezim kesewenang-wenangan
aku menyaksikan dari ketinggian laut biru, gunung yang
menjulang: duka-derita yang membatu, tumbuh menjadi
tumor di kepala, menyimpan nanah bercampur air mata
membusuk dan berdarah, menggelegak dan melelehkan
lahar yang berkobar, menenggelamkan beratus desa dan
lahan produktif menjadi waduk raksasa di matahari

ya Rabbi, suaraku tertimbun di riak airnya
yang menggemuruh
apakah aku harus berenang melawan arus
apakah aku harus berserah diri ikut arus
apakah aku harus membiarkan diri mengambang,
terombang-ambing dan tetap bertahan dihantam arus?

ya Allah Yang Maha Rahman
di timbunan sampah peradaban yang serba tak jelas ini
sesungguhnya aku ingin diam saja – diam dalam sunyi
sesunyi puisi-puisiku di langit-Mu yang biru

8
ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa
atas segala sesuatu
di tengah-tengah tragedi peradaban dan kebudayaan
penuh tipu ini
aku ingin jadi seorang pengecut saja: menangis,
cengeng, dan tolol
sebab aku tak memiliki keberanian ikut meneriakkan
dan memperjualbelikan nama-Mu menjadi zombie
kemunafikan
di tengah-tengah realitas sosial yang membangkai,
wajah politik yang cemberut, kebudayaan plastik,
kesenian imitasi, perilaku dan sekian pamrih
yang sedemikian kotor dan tidak pantas
mengucap kebesaran-Mu

telah melesat matahari bersama burung-burung pindahan
yang telah kehilangan sarang dan kicau merdunya
hinggap di benakku dan menzikirkan ajal duniaku
aku menyaksikan awan menjadi gumpalan darah
menyebarkan bau busuk di udara membeku
menjadi lumpur yang melekat di mataku


hingga tak bisa lagi melihat matahari
menjemput pohonan
yang berubah menjadi semak terbakar di jantungku

9
padamu, o, matahari
cintaku tak pernah padam
hingga kunci kebenaran yang kukejar
menjelma bayang-bayang impian
terbalut estetika kata tanpa makna

padamu, o, matahari
kudaki seribu abad ketinggianmu
dengan gemuruh takbir dan zikir
dengan sepenuh doa dan air mata
memetik hikmah ketegaran dan ketabahan
bersama musim, cuaca, dan kerinduan
yang tumbuh dari cahaya cintamu

padamu, o, matahari
yang memancarkan ketajaman cahaya
hingga menembus kabut yang bersarang di hatiku
membentur jurang-jurang tindakan
mengekalkan keasingan
di antara gedung-gedung kaca menjulang
memadamkan matahari berkobar
dalam jiwaku yang tiada

                                                                       1999
















Reportase dari Kaki
Pegunungan Meratus


Inilah reportase mengerikan
Dari kawasan pegunungan Meratus
Yang mulai meranggas
Menjelma hamparan nestapa
Menyisakan bilur-bilur luka

Inilah berita memilukan
Yang tak sempat terbaca
Tentang tebing-tebing yang longsor
Tentang tanah yang retak-merekah
Tentang batang dan ranting yang hangus
Daun-daun layu dan kering
Kabut asap liar menggumpal dan menari-nari
Batu-batu merintih
Pohon dan satwa pun bersedih

O, Meratus nestapa
Masih pantaskah aku menyebutmu cantik rupawan
Teguh mempertahankan tradisi warisan
Petuah para leluhur-moyang
Menjaga mahkota keperawanan tegar bertahta
Terhindar dari segala marabahaya dan bencana

– desing gergaji mesin berdesingan, melengking-lengking, meraung-raung, melolong-lolong, memekakkan gendang telingaku, menggedor-gedor dan menyayat-nyayat dinding jiwaku, bagaikan pendekar ninja tanpa ampun dengan beringasnya membabat-libas dan menumbangkan pohonan raksasa di kawasan hutan Meratus Kalimantan Selatan. Hutan lindung seluas 554.139 hektare itu telah berubah statusnya menjadi hutan produksi terbatas. Pesona hutan perawan itu terancam. Memang, menurut teori, di hutan produksi terbatas ini hanya pohon berdiameter 60 centimeter ke atas yang boleh ditebang. “Tetapi, siapa yang dapat menjamin tidak akan ada penebangan sembarangan?” tanya Musa, seorang Kepala Adat Suku Dayak Meratus, yang tinggal di tepi hutan lindung itu.



O, Meratus sengsara
Aku pun tersentak mendengar keluh dan isak-tangismu
Telah aku saksikan hutan dan isi perutmu dijarah membabi-
buta, tanpa akal dan nurani. Telah aku saksikan raungan
gergaji mesin dengan buasnya menyembelihmu tanpa
ampun. Telah aku saksikan buldoser mengerang-erang
menumbangkan keperkasaanmu, tanpa kompromi, dengan
bahasa keserakahan dan kesombongan manusia.
Maka aku pun tak sanggup lagi bertanya tentang hari
depanmu. Karena hari depanmu adalah buldoser, eksavator,
chainsaw, dump truk, tronton raksasa, kontiner, tongkang,
ekspor non migas, dan mesin-mesin peradaban. Karena hari
depanmu telah menjelma virus teknologi super canggih
yang bersemayam di jantungku. Karena hari depanmu
hanyalah sebuah kehancuran; erosi, longsor, kolam-kolam
raksasa bekas galian batu bara tanpa reklamasi, banjir
bandang, kobaran api, kabut asap, suara bising,
keputusasaan, rasa dendam dan amarah purba. Karena hari
depan bagimu hanyalah ketidakberdayaan
bahkan sejarah pun tak lagi mencatat
bahwa keperkasaan alam pernah kau miliki
juga hamparan hutan perawan yang asri

Inilah berita menyakitkan
Dari Meratus yang terluka
Meratus yang menangis
Air matanya menjelma banjir di setiap musim hujan
Hingga ladang dan kebun kehidupan tenggelam
Kota-kota dan desa pun menjelma jadi lautan

O, paduka gubernur, bupati, walikota yang terlena
menikmati singgasana tahta, yang merasa diri
dilegitimasi kesaktian panah dewa. Jangan seenak udel
kalian bikin peraturan tidak konsisten tentang
pengelolaan sumber daya alam, tanpa memedulikan
kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia.
Dengan dalih keberlangsungan pembangunan, menyokong
pendapatan asli daerah, kepentingan pertumbuhan
ekonomi, dan untuk kemakmuran rakyat, telah kalian
tolerir izin ratusan perusahaan pemegang hak pengusahaan
hutan, surat keterangan sahnya hasil hutan, dan kuasa
pertambangan. Kalian pun kura-kura dalam perahu, pura-
pura tidak tahu, maraknya praktik illegal logging dan
illegal mining yang kian leluasa dan membabi-buta
mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan sumber
daya alam kita. Kalian komersialisasikan hutan, sementara
kepentingan konservasi terabaikan dan tak dipedulikan.
Telah kalian lahirkan keputusan dan rekomendasi tidak
bermartabat, atas nama pemberdayaan masyarakat
setempat. Telah kalian jungkir-balikkan hukum alam
dan hukum adat. Telah kalian perjualbelikan hukum
Tuhan dan agama untuk mengintimidasi, melawan,
menindas dan memerkosa hak-hak rakyat.
Kalian harus bertindak dan punya nyali menolak
kebijakan pemerintah pusat. Sudah saatnya kalian lakukan
moratorium penebangan hutan Kalimantan Selatan.

O, paduka penegak hukum yang kongkalikong dengan
para cukong dan mafia pembalakan hutan dan penambang
liar. Telah kalian rekayasa proses hukum dengan metode
tebang pilih, sehingga penjahat perusak lingkungan yang
telah memorak-porandakan bumi dan kehidupan bersuka-
cita menghirup udara kebebasan. Mereka semakin
bersuka-ria mengendalikan bisnis haram
di lahan kehancuran alam
sementara penegakan hukum pun makin suram

Meratus yang uzur
Meratus yang lelah
Nyanyi pedihmu
Tangis di hatiku

Saudara-saudaraku, senasib sepenanggungan
Apabila ketenteraman telah terusik oleh kebisingan
Apabila kesejukan dan kesegaran tercemar oleh kekotoran
Apabila keluguan dan keikhlasan dibayar dengan penindasan
Apabila kejujuran dimanipulasi menjadi kebohongan
Apabila kearifan alam disambut dengan kehancuran
Apabila keramahan diteror dengan bahasa kekerasan
Maka tak ada lagi pilihan, Saudaraku
Kecuali kalian harus melawan, lawan dan teruslah melawan
Hingga tetes darah penghabisan!

                                                                               2000






Palestina, Palestina,
Tak Bisa Aku Melupakanmu


Palestina, Palestina
Tak bisa aku melupakanmu
Sejak berpuluh tahun lalu
Setelah tragedi memilukan Sabra dan Shattila
Sejarah telah mencatat tanahmu senantiasa berdarah
Nyanyian nestapa berkepanjangan

Palestina, Palestina
Tiba-tiba kini aku ingat kesengsaraan nasibmu
Seperti berpuluh tahun lalu
Aku mengenangmu dari lembaran koran dan
layar televisi
Seperti aku mengenang negeriku yang sering pula
dilanda rusuh dan kekerasan
Dentuman bom rakitan terdengar di mana-mana
Memorak-porandakan apa saja
Membinasakan siapa pun juga
Palestina, Palestina
Tidak seperti musuh-musuhmu yang sudah jelas siapa
Di negeriku, musuh bangsaku adalah bangsa
setanah airnya sendiri
Sejarah pun tak pernah bosan mencatat
Bahwa di negeriku segala kekerasan dan kebiadaban
Juga terorisme, selalu saja berulang
Dan tergambar jelas di peta nuraniku yang mengerang

Palestina, Palestina
Tak pernah henti tercabik dan terkoyak
Gaza membara, Hebron bergolak, Ramallah luluh-lantak
Palestina berduka, Yasser Arafat tercenung putar otak
Perundingan, diplomasi, dan gencatan senjata
hancur berserak
Sementara di kaca televisi aku saksikan Ehud Barak
Menggenggam handphone sambil ber-SMS ria
Dan memencet-mencet remote control
Untuk mengendalikan tank Mirkafa
Dan helikopter tempur Apache, di atas kloset
Kotoran Yahudi-nya pun berceceran di sepanjang
Jalur Gaza
Dan si flamboyan Tuan Bill Clinton
Dengan senyum culasnya ngintip dari balik gordin White House
Tawanya terbahak hingga langit Timur Tengah bergetar
Dan Ariel Sharon, sang provokator dan penjagal: Apa
kabar, dan ngumpet di mana, Tuan?
Sementara sang jenderal bermata satu, Moshe Dayan
Meratapi kedunguannya sendiri di liang kuburan

Palestina, Palestina
Tak pernah henti berdenyut
Bagaimana bisa aku melupakan
Duka-deritamu yang membatu

Palestina, Palestina
Tak pernah padam resah
Tak pernah pudar amarah
Hari-hari terluka
Hari-hari berdarah
Hari-hari mengaduh
Hari-hari merintih
Hari-hari mengerang
Hari-hari meradang
Hari-hari meraung
Hari-hari kematian
Hari-hari perkabungan
Hari-hari berduka
Hari-hari berdoa

Palestina, Palestina
Bagaimana bisa aku melupakan
Nestapa saudara-saudaraku
Bagaimana mungkin aku melupakan
Semangat revolusioner dan jihad saudara-saudaraku
Di Tepi Barat dan jalur Gaza yang membara
Amarah anak-anak muda Intifadah Al Aqsa
Bagaikan badai gurun pasir dan gemuruh
ombak samudera
: “Kami akan melanjutkan intifadah. Batu melawan
pesawat tempur canggih, ketapel melawan tank
Mirkafa, dan jihad melawan kafir zionis,” teriak
Abu el-Unis
Sementara dari tayangan televisi aku saksikan
anak-anak muda Indonesia dengan lantang dan
semangat patriotik meneriakkan yel-yel jihad
fisabilillah dan kutukan atas kebiadaban serdadu

zionis Israel
O, apalah artinya beribu kutukan
bagi imperialisme Yahudi berkepala batu?
Aku pun teringat kata-kata penyair Nizar Qabbani:
“Tragedi kita bukan rahasia.
Bakat kita bersorak, bukan bertindak”

Palestina, Palestina
Hari-harimu, o, dalam penantian panjang melelahkan
Hari-harimu dalam pengungsian membosankan
Dan tak berkesudahan
Hari-harimu dalam teror mengerikan
Hari-harimu dalam angan-angan di tanah harapan:
Tanah Palestina Merdeka, tapi entah kapan?

                                                                          2000





























Fragmentasi Api, Angin,
Air, dan Matahari


akulah api
terus menyala
terus berkobar
tak padam-padam
membakar negeriku
membakar sajak-sajakku

akulah angin
terus berpendar
ke segenap cuaca
ke segenap waktu
ke segenap penjuru
siang dan malam
tak henti-henti
mengirim topan dan badai
menggetarkan semesta
mengabarkan kematian
bagi keserakahan dan kezaliman
atas kekuasaan

akulah air
terus mengalir
ke sungai-sungai
ke laut-laut
ke pulau-pulau
ke bakau-bakau
ke payau-payau
ke ranjau-ranjau
membanjiri jalan raya kehidupan
hari depan negeri tak berkepastian

akulah matahari
terus berpijar
terus beredar
di tengah peradaban ingar-bingar
di kancah pertarungan kalah-menang
di arena ketidakjelasan hukum dan peradilan
di lorong-lorong gelap kemiskinan
di negeri yang dibangun para pahlawan
di negeri yang dibongkar para bajingan

akulah api
akulah angin
akulah air
akulah matahari
tak punya tempat berpijak
di negeri yang entah milik siapa
di negeri asing tak kukenal
padahal aku lahir, ada dan tercipta
dari kesuburan rahim bunda
di tengah gembur tanah dan kekayaan alamnya
kini menanggung segunung dan selaut hutang
tak terlunaskan

akulah api
akulah angin
akulah air
akulah matahari
senantiasa memimpikan keadilan
senantiasa mempertanyakan keadilan
o, keadilan, keadilan, keadilan
di manakah kamu?

                                                                   2000





















Air Matamu yang Mawar

                                       buat Nurul Izzah Anwar Ibrahim


Kebenaran seperti apa yang kau cari dari hidup ini
Ketika cakar kekuasaan mencabik hukum dan keadilan
Tanpa kompromi, dikekalkan dendam dan amarah
Tanpa telinga dan nurani, menjelma gelombang
Yang menghempaskan tebing jiwamu
Hingga kenyataan yang kau saksikan dari dunia
di luar mimpi
Adalah kemerdekaan yang telah dirampas habis-habisan
Oleh rezim represif, teror, dan pengkhianatan
Hanyalah cerita usang yang selalu saja berulang
Menjadi konsumsi berita headline koran dan televisi
Ada jerit kesakitan dari ruang interogasi
Ada harga diri terinjak-injak dan nasib yang retak
Mengabarkan keluh-kesah sunyi dan keterasingan
Yang membentur keangkuhan dinding-dinding penjara
Sedangkan bulan meledak di kedalaman dada bapakmu

Kini sudah saatnya kau kibarkan bendera perlawanan
Atas nama ayat-ayat kebenaran
Hunjamkan pisau keberanian
Hingga darah dan air matamu yang mawar
Mengaliri negeri yang ditindas tirani dan kezaliman
Bahasa politik, kekuasaan, dan korupsi
Yang meracuni hati manusia

Maka janganlah menyerah
Sebab sejarah akan tetap menulis namamu
Dengan tinta merah

Dari tatapan matamu yang paling mawar
Aku mencium ketulusan paling nyata
Seperti embun dan lembut lilin
Menjelma kasih sayang bagi kebenaran
yang kau damba

Diam-diam aku merasakan
Air matamu yang harum
Mengalir dari sajakku ini

                                                       2001
Sampit


Duh, Sampit
Neraka apa ini
Berkobaran api
Angkara murka
Membakar amarah
Tak padam-padam
Hamparan puing-puing
Dendam kesumat
Dan kebencian memuncak
Tak redam-redam

Siapakah dalam luka
Menyenandungkan lagu duka?

Langit pun merah
Semerah bara
Matahari berdarah
Bulan berdarah
Kota berdarah
Ribuan jasad berdarah
Berserak di tanah basah
Mengambang dan mencemari
Sungai kehidupan

Siapakah dalam kengerian
Bersorak kemenangan?

Duh, Sampit
Petaka apa pula ini
Adakah yang lebih nikmat
Dibanding saling tikam
Adakah yang lebih terhormat
Dibanding saling terkam
Adakah yang lebih bermartabat
Dibanding saling santet pelampias dendam
Adakah yang lebih kuat
Dibanding hati nurani yang lebam
Adakah yang lebih hebat
Dibanding kesaktian jiwa yang padam



Siapakah dalam tangis dan jeritan
Membayangkan hari gelap masa depan
Di barak-barak kumuh pengungsian?

Duh, Sampit
Tragedi macam apa ini
Sejarah telah menulis namamu
Dengan tinta merah
Lebih merah dari darah
Di lembaran kekerasan dan pembantaian
Di peta nurani kemanusiaan yang hilang
O, peradaban negeriku yang mengerang

Langit pun menangis
Tanpa air mata

                                                    2001




























Meditasi Rindu

                        bagi ayahanda Hijaz Yamani

1
Mengingat kembali dirimu
Keterasingan dan sunyi pun menyapa
Menulisi air mata, di antara kata-kata liar buruanku
Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan
Serombongan camar membelah laut
Kumandang takbir melayang-layang di udara
Menyusuri riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca
Selalu kubaca, berulang-ulang aku membacanya

2
Tiba-tiba rinduku padamu memuncak
Menjelma jadi sebuah menara kaca menjulang
Mengajari udara beterbangan
Dengan kesabaran
Mengusik angin dan cuaca
Cahaya matahari mengirimkan salam dan doa
Yang tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu
Dalam keheningan sempurna

3
Bayang-bayang wajahmu
Menjelma jadi rembulan dan bintang-bintang
Di hamparan sajadah kebijaksanaan
Kekhusyukan tasbih dan tahmid
Dengan kesetiaan samudera
Berkelebatan ayat-ayat
Berkilauan rahasia-rahasia
Tebing-tebing mimpi dunia
Yang diselimuti kabut
Dalam tahajud sunyi

4
Mendaki, mendaki
Mendakilah!
Meditasi, meditasi
Meditasilah!
Hingga ke puncak zikir kembara
Telah engkau reguk kehidupan fana
Dengan linangan air mata
Telah engkau enyahkan kilau-kemilau
Dan kecemasan dunia
Menuju ketenangan maha sempurna


5
Telah engkau tamatkan membaca beribu ayat
Hingga menerangi alam semesta
Telah engkau tuntaskan tafakkur dalam keheningan
Berkhalwat dalam gumam salawat
Berharap pancaran cahaya Rasul Muhammad
Mengembara di keluasan padang mahsyar
Telah engkau kumandangkan takbir
Tak habis-habis bertakbir
Di keluasan sajadah keangungan-Nya
Hingga setiap sujud dalam rakaat demi rakaatmu
Menyentuh lantai surga

6
Sedangkan aku di sini, di puncak kerinduan ini
Beribu tahun memunguti kesepian tak terperi
Dalam ketidakberdayaan – di ruang kefanaanku
Dan menanti, akankah kau bakal datang lagi
Dengan senyum tulusmu
Kemudian pergi begitu saja, tanpa pamit dan jejak
Bersama mimpiku yang mawar
Juga rinduku tak terpuaskan

7
Sebagaimana sajak-sajak yang mengalir
Dari kawah batinku, pada setiap puncak pendakianku
Selalu saja menulisi kecemasan dunia
Menangisi luka bulan, bintang-bintang, dan matahari
Mentasbihkan kebijakan dan kebajikan
Menzikirkan kebaikan dan kebenaran
Yang pernah kau ajarkan diam-diam padaku
Seperti kediaman batu-batu

8
O, bapak, sebagaimana sajak-sajakmu
Yang kini tak bisa lagi bicara
Tetapi masih saja berulang-ulang kubaca
Senantiasa aku membacanya
Sebagaimana aku terus belajar mengeja
Dan mencari kata-kata
Sebagaimana aku terus belajar membaca
Isyarat dan gerak zaman
Sambil mengumandangkan ayat-ayat kebenaran
Dengan cahaya zikir semesta
Dan air mata doa
Mengkristal dalam jiwamu yang mawar
Bersemayam cahaya maha cahaya-Nya

                                                                               2001


Tanah Perjanjian

                         untuk almarhum Ajamuddin Tifani


Sampai juga waktu
Yang kau tunggu-tunggu
Dan kau rindu-rindu
Memasuki kesendirian abadi
Di tanah yang kau janjikan kali ini

Batu-batu memuntahkan darah
Mengubah sungai menjadi dataran merah
Menyibak buih ombak, membelah lautan sunyi
Pada nisan bersayap matahari
Cakrawala berteriak
Burung-burung dan pohonan juga berteriak
Semua berteriak
Kemudian hening
Seperti sedia kala
Kembali ke sunyi

Kaulah kini sang pejalan abadi
Menemu puncak pendakian hakiki
Demikian pun doa berabad-abad tak terselesaikan
Yang terasa sulit kau lafalkan
Dalam memar luka rimba peradaban
Tak sia-sia dikirimkan

Kini tak ada lagi kata-kata
Sebab kata-kata telah ditelan gelombang air mata
Kini tak ada lagi sajak-sajak tentang langit dan laut
Sebab sajak-sajak juga tak berdaya di depan sang maut
Kini tak ada lagi diskusi dan debat sajak-sajak gelap
Tak ada Hallaj, Camus, Nietczhe, dan Herakleitos
Tak ada Socrates, Sartre, Mallarme, dan Boudelaire
Tak ada Lorca, Neruda, Li Po, Wang Wei dan
Su Tung Po
Tak ada Kawabata, Mishima, Zen, Tao, dan Buddha
Tak ada Attar, Iqbal, Rumi, Gibran, Ghazali,
Khayyam, Hafiz, Firdausi, Ibnu ‘Arabi,
Amir Hamzah, Hamzah Fansuri, dan Raja Ali Haji
Tak ada Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin Sumatrani,
Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari, Syaikh Nawawi
Al Bantani, Yasadipura, dan Ronggowarsito
Tak ada Walisongo, Syech Siti Jenar,
dan Abdul Hamid Abulung
Tak ada Jassin, Takdir, Chairil, Tardji, Abdul Hadi,
Danarto, Goenawan, Iwan Simatupang, Sitor Situmorang,
Sapardi, Taufiq, Rendra, Ainun Nadjib, dan Malna
Tak ada kontemplatif, imajinatif, sufistik dan profetik
Tak ada panteisme, tasawuf dan wahdatul wujud
Tak ada sufisme dan panteisme
Tak juga filsafat, tarekat, dan makrifat
Atau hakikat kesempurnaan rakaat ke rakaat

Telah kau reguk kenikmatan ruang dan waktu
Dan telah kau selesaikan pengembaraan menghitung dunia
Tak peduli untung atau rugi
Telah kau tamatkan membaca kitab suci kebenaran
Hingga menemukan cahaya Illahi
Dalam istirahmu maha sempurna

O, betapa sunyi usia manusia

                                                                  2002

























Jalan Sunyi Pendakian


Jalan-jalan sunyi membaca jejakku
Membaca pengembaraanku tanpa tuju tanpa waktu
Dan tanpa matahari
Menyeret tubuhku ke pendakian abadi

Seribu abad aku mendaki – mendaki dunia
Tak henti-henti kudaki, tak siang tak malam
Dalam keasingan dan sunyi
Dalam keheningan sempurna
Tahajud dan doa
Sendiri

Di jalan sunyi dan mendaki
Aku berjalan dan terus berjalan
Menelusuri peta-peta nama usia
Melafalkan bait-bait ayat-Mu
Menafsiri misteri maknanya
Di kerahasiaan maha rahasia-Mu

Entah menuju ke mana dan akan sampai di mana
Perjalanan melelahkan tanpa istirah
Aku ingin pulang
Menemu rindu

                                                            2002

















Luka Sajak

                      bagi Jamal D. Rahman


luka sedalam sajakmu
jangan kau tampung nyeri

luka seperih sajakmu
jangan kau simpan duri

luka sediam sajakmu
jangan kau timbun sunyi

                                             2003






























Sajakku Tak Pernah
Selesai Menulismu

            buat anakku: -  Muhammad Adhitya Hidayat Putra
                                     (Matahari Merah Saga)
                                  -  Dita Rebana Hidayat Putri
                                     (Bulan Merah Jingga)


Suatu saat, entah kapan, bila aku pergi,
entah sesaat atau selamanya, entah pulang
atau tak kembali, janganlah cemas dan risau
Aku senantiasa mengingatmu, anak-anakku.
Bila ternyata aku tak pulang-pulang
dari pengembaraanku berbilang hari, minggu,
bulan, tahun dan berabad-abad, janganlah
sedih dan berduka. Aku selalu merindukanmu.

Tanpa keberadaanku, matahari, bulan dan
bintang-bintang akan selalu menyinari
kehidupanmu. Janganlah mencari di mana
dan ke mana kepergianku. Cukuplah dikenang
masa-masa kebersamaan kita; susah-senang,
suka-duka, yang tak mungkin terhapuskan
dari ingatan.

Dengan kepergianku kali ini, tak ada yang
lebih berharga untuk kuwariskan kepadamu,
kecuali bertimbun sajak. Janganlah kalian berduka,
sedih dan menangis, sayang. Sajak-sajakku selalu
menulisimu, walau tak pernah selesai.

                                                                  2003












Memo Usia


langit dan bumi
makin dekat
tak lagi berjarak

usia berlari
mengejar waktu
ke ruang tunggu
yang berdebu

langit makin biru
bumi pun kelabu
di gelombang waktu
yang membeku

usia telah mengurungku
dalam hari menyembilu
dan maut yang menderu

                                               2004























Duh, Aceh


duh, Aceh
petaka apa ini
bergetaran tanah
bergemuruh ombak
bagaikan monster terluka
melampiaskan dendam
memuntahkan murka
lautan perkasa
bagaikan raksasa lapar
menerkam apa saja
menggulung dan melumatkan siapa saja
meluluh-lantakkan entah apa

siapakah dalam nestapa
menyenandungkan lagu duka
: dukamu, dukaku, duka kita

langit pun berubah warna
menjadi hitam
laut hitam
pantai-pantai hitam
pohon-pohon hitam
jalan-jalan hitam
rumah-rumah hitam
pasar-pasar hitam
kampung-kampung hitam
kota-kota hitam
ribuan jasad hitam
berserakan di tanah-tanah hitam
mengambang di sungai-sungai hitam

siapakah dalam kepanikan
dan keputusasaan
merintih pilu meratapi luka
: lukamu, lukaku, luka kita

duh, Aceh
bencana apa pula ini
adakah ini pertanda akhir dunia
atau hanya kiamat sughra
adakah ini teguran Tuhan
dengan ujian dan bala yang diturunkan
agar kita lebih arif memaknai kehidupan

siapakah dalam tangis dan jeritan
membayangkan hari gelap masa depan
: masa depanmu, masa depan kita
mari bersama kita bangkitkan

duh, Aceh
sejarah telah menulis namamu
dengan tinta hitam
sehitam tragedi negerimu
di lembaran petamu yang terkoyak
dan nyaris sirna
sejarah telah mengabadikan dukamu
di negeri yang tak pernah henti
diteror bencana

                                                   2005


























Di manakah Kamu

                      bagi penyair Maskirbi dan Nurgani Asyik


Di manakah kamu, Maskirbi?
Di manakah kamu, Nurgani?
Kucari-cari kamu di buku-buku antologi puisi
Yang berserakan di jalan-jalan, di sepanjang trotoar
Kucari-cari kamu di celah-celah puing
Yang mencemari Masjid Raya Baiturrahman
Sia-sia menemukanmu
Kucari-cari kamu di layar televisi, di halaman koran
Kucari kamu di rubrik sastra dan gedung kesenian
Aku terus mencari jejak-jejakmu
Di kota-kota tak bernama, hilang dari peta
Hanyut bersama derasnya arus syair-syair lautmu
Sia-sia menggapaimu

Di manakah kamu, sahabat-sahabat baikku?
Adakah kamu di antara ribuan mayat bergelimpangan
Di sudut-sudut kota dan jalan-jalan raya
Adakah kamu terbenam di genangan lumpur,
Di onggokan sampah, dan di reruntuhan bangunan
Adakah kamu tersangkut di pohonan, di kolong jembatan
Atau terdampar di pantai Ujong Batee, Ulee Lheue,
dan Lhok Nga?  
Atau mungkinkah tertimbun di kuburan massal?
Sia-sia saja aku membayangkan

Di manakah kamu, penyair-penyair perkasa?
Apakah telah kamu selesaikan bait-bait terakhir puisimu
Tentang pantai dan laut Nanggroe yang menawan
Lalu kamu bacakan dengan suara serak
Dan tangan mengepal ke udara
Ditimpali irama menyayat musik Ding Dong

Di manakah kamu, penyair-penyair bersahaja?
Sudahkah kalian sampai pada penyeberangan terakhir
Setelah berabad-abad melayari angin
Di antara pepohonan bakau, pasir-pasir kering
Dan laut yang gebalau


Sebaris hikayat kini benar-benar lenyap
Disapu bencana gelombang maha dahsyat
Dan puisi-puisimu yang bersayap
Kusimpan di peta nurani dan di setiap senyap

                                                                            
                                                                2005





























Tentang Laut


Laut bagiku
Adalah metafor kebebasan
Bukan kecemasan atau kengerian

Laut bagiku
Adalah pelayaran dan petualangan
Menaklukkan angin, badai, dan gelombang

Laut bagiku
Adalah keluasan dan ketulusan
Saling memberi dan menerima
Bagaimana pun cuaca

Laut bagiku
Adalah rahmat dan berkah
Tak pernah sudah

Laut bagiku
Adalah harapan terbentang
Bagi jiwa yang senantiasa berenang

Laut bagiku
Adalah sekutu bukan seteru
Adalah kawan bukan lawan
Saling menjaga perasaan
Dan memelihara kemesraan

Laut bagiku
Bukan monster menakutkan
Meluluh-lantakkan daratan
Dengan kedahsyatan ombaknya

Laut bagiku
Senantiasa menyimpan misteri badai
Aku pun tak takut terdampar di kesunyian pantai

Laut bagiku
Adalah keseimbangan alam semesta
Tak pernah takut aku mengarunginya

                                                                  2005

Membaca Bahasa Sunyimu

                                        untuk Isbedy Stiawan ZS


Membaca bahasa sunyimu
Tergambarlah semesta kehidupanmu yang berdebu
dan menghitam bagai arang. Bertahun-tahun kau
simpan diri dalam ruang dan waktu. Bertahun-tahun
kau lebur dalam doa dan zikir khusyukmu. Bertahun-
tahun kau tulisi keperihan dalam sajak-sajakmu.

Membaca bahasa sunyimu
Tak bisa kutafsirkan makna angin dan gelombangmu,
rahasia laut dan badaimu, ketinggian awan dan
hujanmu. Berabad-abad makna sunyi kau simpan,
tapi bahasa kekerasan dan kecemasan masih saja
menghantuimu. Berabad-abad sudah pembantaian,
luka, darah, dan kematian terus mengalir di tanahmu.

Membaca bahasa sunyimu
Tak habis-habis aku membaca huru-hara, teror, dan
bencana. Begitu mengerikan, menikam-nikam nuraniku
hingga koyak. Kata-kata dan sajak pun telah menemui
ajalnya.

Membaca bahasa sunyimu
Aku nyaris melupakan bahasaku sendiri – berabad-abad
hilang dalam kegelapan dan kesunyian.

                                                                           2005













Hutan di Mataku


sebuah hutan
tak bernama
tak berpeta
tak terbaca
terhampar di anganku

sebuah hutan
tak berpohon
tak berakar
tak berdahan
tak beranting
tak berdaun
terbakar di jantungku

sebuah hutan
menjerit-jerit
melolong-lolong
mengerang-erang
meraung-raung
merintih-rintih
terkapar di lorong jiwaku

sebuah hutan
menjelma jadi api, asap,
bara, dan puing
berserakan di ruang sunyiku

sebuah hutan
adalah luka adalah duka
sebuah hutan
adalah perih adalah pedih
sebuah hutan
menjadi hujan di mataku
menderaskan bencana
berkepanjangan

                                             2005





Aku Sampan
Kau Sungai


karena aku sampan
dan kau sungai
maka mengapunglah aku
di riak gelombangmu

karena kau sungai
dan aku sampan
maka larutlah aku
di deras arusmu

karena sampanku
mengapung di sungaimu
bawalah aku
ke mana maumu

karena sungaimu
melarutkan sampanku
dari hilir ke hulu
bawalah aku
menuju muaramu

                                              2006



















Beribu Kata


beribu kata berdesakan
berteriak, ingin segera keluar
dari benakku yang memar

beribu kata bergelantungan
jumpalitan, ingin segera meloncat
dari dinding jiwaku yang penat

beribu kata berjatuhan
ada yang mati dan pingsan
ada yang matanya melotot
ada yang lidahnya terjulur
sungguh mengenaskan
dan mengerikan
tak pernah terbayangkan
tak pernah terkatakan

beribu kata berserakan
merintih-rintih kesakitan
ingin segera ditolong dan diselamatkan
dari keperihan lukanya tak terperikan

beribu kata tergeletak diam
satu demi satu kutikam
dengan pisau rinduku yang berkilat tajam
melampiaskan rindu dendam

                                                                  2006














Tak Bisa Kucatat dalam Sajak


begitu banyak peristiwa
melintas di mataku
mendengung di telingaku
mengendap di benakku
dan menyayat-nyayat batinku
tak bisa tercatat dalam sajakku

begitu banyak kata-kata
menari-nari di mataku
meloncat-loncat di telingaku
meliuk-liuk di benakku
dan menggelinding di batinku
tak bisa tercatat dalam sajakku

begitu banyak peristiwa
dan kata-kata
lunglai tak berdaya
ketika kucoba
membangunkannya

                                                2006



















Dongeng tentang Seorang Bocah dan Batu


Seorang bocah bermain-main sendirian
di bawah rimbun pepohonan. Tiba-tiba ia menemukan
sebutir batu berkilauan berwarna kebiruan
Dipungutnya batu itu lalu bergegas lari ke rumahnya
Dengan polos ia tanyakan pada ibunya
tentang batu ajaib temuannya
“Ibu, ini batu apa dan milik siapa? Apakah Tuhan yang
melontarnya dari ketinggian langit sana?”

Sang ibu terkesima, tak mampu berkata apa-apa
karena seumur hidup tak pernah dilihatnya
batu teramat indah memesona
di genggaman tangan anaknya
yang memancarkan cahaya
sedemikian kemilaunya
hingga menyilaukan matanya.

Sang bocah bergegas menyembunyikan batu itu
ke dalam kaleng tempat ia menyimpan
kelereng-kelerengnya. Ia pun tertidur, lelap sekali
dan bermimpi tentang batu itu yang mengendap-
endap keluar dari kaleng kelereng, lalu secepat kilat
melesat ke udara malam dan menembus gumpalan
awan biru, menghilang ditelan langit biru.
Si bocah terjaga dari tidur dan misteri mimpinya.
Dengan perasaan was-was, pelan-pelan dibukanya
tutup kaleng kelerengnya. “Ibu, batu ajaibku sirna,
siapa yang mencurinya?” teriaknya lantang, memecah
sunyi malam. Air matanya pun berderai, seperti malam
yang terus mengurai. Sang ibu pun tersentak,
dihampirinya sang anak, lalu dibujuk dengan
sepenuh cinta. “Sudahlah, nak, ikhlaskan saja batu itu
pergi ke asal-muasalnya. Mungkin ia juga rindu rumahnya
di ketinggian langit sana,” kata sang bunda sambil
memeluk bocah lelakinya dengan sepenuh kasih sayang.
“Tapi batu itu tak mungkin lagi kembali ke bumi, ibu,”
timpal sang bocah dengan tangis belum juga mereda.
Dengan perasaan haru sang ibu berupaya meyakinkan,
“percayalah, nak, suatu saat nanti bila kau sudah dewasa,
batu kesayanganmu itu pasti akan kau temukan kembali
dengan warna birunya yang lebih biru dan berkilauan”.

Sang bocah itu kini sudah dewasa
dan pandai bikin puisi dari imajinasi liarnya
dari mimpi-mimpi aneh yang senantiasa menghampirinya
mimpi menelan batu temuannya yang hilang dulu
mimpi tentang dirinya sendiri yang tiba-tiba raib
ditelan oleh batu berwarna biru berkilauan itu.


                                                                          2007






































Telah Kuhapus Kata-kata*


telah kuhapus kata-kata yang pernah kutuliskan
sebab tak ada lagi yang bisa kutawarkan
selain kesunyian dan kecemasan
atau kekosongan dan kekecewaan
hingga langit yang kutasbihkan
pecah berkeping dan jatuh di lautan

telah kuhapus kata-kata yang pernah kuucapkan
sebab laut jiwaku tak kuasa menerjemahkan
rahasia angin, badai, dan gelombang
sebab perahu jiwaku yang retak makin gamang
putar haluan atau meneruskan saja pelayaran

telah kuhapus kata-kata
dan biarlah segalanya kulupakan
sebelum matahari, bulan, dan bintang-bintang
tak lagi memancarkan sinarnya
pada diriku yang tiada

                                                                         2007


____________
* 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 – Anugerah Sastra Pena Kencana
    (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008)















SOS Kalimantan Selatan


Teruslah perkosa aku
senafsu-nafsu syahwat rakusmu
tebas dan cabik-cabik tubuhku
sebirahi-birahi erangmu
cakar dan bongkar isi perutku
sepuas-puas raungmu.
Lemparkan jasadku
dari ketinggian jurang menganga
hingga ruhku melayang-layang di udara
melintasi gunung dan samudera tak bernama
menjelajahi hutan-hutanku yang sirna tanpa suara.

Renungkanlah! Sebuah peristiwa yang tak akan pernah tercatat dalam sejarah kemanusiaan, betapa tragis dan memilukan: tahun 2020 nanti, jasadku akan bangkit menuntut balas atas perlakuanmu yang semena-mena, brutal, sadis, psikopat dan tak berperikemanusiaan yang adil apalagi beradab terhadap tubuhku.

Maka terimalah pelampiasan dendam-kesumatku: bumi Kalimantan Selatan beserta seluruh isinya ini akan kutenggelamkan dan kurendam sedalam-dalam hingga lenyap dari peta negeri beribu pulau ini. Maka terimalah laknat dan azabku: semua desa dan kota kusirnakan sesirna-sirnanya. Jangan pernah kalian cari lagi di mana geografi kabupaten Kotabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Banjar, Barito Kuala, kota Banjarbaru dan Banjarmasin. Semuanya kuhabiskan dan lenyap tanpa sisa – hilang dari peta kemanusiaan.

Terimalah gelegak air bah amarahku ini sebagai tumbal dan ganjaran atas keserakahan, kerakusan dan kesewenang-wenangan manusia memerlakukan keseimbangan dan kelestarian alam ini. Segalanya kulumatkan, kululuh-lantakkan, kuhancurleburkan!

Jangan kalian cari tempat mengungsi ke bukit-bukit dan gunung-gunung, sebab bukit dan gunung pun sudah lenyap kutenggelamkan. Tiada guna lagi kalian cari kapal Nuh penyelamat nyawamu. Jangan kalian cari lagi rahim kehidupan, sebab kehidupan telah tiada. Semuanya telah kutuntaskan dan kutamatkan!

Maka terimalah karmaku – ini bukan sekadar kiamat qubra, tapi sebenar-benar kiamat bagi dosa-dosa kalian sebagai manusia.

2008

































Sebab Sajak Masih Kutulis


Sajak-sajak terus ditulis: “Apa yang membuatmu
terpukau dan mesti menuliskannya?” Sebuah suara
entah, menghardik, mungkin suaraku sendiri.

Dan kata-kata terus berlompatan, entah dari mana
Berjatuhan, menggelinding, dan merayap-rayap
entah ke mana. “Kenapa kau bersusah-payah
memunguti? Cuma sekadar kata-kata kosong,
apa yang lebih berarti? Sungguh tak habis pikir,
bisa-bisanya kau diperbudak oleh kata-kata yang
kau sendiri tak mengerti. Heran, kenapa?”

Mungkin kau benar, bisa pula tidak. Mungkin aku
salah, tapi juga benar. Kata-kata tak memukaumu,
tapi memukauku. Kau pandai, mungkin aku lebih
pandai untuk sekadar menyembunyikan kebodohanku
di balik kata-kata. Mungkin …

Kalau sajak tak lagi ditulis, lalu kata-kata harus
diapakan dan ke mana dicampakkan?

Sudahlah, tak perlu saling berdebat!
Sebab sajak masih kutulis.

                                                                  2008

















Sajak tak Berisi







                                              2008


































Hilang Kata


imajinasi terbang
mengitari kegelapan ruang
mencari kata-kata bersarang

tapi kata-kata telah menghilang
tanpa jejak dan bayang
entah kapan kembali pulang

sedangkan sajak sudah kepalang
ingin dibuai ditimang-timang
ingin dibelai sepenuh sayang

tapi kata-kata tak kunjung datang
hingga penyair lelah bertualang
malam ke siang menuju petang


                                                         2008 





















Komentar para Sahabat


       Sajak-sajak Micky bukan hanya liris, tapi juga mistis. Terasa sekali bagaimana kata-kata dalam sajaknya digali sampai ke inti kata, ke pusat sunyi. (Acep Zamzam Noor, penyair dan pelukis, Tasikmalaya, Jawa Barat).

       Membandingkan kondisi alam dalam wilayah estetis kehidupan batin penyair, merupakan representasi kegelisahan tak terhingga yang dirasakan Micky Hidayat sebagai persoalan penting. Semacam pemberontakan diri menghadapi kemapanan kehidupan manusia yang maha dahsyat yang terjadi di sekitarnya. (Afrion Medan, penyair, Medan, Sumatera Utara).

       Jiwa sufi Micky Hidayat niscaya kelak akan membawanya pada perspektif mulia nabi besar Muhammad SAW yang memandang dunia sakral dan dunia banal dengan kebijaksanaan dan rasa cinta luar biasa pada manusia. Hamparan sajaknya mengajak kita merindukan kemurnian dunia. (Agus R. Sarjono, penyair, redaktur majalah sastra Horison, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2003-2006, Jakarta).

       Puisi-puisi Meditasi Rindu yang ditulis penyair Micky Hidayat dalam rentang waktu cukup panjang (1980-2008), telah meyakinkan para pembaca bahwa, kepenyairan memang menjadi mainstream sekaligus idealismenya hingga kini. Dengan penjelajahan tema yang sangat luas juga, penyair ini (putera sulung penyair Hijaz Yamani almarhum) telah meyakinkan kita: puisi dan kepenyairan merupakan dua dunia yang terus-menerus dihidupkan, dua kutub spiritualitas maupun kreativitas yang tanpa henti digelorakan... (Ahmad Syubbanuddin Alwy, penyair).

       Sajak-sajak Micky Hidayat rata-rata dalam dan kontemplatif, dengan kemasan puitika yang rapi dan indah. Bagaimana pun, dia adalah salah satu penyair terbaik Indonesia dari generasi 1980-an. (Ahmadun Yosi Herfanda, penyair, esais, presiden Komunitas Sastra Indonesia, dan redaktur sastra harian Republika, Jakarta).

      Pencarian ungkapan baru, baik dalam keadaan terjaga, maupun meditasi dalam kesunyian, membuat puisi Micky selalu enak dinikmati. Pilihan kata dan diksinya runtut, kental, menampilkan karakteristik dan jati dirinya. Meski disayangkan, penyair ini belum secara total mengangkat kekayaan atau warna lokal dalam karya-karyanya. Setelah sekian puluh tahun setia berkarya, Micky Hidayat menjadi penyair yang pantas diperhitungkan dalam peta kepenyairan nusantara. Selamat! (Bambang Widiatmoko, penyair dan aktivis Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta).

       Kalau kembar Ngawi berproses dalam iklim kompetisi ingin jadi yang paling hebat sambil saling melindungi, Micky Hidayat coba utuh jadi penyair yang bebas dari bayangan ayah (Hijaz Yamani) dan mentor (Ajamuddin Tifani), dengan beranggapan bakatnya dari ibu (sajak ”Ibu, 1”).
       Sebuah upaya lama, yang diperlihatkan sejak awal (sajak ”Sajak Untukmu”) sampai akhir (sajak ”Telah Kuhapus Kata-kata” dan sajak ”Sebab Sajak Masih kutulis”), dan percaya ia hanya ingin menulis satu sajak saja (sajak ”In Memoriam Sajak, 2”), sajak bekal akhirat: iman dan keluluhan sufistik (sajak ”Aku Sampan Kau Sungai”).
       Tak heran kalau Micky Hidayat suka menulis sajak yang bermula dari pukau kagum pada puisi dan kepenyairan yang lain – dan yang pastoral dan bencana alam. (Beni Setia, penyair, cerpenis, dan esais).

       Saya suka menyebut penyair Micky Hidayat “penata rambut” lantaran dia tertib pola. Sisir dan gunting kepenyairannya mawas,  sehingga bahasa puisinya tertata, jauh dari ruwetnya rambut ikal panjang tergerai terserang badai. Puisi Micky artistik dan necis. (Binhad Nurrohmat, penyair dan esais, Jakarta).

       Membaca puisi-puisi Micky Hidayat, serupa membaca huruf-huruf ber-ruh. Gemuruh, gemeretak dan santun. Ia juga berdetak-detak namun renyah. Berdetak, karena dihimpit oleh kaidah filsafat. Renyah, karena bernas dan landai. Dalam sejarah kepenyairan Kalimantan, Micky Hidayat seperti terlahirkan untuk menjadi “filsuf penyair” dengan tidak menanggalkan “kelokalan”. (Dahta Gautama, penyair, Jakarta).

          Sajak-sajak Micky Hidayat terkesan kuat dan memikat. Kuat lantaran pilihan tematiknya digali dari sumber yang tak pernah kering: kreativitas dan kontemplasi. Sajak-sajaknya memikat lantaran dieksplorasi dengan pola ungkap yang menawan. Alhasil, sajak-sajak Micky Hidayat kental dan kenyal disantap: gurih, sedap, dan nikmat. Dari tangan kreatif Micky Hidayat terdedah puisi yang puitis dan berkecenderungan sufistik, imajis, metaforis, platonis, atau metafisis. Micky telah menemukan “tanah pilih” dalam kesusastraan Indonesia. (Dimas Arika Mihardja, penyair, Jambi).

       Saya telah menelaah tiga sajak Micky Hidayat, penyair berusia 49 tahun, berjudul Aku Berguru pada Sajak, Hutan di Mataku, dan Aku Sampan Kau Sungai, yang terhimpun dalam ”Tanah Pilih” – Bunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I (diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2008). Tiga sajak tersebut saya kira dapat mewakili ratusan sajak Micky Hidayat yang terdapat dalam kumpulan puisi ”Meditasi Rindu” ini maupun sajak-sajaknya yang pernah dimuat di berbagai media cetak di republik ini.
       Dalam sajak-sajaknya, Micky Hidayat selain berangkat dari gagasan inti yang sifatnya cenderung memasuki lahan manusia dan kemanusiaan yang intens akibat hubungan sosialnya dengan dunia luar, ia telah berbicara dengan bahasa puitis yang dibumbui imajinasi sesuai alur nurani yang Illahiyah.
       Puisi bagi Micky Hidayat bukanlah etalase kecurigaan yang bergumul dalam rangkaian kata-kata semata, melainkan etalase perjalanan hidup yang terus bergerak untuk menundukkan kata-kata. Puisi lahir dari olahan panca indera, dari gerakan tangan dan kaki, alur pikiran, pandangan mata, penciuman, dan pendengaran, lalu dibentuk oleh batin yang bersih dan manusiawi.
       Puisi Micky Hidayat telah berbicara dengan bagus serta menyentuh nurani agar kita senantiasa menyadari diri sebagai insan ciptaan-Nya yang mencintai keindahan dan kebenaran.
       Orang berbudaya baca sastra. (Dinullah Rayes, sastrawan/penyair, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat).

         Sajak-sajak Micky yang alam bagus. Tapi yang sosial politik aku kurang suka. (D. Zawawi Imron, sastrawan, Sumenep, Madura).

       Puisi bagi Micky Hidayat adalah candu yang merangsang energi kepenyairannya kian mabuk kepayang. Inilah dunia Micky yang tak  terbantahkan.  Bagiku, Micky  adalah  bagian  sejarah  kepenyairan dan telah memetakan sosoknya di jagat perpuisian Kalimantan Selatan dan Indonesia. (Eko Suryadi WS, penyair dan aktivis Komunitas Sastra Indonesia, Kotabaru, Kalimantan Selatan).

       Dunia dalam sajak-sajak Micky adalah sebuah kesunyian yang menjerit dan pedih, dibangun dari rindu waktu kecintaan yang religius dan lirih. (Irawan Sandhya Wiraatmaja, penyair, Jakarta).

       Micky Hidayat masih bertahan dengan puisi-puisi religius-sosial dan sebaliknya yang pernah jadi trend generasi sastrawan 87-an. Kekuatan inilah yang membuat penyair ini juga masih bertahan. Ia tak terpengaruh oleh ragam gaya para penyair muda terkini yang bermain dengan tipografi atau pun bermain-main dengan bahasa dan imajinasi yang di antaranya cenderung tak mempunyai message. (Isbedy Stiawan ZS, sastrawan, Lampung).

       Puisi-puisi Micky Hidayat kadang terdengar lirih seperti kersik daun di malam sepi, kadang terdengar lantang sebagai amarah batin sosial yang dikhianati. Puisi-puisinya terasa menegur: menyapa sekaligus mengingatkan. (Jamal D. Rahman, penyair dan pemimpin redaksi majalah sastra Horison, Jakarta).

       Pada dasarnya sajak-sajak Micky Hidayat merupakan rangkaian refleksi sosial. Kritis, tajam, tapi kadang menghanyutlunakkan juga. Semacam seduhan kental dari pahit kopi jalanan, pedas jahe peradaban, dan anyir ginseng masa silam. Maka mimpikanlah madu keakanan, syahwat keniscayaan itu. (Jamal T. Suryanata, penyair dan cerpenis, Pelaihari, Kalimantan Selatan).

       Karya seni yang unggul senantiasa bersumber pada akar tradisi yang digali oleh senimannya. Pada puisi-puisi Micky Hidayat nampak upaya untuk menggali akar tradisi lisan Banjar, tanah kelahirannya. Kedekatannya pada alam dan lingkungan terlukis dalam karya-karyanya. (Jose Rizal Manua, penyair dan dramawan, Jakarta).

       Sebagian besar puisi-puisi Micky Hidayat tak pernah membosankan meski dibaca berkali-kali. Melalui simbol-simbol yang unik, puisi-puisinya bukan saja mampu membeningkan perasaan dirinya sendiri, namun juga para penikmat puisi yang peka. Pada beberapa puisi Micky Hidayat yang terkesan meng- eksploitasi imaji-imaji liar justru memiliki kekuatan hakiki sebagai peredam amarah jiwa, nafsu, ego dan kedurhakaan terhadap nurani. Penyair ini juga piawai mengeksplorasi metafor-metafor yang tepat untuk melengkapi kata penjernihan hati, sehingga puisinya mampu mencapai puncak orgasme dan hasrat dalam menertawai diri sendiri. Semacam catatan dari episode batin dan orientasi yang dalam terhadap penyadaran maupun perenungan hakikat diri. (Kony Fahran, penyair dan cerpenis Kalimantan Timur, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur).

        Sajak-sajak Micky Hidayat mencerminkan pencarian tak kunjung usai di dunia profan dan di dunia religius. Sejumlah puisinya mencerminkan katarsis diri dalam upaya mencapai hal-hal yang bersifat transendental. Pengucapannya sering bergemuruh dan padat kata, tapi selalu berujung pada jiwa yang teduh dan peka. (Korrie Layun Rampan, sastrawan, Ketua Komisi 1 DPRD Kutai Barat, Kalimantan Timur).

       Puisi-puisi Micky Hidayat tidak pamer frasa-frasa ajaib. Kekuatannya terletak pada kesederhanaan ungkapan yang lebih mementingkan isi: warna religiusitas yang sembunyi dalam rima dan persajakan. (Kurnia Effendi, cerpenis, Jakarta).

       ‘Meditasi’ merupakan kata kunci yang tepat untuk menggambarkan puisi-puisi Micky Hidayat, sekaligus jadi ‘anak kunci’ untuk memasukinya. Sebagai ‘anak kunci’, ia tak hanya nyantol di daun pintu, tetapi juga ikut bepergian di dalam saku sang penyair, ke berbagai tempat dan keadaan, tak sebatas jalan sunyi, juga hiruk-pikuk trotoar-urban. Itulah sebabnya, banyak puisi yang mencoba mengatasi keadaan, secara unik dan sungsang: ‘meditasi di keramaian!’ (Raudal Tanjung Banua, penyair dan cerpenis, Jogjakarta).

      Sajak-sajak bercerita yang disuguhkan Micky Hidayat adalah ‘sajak bercerita yang menjadi’. Kematangan penguasaan bahasa dan intensitas penghayatan, perenungan atau kontemplasi akan pengalaman hidup mampu menimbulkan katarsis bagi pembaca atau penikmat sajak-sajak Micky yang telah menjadi. Dalam sajak “Meditasi Rindu”, misalnya, kematangan penguasaan bahasa dan penggunaan metafor-metafor unik yang diolah dari pengalaman batinnya, ternyata mampu mentransfer emosi kepada pembaca atau pendengar sajak-sajaknya. (Rismiyana, cerpenis, Banjarmasin).
      
       Sepasang pengantin baru pernah bilang, “menulis dan membaca puisi itu sama enaknya dengan menikah. Setiap ciuman yang kita ciptakan seperti mereguk air laut. Semakin banyak meminumnya bikin kita makin haus.” Begitu pula yang saya rasakan saat membaca sebagian puisi Micky dalam buku ini. (Sainul Hermawan, kritikus sastra, Banjarbaru, Kalimantan Selatan).

       Dalam Puisi, pada mulanya adalah ’phrasing’nya. Kemampuan ekspresinya. Bukan ’logika bahasa’nya! Bukan ’kata’! Begitu juga pada akhirnya. Ada sekelompok ’poetaster’ di Jakarta yang begitu percaya dirinya akan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam menulis Puisi sampai konsep ’lisensia puitika’ pun tak mereka pahami! Mereka justru menulis ’kalimat puisi’ yang sebenarnya jauh lebih klop untuk prosa! Mungkin bisa kita namakan ’estetisisme logika bahasa’, bukan ’estetika bahasa’, kepercayaan dan praktik mereka itu! Tapi untuk apa menulis ’prosa’ kalau para cerpenis sudah jauh lebih baik dan menarik melakukannya!
       Untunglah Micky Hidayat tak ikut-ikutan latah dalam prosaisasi Puisi Indonesia ini seperti banyak sekali ’penyair koran’ di Tanah Air! (Saut Situmorang, penyair dan esais).
      
       Sesuatu yang menarik dari Micky Hidayat adalah warna sajak-sajaknya yang buram dan sarat dengan problematik. Dimensi kepenyairan Micky tidaklah semata-mata berkisar dari sekadar penatapan diri sendiri belaka. Sajak penyair ini tidak jarang juga mengungkit kesadaran yang maha kuasa dari batinnya. Tuhan berada dalam kesadaran hakikat, berupa pertanyaan-pertanyaan yang falsafi. (S. Bashri Penyalai, esais dan kritikus sastra, Jakarta).

       Sajak-sajak Micky Hidayat mengebor sumur kehidupan. Selalu ada pertanyaan hakiki yang jawabannya terus ia buru, oleh karena itu lahirlah sajaknya terus-menerus. Ia lihai meramu simbol-simbol alam dan lautan yang membawa sajak-sajaknya imajis dan religius. (Syaifuddin Gani, penyair, Kendari, Sulawesi Tenggara).

       Menikmati sajak-sajak Micky Hidayat serupa dihadapkan pada estetika sungai mengalir dengan kebeningan airnya, dengan diksi yang sederhana dan imaji yang dapat kita telusuri, namun tetap mengandung harmonisasi dan spiritualitas kehidupan “Yang Maha Rahasia” secara romantik. (Syaiful Irba Tanpaka, penyair, Lampung).


     


                





















Catatan Penyair



       Sajak-sajak yang dihimpun dalam antologi ini, merupakan sajak-sajak yang saya tulis antara tahun 1980 sampai dengan 2008. Sebagian besar di antaranya pernah dipublikasikan dalam berbagai media cetak lokal dan nasional, dimuat di beberapa antologi tunggal yang dicetak secara sederhana maupun dalam antologi bersama penyair lain.
       Semula ada niatan untuk menghimpun keseluruhan sajak yang pernah saya tulis dalam rentang waktu hampir 30 tahun (1978-2008). Hal ini penting untuk menilik proses kreatif dan capaian estetik kepenyairan saya dari waktu ke waktu.
       Hari demi hari, di sela-sela rutinitas kesibukan aktivitas lainnya, saya sempatkan berjibaku dan kerja ekstra keras mencari sajak-sajak. Selama melakukan pekerjaan ini, terkadang saya diliput ketegangan untuk melawan kejenuhan, kepenatan luar biasa, dilanda stagnasi, dan kehilangan mood. Karena itulah berkali-kali saya terpaksa harus memundurkan deadline pengumpulan sajak-sajak untuk antologi ini.  Saya mulai mencoba membuka arsip-arsip lama di perpustakaan pribadi untuk melacak sajak-sajak tersebut. Dimulai dari karya terdini, yaitu sajak yang saya tulis tahun 1978 hingga tahun-tahun berikutnya, baik berupa tulisan tangan maupun yang sudah diketik dalam bentuk manuskrip, dan sajak-sajak yang sudah dipublikasikan di media massa cetak maupun yang belum pernah dibukukan. Dalam usaha pencarian atau pelacakan terhadap sajak-sajak tersebut, ternyata banyak dokumentasi sajak-sajak yang tidak lagi tersimpan, alias musnah, atau tidak diketahui rimbanya. Banyak pula sajak kesayangan saya yang digerogoti rayap. Saya pun menanggung penyesalan, merasakan kesedihan dan nelangsa yang mendalam. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak menyertakan sajak-sajak yang saya tulis dalam periode awal kepenyairan saya tersebut, yaitu sajak-sajak yang bertitimangsa tahun 1978 dengan berbagai pertimbangan, tetapi hanya menyertakan sajak-sajak yang saya tulis pada awal tahun 1980-an.
       Alhamdulillah, berkat kegigihan usaha pencarian, akhirnya berhasil pula ditemukan 400-an lebih sajak dan saya upayakan menghimpunnya kembali. Kemudian saya melakukan penyeleksian dan pasang-bongkar beberapa kali, tentu secara subyektif berdasarkan selera saya, dalam arti, di samping karya-karya andalan atau yang secara pribadi saya menyukainya, sajak-sajak yang menurut saya mengandung kelemahan atau kekurangan pun juga disertakan. Setelah proses penyeleksian dan pasang-bongkar sajak-sajak selesai, tahapan berikutnya yang tak terhindarkan adalah proses  merevisi  beberapa  sajak yang sudah terpilih
dan dikumpulkan. Pekerjaan merevisi sajak-sajak yang diciptakan dalam  kurun waktu puluhan tahun ini bukan kerja gampang dan tentunya memerlukan stamina tersendiri.  Saya pun harus  berpikir keras untuk mengingat-ingat kembali latar belakang penciptaan sajak-sajak lama tersebut. Betapa kerja merevisi ini cukup melelahkan namun juga mengasyikkan karena ada semacam tantangan kreativitas, apakah saya mampu meniupkan ruh baru pada sajak-sajak yang tercipta puluhan tahun lalu. Dan pekerjaan merevisi terhadap sajak-sajak yang dipilih untuk diikutsertakan dalam buku kumpulan sajak ini bagi saya merupakan keinginan yang mesti direalisasikan dengan maksud  menyempurnakan hasil karya kreatif saya, dan ini merupakan suatu upaya untuk jujur terhadap diri dan kepenyairan saya, serta mengukuhkan eksistensi sajak-sajak saya. Saya pun juga meyakini bahwa tiada karya yang benar-benar sempurna selain karya Allah SWT – Sang Maha Kreator, pencipta alam semesta beserta seluruh isinya.

*

       Saya mulai belajar menulis sajak ketika masih duduk di kelas 1 SMP Negeri 2 Banjarmasin.  Sudah barang tentu,  dalam  setiap  menulis
sajak itu sama sekali tak terpikirkan sedikit pun di benak saya, apakah diri saya sudah menjadi seorang penyair atau bukan. Apalagi keinginan untuk jadi penyair, jauh panggang dari api. Waktu itu saya menulis atau menciptakan sajak hanya sekadar iseng ingin menulis, tidak ada pretensi meraih predikat sebagai penyair. Dan sajak-sajak yang saya hasilkan pada waktu itu tentu hanya dinikmati sendiri dan saya dokumentasikan di dalam sebuah buku yang juga menghimpun puluhan lukisan karya saya, juga sesekali saya pajang di majalah dinding sekolah.
       Baru ketika saya duduk di bangku kuliah, di Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin tahun 1978, kegiatan menulis sajak sedemikian intensif saya lakukan – seolah-olah tiada hari tanpa menulis sajak.
       Seperti halnya sajak-sajak yang saya tulis ketika masih di SMP, sajak-sajak saya pada periode berikutnya – masih di tahun 1970-an – kebanyakan sajak yang bertemakan dunia kehidupan anak muda dengan segala persoalan atau problematikanya. Sajak-sajak itu masih begitu cair dan merupakan eksperimen atau percobaan saja. Pada masa itu, saya tak begitu memedulikan apakah sajak yang saya tulis baik ataukah jelek. Saya hanya berpikiran bahwa sejelek apapun, setiap orang mempunyai hak untuk menulis sajak. Sebagaimana halnya setiap orang berhak untuk menyanyi di kamar mandi atau di tempat mana pun, sesumbang, sefals atau secempreng apapun suaranya. Apalagi kalau seseorang menulis sajak semata-mata karena ingin menulis sajak. Artinya, semata-mata untuk mengekspresikan isi hati dan  memuntahkan segala macam impresi psikologis, serta mengungkapkan kejujuran dan keluguan sebuah  ekstase  individuasi.  Dan  sajak  bagi  saya  merupakan  riwayat
hidup tersendiri dari kehidupan seorang penyair. Sebab itulah produktifitas tetap mendapat tempat, di samping kualitas memang harus tetap diupayakan terjaga.
       Saya selalu tak kuasa menolak keinginan naluri untuk terus berkarya. Gagasan yang lalu-lalang dan berkelebat-kelebat dalam benak seolah tak bisa dibendung. Bagi saya, bergelut dengan dunia sajak pada hakikatnya merupakan sebuah wacana yang memungkinkan saya untuk mengalami kembali kehidupan, membuat saya terlibat lebih intens dalam menjalani kehidupan ini.
       Satu hal yang bagi saya terasa aneh dan masih saya rasakan hingga sekarang adalah, kenapa waktu itu (saat masih sekolah di SMP) tiba-tiba saya tertarik pada puisi atau sajak dan menuliskannya? Seingat saya, ketika guru bahasa di sekolah beberapa kali menerangkan dan memperkenalkan nama-nama sastrawan atau penyair Indonesia dan karya-karyanya, tak ada satu pun penyair maupun karyanya yang menarik minat saya, termasuk karya maestro penyair negeri ini, Chairil Anwar. Begitu pun ketika para siswa disuruh guru maju ke depan untuk menghafalkan sajak “Aku” atau “Doa”-nya Chairil, dibanding teman-teman sekelas, sayalah yang paling tergagap-gagap dan lebih sering tidak mampu untuk menghafalnya. Lucunya lagi, ketika tiba giliran para siswa diberikan tugas oleh ibu guru untuk membuat karangan, baik berupa cerita pendek maupun puisi, maka giliran sayalah yang lebih sering mendapat nilai di atas rata-rata yang diperoleh teman-teman, dan nilai 9 atau terkadang 10 selalu menjadi langganan saya.
       Ketika saya dan keluarga masih bermukim di kota Surabaya, di tahun 1960 hingga 1970-an, dan ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, dengan memakai jurus dan strategi mengendap-endap, memasuki ruang perpustakaan milik ayah saya, sastrawan Hijaz Yamani. Saya memang beruntung karena dibesarkan di lingkungan keluarga yang kepala rumah tangganya adalah seorang sastrawan, yang mengenal pentingnya bacaan dan budaya membaca. Kebiasaan membaca karena lingkungan yang mendukung itulah yang menumbuhkan semangat kreatif di dalam diri saya sehingga menekuni bidang sastra hingga memasuki usia dewasa. Tampaknya karya sastra telah membuka jalan bagi saya untuk menjelajah dunia tanpa batas. Kegemaran membaca karya sastra sejak usia dini tersebut ternyata memiliki dampak yang cukup baik bagi perkembangan saya selanjutnya – setelah saya benar-benar  terjun  menggeluti  dunia kesusastraan dan kesastrawanan.
       Dalam ruang yang sesak oleh buku-buku sastra dan berbagai jenis buku lainnya itulah saya merasakan kebahagiaan luar biasa karena bisa dengan leluasa mencari atau memilih bahan bacaan yang saya sukai, lalu suntuk membaca majalah-majalah sastra dan kebudayaan, seperti Gajah Mada, Budaya Jaya, Kisah, Seni, Roman, Cerita, Prosa, Konfrontasi, Gelanggang, Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Basis, dan Horison.
       Beberapa karya sastra di majalah-majalah itu sungguh menawarkan dunia perjalanan yang sangat mengesankan, walaupun bacaan sastra yang sejatinya layak dibaca oleh orang dewasa itu, terkadang ada beberapa karya para pengarangnya yang sulit dicerna oleh jalan pikiran seusia saya. Dan lewat majalah-majalah sastra itu pula saya sudah akrab dan semakin intensif mengapresiasi karya para sastrawan Angkatan Balai Pustaka, seperti Marah Rusli, Merari Siregar, Abdul Muis, M. Kasim, Nur Sutan Iskandar, dan lain-lain. Kemudian membaca sajak, cerita pendek maupun esai Angkatan Pujangga Baru, seperti Amir Hamzah, Mohamad Yamin, Sanusi Pane, Armijn Pane, Hamka, Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Saya pun mengenal sajak, cerita pendek, dan novel karya para sastrawan Angkatan 45, di antaranya karya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Iwan Simatupang, A.A. Navis, Umar Kayam, dan Pramoedya Ananta Toer, serta akrab membaca sajak-sajak para penyair Angkatan 66, seperti W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Hartojo Andangdjaja, Sapardi Djoko Damono, Dodong Djiwapradja, Djamil Suherman, Bokor Hutasuhut, Kirdjomuljo, Hijaz Yamani, dan lain-lain.  Adapun buku-buku fiksi maupun nonfiksi yang menjadi bacaan favorit di masa itu, antara lain Salah Asuhan karya Abdul Muis, Kisah Patih Gajah Mada karya Mohamad Yamin, roman karangan Hamka, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk, Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana, Penyamun dalam Rimba karya Mochtar Lubis, Hamlet Pangeran Denmark karya William Shakespeare (terjemahan Trisno Sumardjo), novel Daerah Tak Bertuan karya Toha Mochtar, roman Royan Revolusi-nya Ramadhan KH., novelnya Iwan Simatupang, Merahnya Merah dan Ziarah, prosa Sebuah Rumah Buat Hari Tua karya Ajip Rosidi, cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis, serta Si Dul Anak Betawi dan Hikayat si Miskin karya Aman Dt. Madjoindo. Beberapa buku dan bunga rampai yang dieditori H.B. Jassin juga tak terlewatkan saya baca, antara lain, Tifa Penyair dan Daerahnya, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei, Gema Tanah Air, Kisah: 13 Cerita Pendek, Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru, Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, serta karya terjemahannya, seperti Max Havelaar karya Multatuli dan Terbang Malam karya A. de St.-Exupery.  Uniknya lagi, dari buku dan majalah sastra tersebut, saya lebih tertarik membaca cerita pendek, sedangkan sajak-sajak yang termuat di dalamnya hanya sepintas-kilas saja saya membacanya. Peristiwa unik semacam inilah dalam perkembangan selanjutnya menjadi kontradiktif ketika saya mulai serius berkenalan dan benar-benar merasa total menggeluti dunia kesusastraan.
       Setelah berkenalan dengan karya sastra berupa sajak atau puisi, saya
malah mulai jarang membaca karya cerita pendek, bahkan pernah  selama beberapa tahun tak pernah bersentuhan dengan dunia cerpen. Saya sudah kepalang jatuh cinta pada dunia sajak. Pernah di pertengahan tahun 1980-an saya coba-coba menulis cerpen, dan beberapa di antaranya saya publikasikan di media cetak lokal Banjarmasin, tapi hasilnya tak pernah memuaskan. Saya merasakan, tampaknya saya memang tak berbakat menulis karya prosa tersebut. Sementara banyak teman penyair seangkatan saya memilih putar haluan menjadi cerpenis (yang agak menjanjikan dari segi materi), saya bersikukuh dan mencoba menerima instrumentasi nurani sepenuhnya untuk tetap memilih jalur puisi dan kepenyairan. Saya pun menyadari, sikap keras kepala menekuni jalan kepenyairan ini tentu membawa konsekuensi yang mau tidak mau harus siap diterima, walau pahit sekalipun. Memang, jalan kepenyairan adalah jalan yang sering sulit dipahami oleh kebanyakan orang, bahkan oleh lingkungan terdekat (keluarga) sang penyair sendiri. Dan tidak banyak orang yang siap untuk mengembara ke segala penjuru, sebuah pengembaraan yang nyaris tanpa target dan tidak menjanjikan kesejahteraan secara materi selain kesejahteraan batiniah. Tidak banyak orang yang berani dan memilih untuk setia bergerak memburu kebenaran lewat kerja estetik, kerja etik sekaligus kerja religius dengan menulis sajak demi sajak, menemukan puisi demi puisi.

*

       Dunia sajak yang saya geluti secara lebih luas dan intens dimulai sejak awal tahun 1980-an. Sejak itulah saya mulai memberanikan diri memublikasikan karya ke media cetak lokal dan nasional. Lewat rubrik sajak “Dahaga” di harian Banjarmasin Post, yang diasuh oleh tiga orang sastrawan Kalimantan Selatan (Yustan Aziddin, D. Zauhidhie, dan Hijaz Yamani – ketiganya kini sudah almarhum), sajak-sajak saya sering muncul, bahkan pernah hampir setiap hari (rubrik sajak “Dahaga” Banjarmasin Post ini memang muncul setiap hari, sehingga Ajip Rosidi pernah mengklaim sebagai satu-satunya koran di dunia yang memuat karya puisi setiap hari terbitannya). Dan harus saya akui, bahwa media cetak inilah salah satu koran yang turut andil dalam membesarkan kepenyairan saya, khususnya di daerah Kalimantan Selatan. Sejak itulah saya tetap produktif dan mampu menjaga energi kreativitas bersajak saya. Apalagi iklim bersastra, kepenyairan dan perpuisian di Banjarmasin yang terbilang kondusif di era 1980-an tersebut tak bisa dimungkiri turut pula memacu semangat berkarya saya. Bahkan saking produktifnya menulis dan memublikasikan sajak, pada tahun 1981 saya memperoleh predikat sebagai “Man of the Year” versi Biro Informasi Sastra Kalimantan Selatan, karena sepanjang tahun 1981 saya mampu menulis sebanyak 118 sajak.
      Di samping media massa daerah, pada 1980-an itulah saya sedemikian bersemangat menulis sekaligus memublikasikan sajak-sajak saya ke media massa pusat, antara lain di rubrik “Dialog” harian Berita Buana yang diasuh oleh Abdul Hadi W.M., rubrik Seni dan Budaya harian Pelita yang diasuh oleh Sutardji Calzoum Bachri, harian Merdeka, Prioritas, Sinar Harapan, Suara Karya, Terbit, Pos Film, majalah Panji Masyarakat, Topik, Hai, Anita Cemerlang, serta memublikasikan ke media massa daerah lainnya, seperti Jawa Pos (Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional (Jogjakarta), Suara Merdeka (Semarang), Pikiran Rakyat (Bandung), dan Bali Pos (Denpasar).
       Pasca 1980-an, yaitu pada periode 1990-an, produktifitas bersajak saya agak menurun. Namun saya tak ingin mengalami apa yang disebut sebagai masa-masa stagnasi kepenyairan. Dalam antologi ini, dapat dilihat pula rambatan proses kreatif dan intensitas pergulatan saya terhadap sajak. Walaupun tidak seproduktif sebagaimana tahun 1980-an, namun saya selalu berupaya menargetkan dalam setiap tahun tidak akan absen dan terus dapat menghasilkan karya. Untuk itulah sajak-sajak saya bertitimangsa tahun 1990-an tidak terlalu banyak dimuat dalam antologi ini. Sedangkan pada periode tahun 2000-an, saya masih diberikan kemampuan menjaga produktifitas dan energi kreatif berkarya.
       Menelusuri kembali jejak perjalanan kepenyairan saya selama seperempat abad lebih ini, fase keemasan kepenyairan sangat saya rasakan dan nikmati benar pada periode 1980-an. Waktu itu saya mempunyai cita-cita atau keinginan besar untuk bisa tampil membacakan sajak-sajak saya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Keinginan tersebut akhirnya terpenuhi ketika Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) melalui Komite Sastra, yang diketuai Abdul Hadi WM, mengundang saya membaca sajak di Teater Arena TIM, dalam acara Pertemuan Sastrawan Jakarta ’86 – Memperingati 50 Tahun Perjalanan Polemik Kebudayaan. Kemudian di tahun 1987, kembali saya diundang oleh DKJ membaca sajak dalam forum Puisi Indonesia ’87, di Teater Tertutup TIM.
*
      
       Apa yang tersaji dalam antologi “Meditasi Rindu” ini merupakan rekaman impresi atas berbagai hal atau peristiwa yang saya simak dan hayati sepanjang perjalanan kepenyairan saya.
       Mengingat sajak-sajak di dalam antologi ini merupakan himpunan dari suatu masa penulisan yang cukup panjang, maka tidaklah aneh apabila di dalamnya ditemukan tema yang beragam, antara lain tentang pertanyaan dan pencarian saya terhadap hakikat hidup di dunia fana ini, mencoba memahami arti keberadaan diri, keimanan, mengungkapkan perasaan cinta terhadap sesama makhluk,  kepada sang kekasih dan Sang
Kekasih, mendendangkan kesedihan, kekecewaan, kesia-siaan,  kejemuan, suasana kesunyian, kesendirian, nelangsa, penderitaan dalam kehidupan yang riuh-pikuk ini, juga mengenai alam, lingkungan, dan peristiwa sosial. Tema-tema inilah yang saya akrabi dalam kurun waktu dua puluh delapan tahun kepenyairan saya.
       Selain tema yang tidak terlalu banyak mengalami perbedaan maupun perubahan, dari segi struktur (style) pun tak banyak perubahan yang berarti. Namun pada diksi maupun idiom terdapat sedikit perubahan.
       Pada sajak-sajak awal saya yang bertitimangsa tahun 1980-an, sangat kentara citraan konsepsi estetik yang berpangkal tolak pada dimensi individual atau personalitas yang menghubungkan aku-lirik, aku-kamu, aku-maut, benturan-benturan yang keras, ledakan-ledakan, luka, darah, pedih, perih, dan segala hal yang serba keras, serba mengerikan, metafora-metafora yang juga keras, radikal, ekstrem, loncatan-loncatan imaji yang drastis – merupakan idiom-idiom yang mendominasi sajak-sajak saya, sebagaimana juga idiom, gaya bahasa atau eksplorasi dalam pengucapan, serta struktur yang khas dan menjadi trend perpuisian di tahun 1980-an.
       Pada sajak-sajak saya bertitimangsa 1990-an, bentuk pengucapan maupun tema sedikit mengalami pergeseran dan lebih didominasi oleh peristiwa atau  persoalan sosial; sosial-religius  dan religius-sosial. Tema semacam ini saya usung sebagai rasa tanggung jawab sosial terhadap segala peristiwa yang saya rasakan dan saya hadapi, atau yang dirasakan dan dihadapi orang-orang di sekitar saya, juga peristiwa yang sedang atau pernah menimpa negeri ini. Peristiwa demi peristiwa tersebut senantiasa menyentuh batin dan rasa puitik saya.
       Beberapa kawan penyair di daerah pernah melontarkan kritik terhadap sajak-sajak sosial-politik saya sebagai sajak yang kehilangan suasana puitiknya, karena unsur ‘pamflet’ sangat terasa. Bahkan penyair D. Zawawi Imron juga kurang menyukai sajak-sajak sosial saya.
       Apa pun penilaian atau kritikan terhadap sajak-sajak saya yang berlatar sosial-politik itu, patut saya apresiasi. Tapi benarkah sajak-sajak sosial saya tersebut sebagai sajak pamflet? Semua terpulang kepada pembaca yang punya otoritas penuh menilainya. Bagi saya, sajak dan pamflet adalah dua kutub yang berbeda; sajak tetaplah sajak, dan pamflet adalah pamflet!
       Ada pula seorang kawan penyair yang menyarankan agar saya menyisihkan saja sajak-sajak bersetting sosial itu dari buku kumpulan sajak, dengan dalih bahwa sajak-sajak protes sudah tidak diperlukan dan tidak lagi aktual di era reformasi ini. Lagi-lagi saya harus bersikap legawa menghargai saran atau pendapat kawan itu. Akan tetapi, saya tetap bersikukuh bahwa sajak-sajak dengan setting sosial-politik itu harus disertakan di dalam antologi ini, karena sajak-sajak tersebut merupakan kesaksian  saya  atas  berbagai  peristiwa  sosial-politik  yang
pernah dan sedang melanda negeri ini, di samping itu karena negeri dan tanah air kita masih memerlukan sajak-sajak semacam ini. Alasan inilah yang mengharuskan saya mengangkat persoalan sosial-politik ke dalam sajak-sajak saya.
       Adalah sesuatu yang ironis dan ngawur bila ada yang berpendapat bahwa sajak-sajak sosial-politik sudah tidak relevan lagi di negeri ini. Menurut saya, kritik dan control terhadap keadaan Negara dan kebijakan penyelenggaraannya masih tetap perlu dilakukan oleh rakyat, termasuk penyair lewat sajak-sajaknya. Sajak dan penyair merupakan anasir penting bagi bangsa ini. Supaya bangsa ini tidak kehilangan daya cipta dan imajinasi kreatif dalam menyusun dan merumuskan masa depannya. “Puisi merupakan proses komunikasi politik yang mengekspresikan kejujuran,” kata Prof. Dr. Sam Abede Pareno, MM – Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Dr. Soetomo, Surabaya.
       Di saat bangsa sedang menggeliat bangkit, peran penyair sangat penting untuk menggugah kesadaran kolektif.  Apabila puisi  hidup subur, itu tandanya demokrasi berbudaya hidup sebagai cermin peradaban. Untuk itulah rasa salut dan hormat patut saya sampaikan kepada para penyair yang masih memiliki sikap konsisten – tidak menjual idealisme dan menjadi oportunis – berjuang melalui sajak-sajak kritik sosial untuk tanah air dan bangsa yang sedang berubah sosok ini. Dan saya pun meyakini bahwa sajak yang baik akan tetap kontekstual sekaligus universal, karena tidaklah mungkin seorang penyair terus-terusan hidup di awing-awang, sebab seorang penyair akan terus bergelut atau bergulat dengan teks-teks yang terjadi di sekitarnya. Sebagaimana saya sendiri harus berhadapan dan menggeluti teks-teks yang say abaca, lihat, dengar, dan rasakan di dalam kehidupan ini. Untuk itulah jika dalam kumpulan sajak “Meditasi Rindu” ini saya banyak menyuguhkan sajak yang berbicara mengenai hubungan saya dengan kenyataan sosial-politik, semua itu tidaklah dapat saya elakkan dan memang tidak mungkin untuk saya hindarkan.
       Lepas dari semua itu, apa pun tema yang saya suguhkan dalam antologi ini lebih mungkin dinikmati dalam suasana yang bebas dan demokratis: senang, sedih, kesal, marah, dan suasana apa saja yang dikehendaki oleh selera pembaca, serta suasana kemerdekaan memosisikan diri sebagai subyek yang berdaulat. Setidaknya dalam memandang, mencermati, dan menikmati, apa pun ragam dan format sajak itu, termasuk sajak-sajak kritik sosial.
       Menulis sajak bagi saya merupakan bentuk aktualisasi sikap yang memberontak terhadap keadaan tertentu, yakni pemberontakan yang lebih merujuk pada makna pembebasan – pemberontakan kreatif. Dengan demikian, dunia puitik adalah kesaksian atau catatan saya atas peristiwa yang sekaligus mengisyaratkan adanya koreksi terhadap keadaan dan kehidupan.
      
       Pemberontakan kreatif di sini dalam pengertian pemberontakan terhadap keberadaan diri, baik pada tataran personal maupun sosial. Dan penyair (meminjam pernyataan Rendra), adalah “pemberontak” yang sejati. Dalam perspektif inilah pemberontakan lewat penciptaan sajak-sajak saya yang terhimpun dalam antologi ini merupakan upaya nyata yang terbangun dari sebuah kesadaran, bukan sesuatu yang semu dan mengada-ada.
       Pada sajak-sajak yang saya tulis di pertengahan tahun 1990-an hingga 2000-an dalam kumpulan ini, meskipun tak meninggalkan sepenuhnya persoalan personalitas dan sosial, umumnya menampilkan nuansa religiusitas yang teraktualisasi melalui bangunan citra ‘komunikasi’ antara diri  saya  dengan Tuhan,  melihat  dan merenungi hakikat eksistensi saya sebagai manusia, kekaguman saya terhadap berbagai bentuk ciptaan Tuhan, merindukan ‘pertemuan’ pada Sang Khalik di tengah suasana kesunyian dan keterasingan, atau upaya penjelajahan saya kea lam batin yang transcendental. Dalam fase inilah saya mencoba kembali menulis sajak-sajak dengan memerhatikan kata-kata dan tidak melulu menekankan kehadiran kebebasan imaji sebagai yang utama. Kata-kata saya upayakan dapat menciptakan keutuhan bangunan sajak itu sendiri. Dengan demikian, saya pun sama sekali tidak berambisi berbicara tentang hal-hal besar, tetapi lebih ingin berbicara tentang diri dan sekeliling saya. Akan halnya pemilihan atau penempatan diksi, struktur, sintaksis pada sajak-sajak saya dalam fase ini adalah biasa-biasa saja, bahkan tidak ada yang aneh-aneh, apalagi terpukau oleh kecenderungan pembaruan atau pemberontakan yang acapkali menjadi trend dalam perpuisian Indonesia modern. Saya lebih terpesona dengan pencarian pada kedalaman sajak itu sendiri, di samping tetap memperhitungkan penggunaan elemen sajak, seperti gagasan, metafora, pesan dan bunyi dengan cermat.
       Saya pun mengamini dengan adanya anggapan kalau penyair adalah puisi itu sendiri. Untuk itulah saya berusaha tidak menyembunyikan bahasa sajak saya di balik pilihan kata yang gagah, tidak menggunakan tameng kalimat-kalimat yang tidak jelas tatanannya, tanpa mengeksploitasi kabut imaji atau semacam deformasi dan ornamentasi realitas yang ruwet. Namun saya sadar bahwa dalam sajak, apapun harus menjadi konkret, karena hakikat sastra adalah mengkonkretkan yang abstrak. Saya juga tidak ingin terjebak pada sebuah upaya pembebasan imaji yang dibiarkan hadir dan tumbuh secara liar, teks-teks yang cerai-berai dan pecah-belah, penggunaan bahasa yang rumit dan citraan-citraan yang tidak saling berkaitan serta campur-baur, sehingga menimbulkan kekaburan makna, yang pada akhirnya berakibat menjerumuskan sajak itu sendiri ke jurang kegelapan.
       Demikian pula sajak-sajak yang saya suguhkan dalam antologi ini hadir begitu saja sebagai sesuatu yang telanjang apa adanya, tanpa pretensi apapun selain ingin menjadikan sajak-sajak saya ini sebagai jembatan penghubung antara penyair dan pembaca sastra. Begitu pun sajak-sajak ini setelah dilempar ke publik, saya ikhlaskan ia akan menjalani nasibnya sendiri, apakah ia akan bisa bertahan ataukah tercampakkan dan lenyap dalam peta persajakan Indonesia.

*

       Dalam kesempatan ini, selayaknya saya harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Penerbit HIKAYAT Publishing, yang telah bersedia menerbitkan buku puisi ini hingga sampai kepada pembaca. Juga terima kasih yang setulusnya kepada sahabat saya Agus R. Sarjono (penyair, redaktur majalah sastra Horison, dan mantan Ketua Program Dewan Kesenian Jakarta) yang di tengah rutinitas kesibukannya tetap menyempatkan diri untuk menuliskan Catatan Pengantar untuk kumpulan “Meditasi Rindu” ini, serta kepada sahabat saya para penyair, esais, dan kritikus sastra yang senantiasa menyemangati kepenyairan saya dan dengan legawa hati telah berpartisipasi telah memberikan komentar atas sajak-sajak saya, sehingga memberikan ‘aura cerah’ pada buku ini, yaitu: Acep Zamzam Noor (Tasikmalaya, Jawa Barat), Afrion (Medan, Sumatera Utara), Afrizal Malna (Jogjakarta), Ahmad Syubanuddin Alwy (Cirebon, Jawa Barat), Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), Bambang Widiatmoko (Jakarta), Beni Setia, Caruban, Madiun, Jawa Timur), Binhad Nurrohmat (Jakarta), Dahta Gautama (Jakarta), Dimas Arika Mihardja (Dr. Sudaryono, Jambi), Dinullah Rayes (Sumbawa, Nusa Tenggara Barat), D. Zawawi Imron (Sumenep, Madura), Eko Suryadi WS (Kotabaru, Kalimantan Selatan), Irawan Sandhya Wiraatmaja (Jakarta), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Jamal D. Rahman (Jakarta), Jamal T. Suryanata (Pelaihari, Kalimantan Selatan), Jose Rizal Manua (Jakarta), Kony Fahran (Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur), Korrie Layun Rampan (Kutai Barat, Kalimantan Timur), Kurnia Effendi (Jakarta), Raudal Tanjung Banua (Jogjakarta), Rismiyana (Banjarmasin), Sainul Hermawan (Banjarbaru, Kalimantan Selatan), Saut Situmorang (Jogjakarta), S. Bashri Penyalai (Jakarta), Syaifuddin Gani (Kendari, Sulawesi Tenggara), dan Syaiful Irba Tanpaka (Lampung).
       Selanjutnya terima kasih juga kepada istri saya tercinta, Dra. Hj. Nellawati, MAP, yang sangat pengertian serta rela untuk sementara tidur sendirian, dan sering kali terusik dari kelelapan tidurnya hanya untuk mengingatkan agar saya menjaga kondisi fisik dan kesehatan, ketika malam-malam hingga menjelang pagi saya suntuk dalam proses penggarapan antologi yang cukup menguras energi dan melelahkan ini. Kepada anak-anak saya yang sudah remaja: Muhammad Adhitya Hidayat Putra dan Dita Rebana Hidayat Putri, yang selalu memberi ruang  dan  menyemangati  saya  untuk terus menggeluti  dunia kepenyairan, untuk mereka berdua kumpulan sajak ini juga saya persembahkan. Selain itu, saya dedikasikan juga kumpulan sajak ini kepada ibunda (Hj. Farida Hanoum) dan ayahnda (H. Hijaz Yamani, almarhum).
       Tak lupa, ucapan terima kasih pula kepada semua pihak yang sangat berjasa memberikan spirit kreatif kepenyairan saya yang telah mencapai tiga puluh delapan tahun ini. Tentu, saya senantiasa bersyukur sedalam-dalam dan setinggi-tinggi rasa syukur ke hadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan “kemampuan kreatif” dan dikaruniakan-Nya kesehatan bagi diri saya, sehingga di usia yang hampir mencapai setengah abad ini saya masih diberi kesempatan bisa berkarya. semoga sikap kerendah-hatian dan istiqamah senantiasa mengiringi hidup dan kehidupan saya, serta tetap diberi-Nya kekuatan untuk dapat memanfaatkan bakat kreatif itu. Amin.
       Kepada para apresiator sastra (sajak) yang telah sudi meluangkan waktunya untuk membaca sajak-sajak dalam buku ini serta berkenan mengoleksinya, terima kasih saya untuk Anda semuanya. Karena, sedahsyat apa pun sajak-sajak seorang penyair, tak akan ada artinya tanpa Anda para pembaca. Dan sehebat-hebatnya karya sastra yang dihasilkan seorang sastrawan, tak akan ada artinya kalau tidak mendapat apresiasi masyarakat. Semoga antologi ini bisa memberikan kontribusi berarti terhadap khazanah sastra Indonesia.
       Akhirnya, saya menyadari, bahwa kreativitas seorang penyair tiada sedebu pun bila  dibandingkan  dengan  kreativitas Tuhan – Sang Maha Kreator. Saya pun meyakini bahwa kata-kata, huruf-huruf, dan kalimat-kalimat puitis yang memenuhi sajak-sajak saya tak akan mampu menandingi kreativitas Allah. sebagaimana keyakinan dan kesadaran penyair Sutardji Calzoum Bachri, sehingga ia perlu menuliskan, “walau penyair besar / takkan sampai sebatas allah walau huruf habislah sudah / alifbataku belum sebatas allah” (sajak “Walau”).


Banjarmasin, 14 Juli 2008

Micky Hidayat











Tentang Penyair




 
MICKY HIDAYAT, lahir di Banjarmasin, 4 Mei 1959. Setamat Sekolah Teknik Menengah melanjutkan studi di Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (tidak tamat), dan di jurusan Ilmu Komunikasi, program studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin. Mulai bergiat menulis sajak sejak tahun 1978. Di Samping sajak ia juga menulis esai sastra, ulasan/kritik sastra dan teater, reportase seni, resensi, artikel masalah sosial, politik, dan gerakan mahasiswa, di sejumlah media cetak daerah dan nasional.  
       Sajak-sajaknya dipublikasikan, antara lain di: Banjarmasin post, Media Masyarakat, Dinamika Berita, Radar Banjarmasin, Barito Post, Wanyi, Mata Banua, Pelita, Suara Karya, Berita Buana, Terbit, Pos Film, Sinar Harapan, Prioritas, Merdeka, Dinamika, Republika, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Bali Post, majalah Mandau Telabang, Panji Masyarakat, Hai, Anita Cemerlang, dan majalah sastra Horison, serta di beberapa Jurnal Sastra. Manuskrip yang menghimpun ratusan sajaknya, antara lain Aku Ingin Jadi Penyair Yang (1981), Percakapan dalam Diam (1982), Jalan Sunyi (1985), dan Kesaksian (1991). Sajak-sajaknya juga diterbitkan dalam antologi bersama di berbagai event/forum dan festival sastra, di antaranya Dahaga Banjarmasin Post (editor Tajuddin Noor Ganie, 1981), Penyair ASEAN (Yayasan Sanggar SEMU, Bali, 1983), Sikulus 5 Penyair Banjarmasin (Bengkel Sastra Banjarmasin, 1983), Terminal (Taman Budaya Kalimantan Selatan, 1984), Dengar Bicara Kami (Himpunan Sastrawan Indonesia [HIMSI] Banjarmasin, 1984), Banjarmasin dalam Puisi (HIMSI Kalimantan Selatan, 1987), Puisi Indonesia ’87 (Dewan Kesenian Jakarta, 1987), Puisi Keprihatinan Sosial (Gerakan Pemuda Indonesia [GPI] Kalimantan Selatan, 1991), Kul Kul (Sanggar Minum Kopi Bali, 1992), Jendela Tanah Air (Dewan Kesenian Kalimantan Selatan, 1995), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, 1995), Wasi (Taman Budaya Kalimantan Selatan, 1999), Malam Palestina (Dewan Kesenian Kalimantan Selatan, 2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), Datang Dari Masa Depan (Sanggar Sastra Tasik, Tasikmalaya, 2000), Ragam Jejak Sunyi Tsunami (Balai Bahasa Sumatera Utara, Medan, 2005), Perkawinan Batu (Dewan Kesenian Jakarta, 2005), Seribu Sungai Paris Barantai Antologi Puisi Penyair Kalimantan Selatan (Pemerintah Kabupaten Kotabaru dan Panitia Aruh Sastra III Kalimantan Selatan, 2006), Antologi Sajak Kemerdekaan (Komunitas sastra Indonesia [KSI] Banjarmasin, 2006), Kolaborasi Nusantara dari Banjarbaru (LPKPK – Gama Media, Jogjakarta, 2006), 142 Penyair Menuju Bulan Antologi Puisi Penyair Nusantara (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2006), Cinta Disucikan, Kehidupan Dirayakan  (Komunitas Selakunda,  Tabanan, Bali, 2007), Medan Puisi Antologi Puisi Pesta Penyair Indonesia (Laboratorium Sastra Medan, 2007), Antologi Puisi Penyair Kontemporer Indonesia antologi puisi dalam dwi bahasa: Indonesia dan Mandarin (Perhimpunan Penulis Yin Hua, 2007). Sajaknya juga dimuat dalam antologi 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 Anugerah Sastra Pena Kencana (Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008), dan Tanah PilihBunga Rampai Puisi Temu Sastrawan Indonesia I (Dinas kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, 2008).
       Berbagai forum sastra dan pembacaan puisi di tanah air yang pernah diikutinya, antara lain: Forum Penyair Muda 8 Kota se-Kalimantan Selatan (Banjarmasin, 1982), Apresiasi Puncak Penyair ASEAN (Denpasar, Bali, 1983), baca puisi di Pusat kebudayaan Indonesia-Belanda Karta Pustaka (Jogjakarta, 1983), baca puisi di Pertemuan Sastrawan Jakarta (Taman Ismail Marzuki [TIM], Jakarta, 1986), baca puisi di Forum Puisi Indonesia ’87 (TIM, Jakarta, 1987), baca puisi di Plaza FISIPOL Universitas Gajah Mada (Jogjakarta, 1990), baca puisi di Taman Budaya Jawa Tengah (Surakarta, 1995), baca puisi di Temu Penyair Nasional (Tasikmalaya, 1999), Dialog Borneo-Kalimantan VII (Banjarmasin, 2003), Aruh Sastra Kalimantan Selatan I (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2004), Aruh Sastra Kalimantan Selatan II (Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu, 2005), baca puisi di Cakrawala Sastra Indonesia (TIM, Jakarta, 2005), Kongres Cerpen Indonesia IV (Pekanbaru, Riau, 2005), Aruh Sastra Kalimantan Selatan III (Kabupaten Kotabaru, 2006), baca puisi di Pesta Penyair Nusantara Sempena The 1st Medan International Poetry Gathering (Medan, 2007), Aruh Sastra Kalimantan Selatan IV (Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 2007), baca puisi di Lampung Arts Festival (Bandar Lampung, 2007), Kongres Cerpen Indonesia V (Banjarmasin,, 2007), pembicara pada Seminar Nasional Kongres Komunitas Sastra Indonesia (Kudus, Jawa Tengah, 2008), dan Temu Sastrawan Indonesia I (Jambi, 2008).
       Sebagai aktivis sastra, ia juga aktif bergiat di berbagai organisasi kesenian dan komunitas sastra. Tahun 1981, bersama beberapa penyair Banjarmasin, mendirikan Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB), pendiri sekaligus ketua Bengkel Sastra Banjarmasin (1983-1987), Ketua Bidang Seni Sastra pada Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI) Kalimantan Selatan (1983-1986). Tahun 1990-an, ia terlibat di kepengurusan Dewan Kesenian daerah (DKD) Kalimantan Selatan, sebagai anggota Komisaris Bidang Sastra. Setelah DKD berganti nama menjadi Dewan Kesenian Kalimantan Selatan (DKKS), ia menjabat Ketua Komite Sastra selama dua periode. Kini menjadi anggota Majelis Pertimbangan Seniman (MPS) DKKS periode 2006-2010. Bersama para aktivis sastra di Banjarmasin, tahun 2004 mendeklarasikan berdirinya Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin, dan ia dipercayakan menjabat sebagai Ketua (periode 2004-2007). Pada kongres Komunitas Sastra Indonesia I di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008, ia terpilih sebagai Ketua III Dewan Pengurus Pusat Komunitas Sastra Indonesia periode 2008-2010, dan Koordinator Daerah KSI Kalimantan Selatan.
       Tahun 1997, namanya tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) atas keberhasilannya menciptakan rekor membaca sajak selama 5,5 jam nonstop. Tahun 1998, atas reputasi, prestasi, konsistensi, dan dedikasinya di bidang sastra, ia menerima penghargaan seni dari Gubernur Kalimantan Selatan.    
      









































Endorsement

      

              
Bolehkah aku berciuman dengan hujan
di sebuah jalan di kotamu?
Bolehkah aku memanggilmu seperti rasa lapar
2 jam yang lalu?
Penyair hidup dalam dunia kata seperti seekor kuda
yang melarikan diri dari keretamu.
Lalu kau bertanya: bagaimana kereta itu bisa jalan
tanpa kuda yang menariknya?
Kau tak pernah bertanya sebaliknya: apakah kuda itu
sedang mencari kekasihnya yang sudah kau jual
ke tempat penjagalan.
Pergaulan penyair dengan bahasa seperti seseorang
yang membangun sebuah kamar di antara kehidupan
yang sudah penuh konsep-konsep dan pengertian,
dengan gerak lain yang belum bernama.
Lalu dia melihat hujan sedang berdansa
dalam kamar-kamar itu?
Micky, 20 tahun lebih kita tidak pernah bertemu lagi.
Buku sajakmu ini seperti sebuah sungai
yang mengirim rakit dari hulu
untuk menjemput para sahabat.


(Afrizal Malna, pekerja seni)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar