MANYANGGAR BANUA
Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar
Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII
Kabupaten Tabalong 2010
Perpustakaan
Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KTD)
Manyanggar Banua
Kalimantan
Selatan: Pemerintah Kabupaten Tabalong
dan
Panitia Pelaksana Aruh Sastra
Kalimantan Selatan VII 2010
Cetakan ke-1:
Oktober 2010
132 + xviii halaman;
14 x 21 cm
ISBN: 978-602-98149-1-10
Manyanggar Banua
Bunga
Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar
Pemenang
Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan
VII
Kabupaten
Tabalong 2010
Editor: Abdus Sukur MH, Hajriansyah, Y.S. Agus Suseno
Desain isi: Indrian
Koto
Desain cover: Nur Wahida Idris
Lukisan cover: Aswin Noor
Diterbitkan
oleh:
Pemerintah
Kabupaten Tabalong
Dinas
Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan
Tanjung Selatan RT VII Pembataan
Telepon
(0526) 2021596 Tanjung
bekerja
sama dengan
Panitia
Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan
Selatan VII 2010
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Sambutan
Bupati Tabalong
Saya
menyambut gembira terbitnya dua buah buku sastra dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII yang dilaksanakan di
Tanjung, Kabupaten Tabalong, 26 s.d. 28 November 2010. Pertama, Menyampir Bumi Leluhur, bunga rampai
puisi karya sastrawan Kalimantan Selatan; kedua, Manyanggar Banua, bunga rampai puisi dan cerpen bahasa Banjar. Buku
yang kedua menghimpun puisi dan cerpen pemenang Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar
Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan,
yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang merupakan rangkaian kegiatan.
Penerbitan
buku ini adalah bagian dari acara lain: Lomba Basyair dan Lomba Madihin
Kalimantan Selatan, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, Ceramah/Dialog
Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, Sidang Pleno ASKS VII, ziarah ke
makam sastrawan/budayawan Kabupaten Tabalong dan anjangsana ke objek wisata.
Menurut
catatan, perkembangan kesenian, bahasa, sastra daerah dan sastra Indonesia di
Kalimantan Selatan cukup menggembirakan. Hal itu tampak dari maraknya karya
sastra ciptaan sastrawan -- berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah Banjar
-- yang terbit dalam bentuk buku, atau dipublikasikan di media cetak,
elektronik dan dunia maya, di tingkat lokal maupun nasional.
Pemerintah
Kabupaten Tabalong menyampaikan penghargaan dan terima kasih tak terhingga
kepada sastrawan dan budayawan kabupaten/kota Kalimantan Selatan yang
berpartisipasi dalam acara ini. Karena dilaksanakan menjelang 1 Desember 2010
-- Hari Jadi Kabupaten Tabalong ke-45 -- acara ini menjadi lebih istimewa.
Semoga
kegiatan yang positif ini memberikan banyak manfaat.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Tanjung, 26 November 2010
Drs.
H. Rachman Ramsyi, M.Si
Sambutan
Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Assalamu’alaikum
Wr.Wb.,
Puji dan
syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya jualah Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan
Panitia Pelaksana Aruh Sastra
Kalimantan Selatan (ASKS) VII, dapat menerbitkan buku ini. Kehadiran buku ini
memperkaya khazanah pustaka sastra dan budaya di Tanjung, Kabupaten Tabalong,
khususnya; dan di Kalimantan Selatan, umumnya.
Menurut
catatan, ASKS I dilaksanakan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan
(2004), ASKS II di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (2005), ASKS III di Kotabaru,
Kabupaten Kotabaru (2006), ASKS IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara
(2007), ASKS V di Paringin, Kabupaten Balangan (2008), dan ASKS VI di
Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (2009).
Mengingat
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki 13 kabupaten/kota, maka -- dengan ASKS VII
2010 -- berarti ajang perhelatan sastrawan ini telah menjalani lebih separuh
putaran. Artinya, tersisa enam kabupaten/kota yang belum disinggahi kegiatan
yang dilaksanakan secara bergantian ini. Barangkali ada baiknya para sastrawan
mengkaji ulang hal-hal yang telah, sedang, belum atau akan dilakukan
dalam ASKS -- misalnya melalui Sidang Pleno, yang telah menjadi agenda wajib
dalam ASKS.
Kendati
demikian, segala sesuatunya terpulang kembali kepada para sastrawan Kalimantan
Selatan sendiri, sebab ASKS adalah oleh sastrawan dan untuk sastrawan. Dalam
ASKS, pemerintah daerah yang mendapat giliran sebagai tuan rumah lebih berperan
sebagai fasilitator.
Akhirul
kalam, tak ada gading yang tak retak. Semoga penerbitan buku ini dan
pelaksanaan ASKS VII 2010 di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menimbulkan kesan
yang manis: semanis madu dan langsat Tanjung.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Tanjung, 26 November 2010
Drs. H. Birhasani Ismail, M.Si
“Saraba
Kawa” dan Komitmen Bersama
Pengantar
Panitia Pelaksana
Menjadi
tuan rumah sebuah perhelatan seni berskala provinsi bukanlah perkara mudah,
termasuk untuk Aruh Sastra Kalimantan
Selatan (ASKS) yang, sebelum ini, telah berlangsung enam kali di enam
kabupaten. Bagi publik sastra yang setia menghadirinya, enam kegiatan di enam
tempat itu mungkin telah menimbulkan kesan, catatan, dan bahkan perbandingan
tersendiri; yang satu dinilai lebih baik daripada yang lain, misalnya, dan
sebagainya.
Sebagai
pihak yang tak pernah absen menghadiri ASKS di kabupaten lain, timbul
pertanyaan di hati: mampukah kami, yang tahun ini menjadi penyelenggara,
memenuhi harapan kawan-kawan sastrawan dan budayawan yang diundang sebagai
peserta, dalam pelayanan maupun materi acara?
Untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan, kami memutuskan bekerja sejak jauh-jauh
hari. Juni 2010 kami telah menyusun panitia pelaksana, merancang program dan
materi kegiatan; mengerjakan administrasi, mendistribusikan undangan dan jadwal
acara/edaran/pengumuman lomba penulisan karya sastra -- sekaligus pengumpulan
puisi untuk antologi, dalam undangan kepada sastrawan dan budayawan perorangan,
dengan batas waktu sampai dengan 20 Agustus 2010 -- publikasi di media cetak
lokal dan dunia maya, serta menyerahkan pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan
kegiatan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan lembaga terkait di
seluruh kabupaten/kota Kalimantan Selatan.
***
“Saraba
Kawa”: Menjunjung Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah sengaja diusung
sebagai tema utama. Saraba Kawa
adalah motto Kabupaten Tabalong, yang berarti “serba bisa”, meskipun tidak
dimaksudkan sebagai harat -- apalagi marasa paharatnya -- dan jauh dari niat arogansi. Kami ingin memotivasi
komitmen bersama agar kita “serba bisa” dan paharatnya
dalam mengapresiasi kesenian, bahasa dan sastra daerah yang kian terpinggirkan
akibat perkembangan budaya global.
Dengan tema
utama itu, dirancang 9 materi kegiatan: (1) Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar
Kalimantan Selatan, (2) Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan
Selatan, (3) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba, (4)
Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan, (5) Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, (6) Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra
Daerah, (7) Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, (8)
Sidang Pleno Aruh Sastra Kalimantan
Selatan VII, dan (9) Ziarah dan Anjangsana.
Dalam
pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan dapat dilihat, bahwa seluruh rangkaian
kegiatan melibatkan (dan dikerjakan oleh) sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan
yang mumpuni di bidangnya. Selaku Panitia Pelaksana, kami lebih menempatkan
diri sebagai mediator dan fasilitator.
Untuk
menilai puisi peserta Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan
(berlangsung sejak Juni sampai dengan 20 Agustus 2010), kami menyerahkan
penjuriannya kepada Arsyad Indradi (Kota Banjarbaru), Ali Syamsudin Arsy (Kota
Banjarbaru) dan Zulfaisal Putera (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 119 judul
puisi (56 peserta).
Untuk Lomba
Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang dilaksanakan
bersamaan), Dewan Juri-nya Aliman Syahrani (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan), Jamal T. Suryanata (Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut) dan Nailiya
Nikmah JKF (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 67 judul cerpen (54 peserta).
Setelah melalui
penjurian, 6 puisi pemenang utama (bersama 19 puisi nominasi) dan 6 cerpen
pemenang utama dibukukan dalam antologi -- dilengkapi catatan dewan juri lomba
bersangkutan, sebagai semacam “pertanggungjawaban penilaian”.
Mengacu
pada tema utama, antologi puisi dan cerpen bahasa Banjar pemenang lomba
tersebut diberi judul Manyanggar Banua
-- dari judul puisi Erika Adriani, Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar
Kalimantan Selatan ASKS VII 2010. Secara harafiah, manyanggar banua adalah nama ritual “tolak bala” -- upacara adat
masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus yang, di masa lalu, rutin
dilaksanakan di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Karena berbagai faktor, ritual itu sudah lama tidak dilaksanakan.
Penerbitan
Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan pun kami serahkan kepada
kurator/editor yang kredibel dan berkompeten, yang sudah ditetapkan
zona/wilayah kewenangannya: Burhanuddin Soebely untuk Banua Anam (Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Utara,
Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan
dan Kabupaten Tapin), Micky Hidayat (Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, Kota
Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala) dan Y.S. Agus Suseno (Kabupaten Tanah
Laut, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru).
Selaras
dengan tema utama, Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan diberi
judul Menyampir Bumi Leluhur -- dari
judul puisi R. Syamsuri Sabri. Menyampir
hampir mirip dengan makna ritual manyanggar.
Bedanya, masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus maupun Daerah
Aliran Sungai (DAS) Barito lazimnya melaksanakan upacara menyampir (dengan menanggap wayang
sampir) -- dengan pelbagai
variasi ritual -- setelah “kaul” atau “hajat”-nya terkabul.
119 judul
puisi karya 70 penyair yang karyanya terhimpun merupakan cermin kecil dari
banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan -- ini jumlah terbanyak sepanjang
penerbitan antologi puisi ASKS.
Menurut
data, penyair yang diminta mengirim 2 s.d. 3 judul puisi untuk antologi
(walaupun yang “lolos seleksi” kemudian hanya 1 atau 2 puisi saja), sekaligus
diundang sebagai peserta ASKS VII, jumlahnya berbeda antara satu kabupaten/kota
dengan kabupaten/kota lainnya. Mereka dipilih dengan kriteria yang amat
longgar: dari publikasi karyanya di rubrik sastra media cetak lokal, dari
antologi puisi pribadi, antologi puisi bersama (yang diterbitkan
organisasi/lembaga/komunitas sastra kabupaten/kota penyair bersangkutan);
penyair yang memiliki dedikasi dan loyalitas berkarya -- atau, meskipun baru
muncul, memiliki prestasi dan reputasi menonjol.
Menariknya,
ternyata ada pengirim puisi yang, setelah dicek, namanya tak tercantum dalam
daftar penerima undangan asal kabupaten/kota bersangkutan. Koordinator penerima
puisi -- sebelum diserahkan kepada kurator/editor -- terpaksa harus
menyingkirkan puisi-puisi tersebut. Bukan hanya tidak memenuhi kriteria di
atas, di antara pengirim puisi itu bahkan ada yang masih siswa SMP. Sebaliknya,
sebagian penyair yang diundang dan diminta berpartisipasi -- barangkali karena
tak ada puisi baru, atau (karena kesibukan) lupa dengan tenggat waktu -- di
saat akhir justru tidak mengirimkan karyanya.
Di masa
depan, kalau kita sepakat ingin meningkatkan kualitas, seyogianya dilakukan seleksi
yang lebih ketat (oleh kurator/editor yang berkompeten) sebelum sebuah puisi
diputuskan untuk dimuat dalam antologi ASKS. Ketika melihat puisi yang
seluruhnya ditulis dengan huruf kapital, misalnya, kurator/editor yang jeli
akan tahu, bahwa penulisnya masih pemula -- amat ironis kalau kemudian puisi
itu dibukukan sesuai aslinya. Dengan kata lain, jangan sampai karya seseorang
yang tidak jelas jejak rekamnya, “tidak berkeringat” di jalan sastra, dengan
mudah dimuat dalam antologi. Jika hal itu berlangsung terus menerus, antologi
puisi ASKS takkan pernah menjadi prestisius.
***
Berbeda
dengan Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang
Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang terbuka untuk umum dan boleh
diikuti oleh perorangan), Lomba Basyair
dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan
hanya dapat diikuti oleh wakil/utusan resmi kabupaten/kota, yang penunjukan dan
pengiriman pesertanya dikoordinir SKPD dan lembaga terkait -- Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata, bersama Dewan Kesenian/komunitas sastra di kabupaten/kota
masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar ada koordinasi, sinergi dan komitmen
bersama antarinstansi dan lembaga/komunitas terkait di kabupaten/kota
masing-masing dalam membina, mengembangkan dan memajukan kesenian.
Masih
terkait dengan tema utama, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah membahas
Perda Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah dan Perda Nomor 7
Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah yang diterbitkan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Bagaimana implementasi dan implikasi
Perda itu -- berlaku Juli 2010 -- terhadap pembinaan dan pengembangan kesenian,
bahasa dan sastra daerah, diseminarkan, dengan narasumber Drs. Abdul Karim, MM
(Ketua Umum Dewan Kesenian Kotabaru), Prof. Dr. H. Djantera Kawi (Guru Besar
FKIP Unlam Banjarmasin) dan Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan
Pariwisata (Disporabudpar) Provinsi Kalimantan Selatan.
Ceramah/Dialog
Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional adalah salah satu agenda penting
dalam ASKS. Dengan topik Khazanah Budaya Lokal Sebagai Sumber Inspirasi
Penulisan Karya Sastra, semula direncanakan Ahmad Tohari (yang dikenal dengan
novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk)
sebagai narasumber. Namun, karena Ahmad Tohari tahun ini pergi haji, kehadirannya
digantikan Raudal Tanjung Banua, sastrawan muda kelahiran Sumatera Barat, yang
bermukim di Yogyakarta.
Sidang
Pleno adalah bagian yang tak kalah penting dalam agenda ASKS. Peserta
(sastrawan, budayawan, pengamat budaya, pengurus Dewan Kesenian, pejabat Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata seluruh kabupaten/kota) dapat mendiskusikan isu-isu
aktual tentang sastra, seni dan budaya (lokal maupun nasional); menyampaikan
seruan, maklumat atau resolusi sastra (yang ditandatangani bersama), sekaligus
menyerahkan amanat, mandat atau rekomendasi (yang ditandatangani bersama)
kepada kabupaten/kota pelaksana ASKS tahun mendatang.
***
Akhirul
kalam, tak ada gading yang tak retak. Kami sadar, harapan terkadang berbeda
dengan kenyataan. Rencana baik terkadang belum tentu bisa berjalan dengan baik
pula. Meskipun demikian, Insya Allah seluruh rencana akan berjalan dengan baik
dan lancar apabila sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan memiliki tekad
dan komitmen bersama: saraba kawa
dalam hal menjunjung kesenian, bahasa dan sastra daerah.
Lilies
MS (Ketua)
Bambang Rukmana (Sekretaris)
Daftar
Isi
Sambutan
Bupati Tabalong
Sambutan
Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama
Daftar
Isi
6 Puisi Terbaik
Dilema
“Keberadaan” Bahasa Banjar Sebagai Bahasa Tulis
Manyanggar Banua/Erika Adriani
Diang Hirang/Syarifuddin
Mambuang Tantajuk, Manggantung Tajak/Aria Patrajaya
Maratus/East Star From Asia
Madam/Rahmatiah
Sapanjadi/M. Nahdiansyah Abdi
19 Puisi Nominasi
Karasmin Sungai/Apriadi Darmawan
Bubur Habang Bubur Putih/Aria Patrajaya
Kariau/Arif Rachman
Sajak Panjual Kalakai/Arief Al Rifany
Syair Mangganang Paguruan/A. Rahman Al Hakim
Kumarau Landang/Eza Thabry Husano
Kamarau Lingkah Dapatnya Banyu/Herlianti
Ada Masigit di Hatiku/H. Fahmi Wahid
Wawarah Pikurat/H. Fahmi Wahid
Gasan Mamanya Nabil/H. Muhaimin
Lalakun/Jaya Ginmayu
Handak Waras/Jakaria Kastalani
Tihang/Nasrullah
Karindangan Saurangan/Komariah Widyastuti
Mahayabang/Rahman Rijani
Kunci Naraka/Randi Arma Prayuda
Mandulang Intan/Sudarni
Papat Pitutur Panglima Wangkang/Trie Restu Panie
Marasnya
Bumiku/Zurriyati Rosyidah
6 Cerita Pendek Terbaik
Manampi,
Mangikihi, Mamutiki
Tagaian/Erika Adriani
Bapintaan/M. Fuad Rahman
Kada Tamakan Habar Lagi/Komariah Widyastuti
Manggantang Sayang/Muhammad Rifqi
Kada Bakasudahan/Nur Hidayah
Jujuran/Hatmiati Masy’ud
Tentang Penulis
6 Puisi Terbaik
Dilema “Keberadaan” Bahasa Banjar
Sebagai Bahasa Tulis
Catatan
Dewan Juri
Pemahaman
terhadap “puisi bahasa Banjar” adalah sesuatu yang memang dalam kondisi
‘bermasalah’, terutama tentang ‘ada atau tidak adanya kebakuan bahasa Banjar
itu sendiri’. Kadang berhadapan dengan situasi di mana segala kemungkinan dapat
saja terjadi, apakah bahasa Banjar itu yang telah sering didengar sebagai
pembicaraan masyarakat secara luas ataukah memang harus menggunakan idiom-idiom
bahasa secara khusus, apakah bila menggunakan beberapa istilah yang sangat
‘langka’ atau sangat jarang -- tetapi ada -- maka itulah cara pengungkapan yang
paling diutamakan, ataukah sesuatu yang ringan dan telah sangat sering
dikemukakan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat Banjar itu sendiri.
Berkaitan
dengan pertanyaan terakhir pada kalimat di atas, biasanya ekspresi bahasa
Banjarnya telah berbaur dengan struktur bahasa lain, walau ini pun tidaklah
benar sepenuhnya pula, bahasa Indonesia terutama. ‘Dilema’ ini berdampak kuat
pada situasi ketika ada yang menilai sebuah ‘puisi bahasa Banjar’. Tetapi
memang harus diakui bahwa pembeda yang kuat dengan jenis atau ragam puisi lain
adalah di sisi bahasanya, yaitu bahasa Banjar, dan otomatis jadilah ia sebagai
‘puisi bahasa Banjar’.
***
Boleh jadi
unsur tema yang melekat di dalam unsur pesan, sebagai fungsi untuk apa puisi
itu diciptakan, tidaklah menjadi ukuran yang dikuatkan, ia akan menjadi biasa
saja atau bahkan sama saja dengan jenis atau ragam puisi yang lain yang banyak
bertebaran di ruang-ruang penciptaan. Jadi, sebagai alat pengukur utama ketika
adanya sikap apresiatif-kritis terhadap keberadaan sebuah ‘puisi bahasa Banjar’
adalah, kita menggunakan bahasa Banjar yang bagaimana.
Kita pun
sampai sekarang tidak atau belum memiliki semacam ‘tokoh atau figur
panutan’ yang mampu dijadikan
‘tolak-ukur’ bahwa pemakaian atau pengucapannyalah yang dijadikan dasar, apakah
keberadaan ‘tokoh’ ini sedang berdomisili di daerah Tanjung dengan tata-cara
berbahasanya, atau berada di Kandangan dengan tata-cara berbahasanya, atau
bahkan sedang berada di daerah aliran Sungai Barito dengan tata-cara
berbahasanya, bahkan mungkin saja dengan tata-cara berbahasa orang yang ada di
wilayah Kotabaru-Batulicin-Pagatan. Jadi, dilema besarnya adalah ‘di mana
kedudukan bahasa Banjar yang ideal itu’ dalam konteks sebagai bahasa tulis
sementara bahasa Banjar tidak (belum) memiliki aksaranya sendiri.
Berangkat
dari dilema di atas, bukan berarti tidak dapat menentukan sikap dalam menilai
puisi-puisi (yang oleh penulis/pengirimnya diakui sebagai “inilah puisi bahasa
Banjar” itu; menurut masing-masing tentunya). Maka ketiga dewan juri lomba
cipta puisi bahasa Banjar dalam agenda besar Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-7 tahun 2010 yang dilaksanakan di
kota Tanjung, ibukota Kabupaten Tabalong, adalah dengan jalan kesepakatan
diambil berdasarkan musyawarah-mufakat.
Ada
beberapa langkah telah ditempuh, yaitu (1) masing-masing juri melakukan
pembacaan sendiri-sendiri, (2) masing-masing juri mengajukan 10 puisi unggulan.
Dari unggulan masing-masing itu akhirnya didapatlah 6 buah puisi yang
disepakati bersama oleh ketiga anggota dewan juri sebagai juara 1, 2, 3,
harapan 1, harapan 2, dan harapan 3. Hasil puncak itu didapat setelah seluruh
anggota dewan juri melakukan rapat khusus dalam diskusi yang intens.
***
Secara umum
pembahasan lebih fokus pada “inguh” atau boleh jadi “greget” atau “nuansa”
kebanjarannyalah yang dalam hal ini berkaitan juga dengan, (a) kebahasaannya dengan
pengetahuan atau teori-teori sesuai kemampuan para penilai, (b) bentuk, batang
tubuh atau tipografi puisi, (c) bentuk-bentuk metafora, pencitraan serta
kekuatan bunyi atau rima, dan (d) orisinalitas karya.
- Secara umum pembahasan lebih fokus pada ‘inguh’ atau boleh jadi ‘greget’ atau pun ‘nuansa’ kebanjarannya, dengan kata lain tidak menitikberatkan apakah harus dialek Banjar Kuala atau Banjar Hulu.
- Memperhatikan kebahasaannya seperti penulisan huruf, yakni dalam bahasa Banjar, baik Banjar Kuala maupun Banjar Hulu tidak mengenal hurup / f /, / q /, / v /, / z / dan yang terdapat pada posisi akhir seperti / b / pada kata ‘adab’ – ‘adap’, kata ‘ahad’ – ‘ahat’.
- Bentuk puisi, batang tubuh atau tipografi puisi.
- Bentuk-bentuk metafora, pencitraan serta kekuatan bunyi atau rima.
- Orisinalitas.
Uraian di
atas disepakati oleh dewan juri untuk dikemukakan sebagai catatan ketika
melaksanakan penilaian seluruh puisi yang masuk, berjumlah 119 puisi. Kami pun
menyarankan agar pelaksanaan lomba semacam ini (Lomba Cipta Puisi Bahasa
Banjar) ke depan lebih sering dilakukan, karena dengan intensitas yang tinggi
pada saatnya akan ditemukan bentuk kebahasaan bahasa Banjar yang diinginkan
oleh semua pihak, walau kita tahu pula bahwa perkembangan bahasa itu sangat
cepat dan semua bergantung kepada masyarakat pemakainya sebagai pendukung utama
terhadap keberadaan, pertumbuhan serta perkembangan bahasa itu sendiri, bahasa
Banjar tentu begitu pula adanya. (Arsyad Indradi, Zulfaisal Putera, Ali
Syamsudin Arsi)
Erika Adriani
Manyanggar
Banua[1]
tumatan
subalah gunung di Hulu Banyu
tandik
balian mahantak balai
kanjar wan babangsai
mamasung malam
garincing
galang hyang mangariau alam patilarahan
uu,
bubuhan dangsanak malapas kukus dupa
baharum
banua
umai,
manyanggar di bawah hindau bulan
di
bawah garirap ribuan bintang
di
palinjangan Garuntung Manau, basuluh
undayang
manggantar
alam mambang
hutan-hutan
takurijat
sungai-sungai
manguliat
angin
mangaji daun
kadap
mangaji ambun
karasmin
gaib di alam bumi lamah
mamang balian mambasuh
wisa
gamal
panjulang mamajah bara
andak
sasaji di langgatan, banih wan lamang
supaya
alam banua daham rusak
supaya
hidup tarasa nyaman
cuh!
bajauh
tukang bulangkir banua
daham
barurusak lagi di sia
kaina
kami humbalang
kaina
kami riwas
kaina
kami damak
kami
handak jua guring nyanyak
kami
handak jua manyambung hinak
Banjarmasin, 30 Juli 2010
Keterangan :
-
Hulu Banyu
: nama lain kawasan hunian suku Dayak
Meratus.
-
kanjar : tarian yang dibawakan kaum laki-laki.
-
babangsai : tarian
yang dibawakan kaum perempuan.
-
galang hyang : gelang keramat untuk upacara adat.
-
patilarahan : alam roh para nenek moyang.
-
manyanggar : upacara
agar terhindar dari musibah dan rasa syukur diberikan rezeki serta keselamatan.
-
Garuntung Manau : seorang datuk sakti pembasmi kejahatan dalam kepercayaan
suku Dayak Meratus.
-
mamang : doa,
mantera.
-
panjulang : penabuh gendang.
-
langgatan : tempat meletakkan sesaji.
Syarifuddin
Diang
Hirang[2]
Diang Hirang bajalan lajang malalui kahinipan padang jalan
Malingkang bulangkiran batu tahambur
Maliung
rungkang lucak – lunan
Kuring
gatalan aspal takuyak
Batingkuluk kandal tapih buruk
Manjunjung
bungkalang kahidupan
Manjaja
untung tuah pucuk kalakai
Nang
diputik di pinggir jalan ganangan
Diang
Hirang bajalan lajang
Malalui
hahihipnya sampaliring
Barisan
galam bacampur karamunting
Maracap
lingkang batis batilanjang
Bajajak
di bulangkiran batu timbuk
Kuring
gatalan aspal takupak takulipah
Batingkuluk
kandal tapih buruk lapik duduk bungkalang
Manjunjung
bungkalang kahidupan
Manjaja
untung tuah pucuk kalakai
Nang
diputik di pinggir jalan ganangan
Nang
sawat tarakam dalam ingatan
Matan
kakanakan lacit naik ka bujang
Aria
Patrajaya
Mambuang Tantajuk, Manggantung Tajak[3]
Kugilir
tantajuk wan tajak
tahun
kalawan tahun
sasala
tagah kumpai minyak
banta
kangkung basiraput
Kasisiur
tarabang ka hulu ka hilir
hari
panas manggantang
tajak
mangacipak tantajuk manciruk
tanah
liat kuning
kakanakan
balumpang
mahadangi
Abah tuntung marincah
Uma
tuntung malacak
Kugilir
tantajuk wan tajak
tahun
kalawan tahun
sasala
paluh daki manguriping
Ratik
palastik bungkus mi
higa
mahiga parumahan
tanah
hirang balamuk
bau
gangsung tahiut
Ui,
masih juakah Gambut
bagalar
Kindai Limpuar
Ui,
masih juakah Kartak Hanyar
batanah
subur
lamun
pahumaan baganti parumahan
lamun
tantajuk dibuang tajak digantung
Manangis
sisigan baurut dada
awak
ringkut silau maningadah
pahumaan
nang wayah-wayah hijau kuning
rapun
wan buah banih
baganti
tihang ulin atawa batun
Kindai
puang
paluh
karing
banyu
mata umpat jua karing
East
Star From Asia
Maratus[4]
(Hagan pian, nang mangaku maangkat
dangsanak.
Put lalak, kaputingannya mahantak)
DI BANUA. Habar nang manggaliwayang.
Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Di tambang nangitu, kadangaran
puhun kayu pukah. Kadangaran buldozer
ngaur-ngaur mahambur tanah. Tagal kadada siapa-siapa.
Di lain. Saban malam Jumahat, imbah
sanja kuning marimis, di kanturan ganal nangitu. Kadangaran batu dihawar
bagadangkar. Kadangaran urang kajar. Kada lawas tadangar urang kuciak papar.
Tagal kadada siapa-siapa. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis.
Kadangan di kanturan ganal nangitu. Hiii.
(Rak-rak gui, bincul mumui!
Akayah. Nangapa banua dilincai kumpai?)
Amun
batang kayu pahabisan hudah habis
Banyu
mata baah kada habis-habis
Amun
batu bara pahabisan hudah habis
Biar
banyu mata darah kada habis-habis
Dalas
balangsar dada nangapa nang handak dikais?
Sabakas
sayup, salawasan siup
Pian
handak baisian kahandak
Ulun
takutan baisian katakutanan
Dangsanak
kada dangsanak mun balum anyak
Kibit
urang sakit saurang.
(Pung pang halu, tapangkung waru!
Akayah. Wani maambung wani manyambut)
Amun
hutanan pahabisan hudah habis
Banyu
baah kada habis-habis
Amun
gunung pahabisan hudah habis
Labar
kabun pahumaan bangai kada habis-habis
Dalas
bahantak batis nangapa nang handak dipais?
Sabakas
sayup, salawasan siup
Ulun
handak baisian kahandak
Pian
takutan baisian katakutanan
damak
kada damak mun balum disumpitakan
Siapa
manyurung apinulat dicancang
Ulun
itihi, pian kalumpanan
Ulun
tagur, pian kapiragahan
Ulun
haga, pian karasukan
Amun
pahatian pahabisan hudah habis
Muar
ulun kada habis-habis
Kuluh,
baribu kuluh
Dibulihakan
manatak cakang, pian manabang puhun kayu
Dibulihakan
manabang puhun kayu, pian manabas hutanan
Dibulihakan
manabas hutanan, pian mahambur gunung
Dibulihakan
mahambur gunung, pian mangipai bubuhan kulaan
Pina
baadat kada baadat, baadat musti baadat
Amun
muha aasaan batampungas, ulun kada aasaan manapas
Handak
gantung sarinditkah?
Handak
tundikkah?
Handak
balah saribukah?
Ulun,
ulun, ulun kawa maulah parang maya
Cah, pian urang manakah. Urang badahikah. Urang haratkah!
Amun
di banua tapakai kupiah purun
Ulun
amparakan tikar purun
Nang
kada kawa dikukut sabarataan
Daham
dikuluh sabarataan
(Pus pus mura, bubus bakul purun!
Akayah. Umbayang gin dipatuk mun
tajajak)
Amun
muar pahabisan hudah habis
Banyu
tawar sambur kada habis-habis
Amun
sabar pahabisan hudah habis
Biar
mata luka darah kada habis-habis
Dalas
batimpas jual siapa nang handak manukari?
Sabakas
sayup, salawasan siup
Ulun
handak baisian kahandak
Pian
takutan wan katakutanan:
Cuh, cuh! Ulun ludahi talapak tangan.
Talunjuk
manunjuk langit rakungan.
“Aku
tahu asal ikam, sangiang gararak.
Hai
urang jauh, lanah lunuh
Kusumpit
sumangat rabah rubuh
Sumpit
ka batu, batu manggarapak
Sumpit
ka angin, angin tacandak
Sumpit
ka awak, awak ramak
Parang
maya tarabang bang,
tarabang
tuju ka ampun buldozer di manakah
Ina ana abu dana, puaaah!”
(Nuna nuni, lampah turun di agung!
Akayah. Tambang mati bungkam gunung)
DI BANUA. Habar nang manggaliwayang.
Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Di tambang nangitu, kadangaran
puhun kayu pukah. Kadangaran buldozer
ngaur-ngaur mahambur tanah. Tagal kadada siapa-siapa.
Di lain. Saban malam Jumahat, imbah
sanja kuning marimis, di kanturan ganal nangitu. Kadangaran batu dihawar
bagadangkar. Kadangaran urang kajar. Kada lawas tadangar urang kuciak papar.
Tagal kadada siapa-siapa. Isuk ari saikung nang tatuhanya kadapatan kana wisa. Hiii.
Keterangan:
1. Rak-rak
gui, pung pung, pus pus, cuh cuh dan puah puaaah (kata tiruan bunyi)
2. Akayah dan cah (kata
seru)
3. Sangiang (dari kata Sang Hyang) dan put (dari karamput)
4. Apinulat (kata sumpah-serapah, kualat)
5. Ina
ana abu dana dan nuna nuni (mantra guna-guna)
Rahmatiah
Madam[5]
(gasan
Uma)
Amun
nasib balum takisah alamat bulik
Maka
biar ai sudah kita relaakan nang kaya itu
Sabujurannya
ulunlah jukung
nang tasasat di hunjuran
padang ilung
Manyasah
hujan batu
mambawa
nasib bakayuh ka hilir ka hulu
maumpati
pasang banyu.
Hilang
jua sudah kancur jariangauku
lawas
kada bacuur lawan datu.
Magin
balabuh ka muhara
bamagin tarasa ditampur
anginnya.
sasar
jauh matan banua
sasar
banyak tatamui ular lawan buhaya.
Umai,
titik jua banyu mata
kaganangan
kampung asal muasal jukung
mun
pariannya nang ulun tamui
tatinggal
jalan bulik ampah ka gunung.
M.
Nahdiansyah Abdi
Sapanjadi[6]
Hidup
sapanjadi, nang sampadaan kada kawa baindah
Bakisut
dihaga waktu: hussa... hussa...
Alam
saraba baharu, taudak saling cinikan
dalam
butahnya jaman. Aku bajuju mahija Andika
Kasadakan
kada sing ampihan. Mangganang
wayah-wayah
batamuan. Asa raum panjanak!
Nginging
di talinga, gadangkaran dalam jauk
Kur
sumangat, lakasi, lakasi ambili
Dunia
sudah hanta, sudah buntat, kapidaraan!
Hidup
sapanjadi, hidup sapanjadi
Manating
kada saapa, kada saapa
2010
19
Puisi Nominasi
Apriadi
Darmawan
Karasmin Sungai
Bakayuh
ka hilir maminggir kabut
di
sungai nang manguliat
jukung
mandusur mambawa bungkalang nasib
di
karungkung ari nang tarasa likat
siapa
nang bagamal di muhara
ada
dangung kuriding mangariau mambang
ada
tuhui sarunai mambuhul angin
ada
katipak babun manampa dingin
ada
lalakun mahayabang di banua junjang
siapa
nang baigal di atas tangis galumbang
di
atas ilung wan ratik-ratik larut nang dibuang
langit
basisigan
mandangar
nyanyian marista di bawah jambatan
umai,
raminya karasmin di muhara sungai
balantak
kada maingat ari
kada
maingat diri
kada
mangganang lawan bubuhan dangsanak
nang
bapangsar dada
mancari
panyambung hinak
Banjarmasin, 9 Agustus 2010
Aria
Patrajaya
Bubur Habang
Bubur Putih
Tuah
gunung tuah hutan
hilang
mahalimunan wayah siang
Baras
kuning bahamburan
bubur
habang bubur putih di atas ancak
gunung
jadi danau
danau
jadi lautan
sumangatnya
tarabang
Tuah
tanah tuah datu-datu
hinip
dingin kanyap
Kambang
rampai basapai
bubur
habang bubur putih di atas ancak
puhun
ulun jadi batu bara
batu
bara jadi kakuasaan
wanasnya
tarabang
Ui,
bubuhan pambakal
jangan
disalungkar gunung
Ui,
bubuhan kapala padang
jangan
dibulangkir tanah wan hutan
kasian
anak-cucu
kasian
datu-datu maraju
Tuah
bubur habang tuah bubur putih
sasala
lamang wan hintalu
ancak
tatilungkup
puhun
kariwaya baguyang
ulin
rabahan
batu
bara habisan
anak-cucu
manangisan
Arif Rachman
Kariau
Halang
kulik-kulik baputar mangariau
Kamana
lagi mambari tanda
Siapa
jua nang ampun ulah
Balumba-lumba
maulah tabala
Bausaha
bacari kada tahu dibasa
Anak
cucu nang manyandangnya
Halang
kulik-kulik mangariau
Kamana
lagi mambari tanda
Mambantas
rajaki urang piragah buta, piragah tuli
Mamarah
alam sampai luka
Mamuja
amas hirang mangadang wisa
Halang
kulik-kulik mangariau
Kamana
lagi mambari tanda
Sanja
sudah alam taalamat
Kamana
kayu hagan batinggir
Tanah
baluang-luang kada barupa
Jangan
maniwas mun aku hamuk
Tarima
rata kada basisa
Halang
kulik-kulik mangariau
Kamana
lagi mambari tanda
Hadang
ha!
Arief
Al Rifany
Sajak Panjual Kalakai
Subuh
manguliat marut
Maipii
rimah tinjau
Manalapak
talapak pajar
Batis
batilanjang maracap lingkang
Malibas
hahinipnya sampaliring
Sasala
patung galam baambun
Maliung
lubak manggurau
Bulangkiran
batu gatalan
Kuriping
kuring aspal takuyak
Nasib
buruk bantal kacil
Lapik
duduk bungkalang hidup
Balikap
sayang di kapala
Manjaja
untung tuah kalakai
Mandi
paluh tilasan ambun
Matan
hunjuran padang tawakal
Balantak
ka jantung Pasar Wangkang
A.
Rahman Al Hakim
Syair Mangganang Paguruan
(gasan
ayah guru sakumpul)
ini
kisah jadi pundukan
urusan
dunia ditinggalakan
ahirat
nang diutamakan
kada
baisukan kada kamarian
kada
siang kada malam urang guringan
hibak
lawan pangajian
manuntut
ilmu sambil maamalakan
balajar
ilmu syariat lawan ilmu haqiqat kayakinan
banyak
kitab nang dibacaakan
matan
kitab tafsir hadis sampai tafsir al qur’an
matan
ihya ulumuddin sampai sabilal muhtaddin
matan
sirah nabi sampai sirah ulama nang hibak kamuliaan
matan
manaqib kalampayan sampai manaqib syaikh samman
batahun-tahun
mairingi paguruan
kamana
sidin ka situ jua basimpuh badudukan
maingkuti
kitab sambil mandabit nang dibacaakan
tapi
ujian kahidupan kada sing rantian
sampai
di mana hati kuat manahanakan
malapas
paguruan atawa manyasahi kaduniaan
simpun
mangaji sampai sidin maninggalakan
dipasani
manggawi apa nang sudah dilajarakan
rasa
sadih jasad ditinggalakan
tapi
jar sidin kaina kuambiliakan
bila
ikam sampai janji nang ditantuakan
hujung
hinak nang pahabisan
Juli 1010
Eza
Thabry Husano
Kumarau Landang
Kumarau landang lintuhut karing pada
upih
burung
halang gin bahinip di cikang jingah
napang
panjanak sasain kadap. Kada kawa lagi
tarabang
manyubarangi sungai, manggah-mukuh
umai,
ngalihnya bacari tumat sarang baurak halar
maniruk
ka subarang
batis
licit tagintas matahari saling panasan
mangikih
tumat baisukan hampai malam kada pakulihan
wayahini,
umanya ai, rajaki karing pada kalaras
Kumarau landang lintuhut karing pada
upih
pabila
garang sampian pacangan sugih?
Tumbang-tumbalik
bacari dalas balangsar dada
Lingsak
patuk lawan halar tagintas kumarau
marinyut padihnya
ibarat
jukung tiung badampul, pananjak paringtali
patah
dua, baangkut banih sakarung dua
ngitu
pang kulihan satahun, ding ai
akai, sakitnya
umai,
ding ai. Mayulah manyuapi anak-bini
di
burinik lamuk kumarau landang, sungai kada bawatas
Sungai
Martapura pabanyuan lawas banua kita
maraha, tulai bajuntai mangayuh
nasib
di
jukung rumbis. Mahadang garambuak anak-cucu
matan
buritan hampai palabuhan banyu mataku
ayuha, balangsar dada
dalas
hangit!
palimbaian lipah, 9 Juni 2010
Herlianti
Kamarau Lingkah Dapatnya Banyu
Wayah
pang sudah musim kamarau
Abahku
malingkur taguring di parabahan
Munnya
hujan mandarau
Sidin
balisah sambil maigau
“Kamarau
nang di hadapan kada kawa jadi harapan,
banih
tinggalaman, aku lucut pacangan parai bahuma,
kadada
gawian.”
Kaya
itu pang nasib Abah
Maumpatakan
hari, maumpatakan musim
Hanyar
kawa bacari
Astambul
sugih lawan banyu
Maramalakan
bubuhan patani
“Tahun
ngini kada kawa bahuma pulang.
Tatanaman
calap, untungnya kalambuai.”
Gumbili
habis kana cabuti
Waluh
putih malancar, tamandak mati
Lumbuk-lumbuk
diputiki
Jagung
wan tarung ditabangi
Kadada
lagi papagan sagan hari dudi
Tagal
pang kada habis pangharapan
Mudahan
tahun nang di hadapan
Abah
kawa bakamarau pulang
H.
Fahmi Wahid
Ada Masigit di Hatiku
Ada
masigit di hatiku
Wayah
aku maukur tafakur
Maitung
palalahan di pamadaman
Gasan
manapas garitik hati
Malicinakan
iman
Mambuangi
pungkala barhala diri
Ada
masigit di hatiku
Wadah
aku majurai zikir
Mamatut
syahadat
Mahampar
sajadah
Manyulam
rampai salawat
Mamalas
tubat
Maharap
simbar ampunan diri
Ada
masigit di hatiku
Wadahku
manyanggul hari
Bapiruhut
ka akar tauhid
Gasan
aku mahaga
Mamatak
Kahandak
diri nang hakiki
H.
Fahmi Wahid
Wawarah Pikurat
Kungkung,
pikurat, samunyaan banyanyi
Sapat,
kalatau, papuyu, kulacingan, sanggiringan
Habang
isangnya
Hijau,
kuning, minglau sisiknya
Kalikikan
tatawa
Bacangkurak
Bakunyung
Malulur
diri nang lawas marista
Maambili
banyu nang miris matan langit
Hanyar
tuntung basimbai, bapapai
Batapung
tawar mahiyau sumangat
Kada
di pawayah
Banyu
lilibakan, talaga, bulanat
Pina
likat, kadap
Marasnya
ai
Sapat,
kalatau, papuyu, kulacingan, sanggiringan
Kada
kahantuan
Kauran
matanya
Lacit
bukahan
Barampak
papadaan
Tabulantingan
samunyaan
Nang
batianan hintalunya tahambur jadi hampas
Mati
mudar wan anak-anaknya
Ayu
pang bubuhannya jangan lagi diparang maya
Jangan
maulah ungkara
Kada
usah dijahati
Kawani
pang
Biarakan
inya basuka-suka
Wan
anak-bininya
Mun
handak jua jabak wan lukah
Babuat
ai
Pang
rasanya babuat ka rukit
Marasai
tulakan ka bulan ampat walas
H.
Muhaimin
Gasan Mamanya Nabil
Umanya
Aku
suah bakisah lawan ikam
Parihal
angin tutus nang mahiris waktu
Di
sanja kadap nang basah
Diri
jua dipinandui
Di
sasala sadikit kahandak nang tasia-sia
Umanya
Kupadahakan
sudah
Parigal
humbayang baisukan nang pudar
Wan
rindu dandamku maram ditampar fitnah
Nang
kaya kukus bukah maingar
Di
buncu umbak rasa nang tingka
Umanya
Suah
jua karungkung hati kuungkai
Parihal
manyanggul bungunan kahandakku
Maraha
tatukup padih pangrasaku
Kadada
akai
Aduh
Kadada
tadangar tangis
Umanya
Kita
basyukur kalawan Tuhan
Kawa
mahadapi cacala kahidupan
Kita
jua nang kawa mnyatuakan
Ruh
kacintaan nang kada suah kubas
Jaya
Ginmayu
Lalakun
Alaliya, sindinan alam pawayangan
Dibatak
raga basasuluh jiwa
Mambair
batis bakunjang samistawa
Kadangaran
habar badindang bahindala
I lala, sidin ai... sakalinya
Hinip
kadap malam manimburu bulan
Tumbur
lalak urahakan kadan
Umai,
asa kapingan marantas banyu
Imbah
tajinguk licak baruh baubah habu
Akai,
asa handak mamisuh muru
Tatingau
ilun pucuk para sain landu
Tatiring
mungkur tahambur ramuk pasai
Alahai, ladunan buhan pamandaan
Takilar
sakirapan napa wahana
Pasti
kada jauh marga lalakun andika
Napa
mun raup barait baharung di higa
Bulih
dangar, pituan padatuan
Jangan
buku mariga uncitnya marista
Ibarat
paribasa paaliran sambar buhaya
Iwak
lamas dalam banyu
Nangkaya
tikus mati di karambas banih
Bagaritik
hati mamusuti daki wan kasai
Bagamatan
cuba luluri kunat wan tapal
Kur
sumangat, kahandaknya
manurut
pamikiran diaku nang jaba
Dimapa
akal maliung bancana
Ulayat
jaga lambakan tatap dibina
Tapung
tawar dilapai tulak bala
Bapalas
jua sagan sangga banua
Jakaria
Kastalani
Handak Waras
Bahampas
bapangkung tadadar tagulung
Maambah
tagah padang sampahiring
Mangayabang
hirang di luar kandang
Basuluh
gadang batang pisang
Manarangi
guha manggarunggang
Langit
hangit bibintang hilang
Garabakan
langkah sapatu ladung
Barisan
hujan marista badan
Tinggalam
dalam nyanyian sitan
Malam
mambambam lumus bulan
Hanyar
tahabar kambang halalang
Tahambur
dingin angin sanja
Darah
hirang manyayat jantung
Tatangis
guha garunggang dada
Handak
batatamba jar habar burung?
Rahat
ingat halat baduri kawat
Rahat
ringkut manyayat-nyayat
Batinggi
matahari makin basakit
Panyakit
malaut di buih duit
Matan
kakanakan kada baarit
Tapajam
tabuncilak maarit sakit
Bapapantang
jangan malihat ubat
Mambarasihi
putih parut lilit
Habar
burung handak batubat?
Nasrullah
Tihang
Tihang...!
Ngaranku tihang
Tihang...!
Kada sambarang tihang
Nang
diambil matan Mustawan
Tihang
ilmu tihang aturan
Tihang
cagat tihang sariat
Tihang
diambil matan Mustawan
Tihang
tujuh balas turus
Turus
tawing tatulak iblis
Lima
kali saarianan-samalaman
Manuhur
daki di batis tangan
Barasih
rambut lacit ka tumit
Muha
mangkunung tambus ka jantung
Bapikir
haning banyu basaring
Turun
di babun bajajak di agung
Tihang!
Ngaranku tihang!
Cagatakan
saban hari
Jangan
sawat rabah ka tanah
Jangan
balang-kambingan
Kaina
kapala kuhangkupakan
Ka
batu bara api naraka
Komariah
Widyastuti
Karindangan Saurangan
Nang
bangaran karindangan
Liwar
sakit handak kada taarit
Padih
tasayat sambilu
Padih
lagi luka pikiran
Luka
baampik sabalah tangan
Raat
ringkut takapik angin
Mandi
banyu yasin pitung sanja
Mandi
banyu kambang pitung rupa
Mangalutuk
dagu di malam buta
Mandi
di burit jamban tujuh subuh
Manggatar-gitir
manggigil dingin
Sadingin
luka putih mambaku darah
Makin
pisit barikit sasain marut
Bangkai
marayang manyasah bayang
Jaka
kada dibawa baistiharah
Di
atas sajadah babarasih darah
Maminta
lawan nang tukang ulah
Di
hujung sujud hajat
Di
hujung sujud tahajud
Tubat
sahadat barandam di banyu mata
Hati
bahalulung patir manyambar
Bibir
babisik basarah mantah
Tawakal
bulat mahantai tangan
Barakat
maminta lawan ampun-Nya
Limbukut
tarabang hilang miang
Kada
sawat batangkup bulan
Nyaman
pada mambuang kalimpanan
Randi
Arma Prayuda
Kunci Naraka
Mamang
sambang kata sambaga
Isim
pirunduk Bagawan Durna
Papat
mamang kunci naraka
Siapa
mandangar hancur imannya
Biar
sahibar tikus kantur
Asal
pintar jadi kuruptur
Santan
bagula pamanis bibir
Samunyaan
nyaman diatur
Batitir
aruh ganal sambahyang hajat
Ampat
puluh malam Jumahat
Niat
anggur darah di cangkir rangat
Malaikat
rahmat supan malihat
Suap
suguk nafsu durjana
Nang
turun di kukus dupa
Kawan
setan kawan Sangkala
Akal
tumpul badan binasa
Biar
dikias diulah fatwa
Bajubah
sadakah batuping darma
Nang
mambari wan nang manarima
Sama
kakal dalam naraka
Sudarni
Mandulang Intan
salawat
nang bahambus di tanah pandulangan
adalah
ucapan sukur urang nang barajaki mangganggam intan
maurak
jadi habar nang barinda-rinda
batiti
matan bibir ka bibir ka buncu mambuncu
tanah
pandulangan
kilau
cahayanya adalah nyanyian nang manis lamak sintal
manawari
harapan ka punduk-punduk
atawa
nang gawi kada batantu-tantu
ujar,
maangkat nasib nang akai aduh
makan
babagi lawan tangis
maingui
di bawah ruda kahidupan
lamun
tabarung banasib baik
untung
tuah manggampir diri
ganal
intan nang dihaga
badindang
hati kahimungan
hidup
tamama labih pada cukup
nyaman
batis mangitik marandam tumit
napa
nang dikacah landas kada takalang
tapi,
mustikah upah lapah maraup pakulih
takana
nasib sial turui batantan
padahal
manggah-mukuh hinak di bumbunan
rakai
sudah awak dirawa
nang
diharap hambayang katia hambayang
siapa
salah siapa ditiwas
barangkali
saurang nang tarumpak papantang
atawa
tabawa lagu cakah
bakacak
pinggang batapak dada pina paundasnya
maundang
murka bubuhan datu
intan
sintup bahantak linjam
kada
rigi maungkai girapnya
mandulang
intan ujar urang pandulang
mangarti
hakikat pamali nang tasirat
lambang
kahalusan budi parangai
nang
rasuk saimbang wan alam pandulangan
tata
karama nang dijunjung dihurmati
mandulang
intan ujar urang pandulang
adalah
ihtiar mahahar ujud kahandak hati
malabuh
tawakal di kadalaman laut
laut
rahasia si ampun intan
Trie
Restu Panie
Papat Pitutur Panglima Wangkang
Rahat
manyayat tangking pusat
Bidan
batakun wan Damang Kendet
Anak
lalakian siapa dibari ngaran
Jagauku
nang pamulaan
Wangkang
kubari ngaran
Damang
Kendet bacalatun kahimungan
Matan
kaluar baimbai tambuni
Lacit
baganap ampat puluh hari
Mandi
banyu hidup banyu jaranih
Banyu
yasin banyu salawat
Panghalat
ruh jahat nang sasat
Kuyang
bukang hantu pulasit
Badiri
alif badiri di hulu hati
Balimbai
haning banyu udu
Sahaning
pancur talaga ilmu
Di
hunjuran lubuk balukar
Kabun
ilmu kasampurnaan
Ilmu
dikjaya ilmu laduni
Babuah
ikhlas amal ibadah
Barajah
ilat kata Daud
Buhul
jajarat anasir ampat
Api
angin tanah banyu
Kata
Musa pamanis bibir
Masin
pandir nyaman didangar
Kata
Yusuf babungas rupa
Kasih
sayang umat manusia
Mamakai
amalan kata Sulaiman
Makan
pakai hidup tajamin
Binatang
satwa kawan sajalan
Basahabat
jin kaya bawarga
Bamudal
cangkal tawakal
Babatis
tangan ka tarikin
Bamata
talinga di mana-mana
Mandau
di pinggang tumbak di tangan
Bahulu
sumpitan damak baracun
Baisim
pirunduk parikit hati
Saganap
kampung mamatri janji
Bahu
mambahu maharagu tanah banyu
Bapuput
sumangat sambung nyawa
Mancucul
api halalang karing
Mandidih
darah kawan barunding
Dalas
hangit tatinggal tambingkar
Manyarang
benteng Pulau Tatas
Manyanggul
kapal bakantan kapir
Karam
tinggalam di Balandean
Gigir-gampar
kapal Bargas
Di
muhara Sungai Badandan
Amuk
Dayak panyayat hirang
Mandau
bakilat sasambar maut
Pisang
rabah basambur darah
Api
sindawa pistul mariam
Mamacah
kahinipan malam badarah
Kalu
napsu kada diharagu
Ibarat
langit laut lapas
Silau
tapandang pancar dunia
Kula
sadarah sakaturunan
Manggunting
kain dalam lipatan
Papatin
Wangkang dipadahakan
Kaalah
panjajah laknatullah
Rahat
batampur di benteng sasar
Pilur
amas umpat bapandir
Maambil
darah satitik di matahagi
Asa
tacabut urat tulang
Malakal
maut manuntut janji
Babantal
ambul amal ibadah
Sambil
takarinyum lihum dikulum
Tulak
balapas ka alam barjah
Rahman
Rijani
Mahayabang
(sagan
Lita)
Duduk
taungut di palataran
Maitihi
bulan nang bagantung
Hanyut,
asa dinyanyiakan jangkrik wan sawak-sawak
Batandik-tandik
basasahutan wan si burung buak:
Pak pak bung...
Bunyi
babun ditapak dimainakan
Diiringi
bunyi agung nang manggaung
Sarun
wan kanung ning nang ning nung
Ulun
marasa himung
Wayah
kita badua diusung
Hibak
urang mahurung
Buhan
pamantulan umpat turun
Panggipangan
bakuliling maigalakan kuda purun
Di
usungan kita diigalakan disanjung-sanjung
Ini
sudah adat bapangantinan di kampung
(Sakalinya
samuaan nitu wara hayabang...)
Ding...
Mun
hayabang jadi kanyataan
Pian
wan ulun bapingkut tangan
Duduk
batatai bapidudukan
Karasmin
banua tatap kita gaduhakan...
Zurriyati
Rosyidah
Marasnya Bumiku
Kabut
baisukan ngini mahinyik awak-awak liar bubuhan kananakan dalam hutan
Kabut
baisukan ngini mahinyik awak-awak liar bubuhan alalang bilut nang bataduh di
bawah matahari,
sakalinya
matahari sudah pina mambarangat wayah tangah hari
buntut
alalang kaya kalayangan pagat, layu manguning dihurung siput japang
punai
di atas dahan parau bakuciak, kapulingaan abut mancarii sarang
akayah,
alayung baaduh sambil bacarian pina kasunyian, kakawalan sakampung bahamburan
tapaksa
mahirup banyu peceran
sampiankah
nang hakun manimbaakan sumur di tangah harungan umpama karing sumur di pahumaan
itihi
pang sakalumpuk kananakan nang tuhuk mamagut andayang di tangah
batang-batangnya
nang
hambur kaut umpama mayit kada bangaran, tagalam inya masih mambari maras gasan
dunia nang mangulibi
pucuk-pucuk
dalam ketiak saitu-saini takutan mamburu rakun nang magin pucat, tagal harta
nang tasisa tinggal salambar daun lawan akar babungkus kasupanan
umai
dangsanak... jangan kada semperaka batata hidup, batis siapa nang kawa
balingkang di
rumah
hibak paku batilantang, halilipan bairingan, anai-anai bajogetan
rahat matahari pina bapaluhan
aku badadas mahancap ilalang nang
bukah maninggalakan padang
6 Cerita Pendek Terbaik
Manampi,
Mangikihi, Mamutiki:
Semacam
Pertanggungjawaban Dewan Juri
Agak
berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, entah mengapa, Panitia Aruh Sastra Kalsel VII Tahun 2010 yang
kali ini dilaksanakan di Kabupaten Tabalong telah menentukan tema “Saraba Kawa”: Menjunjung Kesenian, Bahasa,
dan Sastra Daerah sebagai spirit dalam pelaksanaan even temu-sastra tahunan
di Banua Banjar ini. Padahal, sudah
enam kali putaran pelaksanaan Aruh
Sastra Kalsel (2004-2009) selalu mengusung tema yang boleh dikata “agak asing”
— sebutlah dalam konteks keindonesiaan yang universal, kendati persoalan
lokalitas tetap menjadi perhatian dan asas bersama.
Bagi
kalangan sastrawan-budayawan Banjar yang idealis, perkembangan baru (yang
sesungguhnya tidak benar-benar baru) dalam Aruh
Sastra ini tentunya sangat menggembirakan, setidaknya dapat dimaknai sebagai
even untuk bernostalgia-ria. Sebab, sebagai wujud apresiasi, di bawah payung
tema besar tersebut panitia memang menggelar beberapa cabang lomba kesastraan
dengan sastra daerah (Banjar) sebagai jantungnya. Maka, muncullah cabang-cabang
lomba cipta puisi, mengarang cerpen, basyair,
dan madihin yang semuanya berbasis
pada kreativitas olah bahasa dan sastra (daerah) Banjar.
Dari
keempat cabang lomba tersebut, catatan singkat ini hanya akan difokuskan pada
cabang Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar. Hal ini sesuai dengan kapasitas
kami bertiga yang oleh panitia telah diberi mandat dan tugas khusus sebagai
Dewan Juri untuk cabang lomba yang satu ini.
***
Dalam
sastra Banjar, cerpen (selanjutnya secara alih-alih disebut kisdap; bentuk singkat dari kisah handap; sepadan dengan makna kata
Inggris, short story) merupakan salah
satu genre sastra modern yang secara historis diperkirakan baru muncul di
sekitar awal dekade 70-an. Akan tetapi, sejauh data yang dapat kami lacak,
tradisi lomba penulisan kisdap
sendiri baru dimulai pada paro dekade 80-an dengan digelarnya Sayembara
Penulisan Cerpen Bahasa Banjar oleh Himpunan Sastrawan Indonesia Kalimantan
Selatan (HIMSI Kalsel) pada tahun 1985. Sayembara penulisan kisdap pertama ini kemudian disusul
dengan beberapa even lanjutan, kendati tidak teragendakan secara tetap
(misalnya sebagai lomba tahunan).
Setidaknya,
sebelum even Aruh Sastra Kalsel VII
ini, ada empat kali lagi pelaksanaan lomba serupa: Lomba Mengarang Cerpen
Bahasa Banjar oleh Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (1993), Lomba
Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Dewan Kesenian Kalimantan Selatan (1999),
Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan
Pariwisata (Disporabudpar) Provinsi Kalimantan Selatan (2007), dan Lomba
Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Disporabudpar Provinsi Kalimantan Selatan
(2008).
Berdasarkan
data di atas, dapat dikatakan bahwa even lomba penulisan kisdap sesungguhnya bukan lagi sesuatu yang baru dalam tradisi
penulisan sastra Banjar modern. Selain itu, kreativitas penulisan kisdap juga pernah didorong dan didukung
oleh lima kali pelaksanaan Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar oleh Radio Nirwana
Banjarmasin (1988-1992) yang mau tidak mau tentu akan menuntut tersedianya
beberapa naskah kisdap sebagai materi
lomba. Kemudian, sebagai pemantik lainnya dalam rangka terus menumbuhsuburkan
kreativitas penulisan kisdap adalah
kesediaan Radar Banjarmasin yang
selama bertahun-tahun telah memberikan ruang cukup leluasa untuk pemuatan
karya-karya kisdap baru melalui
rubrik “Cakrawala Sastra & Budaya” (bersama-sama dengan karya sastra
berbahasa Indonesia) sejak tahun 2003 melewat. Dengan kata lain, kendati tidak
sebagaimana cerpen Indonesia yang bernasib lebih mujur, tradisi penulisan kisdap boleh dikata cukup
menggembirakan. Akan tetapi, pada kenyataannya, tradisi penulisan kisdap selama ini masih saja bercorak
“sastra dalam rangka” (ya, dalam rangka lomba itulah!).
***
Dalam Lomba
Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh
Sastra Kalsel VII kali ini, pihak panitia telah menerima 67 naskah kisdap dari 54 pengarang (cerpenis;
boleh disebut kisdapis?). Menurut
pengamatan Y.S. Agus Suseno — ketika membandingkannya dengan dua kali lomba
penulisan sebelumnya (2007, 2008) — secara kuantititas jumlah tersebut
menunjukkan terjadinya penurunan. Namun, bagaimanapun, sebagai sastra daerah
yang kehidupannya selalu saja “bagai kerakap tumbuh di batu”, hal ini tentunya
tetap patut kita syukuri. Sebab, hal yang sama bahkan juga dirasakan oleh para
pendukung sastra Jawa dan sastra Sunda yang dari aspek kesejarahan dan
eksistensinya jauh lebih mumpuni dibandingkan dengan sastra Banjar.
Sebagai Dewan
Juri, kami sangat menyadari bahwa pada saatnya kami tidak akan punya pilihan
lain kecuali harus bertindak dan memerankan diri sebagai “kritikus sastra
paling otoriter” di dunia ini karena dari sekian naskah yang masuk kami mesti
menentukan beberapa naskah saja sebagai pemenang. Oleh karena itulah, guna
mengurangi “rasa berdosa” terhadap para pengarang maupun masyarakat sastra
Banjar pada umumnya, dalam proses penyeleksian naskah kami mencoba mengenakan
kriteria tertentu sebagai rambu-rambu kerja. Dalam hal ini, kami telah
bersepakat pada definisi sastra Banjar yang pernah dirumuskan Jamal T.
Suryanata dalam beberapa esainya, antara lain pernah dimuat dalam buku Sastra Banjar Kontekstual (2006). Dengan
demikian, sebagai kriteria lapis pertama adalah aspek bahasanya (definisi
normatif), sedangkan integritas unsur bentuk dan isinya akan menjadi kriteria
lapis kedua (definisi ideal).
Berdasarkan
kriteria pertama, kami telah menemukan sekian banyak naskah yang kurang
memenuhi syarat untuk disebut kisdap
(baca: cerpen berbahasa Banjar). Sebab, banyak di antara pengarang yang
terjebak pada tradisi “penerjemahan” naskah cerpen (berbahasa) Indonesia ke
dalam bahasa Banjar atau minimal mereka menulis dengan pola pikir bahasa
Indonesia. Hal
ini sangat kentara dari aspek penggunaan kosakata (terutama dalam kata
bentukan; derivasi) maupun struktur kalimatnya.
Kekeliruan
yang paling banyak dilakukan pengarang adalah dalam proses afiksasi
(pengimbuhan), antara lain pada penggunaan prefiks (awalan) me- (misalnya dalam kata mengaji), be- (misalnya dalam kata beimbai),
dan ke- (misalnya dalam kata kesugihan) —kadang-kadang juga berlaku
untuk bentuk preposisi (kata depan) ke
(misalnya dalam kata ke pahumaan).
Kekeliruan ini terjadi karena pengarang cenderung menyamakan saja antara kaidah
bahasa Banjar dengan bahasa Indonesia. Padahal, dalam kaidah bahasa Banjar
(dialek Banjar Hulu maupun Banjar Kuala) tidak dikenal prefiks me-, be-,
ke-, atau preposisi ke (bentuk yang benar adalah mangaji, baimbai, kasugihan, dan ka pahumaan).
Dari 67
naskah kisdap yang masuk, setelah diseleksi berdasarkan kriteria pertama, hanya
sekitar dua puluhan naskah yang kami anggap layak untuk dimasukkan dalam
karya-karya yang akan diseleksi dengan mengenakan kriteria kedua. Proses
seleksi dalam level kedua ini tentunya akan lebih rumit karena di samping
menuntut pembacaan yang lebih cermat dalam usaha menangkap kesegaran dan
orisinalitas gagasan, secara kontinu aspek bahasa tetap harus menjadi perhatian
pula.
Dari segi bentuk, hal pertama yang
kami lakukan (sekaligus sebagai “pisau bedah” penyeleksian) adalah dengan
mengembalikan karya pada konsep kisdap
(short story; cerita pendek) sebagai
salah satu genre sastra modern. Dari sini, jika ingin dipilah-pilah, setidaknya
ada tiga corak atau teknik bercerita yang dapat kami simpulkan. Pertama, kelompok naskah yang bercorak
cerita klasik (antara lain ditandai dengan kalimat pembuka seperti “Di kampung Kulipak Tungkul hidup Nini Randa
lawan cucunya nang bangaran Ambayau” atau yang sejenisnya). Kedua, kelompok naskah yang bercorak
cerita rakyat tradisional sejenis “Si Palui” atau “Si Surawin” (jenis ini
ditandai dengan dominannya aspek humor dan kejenakaan). Ketiga, kelompok naskah yang benar-benar bercorak cerita modern
(antara lain ditandai dengan keseriusan pengarang dalam mengolah tema, gagasan,
konfliks, juga bertolak dari realitas hidup masyarakat, dan bersandar pada
“teori” penulisan sastra modern seperti dalam penerapan bentuk sorot balik).
Dari ketiga
corak tersebut, tentunya kelompok yang terakhirlah yang paling representatif
sebagai karya sastra Banjar modern (baca: kisdap).
Maka, karya-karya jenis inilah yang kemudian kami tentukan sebagai nomanasi 10
besar. Akan tetapi, kami pun harus terus bertarung argumen karena pada akhirnya
terpaksa harus menentukan 6 naskah sebagai pemenang utama.
***
Alhasil,
dengan mengenakan kriteria ideal, sampailah kami pada putusan yang paling
dilematis dan sangat menggelisahkan. Sebab, menentukan naskah terbaik dari
sekian naskah yang baik tentulah bukan perkara yang mudah. Namun, hal itu (baca: tugas yang sangat
otoriter itu) tetap harus kami lakukan. Maka,
secara runtut dapat kami sebutkan, naskah-naskah yang terpilih sebagai pemenang
dari urutan pertama sampai dengan urutan keenam adalah kisdap bertajuk ”Tagaian” (Juara I, karya Erika Adriani, Kota
Banjarmasin), ”Bapintaan” (Juara II, karya M. Fuad Rahman, Kabupaten Hulu
Sungai Tengah), ”Kada Tamakan Habar Lagi” (Juara III, karya Komariah
Widyastuti, Kabupaten Barito Kuala), ”Manggantang Sayang” (Juara Harapan I,
karya Muhammad Rifqi, Kabupaten Hulu Sungai Tengah), ”Kada Bakasudahan” (Juara
Harapan II, karya Nur Hidayah, Kabupaten Barito Kuala), dan ”Jujuran” (Juara
Harapan III, karya Hatmiati Masy’ud, Kabupaten Hulu Sungai Utara).
Kisdap bertajuk “Tagaian” telah
mengungguli 66 kisdap lainnya karena
dari aspek bentuk maupun isinya memang relatif tak tertandingi. Di samping
penggunaan bahasa Banjar (dialek Hulu)-nya yang terasa sangat kental, juga
kesegaran gagasan dan pesan lokalitas masyarakat Banjar yang dikedepankan
pengarangnya benar-benar mewakili konsep kisdap
itu sendiri. Meski sesungguhnya “Bapintaan” memiliki potensi yang sama, tetapi
dari aspek gagasan dan lokalitas kebanjarannya agaknya tidak sekuat dalam kisdap “Tagaian”.
Di satu
pihak kata tagaian (‘tempat wudu dari
bambu’ yang khas kampung dan Banjar) itu sendiri sudah cukup mewakili
orisinalitas budaya tempatan, di pihak lain tradisi bapintaan (‘meminta sumbangan di pinggiran jalan’ untuk dana
pembangunan atau perbaikan tempat ibadah) kini tampaknya sudah menjadi fenomena
umum. Lagi pula, meski ide dan teknik ceritanya cukup memukau, tetapi
pesan-pesan yang dikemukakan dalam “Bapintaan” terasa didominasi oleh nada
berkhotbah. Begitulah kiranya apa yang terjadi pada empat kisdap lainnya, mereka harus rela dijejerkan pada tempatnya
masing-masing sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing pula.
Akhirnya,
kami sangat menyadari bahwa catatan singkat ini tentulah tidak memadai sebagai
bentuk pertanggungjawaban Dewan Juri, di samping juga tidak mampu mewakili
seluruh pikiran kami yang terus berkembang selama proses pembacaan dan diskusi
hangat menjelang detik-detik penentuan terakhir. Maka, anggaplah catatan ini
sekadar memperlihatkan sebagian cara kerja kami ketika harus manampi, mangikihi, dan mamutiki (bigi-bigi intan di sasala pasir putih nang tagasnya pina manyahirip jua). Demikianlah, tak ada gading yang tak retak, tak ada
gading yang tak retak! (Jamal
T. Suryanata, Aliman Syahrani, Nailiya Nikmah JKF)
Banjarmasin, September 2010
Tagaian[7]
Erika
Adriani
Ari parak sanja. Linut dalam
katungkang sudah babunyi. Tiga ikung tupai badadas bulik ka sarang di sasala
palapah-palapah hanau. Burung kasisikat wan tinjau badadahuluan barabut
katinggiran di dahan manggis, manyampuk malam.
Umbui Mastan bagamat mambuka lawang
padangan. Batangkuluk tapih bakurung sidin mamair langkah di tanah nang jijip
mantuk hujan baisukan, baampah ka sumur parak rapun buluh, bangsa sapuluh dapa
kalu jauhnya pada buncu padangan. Hampai di parak sumur sidin mamaraki tagaian
di bawah kanaungan batang langsat. Lalu sidin malapas tangkuluk,
manyangkutakannya di papatahan anak balimbing. Imbah itu dicabut sidin sumpal
tagaian, balalu banyu nang ada di dalam tagaian mancarurut kaluar. Umbui Mastan
baair, handak bamagrib.
Saban kalian baair di tagaian Umbui
Mastan rahat kaganangan lawan Masdar, cucu nang madam jauh ka banua urang.
Sudah hitungan parak talu tahun Masdar kadada jua bangsul. Ujar ti tulak ka
Malaysia, umpat bagawi di parkabunan kalapa sawit.
Tuntung baair Umbui Mastan naik ka
rumah sambil mangancing lawang padangan. Kada sahapa tadangar bunyi katuk wan
dauh nang dicatuk Julak Dalau di langgar.
***
Masdar taungut di palatar bakalubut
tapih. Dingin baisukan maulah inya kulir mancari daun rumbia. Dalam hatinya,
hatap ulahan samalam banyak haja lagi nang balum bajamur. Napang, kaya apa handak manjamur amun muha
ari maram haja bahaharianan. Baparai ha dahulu mahambit, garunum hatinya.
Baisukan sasain batarang. Ari
kalihatan pina baik, artinya kadada inguh handak hujan. Tupai kaluncatan kaluar
pada sarang. Burung kasisikat wan tinjau balalajuan tarabang lalu maniruk ampah
ka bawah rapun raman, wadah pambahiraan Masdar.
“Sudah ka warung ah, Mas,” tagur
Umbui Mastan tumatan higa rumah.
“Balum. Dika hajalah nang ka warung,
ulun bakirim lapat dua pundut. Ulun handak mangganti tagaian,” ujar Masdar
sambil tangannya mancaluk sasala kupiah mangaluarakan salambar ribuan, lalu
diunjuknya ka paniniannya tuti.
Pina
banyak ai hari ini nang mawarung, rawa hati Masdar. Napang, dilihatnya pina
jurut-jurutan urang baampah ka warung Acil Minah di subarang langgar.
Kaya tuti pang saban baisukan di
kampung Masdar. Bila baisukan urang kada tapi kipuh baharaguan di rumah. Asal
ada duitnya ha, ka warung tuti pang lacitnya. Handak ka baruh, handak tulak
manurih, handak tulak maunjun, handak tulak sakulah, bahanu ada jua pagawai
nang handak ka kantur, pasti ha basinggah dahulu ka warung. Maka kada samata
baisukan haja urang mawarung, kamarian wan malam iya jua.
Dasar adat di kampung Masdar nang
kaya itu ti. Daham hiran.
Turun pada palatar Masdar mandahut
parang bungkul lawan pahat nang basangkit di tawing padangan, lalu inya bagagas
ampah ka rapun buluh parak sumur. Ditabangnya buluh sarapun nang pina baik wan sadang
ganalnya. Imbah dihitungnya tikas tujuh ruas lalu ditataknya hujung mahujung.
Diambilnya bilah kayu kamuning nang basadai di batang pisang, kira-kira panjang
tiga dapa wan ganalnya sapagalangan kakanakan. Lalu dirujak-rujaknya tunggal
butingan buku-buku ruas di dalam buluh hampai batatambusan luangnya. Imbah itu
ditabuknya lawan pahat ruas buluh nang tibak ka hujung, hampai baluang. Halus
haja luangnya, taganal sadikit pada ukuran sabilah ruku.
Maulah
tagaian tuti sama banar lawan nang masi urang maulah laladuman. Tagasnya gin
sama. Amun laladuman diisii minyak gas, tagaian diisii banyu. Wan di hujung
buluh subalahnya, ditarah saparu supaya baluang, sadikit bakincung. Itu haja
bidanya.
“Mas,
nginum dahulu. Nih, kuandak di muhara lawang, lah. Lapat ada di pipiringan. Aku
handak ka baruh satumat malihati lacakan,” ujar Umbui Mastan mandarihing di
muhara lawang padangan.
Masdar
maiihakan sambil manyahan tagaian nang hanyar diulah.
Digantinya
tagaian nang lawas, nang hudah balumut wan hujung mahujungnya hudah rangat.
Lalu diandaknya tagaian nang hanyar diulah di atas cakang dua tunggul kayu
jambu nang kada sama tingginya. Di tibak nang tatinggi hagan andakan hujung
tagaian nang batarah saparu, lalu di tibak tarandah hagan andakan hujung
tagaian nang ada luangnya. Jadi andakan tagaian tuti bamiring sadikit.
Masdar
mambibit imbir upih batali haduk nang basangkut di papatahan palapah anak nyiur
gading. Dicibuknya banyu di sumur. Haning banar banyunya wan ganyam. Lalu
dituangnya ka dalam tagaian jalan luang tarahan nang baandak di atas cakang
tibak nang tatinggi. Kada sahapa tadangar bunyi manggalalak dalam tagaian,
bunyi banyu nang mandusur ampah ka hujung nang ada luang halus basumpal bilah
kayu. Amun bilah kayu susumpal luang tagaian dicabut, maka mancuraratlah banyu
kaluar. Masdar mamacul kupiah, disangkutakannya di cakang tunggul tagaian. Lalu
inya baair, mahadang luhur.
Tagaian,
paninggalan urang bahari nang pagun dipakai di kampung Masdar. Saban buahan
rumah baisian tagaian. Ada nang baandak di parak sumur, ada di padangan, ada
jua nang di higa watun di halaman. Pindik kata, tagaian baguna banar di kampung
Masdar. Hagan baair, hagan batimpungas, hagan mambasuh batis, hagan mamandii
kakanakan, hagan mambasuh piring wan cangkir, banyak ai lagi kagunaannya. Tapi
nang ianya tagaian banyak dipakai hagan baair. Jadi, baisian tagaian
manandaakan urang nang ampun rumah panyambihiyang.
Siang
bagamat bakisut bamasuk ka muhara malam. Kada tarasa tunggal dikitan kadap
mamulun alam samista.
“Ning,”
ujar Masdar imbah tuntung bamagrib. Dilikitnya lampu samprung lalu diandaknya
di tatangah paharuangan rumah.
“Napang,”
ujar Umbui Mastan, Niningnya Masdar, manyahuti sambil manggulung sajadah.
“Anu, Ning
ai, ada nang handak dipandirakan.”
“Napang ti,
Mas.”
Umbui
Mastan duduk batalimpuh di hadapan cucunya. Sidin asa kada nyaman hati. Masdar
pina kaya urang mambuang parangai. Kada nang kaya biasanya.
“Anu, Ning
ai. Ulun ni handak tulak, umpat Abahnya Masnah. Udin anak Makacil Inur umpat
jua. Cagaran ti hari Arba, dua hari lagi.”
“Kamanang,
jauh hah?”
“Iyih,
jauh. Umpat rumbungan TKI ka Malaysia.”
Umbui
Mastan takijat, kaya nang mandangar patir. Hati sidin mangguruh balalu.
“Ubui
yalah, kanapang ti ikam. Kadada gawian lagi ah di banua niti jadi handak tulak
ka Malaysia, kajajauhan. Napang nang digawi di situ ti. Balawaslah.”
“Kada tahu
lagi Ning ai, pacang balawas ah atau kada. Ujar Abahnya Masnah ti bagawi di
parkabunan kalapa sawit, dikuntrak talu tahun,” ujar Masdar maarit sisigan.
Umbui
Mastan kada kawa manahani hati. Asa rawan cagar ditinggal cucu madam. Asa maras
mandangar pacucuan nang hanyar baumur pitung walas tahun handak bagawi jauh ka
banua urang. Lawan siapang kaina aku di rumah amun Masdar kadada. Siapang kaina
nang mahambit hagan mancukupi pakulih hari-hari. Siapang kaina nang tukang cari
kumpai hagan kambing nang tatinggal saikungannya lagi. Siapang lagi jua kaina
nang maharaguiakan pahumaan nang tasisa dua paju haja lagi.
Umbui
Mastan marista diri.
***
Labih talu
tahun hudah Masdar kada bangsul-bangsul. Sakali haja hingganya ah ada habarnya,
itu gin malalui kisah Udin dalam surat hagan umanya. Ujar Udin dalam suratnya,
Masdar kada takumpul lagi lawan inya, kada sagawian lagi, sudah baalih gawian
jadi pambantu di rumah mandur parkabunan.
Umbui
Mastan kalihatan sasain batuha. Huban di kapala maruput. Bajalan gin sudah kada
tapi hingkat lagi. Bagarak kamana-mana basasar dahulu lawan tungkat. Talinga
sudah bakurang pandangaran, untung panjanak hawas haja lagi. Kambing sudah
lawas tajual. Pahumaan tasanda, kada kawa manahuri lagi. Hagan mancukupi
pakulih hari-hari sidin manarusakan gawian Masdar, mahambit. Nang tukang
cariakan daun rumbia tapaksa maupahakan lawan kakanakan, upahnya ti mahadang
hatap payu.
Siang itu
ti, imbah tangah hari, Umbui Mastan duduk basandar di palatar, batis bahunjuran
sambil manginang. Sidin asa ngangal kalu mantuk mahambit batangah harianan.
“Mbui! Uu,
Mbui!”
Umbui
Mastan tulih kiri kanan mancarii asal suara urang mangiau.
“Mbui, ni
nah, surat Masdar!” Umanya Udin cangul tumatan lilindungan rapun pisang, lalu
mangincang bajalan manukui Umbui Mastan sambil tangan tating-tating mambawa
amplup surat.
Mandisap
balalu hati Umbui Mastan mandangar surat Masdar ada. Gitir-gitir tangan sidin
manyambut surat nang diunjuk umanya Udin. Masdar, ubui yalah cucuku, ingat haja
sakalinya lawan paninian di banua. Sangkaku ti hudah kada ingat lagi. Hati
Umbui Mastan manggarunum, pina ada sadikit asa sangkal.
Imbah
umanya Udin bulik, Umbui Mastan bagamat marihit hujung amplup lalu
mangaluarakan isinya, salambar kartas, handap haja tulisannya, wan salambar
gambar Masdar batalu baranak.
“Ning,
apa habar dika di banua, bigas haja ah. Ulun bigas haja jua. Ulun sudah babini, Ning ai, baisian anak saikung,
lalakian, hanyar baumur anam bulan. Maap-ampun ulun Ning lah, hanyar haja nah
ulun kawa mangirimi dika surat. Ulun kada sagawian lagi lawan Abahnya Masnah
wan Udin di Kuantan, ulun jadi pambantu di rumahnya mandur parkabunan, jauh
ampah ka Kuala Terengganu.
Ning,
tagaian bagus hajalah lagi. Kaina amun ulun kawa bulik ka banua, ulun gantiakan
lawan nang hanyar.
Ning, ulun
kaina ada mangirimi dika duit. Bakirim lawan Udin, inya lawan Abahnya Masnah
handak bulikan, hudah habis kuntraknya.
Tikas di
sia haja dahulu Ning lah, kaina ada haja pulang surat ulun kirim. Ulun
kaganangan banar lawan dika, Ning ai.”
Tuntung
mambaca surat Masdar, kilir-kiliran banyu mata Umbui Mastan. Dijanaki sidin
gambar Masdar batalu baranak nahap-nahap. Langkar, ujar sidin mamuji dalam hati
pas manjanaki bini Masdar nang mangilik anak, babaju gamis biru wan bajilbab
habang anum.
***
Pitung ari
imbah manarima surat Masdar, pina uyuh Umbui Mastan. Kada kawa lagi
kamana-mana. Awak asa sakitan samuaan. Sanunuh kawa bagarak ti, bakisut haja.
Badiri hudah kada hingkat lagi. Umanya Udin ai nang tukang atari nasi, bahanu
ti Acil Minah maunjuki wadai. Turun baair ka tagaian wan mahambit hudah kada
kawa lagi jua. Nangapang ada, lapah
duduk manginang, bagaling sidin.
Udin wan
Abahnya Masnah datangan, kuntrak bagawi di parkabunan kalapa sawit di Kuantan,
Malaysia, sudah habis.
Siang balum
tangah hari. Hawa kampung tarasa humap, padahal hindau matahari kada tapi
panas. Burung bilatuk lituk-lituk babunyi mamatuki batang nyiur karing. Handak
hujan kalu pinanya nih, ujar Udin bapandir saurangan dalam hati sambil bajalan
mailangi Umbui Mastan salajur handak maunjuk duit kiriman Masdar wan
mambawaakan satangah tangkup nasi, gangan rabung sapipiringan wan iwak pada
basanga sahiris, kiriman umanya.
Umbui
Mastan sasain uyuh. Baduduk banar ham lagi hingganya ah. Nang ngarannya sayang
banar lawan cucu, Umbui Mastan sambil manangis batakun lawan Udin kanapa Masdar
kada kawa datang. “Dandaman banar hudah aku, Din ai,” ujar sidin basisigan.
“Aur banar
kalu inya, Ning ai, jadi kada kawa bulik,” ujar Udin lakun tahu. “Ayuha, Ning
ai, isuk ulun kirimi surat mahabarakan dika garing, kalu tagarak jua hatinya
handak bulik,” Udin mambari pangharapan lawan Umbui Mastan.
Sasar
sahari Umbui Mastan sasain bauyuh, kada kawa lagi bapuat. Makan gin kada tapi
mau lagi. Udin nang marasa bakawan rakat lawan Masdar, sudah maanggap Umbui
Mastan nang kaya paniniannya jua. Satumbangan datang bagawi di Malaysia, Udin
rahat mailangi Umbui Mastan, wayah-wayah ti mamalami. Pas sidin nang pina uyuh
banar niti, Udin ham nang maharagu siang malam, bahanu ti umanya mandangani.
Dihadang-hadang,
kadada jua Masdar datang. Surat nang dikirim Udin kadada jua buriniknya. Urang
takun-takunan ai, kanapang Masdar jadi nang kaya itu ti. Mambuang banar lawan
banua saurang. Nang manyakitakan hati ti, imbah sudah bisa bacari saurang,
sudah pina baduit, bini langkar, balalu ha kada tatahu lagi lawan paninian.
Durhaka
ngarannya kaya itu ti. Sudah marasa nyaman kada ingat lagi lawan nang mahuan
tumat halus, ujar urang di kampung kalambisikan.
Hampai
waktunya, kuasa Allah jua nang manantuakan. Umbui Mastan maninggal, siang
Jumahat pas urang handak ka masigitan, ganap baumur dalapan puluh dua tahun.
Udin nang balantak siang malam batunggu, manangis. Badadas inya mahabari umanya
wan urang-urang di kampung, lalu bukah pulang babulik ka rumah Umbui Mastan.
Pas handak mangganti bantal Umbui Mastan, kada singhaja tangan Udin tahahari
kadut kain hirang di bawah bantal, isinya duit lima ratus ribu rupiah. Kada
salah lagi pang, duit lima ratus ribu niti duit kiriman Masdar, garunum Udin
marasa yakin.
Kamatian Umbui
Mastan jadi pamandiran urang di kampung. Banyak nang maras lawan sidin.
Satumbangan uyuh hampai habis umur, kadada sakali-kali Masdar datang bajanguk.
Itu ti nang banyak dikuya urang. Talanjur purun banar Masdar, mambuang banar ka
paninian.
Umbui Mastan
dikubur kada jauh pada higa rumah, di bawah kanaungan rapun nangka, batatai
lawan kubur Uma-Abahnya Masdar.
***
Tumatan
subuh hampai baisukan hujan labat kada sing rantian mangubui kampung Sungai
Tuha. Ari pina mangadap. Angin ribut. Bahanu guntur gagalugur, bunyinya nang
kaya handak manggulung bumi. Hujan mandasau-dasau mambilas dadaunan. Dingin.
Di tatangah
hujan labat, di kartak baaspal nang manjalujur pinggir kampung, talihat urang
dua laki-bini bajalan ampah ka darat. Nang laki mancakuti payung wan tas, nang
bini bakilikan anak.
“Assalamu’alaikum,”
ujar nang laki mambari salam imbah naik ka palatar rumah nang dituju. “Ning! Uu, Ning!” Ujarnya pulang sambil
mangatuk lawang.
“Wa’alaikum
salam,” sahut nang di dalam rumah. Lalu mambuka ka lawang.
Nang
mambukai lawang wan nang dibukai bacangangan satumat.
“Udin ah?”
ujar nang dibukai. “Mana Nining, Din?”
Nang
mambukai lawang, Udin, manarangak. Asa parcaya wan kada.
“Masdar
ah?”
Balalu Udin
manarik pagalangan tangan Masdar masuk ka dalam rumah, nang bini mairingi. Hujan di luar bamula taduh. Udin
kada manyangka Masdar ayungannya datang jua. Masdar gin kada manyangka nang
mambukai lawang sakalinya Udin. Kanapa Udin ada di rumah Nining, kamana sidin?
Hati Masdar batatangguh.
“Kamanang
Nining, Din?” Masdar batakun pulang imbah bajanguk ka padangan.
Udin
tumatan tadi kada kawa manyahut. Handak ai manyahut tapi kada taucap, muntung
nang kaya disumpal. Lalu inya mambawai Masdar wan nang bini dudukan di padangan
balapik tikar purun. Nang anak digalingakan di higa awak balapik lilipatan
tapih bahalai. Udin batakun kanapa hanyar haja datang, sudah ditarima ah surat
nang dikirim batatangah bulan lalu. Masdar mangaku hanyar haja manarima. Imbah
itu ti dikisahakan Udin ai.
Masdar
magahuk imbah mandangar Udin bakisah. Lalu inya bagagas bukah ampah ka bawah
rapun nangka di higa rumah, talukup balaluan di atas kubur Umbui Mastan. Asa
manyasal kada sakira manguracak hatinya.
“Umai alah,
Ning, dika. Ampuni banar ulun, Ning ai. Ulun durhaka lawan dika, ampuni ulun.”
Masdar
magahuk banar sambil maragap tanah kubur Umbui Mastan. Imbah itu talukup pulang
di tanah kubur di subalahnya, kubur Uma-Abahnya nang maninggal diranjah mutur
trak haratan basapida bulik batanam anak banih di baruh, wayah Masdar hanyar
baumur sambilan tahun.
Malihat
Masdar nang kaya itu, barubuian jua banyu mata nang bini. Udin nang kaya itu
jua, umpat kada tahan hati. Umpat marasaakan padihnya kanyataan nang manyayat
batin Masdar.
Hujan
tasisa baribisan. Udin mahabari umanya mamadahakan Masdar datang lawan
anak-bini. Habar Masdar datang mambawa anak-bini maulah urang jurut-jurutan
handak malihat. Langkar banar sakalinya, ujar urang kalambisikan imbah malihat
bini Masdar nang bajilbab hijau tuha. Hidung mancung, katurunan Arab kalu, ujar
nang lain. Nang anak muntak banar, lalakian, parak satahun umurnya.
Manyampuk
magrib, imbah kadada lagi urang bailang, Masdar turun baair ka tagaian parak
sumur di balakang rumah. Dijanakinya sakulilingan, kada banyak nang baubah.
Dijanakinya jua tagaian ulahannya nang ditinggal madam talu tahun. Tabayang
balaluan muha paniniannya, Umbui Mastan. Rawan jadinya hati Masdar, lalu
tapancar banyu matanya.
Tuntung
maimami sambihiyang magrib bajamaah lawan bininya wan Udin, Masdar baucap kada
lagi babulik ka Malaysia. Inya handak bagana di banua haja.
“Aku handak
bagana di sia haja, di banua saurang. Barang ai, mambuka usaha nangapakah,
cagaran ti handak mambuka kikiusan,” ujar Masdar.
“Iyih.
Hujan amas di banua urang, hujan batu di banua saurang. Nyaman bagana di banua
saurang jua ayungannya,” Udin lakun baparibahasa manyahut.
Isuknya,
Masdar maulah tagaian hagan diandak di padangan. Supaya nang bini kada ngalih
turun naik baair.
Banjarmasin,
25 Juli 2010
Bapintaan[8]
M.
Fuad Rahman
Langit mangadap, maram tumat baisukan
tadi. Kada jua sing hujanan, ada jua pang rintik banyu siang ti, babaya ada
sakadar malapai, cakada ada rakun putih nang kalihatan batampai. Kartak pinda
kada sunyi jua wan sapidamutur nang lalu. Apalagi buhan kakanakan wayah ini
magin kada tahu dibasa, sing lajuan mambukahakan sapida mutur kaya kahahantuan
haja lagi. Kada ingat pada kuitan basanda pahumaan jadi kawa manukarakan sapida
mutur. Itu gin mangaridit ha pulang.
Si Mahran balimbai ampah ka warung Julak
Ibas, inya bulik tumat di langgar. Hintadi ada rapat pangurus langgar,
ujar Julak Ibas ti pahadring. Si Mahran ni bujur anum tagal
tamasuk pangurusnya jua, kada awaknya nang kurus kaya papan satampik pang, tapi
tamasuk panitia langgar, makanya umpat hadir wayah
rapat.
Rapat
tuti nang iyanya ti mamandirakan masalah mambaiki langgar
kampung nang sasain hari sasain pinda handak runtuh. Maklum ai, manajak haja tumatan aruah
pa-kai-annya si Mahran masih anum. Jadi bilang mamitung puluh tahun jua hudah.
Nang ada ni gin langgarnya bilang sudah barapa kali
baganti hatap nang rahat miris, mangganti tawing nang pinda bungkas marga
papannya japuk. Balum lagi lantai nang bilang mahadang umur haja lagi. Napang,
amunnya buhan pacucuan Haji Salman babukahan, bah! Baganangan tupang nang tuhanya. Kalu
pinda tabarusuk, bahujung batatamba banar ai kaina.
Talu
hari badahulu Guru Duan hudah basaruan cagar pahadring
masalah mambaiki langgar niti. Nah, hari ini ti rapatnya,
nang si Mahran umpat bahadir jua. Kapuputingannya, diputusakan langgar
cagar dibaiki bakurinah. Sabukuan cagar dibungkar, diulah kaya langgar kampung subalah nang sudah
tadahulu digawi tumat tahun samalam. Nang kada sing tuntungan jua sabab diganti
wan langgar nang basamin. Dimapa handak tuntung lakas amun
kababanyakan duitnya.
Buhan Guru
Duan lawan pangurus nang lain sapakat marumbak sabukuan, diputusakan jua
masalah pancarian dana gasan mambangun langgar niti diadaakan warung saprah
amal lawan jua bapintaan di jalan. Malihat nang ada-ada tu pang damintu jua
cara bacari duitnya.
Babulik
kita ka warung Julak Ibas ti pulang. Rupanya di warung Julak
Ibas tuti buhan nang tuhanya kabalujuran takumpulan. Paul-paulan kukus ruku
bilang kaya kanalput kabanyakan uli. Napang bilang sabaratan baruku, maka
sambung puting ha pulang.
“Nah,
pas banar si Mahran datang nah…,” ujar Pakacil
Samad babaya malihat Mahran balarut ampah ka warung.
“Napang
ti, Pakacil, amun ulun datang niti?” ujar
Mahran manyahuti. “Julak, ulun kupi haja, gulanya jangan hibak!” Mahran
manyambung salajur batampah kupi wan Julak Ibas sambil maandak burit di
babangku paring warung hidin.
“Amun hibak dimapa
maharunya, Tuh?” Julak Ibas bagaya jua. Balalu kalikikan ha
hidin tatawa saurangan sambil manampaiakan gigi nang hirang marga hajin
banar maisap ruku karitik.
“Masalah
langgar
kita ti, Ran ai. Dimapa jua manurut ikam? Ikam nang anum nih, dimapa
kira-kira?” Pakacil Samad manyahuti sambil malikit ruku pulang nang hanyar haja
habis.
“Napa
pulang, Pakacil, maka tadi sudah kita pandirakan
barataan wayah rapat ti? Amun sapakat haja cagar dibabak sabukuan, ulun akur
haja. Bubungannya dasar pinda miris banyu hudah, baluang-luang karancilangan,
lantainya pinda garatakan jua, ada nang rungkang parak paimaman. Tawingnya ti hudahnya. Bilang kada kawa dikisahakan lagi…”
“Lamun masalah dibaiki
lawan dibabak sabukuan ti, aku akur haja jua. Nang jadi pungkala niti dimapa
mancariakan duitnya, maulah langgar hanyar tu cakada sasadikit duit kalu…?!” Pakacil Samad baucap pinda karas
sadikit.
“Banaran
jar Samad tu, Tuh ai. Kami nang tuha niti handak jua
mandangar pandapat ikam nang anum, nang lawas madam ka banua urang. Kaluham
lakun ada nang pinda patut pariannya,” Kai Gayan manyambung umpat bapandir.
“Kuitihi ikam wayah rapat ti kada sing bunyian, nang kaya ada nang handak
diucapakan tagal baranai haja. Kaluham asa ngalih bapandir wayah ada Guru
Duan, niti tampulu di warung nah, dimapa?”
Si
Mahran unggut-unggut sambil lihum bapair. Wayah rapat hintadi inya dasar kada
sing bunyian. Kalupang umpat mausul napakah, kada jua ham. Baranai pang. Inya
tuti padahal diharapakan banar kawa umpat mambuka pandir. Napang nang
tuhanya maumpatakan inya jadi pangurus langgar
marga lakun anggaran ada jua pancarahan nang taanum. Sakalinya, babaya disaru
kada sing bunyian kaya siput dipais. Han, dimapa?
Maambil
si Mahran ka cangkir kupi hirang tampahannya hintadi. Dihirupnya hulu sahirupan
dua. Hanyar inya manyahuti pandir buhan Pakacil Samad.
“Amun
masalah mancariakan duitnya, ulun ti amun manantang buhan nang tuhanya ti kada
pang…”
“Dimapa
maksud ikam, Ran?” ujar Haji
Sani nang hanyar datang ka warung.
“Maksud
ulun tu, nang masalah bapintaan di pinggir jalan tu nah, ulun kada satuju!”
Mahran manjawab.
Balalu
takajutan ai buhan Pakacil Samad mandangar pandir si Mahran
nang bapadah kada katuju amun cagar bacari duit bapintaan di jalan. Garunuman
balaluan di warung kada kakaruan mandangar pandiran Mahran. Kabalujuran ari
pinda makin bakaraut ampah ka sanja, kada lawas kadangaran urang maayat, kada
barapa lagi tu, cagar babunyi dauh magrib. Ada Mahran ti, malihat nang tuhanya
garunuman kada kakaruan, balalu handak bulik ai inya. Napang, kalu pang ada
nang batakun baastilah alasannya nangapa jadi kada katuju. Kadada jua ham. Nang ada garunuman…
Imbah ditahurinya haraga
kupi lawan wadai cincin kanu Julak Ibas, inya balinggang maampah bulik, imbah
basalam ka alah buhan nang tuhanya. Maninggal bakas nang jadi pandiran bubuhan
nang di warung.
***
Rupanya
pandiran Mahran di warung Julak Ibas samalam sampai jua ka talinga
Guru
Duan. Nang ngaran Guru Duan niti cakada urang jua lawan si
Mahran, ada jua kuncur jariangannya. Hidin masih basapupu dua kali wan aruah
abahnya Mahran. Nang ngaran masih kamanakan, balalu kada nyaman ai hidin
mandangar pandir Mahran kanu urang kampung wayah di warung. Guru Duan niti tahu
habar matan Pakacil Samad nang bakurinah datang ka
rumah hidin.
”Dimapa
garang kisahnya, Mad?” Guru Duan mahimati batakun kanu Pakacil
Samad nang basila di hadapan hidin.
Balalu
dikisahakan Pakacil Samad dimapa pamandiran Mahran
dua hari samalam wayah di warung Julak Ibas. Tumat pamulaan kisah dipadahakan hidin
kanu Guru Duan. Hidin mandangarakan sambil babirangutan.
”Napa
jadi kadamia si Mahran, samalam wayah rapat di langgar
inya umpat kalu, Mad?” ujar Guru
Duan batakun imbah tuntung kisah Pakacil Samad.
”Inggih, Guru
ai, tagal pian tahu saurang, inya kada sing ucapan wayah rapat tu...”
Balum
tuntung Pakacil Samad baucap, Guru
Duan manatak pandir balaluan, ”Damhatiku ti, Mahran baranai tuti
katuju haja, sapakat haja wan hasil rapat kita...”
”Tuti
am, Guru ai. Ganangan ulun damintu jua. Tagal ujar Kai
Gayan hidin baparasaan lain imbah malihat muha Mahran, makanya kami bakurinah
batakun wayah batamuan di warung samalam tu, imbah mandangar jawaban Mahran
nang kada satuju masalah bapintaan di jalan, kami balalu ai takajut, Guru
ai. Nang lain garunuman ai jua.”
”Imbah,
nang jadi pungkala sampat takisah kanu diaku niti napa, Mad?” ujar Guru
batakun pulang.
”Pian
tahu saurang, nang ngaran Mahran ni tamasuk dituhaakan buhan kakanakan nang
rajin duduk di gardu. Nang kami takutanakan niti kalu pinda nang lain
tapangaruh pandiran Mahran. Bayanya am kita kaina kadada baurang gasan
bapintaan. Nang kakaya itu nah, Guru ai, nang kami hatiakan, burusiah tapandir wan kakanakan nang lain,
imbah am kita. Amun maharap nang tuhanya haja, lapah mairit kainanya, kami
handak manakunakan nangapa jadi kada satuju, kabalujuran hari sanja banar
sudah. Lawan jua pian tahu saurang, Mahran ni karas tumatan kakanakan. Kada hingkat dipandiri amun sudah baisi
pandapat...” Pakacil Samad bapandir sambil managuk liur.
Guru Duan takintip
satumat, bapikir. Kupiah jangang buruk
hidin sudah pinda siwah ka kiwa. Dibujurakan hidin dahulu kupiah, hanyar baucap, “Lamun kaya itu, kaina
kupandiri ha si Mahran nangini. Kaina jadi pamandiran nang kada baik di
kampung, mambari maras aruah abahnya, bakas Tuan Guru pang di kampung kita
niti. Ayuha, malam ini imbah magrib
padahi wan nang lain jangan bulikan hulu, kita bapandiran di langgar. Padahi jua kanu Mahran
pada kita malam ini bakumpulan satumat imbah magrib.”
“Kahandak
ulun ti kaya naitu jua pang, Guru ai. Pian tanyaman jua bapandir wan
Mahran ni, inya maasi haja lawan hampian. Amun kaya itu ulun turun haja nah, Guru ai. Assalamu'alaikum…”
“Hi-ih.
Ayuha, bagimit Mad ai. 'Alaikum salam…”
***
Hari
sasain kakayukut ka sanja. Langit bamula bakadap. Kada lawas tadangar suara Jahrani
bang di langgar. Kacangulan nang rajin tulak ka langgar.
Nang banyak ti buhan kakanakan halus haja pang. Amun nang tuhanya ti kada usah
dipandir gin. Jadi pinda takumpul niti marga Pakacil
Samad banarai basaruan cagar ada nang handak dipandirakan masalah langgar.
Imbah
tuntungan sambahyang magrib, disambung pulang sambahyang sunat. Guru Duan nang
dasar dijadiakan imam kampung baduduk di muka pintang paimaman. Hidin mambuka
pandir, imbah basalam.
“Samalam
kita sabujurannya sudah haja mamandirakan masalah langgar
kita ni nang handak dibabak, diganti wan langgar basamin. Aku kada handak
bapanjang libar bapandir, jadi langsung haja. Ada habar nang sampai kanu diaku,
bahwa si Mahran nang kada lain masih kamanakanku saurang kada katuju lawan cara
kita bacari duit sagan mambabak langgar niti, bapintaan di jalan.
Anggaran jangan jadi hual wan pamandiran nang kada baik gasan sabarataan, maka
malam ini ada baiknya kita sabarataan mandangarakan pandiran Mahran lawan
alasannya kanapa maka jadi kada sapandapat. Padahal inya nang diulah mangapalai
kakanakan di kampung nang hakun umpat mandangani mananaiakan bakul purun di
jalan atawa manjaga cilingan kaina…” Guru Duan manarik hinak dahulu, hanyar
manyambung pulang pandir hidin. “Dimapa, Ran? Napa jua ti maksud ikam jadi kada
satuju?”
Buhan Kai Gayan lawan nang
lainnya cangangan ka ampah Mahran
nang duduk di subalah kiwa mahadang muntungnya banganga manyahuti tatakunan
Guru Duan.
“Sambat
haja, Ran ai, jadi kami-kami nang tuha ni kada basangkaan macam-macam wan ikam,” ujar Haji
Sani baucap badahulu pada Mahran.
“Kalu
pang ikam kawa mancariakan jalan nang tapatut atawa ikam ada tabungan pariannya
nang kawa diunjuk gasan mancukupi mambaiki langgar
niti nah,” jar Haji
Dullah jua manyambungakan. Nang lain garunuman jua kada kakaruan pulang. Kaya
wayah di warung Julak Ibas.
Mahran
takurihing simpak mandangar sindiran buhan Haji
Dullah. Kada lawas Mahran baucap jua.
“Bujur,
ulun kada satuju amun kita bacari duit gasan marumbak langgar
kita niti cagar bapintaan di jalan.”
“Maka
di lain kaya itu jua, Ran ai. Di kampung aruah Abah Guru
Sakumpul, Martapura, bilang kaya itu ai jua urang,” ujar Haji
Sani manatak pandir Mahran.
“Bujur, Ji ai.”
“Nah,
amun bujur napa nang jadi masalahnya?” Haji Dullah pulang malawanakan pandir Haji
Sani. Mahran hanyar
sabatik bapandir, hudaham kada katangkisan pandir buhan nang tuhanya.
Nang
lain unggut-unggut mandangar Haji Dullah bapandir. Rupanya Guru
Duan asa kada nyaman, hidin umpat jua bapandir.
“Dimapa,
Ran? Kami mahadang pandiran ikam nah,” ujar Guru
mancuba maranaiakan nang lain.
“Buhan pian kada ingat ah,
wayah aruah Guru Sakumpul masih hidup hidin biasa mamandirakan wan Abah Hubnur,
wayah itu Abah Sjahriel Darham, anggaran bapintaan di jalan tu ampih haja sudah
digawi…?” Mahran manjawab pulang kisah batakun. Padahal inya tahu ai banyak nang
kada tahu pada aruah Guru Sakumpul biasa kada mambariakan lagi bapintaan di
jalan.
“Napa
nang salah amun gasan manggawi nang baik jua, Ran?” Guru Duan batakun pulang.
“Amun
salah atawa kada ti, kada wani ulun mamadahakan kaya itu, Guru
ai. Ada nang ini ti, nurani ulun marasa kada pas. Kada Islami, karna agama kita
kada maanjurakan umatnya jadi paminta-minta, sadikit atawa banyak, nang ngaran
mainta-inta kada cagar manyupanakan kita jualah? Manyupanakan urang Islam.
Marandahakan muru’ah ka-Islaman kita.
Balum kaina, burusiah ada buhan babinian nang umpat jua mananaiakan bacakutan
bakul purun di pinggir kartak. Baik amun bapakaian nang pas, takakana ada haja
nang kada bakarudung atawa kada sampurna bapakaian. Nang kaya batuyuk di
pinggir jalan tumatan Kandangan sampai ka Banjar tuh, maginnya amun parak
Martapura situ, kada kahitungan nang bapintaan, maka banyak babiniannya.
Takananya ada haja jua buhan kakanakan nang disuruhakan bapanas di tangah
kartak. Mambari
supan ada am, mana babahaya kalu pinda tagipak mutur nang lalu lalang,” Mahran mancuba mamadahakan alasannya.
“Imbah
pang, dimapa lagi kita bacari dana? Lamun kada damintu caranya, siapa nang hakun mambantui
manutupi pangaluaran nang kada sadikit tu kaina?” Haji Sani marimbat nyaring
hidin bapandir.
“Ran,
ikam musti ingat jua, Baginda Rasul mamadahakan:
barang siapa nang mambangun masigit atawa langgar
gasan Allah, maka Allah cagaran mambangunakan istana gasan inya kaina di surga,” Guru
Duan maungkai dalil.
“Bujur
tu ujar Guru Duan!” Haji Dullah mambujurakan. “Kada kawa banyak, sadikit barang. Mana
urang sambil lalu sambil baamal, salajur mambantui urang nang lalu jua baamal
jariah. Jadi kada bakurinah banar
urang bacari pahala.”
Asa lacit hati Mahran
mandangar ucapan Haji Dullah, padahal hidin tamasuk nang sudah rahat naik haji
ka Makkah, amun ampat lima kali ada saku hudah. Ada urang ti, aturannya tahu jua nang
mana nang bujur atawa kada. Baluman lagi mandangar garunuman nang lain. Ya,
Allah… Maka Guru
Duan maungkai dalil nang rahat dipakai urang gasan alasan bapintaan di jalan ha
pulang. Makinnya
ai asa lacit hati Mahran.
Mahran
manarik hinak sakira asa lapang jua maungkai pandiran pulang. Napang, bilang asa kana katiwasan banar
inya ulih buhan nang tuhanya.
“Ulun
ni Pakacil ai, Ji ai, Guru
ai, amun handak mahual buhan pian ti kada pang…”
“Imbahnya
napa jua maksud ikam ti, Ran? Amun kada ada nang cagar kawa mambantui, jangan
pinda musti ha, Ran ai,” Haji Sani manatak pulang pandir
Mahran.
“Hadang
hulu, kita dangarakan sampai tuntung nangapa garang nang jadi kahandak Mahran,” ujar Guru Duan manangahi.
Nang
ngaran Mahran ni inya kada handak mangarasi jua bapandir. Biar dimapakah, inya
tahu haja diri pada masih anum. Mana pulang inya kada urang lawan buhan Guru
Duan, atawa lawan Pakacil Samad. Masih ada raraitan
kaluarga haja. Tagal, lamun sakali baucap cakada baundur burit tu pang!
Imbah
pinda ranai nang lain, Mahran kada nyaman jua. Balalu inya banganga pulang bapandir.
“Sakali
lagi, Ji ai, ulun amun mahual ti cakada pang. Buhan pian musti ingat ujar Baginda
Rasul jua: tangan nang di atas tu baik pada
tangan nang di bawah. Ucapan
Baginda
Rasul ini maisyaratakan, kada
mambariakan kita mainta-inta kanu urang. Nah, nang batanai di tangah kartak tu
kurang labih iya haja jua kalu amun malihat hadis nangini? Kada tasinggunglah buhan kita nang
mangaku baagama Islam nangini? Imbahnya pulang, balum tantu nang lalu lalang di
jalan tu urang Islam barataan, lamunnya manyambat buhan kita nang Islam ni nang
kada-kada, dimapa? Maka musti padas pada lumbuk parawit
tu-a amun basasambat! Kita dianggap buhan kaum paminta-minta, Islam miskin jah,
kaiyaannya ti marga kita jua nang manampaiakan kalakuan damintu. Kalakuan nang
cagaran maulah urang bapikir kada baik kanu buhan kita…” Cacarincing Mahran
bapandir kada sing hinakan.
Tadiam satumat Mahran
mambujurakan pahinakan, imbahnya manyambung pulang pandir. “Buhan kita ni, amun
sudah Isra Mi’raj, mahaul, atawa Nisfu Sya’ban bilang bahimat hakun haja
mangaluarakan duit situ saini. Baluman amun takana bulan Mulud, bah! Liwar
tupang! Sakampungan hakun haja manggawi. Maka nang ngaran baaruhan nang kaya
niti cakada sasadikit kalu duit nang dipakai gasan batutukar pamakanan lawan
macam-macamnya, amun sabuah rumah haja wani sajuta dua, kaliakan ha amun
saratus buah rumah. Itu
hanyar sabuting. Baluman amun nang pinda sugih di kampung kaya kita ni, bah!
Liwar tupang raminya. Amun dua talu juta kada cukup tu pang baaruhan. Napang
cagar basaruan sakampungan pang. Ada haja jua nang hakun haja baarisan
baastilah gasan manyiapakan duit aruhan kaina. Cuba amun kita kumpulakan
tunggal buah rumahan gasan mambaiki langgar kita nang buruk ni, cakada
sampat bapintaan di jalan kalu? Ujar Rasul jua, bagi urang nang katuju
mainta-inta di dunia, di ahirat kaina inya cagar datang wan muha
kada badaging! Han, kada wani ulun! Amun masalah dalil nang manyuruhakan
baaruhan nang kaya itu ti, cakada ada jua, manggawinya kalaham bilang bahimat
banar. Kada mambadai lawan hikmahnya. Cuntuh haja, buhan pian malihat haja nang
kaya apa sumbahyang jamaah di langgar kita ni? Amal nang utama diandak
ka lintuhut, kalu! Apa kada tabaliklah itu!?
Langgar kada tababaiki, haur bakakancangan urat gulu ha tarus… Nang itu
sabuting haja, ada lagi nang lain. Amun ulun sumbahyang zuhur, paling buhan
kakanakan nang umpat bajamaah. Asar saurangan pulang, magrib buhan anak Pakacil
Duraup lawan Guru Duan nang ada. Isya?! Nang itu-itu
jua urangnya. Ada nang baduduaan haja ulun lawan Guru
Duan. Lamun subuh, kada kawa dikisah lagi. Ulun nang bang, ulun nang qamat,
ulun nang imam, ulun nang makmum! Sakakalinya! Padahal saban bamaulidan atawa Nisfu Sya’ban, nang lalakiankah,
babiniankah banyak haja urangnya. Banyak haja nang cungul. Amun mandangar urang
bang, kawalah jua manyahuti kaya ka saruan urang aruhan bamulud? Padahal nang
manyaru ni Allah ta’ala langsung! ‘Sumbahyang cukup di rumah haja’, jar.
Cah! Alasan banar haja. Kulir
nang iyanya!”
Bahinak
hulu inya, imbahnya manarusakan pulang,
”Sumangat kita ni nah, mambangun langgar kada mambadai wan sumangat
mamakmurakannya. Jadi kita mambaiki langgar niti jangan jadi tujuan kita. Itu
nang tasalah kaprah ngarannya. Kada langgarnya nang panting wan jadi tujuan.
Tagal, dimapa mamanfaatakannya! Damintu, kalu? Jangan handak bapandir mambabak
langgar, duitnya haja bapikir bapintaan kanu urang. Imbah, ka mana urang nang
katuju baaruhan bahimat, hakun haja dua talu irti basaruan wayah bamuludan kaya nang masi saban tahun?!”
Bah!
Asa ditapas di muha buhan Haji Dulah lawan Haji
Sani. Napang, nang masi bahimat manggawi aruhan Mulud
ganal ti buhan hidin nang baisian tuku barandak di pasar. Daradaian paluh dingin di kaning Guru
Duan mandangar pandiran Mahran. Kada sing ucapan lagi buhan nang tuhanya.
Sintup, kaya siput bapais. Kahandak ti, Mahran ni dijarai. Nangini!? Tabalik!
Hidin nang asa dimamai. Asa runtuh balaluan awak Haji
Dullah wan Haji Sani. Napang, pas banar kana
bukunya!
“Han… ti-ya…!!!”
istana peraduan, Rabu, 160610
Kada
Tamakan Habar Lagi[9]
Komariah Widyastuti
Halin bamban kada babuah
Sanunuh babuah baupung kada
Halin badan kada batuah
Sanunuh batuah bauntung kada
Isi buku pantun urang bahari naitu,
kaya kada hakun batuha. Kada bisa usang, napa lagi mati. Buku pesannya sigar
batatarusan. Kada baarti manyindir nasip diriku. Tapi aku kada tahu untung-tuah
badanku. Tamasuk nang bauntung, atanapi nang batuah, aku kada tahu. Nang musti
kada amun kaduduanya. Kalunya bauntung, baarti kada batuah, atawa babalikannya.
Aku tamatan sakulah parawat di
Banjar. Wayah ini bagawi di Puskesmas Mandastana. Uma, Abah, Nini, Datu, sampai
ka muyang tuturunan urang nang banyak bakabisaan. Paling kada, ada lima huaran
nang dikatujui urang banua. Dudul, katupat, lamang, garih awan pakasam.
Kandangan, cing ai. Barang haja, wani awan kucing barang, wani jua ngarannya.
Kalu diukur awan gawian, barangkali
saurang ni tamasuk nang bauntung. Karidit kandaraan sudah punah, karidit rumah
balum pang lagi, tapi sudah baisi rumah kaya urang jua. Nang jadi pikiran,
wayah bulik ka kampung, urang kada batakun duit tabungan, barapa buah bisi
kendaraan? Nang ditakunakan urang: barapa ikung sudah ulihan? Uma, asa pagat
parut maarit supan. Asa kada bamuha. Badiam, kalu dalam hati urang cakah,
sumbung, kapiragahan. Tapaksa ai dijawap saadanya.
“Balum ai lagi,” babaya bakarimut
bibirku.
“Sudahlah bapariksa?” ujar nang
saikung manyambar. Tatakunannya bagus haja, wajar banar, maklum lawas kada
badapat. Tapi talingaku nang asa hancur mandangar, asa hangkui pada patir.
“Dudukanlah dahulu...,” aku bagamat
maalih pandir.
“Jangan macam-macam, sarana baulah
banyu,” ujar Midah, kawan sakulah dahulu. Inya mairingakan nang laki bagawi di
Kotabaru.
“Ayuha, satumat haja,” Aku
balingkang ampah ka padangan. Aku baastilah bacaramin ka kanan, maitihi muha
bakas takajut, takibar sumangat. Hanyar baasa mambawa patikuan banyu tih,
cangkir puang, wan galas wadai karing.
Rami ai pandir ka hulu ka hilir,
sambil banginginuman. Bakisah wayah sakulah di kampung dahulu. Parak sanja
hanyar Midah wan Minah bulikan. Kaduanya menuntun anak, bungas-bungas anak
urang, lucu-lucu mambari garigitan. Anak Midah lalakian, anak Minah bibinian. Pina
pantar, kaya kambar. Kurang-labih ampat tahunan, kalu, umurnya.
***
Limbah Isya, hujan nang kaya
diluruk, ribut, baguntur lawan patir-patirnya, kilat sambar-manyambar,
kadicaran kada sing rantian. Langit umpat manangis nang kaya tahu gundah-gulana
di hatiku. Kada kaya paribasa, asa parak lawan kiamat. Balik-kulai saraba
salah, asa kadada nang nyamannya. Kupaksa bapijim, hati bagarunum.
“Sudahlah bapariksa?” Tatakunan
Midah, tangiang-ngiang pulang. Aku yakin, musti inya kada tahu, kalu aku balum
kawin. Lantaran jauh manyubarang laut, jadi jarang bulik ka banua.
“Parasaku, asa kada mungkin kalu
Midah basinghaja manyindir kawan...” Hatiku bagaritik, tapikirakan nang
kada-kada. Padahal nang bangaran buruk sangka naitu, kada pantas timbul di hati
kawan. “Tapi pulang, kalu dipikirakan
halus-halus, nangapa nang dipariksa? Bagandak bapasangan haja kada bisa.” Aku
makin larut, makin hanyut, manangguh mangira-ngira, napa sabujurnya nang ada
dalam pikirannya?
“Kalu maksudnya, bapariksa wan urang
alim, nang hawas, nang bapanglihat. Atawa tabib, nang basahabat jin, basahabat
urang halus, nang kawa mambari banyu, mambari minyak, mambari jimat, marajah
awak, mamasang susuk, batanam intan lantakan, atanapi bamandi-mandi babuang
sial...” Pikiranku sasain kacau, sasain layau, maranyau. Manarawang langit kada
batihang. Kada kawa dijangkau akal, tahayul.
Aku bakalimpusut bapuat turun pada
ranjang, bajalan bagamat kaluar kamar, nginum banyu bamati di padangan. Hujan
sudah taduh, patir guntur sudah kada tadangar. Kampung Paring Agung guring
janak, malam sunyi-sanyinyip. Aku bamandak di hadapan lamari kambar dalam
kamar, malihat awak di caramin ganal.
Kuitihi awakku, matan rambut sampai
ka pinggang, asanya nang kakaya urang jua. Muha kada bakunat, kada bajariawat.
Kada amun langkar, kada jua mun jahat banar. Kaning, mata, hidung, muntung,
biasa-biasa haja. Tinggi sadang haja jua, kada pancau banar kaya jujuluk
langit, kada jua amun talalu campa. Ngalih pang mun handak disambat putih
kuning, tapi kada kawa jua dipadahakan hirang malutung.
Aku babulik mangajang pinggang,
barabah di ranjang. Ngalihnya mancari kantuk. Mata kada mau kalat. Pambawaan
hati nipang. Gugurimit, gagarunum, asa handak bakuciak-bahalulung ha lagi.
“Bujur haja, nang ngarannya tahayul
nitu kada masuk di akal. Tapi nang tabukti banyak jua. Barapa banyak nang mandi
lawan Julak Juhan tu, kadada nang kada payu. Balakian barataan. Kada kaya
saurang bujang lapuk!” hatiku mulai pulang baidabul.
“Mandi awan sidin tu saratnya barat
banar. Jaka sahibar tilasan kain putih dua mitir, piduduk salangkapnya, tambahi
duit sajuta dua... Ampat lima juta, kubayar! Ini bujur ai duit saadanya, saapa
kita kawa, ampat lima puluh ribu, paribasanya. Tagal, kita sidin gulak ai,
dipakai, dibujangi. Bujur ai kada lisit, kada babakas, tagal dusanya! Dusanya
nitu nang tapalampang lawan diriku. Jauhakan bala, tujuh turunan jangan
ditamuakan!”
Kupaksa bakicing, kutukupi pulang
muha lawan guguling. Jangan taguringan, makin banyarak saapa.
“Wayah ini, jangan nang halal, mancari nang haram gin saling
ngalihan. Kada sadikit maling hayam, maling pisang, maling limau, maling
jamuran nang babincul-bincul, nang badarah-darah, ditangkap, dihukum di
panjara. Ada jua nang tapaksa manjual diri di jukung, di bawah jambatan, di
warung singgul, di warung jablai,
saliwiran di pinggir jalan, baangin baambun bamamalaman, balum tantu ada nang
cangang...” Pikiran layau maranyau babulik pulang.
“Barangkali urang kada parcaya, kalu
babujangan nang kursus, nang kuliah di Banjar tu, ada jua nang hakun jadi paurutan
di salon atawa di hotel-hotel. Napa lagi amun jauh awan kuitan, jauh lawan
kadang warga di kampung. Kiriman talambat, hutang-hutang di kantin, di warung,
kada kahitungan. Tapaksa mancari Abah asuh, Amang asuh, atanapi Kaka asuh. Nang
panting, asal kawa mangganjal parut. Kawa tuntung kursus, kawa bagawi, hanyar
kawin nang kaya urang...” Sasain layau, sasain basigar muha. Di manakah
datangnya pikiran nang malayau nangini? Ngalih banar dibuang, dihilangakan.
“Nang bangaran tapaksa, Tuhan tahu
haja. Kalu di padang sana, nang haram bisa jadi halal. Tuhan tu Maha Rahman,
Maha Rahim, Maha Pangampun, Maha Sagalanya. Tuhan bajanji, siapa nang batubat,
asal bujur-bujur tubat, kada tubat sambal, musti diampuni...” Hatiku bagaritik, inda tabaik pada
nang tadi, kada layau lagi. Aku kada tahu, apa ini bisikan napsu atanapi hati
nurani? Baik kubawa baair, baistiharah. Kalu ada pitunjuk, jalan kaluar nang
baik.
Aku kada ingat, pukul barapa aku
tanyanyap? Urang di langgar, di masigit, bunyinya sudah bawirit. Aku hanyar
tailan, mata paguni asa barat, asa kalat. Kulir banar babungkiat, tapi subuh
sudah tuha banar, handak habis, parak hilang, parak singkap siang.
***
Aku bapuat bagamat, mambasuh muha,
mambasuh batis-tangan, bahimat sujut nang bapahimatan, mancium dabu di hujung
jariji batis Nang Saraba Maha. “Bahara mambari bakas, barasih sampai ka lubuk
hati nang paling dalam. Kada layau, lunau-manggayau nang kaya malam tadi...”
Imbah badoa sunat Duha, aku
basingsat basisimpun.
Hatiku sudah bulat, sudah mat, sudah
miting.
Aku bulik hari ini. Singgah satumat
di Pasar Hanyar, manukar kain putih, baras, nyiur, gula habang, hintalu hayam,
banang putih banang hirang awan jarumnya, sagan piduduk salangkapnya. Kalu kawa
hari ini aku musti bailang ka rumah Julak Juhan. Handak kusarahakan samuaan.
Tasarah sidin ai, handak diapaikah, asal ampih jadi sasambatan urang sabanuaan.
Tuntung baasar, aku langsung ka
rumah sidin. Nang bini mambuka lawang. Balajur mambawa ka padangan, hapal banar
rupanya.
“Ikam ka kamar batisan!” ujar nang
bini sambil manjulung kain putih ka tanganku.
“Inggih,” aku baunggut ampah ka
kamar.
Nang bini pulang nang manyuruh aku
duduk di sasanggan, pas di tangah lawang padangan. Julak Juhan mangubui
kapalaku talu kali, di bahu kanan talu kali, di bahu kiwa talu kali. Julak bini
manjulung handuk sagan mangaringi rambut, hanyar tapih kurung sagan basilih.
“Ikam ka kamar. Baminyak. Bapupur.
Pupuri sabukuan awak, nang kaya urang handak guring laki-bini tupang,” Julak
bini babisik.
Sap...
Mandisap burit tundun. Cagatan bulu awak. Panas-dingin kada karuan rasa. Tapi
kadada bahawatir-hawatiran handak manulak, tunduk asa kada baurat-batulang,
bagamat bakaraut ampah ka kamar. Limbah mamatut diri di hadapan caramin, aku barabah,
batilantang di ranjang. Dada galugupan, darah dibar-dibar, turun-naik kada
manantu.
“Kaya inilah rasanya urang handak
malapas bujang?” Hatiku batakun dalam dada. Asa mambari takutan ada jua.
Kada lawas, sidin datang. Mangancing
ka lawang, duduk di pinggir ranjang. Cangang ka muha, turun ka dada. Bagarak
halukum sidin managuk liur.
“Labar am, hilang jua bujangku,”
ujar hati bagarunum, manggitir katakutanan.
“Kaya apa, yakinlah ikam manarima
banyu panglaris di awakku?” Sidin batakun, kada sing kilipan maitihi dadaku.
Aku bapajam mangumpulakan kawanian.
Supaya nyaman bapandir, supaya jangan tapi kantara awak kalitikan, manggatar
saikungan. “Inggih...” Bibir baungap sambil babuncilak, baunggut pupura wani.
“Amun yakin, duduk di sini!” ujar
sidin manapuk tilam di higa punggungku. “Kita nikah dahulu.”
“Nikah?!” Takajut-taambung awakku
salajur taduduk di hadapan sidin. “Dimapa nikah bakakajutan nang kaya ini? Abah
jauh di Kandangan, di sini kadada kadang warga nang kawa jadi wali.” Bibirku
mancuririt kaya muratal, kada sing gugupan lagi.
“Kita nikah manurut lalasar Nabi
Adam, jadi kada parlu bawali saksi. Wali kita, nang satu. Saksi kita malaikat,”
ujar sidin inda musti.
“Yakinlah pian, kalu malaikat hakun
jadi saksi?”
“Ini rahasia Allah ta’alla, maulah kada parcaya? Ngarannya
gin nikah batin, nikah hakikat. Jadi, amun urang duduk di sariat, nang duduk di
pakih, di tauhid, kada bakal badapat, kada manyambung. Nang ngaran rahasia tu,
andaknya dalam dada, di dalam parut, najis amun sampai takaluar. Ikam turuti
haja napa ujarku, aku nang batanggung jawab dunia ahirat.”
“Inggih, ayuja ulun umpat ujar pian.
Anggap haja nikah kita sah, baarti ulun ni bini pianlah?”
“Mbahnya pang?”
“Artinya, kita halal guring
laki-bini?”
“Iya hajaah,” Sidin takarinyum pina
himung.
“Kaya apa kalu sabulan dua ini ada
nang handak?”
“Kita musti basukur. Artinya, banyu
panglaris di awakku paguni manjing, paguni mayit, paguni bahasiat. Ikam kada
bisa manulak, sabab ini sarat.”
“Umai, Julak. Burusiah cacat atawa
mangalilu, kaya apa ulun?”
“Itulah rahasia Tuhan. Kita kadada
nang tahu siapa judu kita. Jadi, tarima haja nangapa nang sudah
ditantuakan-Nya. Musti ada hikmahnya,” ujar sidin inda basumangat banar.
“Inggih, Julak ai. Tapi pian wanilah
manjamin, kalu banyu panglaris di awak sampian tu kada bakal tumbuh di parut
ulun?” Aku batakun bagamat, tapi sidin kaya takajut, inda wirai muha. Lawas
hanyar manyahut.
“Siapa nang tahu? Itu urusan
ampun-Nya. Kadada urang nang wani manjamin.”
“Burusiah jadi. Kaya apa, Julak?”
“Biar ai, urang kada tahu jua.”
“Kada kawa kaya itu, Julak ai. Kalu
banyu panglaris nang jadi, baarti laki kami maharami hintalu pian. Sahlah nikah
urang nang maharami hintalu urang lain? Kalu kada sah, baarti kami bakal
bajinah bapapanjangan. Ulun kada sanggup...” Aku manyurung pandir, inda wani
badudi.
Sidin tatunduk mandam sangiuk.
Hanyar haja, kalu, tasusur pinggir tapih? Barapa banyak nang sidin rasani?
Nyata, garang, buntat samuaan? Burusiah babalikannya, banyak banar nang
taharami hintalu sidin. Napa lagi mun anaknya bibinian, siapa nang mawaliakan?
Nang maharamilah? Kada, kalu?
Rupanya pikiran atawa tatakunan nang
kaya itu nang amuk bakacamuh di kapala sidin, nang maulah sidin tunduk, mandam
sing lawasan.
“Bujur, ikam bujur...,” ujar sidin
bamangkal-mangkal. Mata sidin bakaca-kaca, ada banyu haning talaga panyasalan
di mata sidin. “Aku kada tapikir sampai ka situ. Aku kada sawat mambayangakan
buntutnya bakal saganal naitu,” ujar sidin bunyi basisigan. Manyasal banar,
pinanya.
“Jadi, kaya apa, Julak?”
“Babaju ha ikam! Aku kada sanggup
mambayangakan akibatnya nangitu. Napa lagi mananggungakan dusa bubuhan ikam
sampai ka buyut, ka intah. Kada, aku kada sanggup,” ujar sidin basingguguk,
manukupi muha awan kadua talapak tangan. Sidin badiri mambuka lawang, badadas
kaluar.
“Alhamdulillah...,” ujarku dalam
hati, balajur sujud sukur. Nangaran kita nang manjalani, kada tamakan habar
lagi, kalu? Nang panting, bujang saurang kada jadi hilang...
Handil
Bakti, 9 Agustus 2010
Manggantang
Sayang[10]
Muhammad Rifqi
Rasa himung banar bisa manulungi
urang. Asal urang kada marangut, sudah himung. Maginnya amun urang sampai bisa
takurihing.
Waktu tapikir kaya ini, hanyar kawa
mambujurakan papadahan kuitan bahari. “Kada usah ikam sugih, tapi asal bisa
mahimungi urang, Insya Allah himung hati ikam. Amun hati ikam himung tarus,
biar hidup sapatuk sapangikih, Insya Allah ikam nyaman hidup,” ujar kuitan
mamadahi.
Tapi kaya apa rasanya amun rasa
himung bacampur wan rasa lain. Misalnya sarik, dandaman atau sangkal. Rasa dada
jadi manggah-mukuh. Tacampur-campur kada mangaruan. Kanapa jadi aku tahu
rasanya? Sualnya nang kaya itulah nang aku rasaakan.
Hanyar aku handak tuntung manyimpuni
pakakas nang imbah tapakai, balum lagi manutup lawang, kadangaran pulang ada
urang datang mamaraki rumah. Kadangarannya abut, rami banar. Pinanya urang nang
datang banyak. Mandangar nang kaya itu, bagaritik hati handak malihat ka
lalungkang.
Balum lagi sampai tajinguk, sudah
ada nang mangatuk lawang. Sambil mangiau nyaring, “Mantri! Mantri!”
Marasa aku nang dikiau wan rasa
pinandu suaranya, kujinguk ai ka arah lawang. Sakalinya Paman Ruji, urang nang
dituhaakan di kampung, nang mangatuk. “Pun? Kanapa, Paman?” ujarku manyahut,
sambil mamaraki ka muhara lawang.
“Itu nah, si Hadran dipukuli urang.
Inya kada sadar. Banyak banar darah kaluar di kapalanya,” Paman Ruji bakisah
katakutanan.
Aku lihati ka luar, ada babarapa
ikung urang kampung maangkat urang. Pasti nang diangkat Hadran. “Bawa haja
dahulu ka sini, Paman ai. Ulun cuba pariksaakan,” ujarku. Padahal kada parlu
aku baucap kaya itu, sudah pasti Hadran dibawa ka wadahku.
Balajur Paman Ruji manyuruhi bubuhan
nang maangkat Hadran masuk ka dalam rumah. Maandak Hadran ka atas ranjang.
Imbahnya kusuruhi sabarataan kaluar ruang pariksa, tamasuk Paman Ruji.
Untungnya hakun sabarataan manurut. Di luar rumah pinanya urang makin galut,
napa lagi amun kada mamandirakan Hadran.
Mahadapi Hadran rasanya hatiku jadi
saraba salah. Rasa sarikku timbul, sampai tapikirakan kaya apa caranya supaya
langsung kawa mambalas sakit hatiku anu inya. Tapi hati bagaritik, bahwasanya
kada mungkin basalajuran mambalasnya. Amun basalajuran, bisa aku dipadahakan
baastilah baulah salah.
Hatiku nang subalahnya bagaritik
lain lagi, bahwa maubati inya jadi tanggung jawab gawianku. Amun handak jua
mambalas sakit hatiku lawan Hadran, bisa haja kaina bagagamatan. Paling kada,
kada talalu dilihat urang galumbang banyunya.
Maka lakas kuatur hinak, balakas jua
kupariksai Hadran. Urang nang jar urang kampung tahan pidakan, di hadapanku
ranai garutuk. Muhanya babiru-biru, ditambahi luka di kapala nang batatarusan
mangaluarakan darah.
***
Hanyar sajahitan, ada nang
manyingkap kain pambatas ruang pariksa. Aku nang takajut, maitihi. Pas malihat
siapa nang manyingkap, makin hatiku batambah takajut. Sualnya aku hapal banar
ampun muha nang datang. Muha nang kada kawa hilang di panjanak, nang maulahku
dandaman batatarusan. Muha nang maulah diriku tajungkang tahumbaling. Tamasuk
sampai aku hakun batugas ka kampung sini. Kampung nang kada suah sadikit-dikit
kuhayalakan pacangan aku datangi.
Saitu saini aku maatur hati.
Manyuruh Norma, ngaran babinian nang lamah limambut nintu, supaya mahadangi di
luar. Imbah inya hakun manurut papadahanku, kulanjutakan gawian. Sudah
manuntung gawianku, hanyar aku mandatangi inya nang dikawani Paman Ruji.
“Hadrannya kada kanapa-napa. Takajut
haja imbah dipukul urang di kapala. Kapalanya luka. Sudah ulun jahitakan, jadi
darahnya kada kaluar lagi. Paling satumat lagi inya sadar haja pulang,” ujarku
mamadahi.
Malihat aku ka luar dari ruang
pariksa, Norma langsung badiri. Bajalan masuk ka dalam ruang pariksa. Maitihi
salajur mamariksai Hadran, lakinya.
“Jadi, kaya apa baiknya?” Paman Ruji
batakun.
“Tasarah pian haja. Tapi amun hakun,
ganaakan di sini haja dahulu. Amun handak dibawa ka rumah jua, mahadang inya
sadar haja,” ujarku manyaranakan.
“Jadi, kaya itu lih. Amun ikam pang
kaya apa jua, Nor?” Paman Ruji manakuni sambil pina banyaring.
Norma nang mulai tadi kada saling
pandiran akhirnya manyahut matan dalam ruang pariksa. “Inggih, ulun hakun haja
jua, Paman ai,” ujarnya basuara.
Mandangar suaranya, rasa lamah
lintuhut wan hilang panjanak. Sudah lawas banar jua aku kada mandangar
suaranya. Labih anam tahun, kada suah jua badapat lawan inya. Tujuh bulan bagana
sakampung, hanyar ini jua bahadapan langsung lawan inya.
“Mun kaya itu aku ada nang handak
diurus dahulu, mamadahakan ka pulisi bahwa urang kampung kita ada nang dipukuli
urang,” jar Paman Ruji.
“Anu, Paman...,” ujarku baucap pas
sidin handak badiri, “Amun kawa urang nang di luar pian padahiakan supaya kada
usah baganaan di muhara sini. Kada kanapa-napa, Paman ai. Amun bakumpulan di
sini, kaina bisa disangka urang handak marancanaakan macam-macam. Bisa jadi
tumbur sakampungan. Insya Allah Hadran aman haja di sini,” ujarku manyaranakan
anu Paman Ruji.
“I’ih, bujur jua jar ikam, Mantri
ai. Ayuhalah, aku ka luar. Ikam hadangi haja di sini, Nor ai. Kaina aku babulik
haja pulang,” Paman Ruji mamadahi Norma.
Mandangar Paman Ruji handak turun,
Norma manyingkap tinda ruang pariksa. Pinanya ada nang handak inya padahakan
lawan Paman Ruji. Tapi balum sawat Norma bapandir, Paman Ruji sudah ka palatar.
Mamadahi bubuhan nang di luar.
“Kaya apa habar?” ujarku mamulai
pandir lawan Norma imbah urang di luar pina bajauhan di halaman. Tanganku masih
manyimpuni pakakas nang imbah dipakai maubatiakan Hadran.
Nang ditakuni kada langsung
manyahut. Kulihat inya badiri di higa ranjang, kada saling garakan, sambil
marista maitihi lakinya. Pinanya inya bapikir banar dahulu, hanyar banganga,
“Amun wayah ini, malihat laki kana musibah, rasa kada nyaman ai hati,” ujar
Norma bapandir. Aku lihum mandangar jawabannya. “Tapi untungnya di kampung sini
sudah ada duktur nang bisa manulungi maubatiakan,” inya manambahi pandiran.
“Biar duktur, tatap haja jua dikiau
urang mantri,” ujarku manyahut.
“Napa haja dikiau urang, tatap jua
gawiannya maubati urang,” Kaya kadada napa-napa, Norma mulai nyaman bapandir.
“Biar bisa maubati urang, tapi tatap
ai ada nang kada bisa aku ubati,” kusahut pandirannya sambil maarahakan
pamandiran. Aku lihat inya badiam. “Nang kada kawa atau mungkin ngalih kuubati
sabuting haja. Maubati hati saurang nang kaya dikarukut bidawang ampat puluh
ikung ni pang, imbah ditinggalakan urang nang aku dandami. Imbah itu, sakalinya
lakinya nang aku ubati. Jadi, rasa hati kaya disimbur banyu uyah maaritakan.”
“Rasanya ulun kada suah manyuruh
pian mandatangi ka kampung sini,” Norma manyahut.
“Amun aku kada masih sayang lawan
ikam, aku kada pacangan bapangsar dada ka kampung sini. Di Banjar gin cukup
haja jua aku bacari gasan maisi padaringan,” ujarku manyalajurakan pandir.
Norma makin ranai mandangar ucapanku. “Caka urangnya bungas banar atau tapintar
pada saurang, bisa kawa ai saku aku mamaklumiakan. Sakalinya urangnya banyak
baduit wara. Imbahnya, jar urang kampung, kuitannya urang jagau ha pulang,”
sarik awan sangkalku taucap lawan Norma.
Norma pina makin kada nyaman
mandangar. Kada paduli aku napa nang dirasaakannya mandangar ucapanku. Paling
kada napa nang kurasaakan, nang tapaja batahun-tahun di hati, takaluar.
Tujuanku sabuting haja, supaya inya bapadah kanapa inya hakun mangawini Hadran.
Itu nang kada suah inya padahakan.
Norma kada sing sahutan lagi.
Aku kada tahu jua lagi napa nang
handak dipandirakan. Parahatan diam, tangan Hadran pina bagarak. Inya mulai
sadar. Norma nang mulai tadi kada bagarak di higa lakinya, mulai manyika Hadran
lawan handuk basah nang kusiapakan.
Malihat Hadran sadar, supaya Hadran
tanang, Norma langsung takurihing di hadapan Hadran. Kaya imbah kada kajadian
napa-napa. Malihat sipatnya kaya itu jadi bini, makin hiri aku lawan Hadran.
Norma bakahandak Hadran dibawa bulik
haja. Pinanya inya kada nyaman lawan aku. Lalu, imbah Paman Ruji datang,
dibantui urang kampung, Hadran diangkat ka rumahnya. Sual urusan bahitung duit,
kupadahi supaya baurusan badudi. Kupadahi jua Norma, dudua hari lagi supaya
mambawa Hadran ka Puskesmas atau wadahku.
Sabalum Norma bulik, aku taucap
pandir lawan inya, “Amun Tuhan bakahandak, bisa haja kainanya aku sapambanyuan
lawan ikam,” ujarku. Norma kada manyahut, lalu inya badadas turun matan
rumahku. Rumah dinas salajur wadahku mambuka praktik.
***
Mandangar pamandiran urang, Hadran dipukuli urang imbah inya
managih hutang. Padahal Hadrannya kada bakakancangan urat gulu managihnya. Tapi
urang nang sarik lawan abahnya Hadran, malanjurakan sarik ka anu Hadran.
Dua hari imbah kajadian, salawas
siang, Norma kadada datang mambawa Hadran ka Puskesmas. Kuhadang sampai malam,
kadada jua datang ka rumahku. Sakalinya nang datang ka rumah Paman Ruji,
mambawa habar lain.
“Hadran dipariksa ka rumah sakit di
Barabai,” ujar Paman Ruji bahabar. “Inya bakirim naya gasan ikam, Mantri ai.
Amun kurang, bapadah haja, jar Norma, kaina inya manambahi. Amun labihan, gasan
ikam haja, jar, labihannya,” Paman Ruji maunjuk amplok. Kutarima lalu kuitihi
isinya, ada duit lawan kartas. Pinanya kartas surat.
Kuambil isi suratnya wan kulihat
tulisannya. Masih hapal bahwasanya itu tulisan tangan Norma. Kada balalawas
mahadangi, di hadapan Paman Ruji langsung kubaca dalam hati:
Kaka Mahfudz Rasyid,
Caka
ulun bisa bakahandak saurang, ulun lajurakan kahandak ulun sampai ka puting. Tapi ulun
kada badaya apa-apa. Dalam kada badaya itulah, ditambah
macam-macam
pamandiran urang, ulun dianggap pian baulah salah. Ulun pun
sadara
mun ulun baulah salah lawan pian.
Sabujurnya,
ulun kada handak kisahnya jadi kaya Radin Pangantin. Biarpun
mungkin
bujur ulun jadi kaya Siti Nurbaya, tapi kisah Siti Nurbaya kada kisah sakit hati haja, tapi jua kisah bukti patuh lawan kuitannya. Mungkin
kaya itu jua nang jadi
jalan
hidup ulun.
Pian
tahu, imbah tuntung sakulah ulun kada kawa malanjutakan kuliah. Dua tahun
imbahnya,
Abah ulun mamadahi bahwa kawan sidin handak mamaraakan anaknya
lawan
ulun. Ulun bingung banar. Bapadah ai bahwa ulun sudah ada tajanji lawan
pian.
Ujar Abah, amun sabulan lagi pian kada badatang baik-baik, tapaksa ulun malapas
pian.
Wayah
itu ulun kada wani bapadah ka wadah pian. Takutan banar mangganggu pian
balajar,
apalagi pian jauh di Jawa, sudah talu tahun kuliah. Ulun pikir, tabaik pian
balajar
daripada taganggu lawan kahandak Abah ulun.
Kaka
Mahfudz,
Sakiranya
ulun kada bisa mamanuhi janji lawan pian, ulun minta maap. Kaya apa
pun
jua kaadaan Ka Hadran, inya tatap laki ulun. Biar ujar urang mamadahakan
almarhum
Abahnya jagau di kampung sini, Ka Hadran tatap lain lawan Abahnya.
Karena
laki ulun tahu haja bahwa wayah ini kada jamannya lagi maulur parang.
Pian
tahu jua, tugas ulun wayah ini patuh lawan laki ulun, kaya apa haja kaadaan
sidin.
Ganal harapan ulun, pian kawa bagagamatan mahalusakan sayang gasan ulun. Bahkan amun kawa sakalian dihilangakan. Supaya
imbahnya kawa dibariakan lawan
babinian nang bauntung mandapatakan pian.
Limpasu,
Februari 2008
Norma
“Napa jar, isi suratnya?” Paman Ruji
batakun.
“Kada papa, Paman ai. Ujar Normanya
minta maap haja, sualnya kada sawat bapadah lawan ulun amun Hadran dibawanya ka
rumah sakit,” aku bakulim pamandiran ka Paman Ruji. Imbah itu balalu ai Paman
Ruji turun matan rumahku.
***
Puskesmas tumbur, ada urang kampung datang mambawa urang
nang imbah disuduk urang. Aku takajut mandangar habar. Karena salawas aku
batugas di kampung sini, kada suah ada kajadian kaya ini. Aku makin takajut
lagi imbah tahu nang disuduk urangnya Hadran.
Imbah talu bulan inya dipukuli
urang, sakalinya inya mambawa habar lain. Padahal aku masih mancuba hati
maihlasakan Norma, datang pulang Hadran di hadapanku. Tapi malihat kaadaannya,
kada kawa jua amun kada dibawa ka rumah sakit. Jadi, kusuruh bubuhan Puskesmas
supaya manyiapakan ambulan.
Sudah haja jua diihtiarakan, amun
dasar Inya bakahandak, tatap haja kada kawa manjauhakan mati. Kada lawas Hadran
sampai di rumah sakit, aku dihabari amun inya maninggal dunia. Pinanya,
darahnya nang sudah banyak banar kaluar sampai sawat kahabisan darah nang jadi
panyabab.
Biar rancak jua urang nang kuubati
habis umurnya, tapi mandangar Hadran nang maninggal dunia, hati jadi kada
mangaruan jua jadinya. Hatiku langsung tapikirakan Norma. Kaya apa kaina inya
imbah ditinggalakan laki. Aku jadi batakun jua lawan diriku saurang: sanangkah
hatiku Hadran lakas mati? Atawa Norma makin sakit hati ditinggalakan laki nang
inya sayangi?
***
Talu hari imbah Hadran maninggal, balum sawat lagi kupu-kupu
bahabaran ada urang nang pacangan datang, Norma datang ka rumah. Aku kira inya
handak baubat, sakalinya datang handak maatar kisah wan habar lain. Sualnya,
ujar inya, inya kada lagi baisian wadah bakisah. Kabalujuran kadada jua nang
datang bapariksa, aku hakuni mandangarakan kisahnya.
Mandangar pamulaan pandiran, biar
nang dikisahakannya kisah sadih wan kisah lakinya, tatap ada timbul rasa himung
hati. Himung, bahwasanya aku masih kawa diparcayai. Artinya pacangan ada
harapan manyambung tali jamuran nang sudah pagat. Tapi sakalinya Norma mambawa
habar lain lagi.
“Pitung tahun kami badua mahadangi
anak, hanyar parak talu bulan ulun batianan, sakalinya sidin maninggal
badahulu,” ujarnya.
Mandangar ucapannya, aku takajut.
Rasa umpat marasaakan kaya apa sabarnya Norma wan lakinya mahadang anak. Biar
rancak haja mandangar pamandiran urang kampung, matan muntung Norma langsung
aku mandangar, kaya apa baiknya kalakuan Hadran lawan urang nang jauh balain
dari kalakuan almarhum Abahnya. Kaya apa jua sabar lawan baktinya Hadran manarima
kalakuan Abahnya. Sampai ahirnya inya jua nang jadi tumbal dandam urang lawan
Abahnya Hadran.
Aku nang ranai, jadi saraba salah.
Sampai Norma manyambung pandir, “Amun ulun kawa manangguhi hati pian, kira-kira
ulun tahu napa nang pian harapakan,” ujar Norma. “Biar pian kaina badatang ka
Abah Mama ulun, imbah itu sidin mahakuni pian jadi laki ulun, ulun kada
pacangan langsung mahakuni, biar itu kahandak kuitan ulun. Tapi ulun bapikir
dahulu amun handak manarima pian. Sualnya ulun nang manjalani, lain Abah Mama
ulun. Wan ulun manjalanakan kawajiban ulun jua dahulu, kawajiban maharagu anak
nang ada di dalam parut ulun...” Kaya Norma tahu kahandak hatiku, badahulu inya
manyambat kaya itu. “Masalah kaina, kada tahu jua kaya apa lagi kisahnya,” ujar
Norma manambahi pandirannya.
Rasa aku nang jadi kalah lawan inya.
Lawan babinian nang dahulu sudah jua mangalahakan hatiku. Maulahku bapangsar
dada sampai bapalas darah. Hakun maatur hidup supaya kawa talihat muhanya
sampai hakun mandatangi ka kampung sini.
Kawa juakah di kaadaan nang saraba
salah kaya ini mahalusakan hampadalku sampai aku kada lagi mamaksaakan sayang
gasan Norma? Bisa haja aku malajurakan kahandakku maajuakan pindah ka dairah
lain. Banyak haja lagi dairah padalaman lain, salain di Hulu Sungai sini,
supaya aku kawa bujur-bujur mangabdiakan diri gasan urang banyak. Nang kaya
dairah lain nang bubujuran jauh, kaya di Tanah Bumbu atawa Kotabaru. Makin jauh
lawan Norma, maka aku pikir makin nyaman mahalusi sayangku lawan Norma.
Pas Norma handak ka luar lawang,
masih sawat Norma baucap lawan aku. Ucapan nang suah aku ucapakan lawan inya,
“Amun Tuhan bakahandak, bisa haja kainanya ulun sapambanyuan lawan pian...,”
ujarnya. Ucapan nang pacangan tatap aku ingat sampai wayah apapun jua.
Ramadan,
2010
Kada Bakasudahan[11]
Nur
Hidayah
Aku tahu ai
amun baampik sabalah tangan tu lacit ka kiamat kada bakal babunyi. Aku tahu ai
amun urang nang kuganang siang malam nangitu kada tahu manahu. Aku maka am
ciling-ciling maitung cacak, gulang-gulik bakawan gaguling, ngalih banar
mancari guring. Ganap talu sanja sudah
kada ampih jua. Aku bingung kada sakira, dusa nangapa nang maulah aku pina
mambungul kaya ini? Badiri barangkat rasa mangulir, makan guring kada karuan
pangrasa, dibawa balingkar di kaguringan makin mandalami mata luka haja. Dasar liwar
sakitnya hati, kada nyanyamanan.
Amunnya
kada hilap, ari itu ari Jumahat. Napa yu, bubuhannya pina rami handak ka
masigitan. Ada jua nang pina ungut-ungutan di buncu warung. Pina habang mata,
pina layu, kada basumangat. Luput pulang, kalu.
“Ka?” ujarku
bagamat mangiau inya.
“Napa,
Ding?” ujarnya pulang manyahuti, pina kada tatahu ja muhanya.
“Kada ai,
Ka ai. Pina lawas kada talihat...“ Sambil lihum bapair aku manyahuti rasa
saraba salah.
Takarinyum
ha inya, apakah saku nang dipikirakannya. Aku babanaran kagum. Supan saurangan.
Inya nitu kalaliwaran bingkingnya. Kada muha haja pang nang bungas, tapi
langkar luar dalam, lacit ka parut lilit. Inya kada sarik mandangar aku managur
tadi. Asa tatilambung aku kahimungan.
Dalas
tatinggal ngaran, di mana pacah di situ tambikarnya, ujarku dalam hati ka wadah
inya. Ditulak inya mantah-mantahkah, aku kada hiran lagi. Kaya apa haja
kajadiannya, tatap aku sandang. Nyaman tahu kasudahannya.
***
Aku
sanghaja mamilih ari Ahad bailang ka rumah inya, nyaman pas urangnya takumpul.
Pas jua ai, jijingian urang batatawaan di palataran.
Inya ngitu
balima badingsanak. Nang panuhanya sudah babini. Inya ngini anak nang numur
dua. Kuitihi adingnya nang bibinian, pina asik badaku lawan nang kaka di
palataran. Inya kulihat balogo lawan nang ading numur tiga. Dalam hatiku, wayah
ini ada haja nang masih main logo lawan badaku. Babanaran kagum aku lawan
kaluarganya ngini, pina ruhui rahayu banar. Inya ngitu jua bisa mambawai
paadingan bamainan, padahal umur kaya inya ngitu kada cucuk lagi lawan pamainan
balogo.
Rahatan
mandam di muka rumah, takajut aku mandangar ada nang mangiau.
“Naik!
Aida, maapa di situ ?” ujar inya sambil mangawai.
“Inggih,”
ujarku pulang, sambil lihum. Lawas aku tadiam, umpat baduduk di palataran inya,
sambil maitihi kuitan bini maulah wadai.
“Ngaran
wadai nangini babalungan hayam. Tagal kada pas banar kaya babalungan hayam nang
sabujurannya. Bila handak maulah wadai babalungan hayam, maka nang disadiakan
galapung lakatan satangah kilu, daun pudak lima lambar, banyu santan satangah
biji nyiur. Banyu kapur tiga sinduk, uyah sadikit, hinti gula habang,“ ujar
sidin lancar bapandir manarangakan, padahal aku kada batakun. Tagal sidin tahu
kalu aku pina bingung maliat apa nang digawi sidin.
“Hanyar am
ulun tahu ada wadai babalungan hayam. Ngalih ai, kakanakan wayah ini tahunya pizza haja, atawa hot dog.”
“Bujur jar
ikam, Diang ai.” Sidin mangiau aku Diang. Diang ngitu sambatan gasan bibinian
bujang di wadahku. Aku ngini badiam di Marabahan. Lamun di Banjar, Diang tu
sama lawan Galuh.
“Ngarannya
Aida, Ma ai,” ujar Ka Dani mamadahi. Panjangnya Hamdani. Sambil malirik ha inya
lawan diaku.
“Aida,
tulung pang ambilakan wadah gasan maudak adunan ngini di dapur,” ujar sidin.
“Inggih...”
Aku masih bingung, sadadikit kada marasa kulir, nang kaya hadangan ditarik
hidung tu pang. Padahal amun disuruh kuitan di rumah, kalaliwaran kulirnya aku.
Tagal am ngini nang manyuruh calun mintuha, ujarku dalam hati, sambil jihi-jihi
saurangan. Aku bakalimpusut ka dapur.
Umai, umai,
kababagusan dapur urang. Kada tapipirit lawan rumah saurang. Kada jua pang amun
harat banar, tapi rasa sanang tu pang bagawian. Pakakasnya kada saraba larang,
kada saraba ulin, papan biasa haja, tapi bagus, taatur, barasih pulang. Kaya
paribasa: jangan baya balingsar, dijilat gin kawa. Cucuk banar lawan nang
maharagu, putih barasih lacit ka hati.
Mahancap
aku maambil nang disuruh sidin. Kalu kalawasan mahadang. Limbah sampai ka
palataran, langsung kuunjuk. Tapi sidin kada manyambut.
“Ikam haja
nang manggawi,” ujar sidin.
“Ulun kada
bisa,” ujarku, kulir badusta. Mun dasar kada bisa.
“Buati
galapung lakatan nitu dalam wadah nang ikam ambil tadi, tuangi lawan santan.
Tambah banyu parasan daun pudak, banyu kapur lawan uyah, sadikit. Diudak sampai
rata, sampai jadi adunan nang sadang likatnya, supaya kawa ditampa. Banyu kapur
nitu gunanya supaya ada rasa sintal.”
“Inggih,”
ujarku mahancap manggawi.
“Umai,
umai, adingku ngini bisa jua sakalinya maulah wadai,” ujar Ka Dani sambil
baduduk di palatar.
“Kada, Ka
ai. Mama pian nang malajari. Pian gin harat banar sakalinya, Ka lah, balogo.”
“Aku ni,
Aida ai, sahibar mananamakan rasa bangga lawan banua saurang, nang kaya lawan
parmainan tradisiunal. Supaya ading-adingku ni kaina bisa malastariakannya.
Sakira jangan sampai punah.”
“Ngalih nang ngaran mantan
Nanang Banjar nilah,” ujarku pulang, nang disambut lawan karinyum Ka Dani nang
maulahku rasa rabah rumpiuh iman.
“Ikamkah jua, Aida, handak
kulajari balogo?”
“Ayu nah, Ka, nyaman
humpimpah dulu kita...” Sambil tatawaan kami sabarataan.
“Sudahlah, Aida?” ujar Mama
Ka Dani.
“Inggih, sudah.”
“Adunan nitu diambil
saganggam, lalu diulah nangkaya babalungan hayam. Tagal di dalamnya diisi
dahulu lawan hinti.”
“Kaya apa maulah hintinya?”
“Maulah hinti nitu bahannya
nyiur baparut nang anum, bacampur lawan gula habang nang basasap. Ada jua nang
ditambahi lawan gula putih, tambahi sadikit uyah, gasan manimbulakan rasa.
Samunyaan ngitu buat ka rinjing nang batanggar di api, tambahi sadikit banyu.
Diudak rata sampai karing.”
Aku takajut. Nang manyahuti
lain Umanya Ka Dani, tapi bibinian nang kira-kira 2 tahun di atas aku.
Bingking. Putih. Rambutnya panjang maikal mayang. Alis mangumpang parang.
Batahi lalat. Matanya cirat-cirat. Managuk banyu liur aku malihat.
“Naik, Nak,“ ujar Umanya Ka
Dani.
Mandibar samangatku. Nak?
Rasa bagaritik ai hatiku.
“Aida, ngini ngarannya
Rahma. Pacarnya Dani.”
Taritisan banyu mataku kada
sadar.
“Aida, ikam kanapa?” ujar
Ka Dani.
“Kada, Ka ai. Ulun
kalimpanan... Ni diapai lagi? Ulun kada tahu.”
“Disumap sampai masak,”
ujar Rahma manyahuti. “Ma, ulun mambawakan pian lawan Abah gangan manis nang
isinya kacang panjang, karawila, waluh habang, lawan bayam. Iwaknya papuyu
baubar. Miar tupang sasingut Abah,” ujar Rahma.
Rami buhannya tatawaan. Aku
kada sanggup lagi, bapikir handak bulik.
Imbah basalaman, aku lalu
bagamat handak bulik. Kada jadi manuluskan niat awalku bailang ka rumah Ka Dani
.
“Hau, kanapa maka bulik?
Wadai kita balum masak,” Umanya Ka Dani managur.
“Anu, ari pina muru. Ulun
handak mamutiki tatapasan di rumah. Kalu kahujanan.”
Padahal ari liwar bagusnya.
Kadada lalu muru, apalagi handak hujan. Rupanya paham kalu Ka Dani. Mahancap
inya manyasah aku.
“Sudah lawaslah lading ikam
tu simpak?” ujarnya batakun babaya kadangaran. Sambil bagariwih tangannya
mamusuti kapala lawan bahuku.
Kuitihi tanganku. Aku kada
mambawa lading. Mambawa plastik banar ai, nang isinya kain sasirangan, gasan
umanya Ka Dani. Marigap hatiku, lalu mangarti ai aku, kamana sabujurnya ampah
tatakunan inya nangitu.
“Hanyar am...” Aku sahuti
sambil manggitir. Awakku panas dingin saikungan. Kada wani maitihi muhanya.
Imbah maunjuk sasirangan
nang bamotif “Dara Manginang”, nang
warnanya habang tarang, bagamat ai aku bulik. Sambil ingui-ingui manangis.
“Banyak nang handak ulun pandirakan. Tapi asa kasat rakungan. Rasa dijarat,
dada asa sasak, rasa ngalih manyintak hinak...” ujarku manutup pandir.
Inya tamandam mancangangi
aku. Matanya nang galak nitu pina muru, pina puang, manarawang. Limbah batunduk
satumat, inya takurihing bapair sambil bajauh ampah ka palatar.
“Ka, asal pian tahu haja.
Cinta ulun ni kadada habis-habisnya gasan pian. Kada bakasudahan...”
Jaruju padang jumampai
Paikat laki dadaian kain
Amun judu baluman sampai
Hakikat hati kada kalain
Jujuran[12]
Hatmiati Masy’ud
Nurhayati, anak Haji Juhalis, nang bungas langkar, kambang Kampung Pihaung,
duduk taungut di muhara lawang padu. Pikirannya galu, kaingatan wan Firmansyah,
urang nang handak badatang lawan inya. Sabujurannya inya katuju ai wan Firman
nangitu. Napang mun urangnya baik. Lulusan sakulah agama, bagawi mahunur di
sakulahan, lawan parawaan wan urang tuha. Bungas ha pulang. Kumplit tu pang
dah.
Nurhayati tu handak ai sarik wan Abahnya. Tagal kada bulih pang sarik.
Pamali anak sarik wan urang tuha. Kalu katulahan, ngalih kaina. Napang mun
Abahnya tu pina handak larang bangat mamintai jujuran. Sidin tu talalu bangat.
Kadada urang di kampung inya tu jujuran sampai salawi juta. Nyata ai kuwitan
Firman wan kula-kulanya tu baundur. Bisa kada jadi, saku. Abahnya tu pinanya
kada tahu jua anak sidin ni handak. Habang muha Nurhayati, asa supan kalu ada
nang tahu inya katuju wan firman tu.
“Ui, Diang, nangapa diungutakan di muhara lawang? Kalu pina ditinjak mintuha,
kaina...” Kada katahuan Umanya mancungul.
Takajut Nurhayati. Asa tarabang sumangat. Napa mun Umanya tu managur
bakakajutan.
“Kada napa-napa, Ma ai. Mamikirakan lauk makan tanghari ngini banar ai,” Asa
ngalih Nurhayati manyahut.
‘Kada usah badusta, Nak ai. Umamu ni tahu ai nang dipikirakan ikam tu. Ikam
kaganangan urang nang handak badatang tu, kalu?” Uma Nurhayati salajur manimbak
ka sasaran.
Masam muha Nurhayati disambati Umanya kaya itu. Marangut.
“Kada napa jua, Nak ai. Uma ni paham haja, suah jua Umamu ni anum, Nak ai.
Rabung jua, Diang ai,” jar sidin sambil lihum. Sidin bapandir kada tapi maitihi
kada wan Nurhayati, tahu sidin tahu anaknya tu supan.
Takurihing Nurhayati mandangar Umanya bapandir kaya itu. Asa ampih inya sangkal
wan Abahnya.
“Iya am, Ma ai. Abah tu talalu bangat mun bujuran mamintai salawi juta. Jaka
urang sugihkah. Ni kuwitan Firman tu sama haja wan kita, pada ka pahumaan
jua,” Nurhayati pina mangancang bapandir wan umanya.
“Ayuha, Nak ai. Sabar haja ikam.
Kaina Umamu ni nang bapandir wan Abahmu. Hari parak dah tangahari. Lakasi ikam
baharaguan, kaina Abahmu datang mulai pahumaan. Iwak baung tu gangan masam
haja, buati tarung masam putikan Abahmu sumalam, nyaman rasanya sigar. Jangan
kada ingat, ulahakan jua sambal acan. Buati kaminting dudua bigi. Kada usah
bapitsin, bagula haja. Sabuting lagi, putik pucuk gumbili di higa rumah tu
nah, jarangakan. Jangan talalu linyak, kaina kada nyaman dicacap ka sambal
acan.”
“Inggih, Ma ai. Pian handak ka mana?”
“Handak mandi ka batang banyu, salajur batatapas,” Uma Nurhayati tulak ka
batang banyu. Nurhayati lakas bamasak wan manggangan. Kalu pina Abahnya datang,
maras sidin kalapahan wan kalaparan.
***
Imbah tanghari, Abah wan Uma Nurhayati pina garunuman bapandiran. Nurhayati
bajauh. Inya ka padu. Dilihatnya pina ada pisang talas masak. Lakas diulahnya
cakuduk, diulahakannya jua banyu tih, imbah itu diantarakannya gasan Abah
wan Umanya. Pas Nurhayati datang, badiaman salajur sidin. Ampih bapandiran,
kada hakun sidin kadangaran Nurhayati. Imbah maandak wadai cakuduk wan banyu
tih, bajauh ai Nurhayati. Kada handak jua inya mandangarakan pamandiran
kuwitannya.
Nurhayati balalu ka kamar. Kada lawas hari
sanja, pina habang ha pulang. Asa kada nyaman hati Nurhayati. Dikancingnya
lalungkang, lawang padu dipalangnya. Abah Nurhayati tulak ka langgar, Umanya
lakas jua basiap handak sambahyang.
Nurhayati ancap baudu, umpat Umanya
sambahyang. Imbah magrib, Umanya tarus mambaca Yassin wan Tabarak.
Nurhayati umpat jua mairingi Umanya mambaca. Kada lawas, Isya pulang. Nurhayati
wan Umanya sambahyangan bajamaah. Imbah umanya badu’a, inya lakas ka padu,
mahangati gangan wan nasi. Nyaman pas Abahnya datang mulai langgar, salajur
makanan.
***
Imbah makanan, Abah wan Uma Nurhayati kaluar. Nurhayati basisimpun. Kada lawas,
kadangaran Umanya bahiau.
“Nur, ka sia nah. Abahmu handak bapandir.”
Nurhayati bajalan manunti Uma wan
Abahnya.
“Duduk di parak Abahmu ni, nah. Abahmu handak batakun.”
Nurhayati baparak wan Abahnya.
“Nur, malam isuk kaluarga Firman tu handak badatang. Handak balarangan lawan
ikam. Tagal, Abah handak batakun dahulu lawan ikam. Ikam ni katuju hajalah
lawan Firman tu? Bila katuju, nyaman Abah manampani. Sabulan imbah itu, ikam
dinikahakan. Bila kada katuju, nyaman Abah kada manarima. Kaya apa am?”
Mandangar takunan Abahnya, Nurhayati
mandam. Hinip kada sing burinikan.
“Napa maka badiam haja?” jar Abahnya pulang. “Atau, ikam ni kada katujukah?
Nyaman Abah kada manampani.”
Sabatik-batik Nurhayati kada
manyahut.
“Abahnya, amun Nurhayati tu kada kawa manyahuti, artinya inya katuju tu wan
Firman nangitu,” Umanya umpat jua bapandir.
Habang muha Nurhayati, sampai ka
tatalinga.
Takurihing Abahnya malihat. Tahu dah
sidin. Kada salah lagi, anaknya ni katuju jua wan Firman nangitu. Sidin gin
katuju ai jua wan Firman tu, napa mun urangnya panyambahyang. Rancak pang
tadapat di langgar. Parawaan wan urang tuha, langkar ha pulang urangnya. Cucuk
tu pang lawan anaknya nang bungas nangini. Maraha masih mahunur, kaina kawa
haja sasambil disuruh manurih.
“Abahnya, kada kalaranganlah pian ni cagar mamintai urang tu salawi juta? Di
kampung kita ni paling larang sapuluh juta. Ngitu gin anak Haji Adul, nang
bajual gatah,” Uma Nurhayati batakun.
“Bah, kada usah bingung, Umanya ai. Kada bataha kada kawa. Aku kada handak anak
kita nang bungas, langkar, baik, pintar bamasak, sayang wan kuwitan, wan jua
kuliah di STAI ni, pina diubral banar.”
“Kada kaya itu, Abahnya ai. Kalu ai kaluarga Firman tu kada kawa. Maras anak
kita. Jujuran tu kada jua maulah anak kita bahagia. Biar ha jujuran sadikit,
kalu urangnya baik wan anak kita katuju, kadada salahnya kita bakalah,”
Uma Nurhayati bapandir pulang.
“Aku paham haja, Umanya ai. Wajar haja maintai larang. Kaina bila urang
datang malam isuk, hanyar kutakuni barapa garang kasanggupan Firman nangitu.
Asal inya bajanji bujur-bujur manjaga anak kita dunia ahirat, nyaman hatiku,
Umanya ai. Nurhayati ni anak kita saikungannya. Aku kada handak tasalah
malakiakan,” Abahnya manyahut.
“Nur, sadang dah guring. Hari parak dah pukul sapuluh. Wan jangan kada ingat
mamalang lalungkang di kamarmu,” Abahnya manyuruh Nurhayati guring.
Nurhayati balalu ai ka kamar. Hatinya himung kada sakira mandangar pamandiran
Uma wan Abahnya. Malam nangitu, asa lawas bangat hanyar subuh. Napa mun
Nurhayati kada taguring. Tangah malam, bangun Nurhayati sambahyang tahajut.
Habis nitu hanyar inya barabah pulang, lalu kawa taguring.
***
Saharian ngitu, Nurhayati gugup kada sakira. Napa mun malamnya kaluarga Firman
handak badatang. Imbah isya, kaluarga Nurhayati bakumpulan jua barataan di
rumah. Banyu tih disurung, wadai gumpal, gaguduh, apam, bubur baayak, wan jua
wadai karing tukaran di warung, disurung jua. Uma Nuryahati maulah sutu, gasan
makanannya imbah acara balamaran tu.
Kada lawas, rumbungan Firman wan kula-kulanya
datangan jua. Disuruh ai masukan ulih nang ampun rumah, duduk baampar di tikar
purun. Kaluarga Nurhayati sudah dudukan mahadang bahadulu. Nang bibinian
bajurut masukan ka ruang tangah, tatinggal lalakiannya di luar. Nurhayati
bahinip di padu sambil bakakaut.
***
Imbah kaluarga Firman dudukan barataan, bapandir ai tatuha kaluarga Nurhayati,
nang bangaran Julak Imuh.
“Nangapa garang habar sampian barataan
nangini datangan ka rumah kami nang buruk ngini?” ujar Julak Imuh batakun.
Kada lawas manyahut ai tatuha kaluarga
Firman, Uwa Ulis, “Kami ni datangan sabarataan handak umpat batanam nyiur.”
“Umai lih. Nyiur ampun sampian ni nang kaya
apa garang?” ujar Julak Imuh pulang.
“Nyiur ampun kami ni harat bangat. Unggul tu
pang. Pambuahan kada sakira. Lawan kami marasa cucuk lawan tanah ampun sampian.
Tanahnya subur, kada suah kabanjiran, tarawat, lawan jua sudah bapagar ja
pulang. Untung banar tu pang mun kami dapat tanah nangini,” ujar Uwa Ulis
manyahut sing panjangan.
“Ayuha, kami hakun ai mun nang kaya itu
nyiurnya.”
“Amun buhan pian ni bujuran hakun manarima,
nangapa am saratnya?” Batakun pulang Uwa Ulis, pina util bangat sidin nangini.
“Nang kaya urang banyak jua ai, sasuai wan
adat banua kita,” Julak Imuh ni pina sambil takurihing ha manyahuti. “Pamulaan
kami minta piduduk, imbah ngitu kapala kada. Artinya, wadai ampat puluh satu
macam, patalian saraba sabuting, salup, baju, tapih, wan banyak ai lagi.
Mangarti ai, kalu? Lawan jua, pangalambuan, saisi kamar. Nang pahabisan, duit
salawi juta, gasan mangganii aruh,” ujar Julak Imuh sambil tabatuk-batuk
kapanjangan bapandir kada ingat nginum.
Gigir urang sabarataan mandangar. Asa larang
bangat, saku.
“Umai lih. Kawakah diundur lagi?” ujar Uwa
Ulis manyahut. Asa takajut sidin mandangar salawi juta.
“Nah, amun kaya itu kami ni handak ai jua
batakun: barapa garang kasanggupan bubuhan pian ni?” Julak Imuh batakun jua.
“Kami ni sabujurannya satuju haja. Tagal kami
ni kada kawa manggawi, kababanyakan. Kaya apa mun kami maunjuk duit haja?
Istilahnya tu puntal kadut. Kami hanya manyadiakan barang antaran
gasan patalian saraba sadikit. Urusan pangalambuan, kami kada tahu.”
Ranaian barataan mandangar sahutan Uwa Ulis.
Kada lawas, umpat bapandir Abah Nurhayati.
“Hadangi dahulu. Sabalum kami manampani, kami
ni handak batakun jua wan Firmansyah, anak sampian. Bulih ai, kalulah?” Abah
Nurhayati batakun.
Abah Firmansyah garunuman, bapandir lawan
kula-kulanya.
“Ayuha, takuni haja Firmansyah,” Abah
Firmansyah umpat manyahut.
“Firmansyah, bujurankah ikam ni handak wan
Nurhayati?” Abah Nurhayati batakun.
Takajut Firman. Asa kada suah inya mandangar
urang badatang ditakuni macam itu. Tagal nang ngaran hati handak, disahutinya
ai bagimit, “Inggih...”
“Gimitnya ai. Nyaringi pang!” ujar Abah
Nurhayati sambil lihum takarinyum.
“Inggih, Bah ai. Handak ai,” Banyaring suara
Firmansyah. Takurihing sabarataan nang mandangar.
“Hakunkah ikam bajanji?”
“Bajanji napa, Bah?” Firman takajut pulang.
“Ikam bajanji manjagaakan Nurhayati dunia
ahirat, hakun mahadang Nurhayati manuntungakan kuliah, mamadahi kalu inya kada
mangarti. Kada disariki bila inya kada paham. Wan nang paling pamulaan: kada
manduakan Nurhayati, salawas Nurhayati kawa haja manjadi binimu nang baik.
Dimapa?” Abah Nurhayati batakun pulang.
Urang mandam sabarataan mandangar takunan
Abah Nurhayati. Kada suah jua saumur-umur urang badatang ditakuni nang
kaya itu. Nurhayati nang mandangar lalamatan matan padu gin takajut.
Firmansyah lawas tadiam. Diucapnya salawat
dalam hati. Sambil babismillah, inya manyahut, “Insya Allah, ulun sanggup, Bah
ai.”
“Alhamdulillah... Himung aku mandangar ikam
bajanji. Amun kaya itu, duit salawi juta nang ikam bawa sagan badatang malam
ini, kita jadiakan duit gasan aruhan ikam wan Nurhayati. Jujuran nang kami
minta: bacakan Fatihah Ampat di hari
ikam manikah wan Nurhayati,” ujar Abah Nurhayati pulang.
Takajut barataan nang mandangar malam nitu.
Sakalinya jujuran Nurhayati Surah Fatihah Ampat. Julak Imuh wan Uwa Ulis
kurihingan. Nang lain gin lihum, asa kada suah manamu jujuran kaya itu. Tagal
nang ngaran sudah disambatkan di hadapan urang banyak, badiaman ai kula-kula
nang umpat datangan, kada handak mancacampuri urusan nangitu.
Tuntung pamandiran, dibacakan du’a salamat
ulih Haji Subri. Sutu disurung, makanan barataan. Malam nangitu, malam pamulaan
Firmansyah balarangan lawan Nurhayati.
***
Sabulan imbah balarangan, Firmansyah lawan
Nurhayati dinikahakan. Nang kaya kahandak kaluarga Nurhayati, Firmansyah
mambaca surah Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Alaq, wan An Nas sagan
jujuran lawan Nurhayati.
Batablig, bajapin, bahadrah, wan kasidahan
disiwa Abah Nurhayati gasan karasmin pangantin Fimansyah wan Nurhayati.
Masyarakat himung, pangantin jua himung, kasanangan jadi raja wan ratu sahari.
Mudahan tuntung pandang, ruhui rahayu salawasan.
Amuntai,
awal Agustus 2010
Tentang Penulis
Apriadi Darmawan, lahir di Banjarmasin, 26 April 1991. Alumnus SMA Negeri 2
Banjarmasin (2008), kini mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin.
Puisinya menjadi nominasi Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan
yang dilaksanakan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga
(Disbudparpora) Kota Banjarmasin (2009).
Aria Patrajaya, lahir di Banjarmasin, 8 Mei
1962. Bermukim dan mengajar di Kabupaten Banjar. Sering menjuarai lomba tulis puisi dan cerpen
Kalimantan Selatan, yang berbahasa Banjar maupun berbahasa Indonesia. Puisinya
dimuat dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992), Gerbang
Pemukiman (1998), Wasi (1999), Cakrawala (2000), Narasi
Matahari (2002) dan Konser Kecemasan
(2010). Aktif di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Kota Banjarbaru.
Arif Rachman, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 8
September 1975. Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanah
Bumbu di Pagatan. Semasa mahasiswa, aktif di Forum Apresiasi Seni (FAS)
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Bergiat dalam teater
tradisi maupun teater modern, sesekali menulis puisi dan cerpen berbahasa
Banjar.
Arief Al Rifany, lahir di Banjarmasin, 23 Juli 1986. Guru kelas di SDN
Bantuil 1. Puisinya salah satu pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VI di Kabupaten Barito Kuala
(2009). Alamat: Jalan Kecubung II RT 13
Nomor 24, Komplek Griya Permata, Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak,
Kabupaten Barito Kuala.
A. Rahman Al Hakim, lahir di Sungai Namang, Kabupaten Hulu
Sungai Utara. Wartawan harian Mata Banua
Banjarmasin. Puisinya dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006), Seribu
Sungai Paris Barantai (2006), Kau
Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010).
East Star From Asia (Qinimain Zain), lahir di Kandangan,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 21 Mei 1965. Menulis puisi, cerpen, esai
sastra dan opini sejak 1980-an, dipublikasikan di pelbagai media cetak lokal,
antara lain Radar Banjarmasin.
Puisinya dimuat dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006) dan Konser Kecemasan (2010).
Erika
Adriani, lahir di Banjarmasin, 18 Agustus 1982. Guru SMP
Negeri Kecamatan Batu Mandi, Kabupaten Balangan. Tinggal di Barabai, Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, dan Kota Banjarmasin. Juara I Lomba Menulis Puisi
Kalimantan Selatan yang dilaksanakan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru dan Radar Banjarmasin (2008), Juara III
Lomba Menulis Esai Sastra Kalimantan Selatan yang diadakan ruMah Cerita Banjarbaru dan Radar
Banjarmasin (2008), 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) V di Kabupaten Balangan
(2008), Juara III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan yang
dilaksanakan Disbudparpora Kota Banjarmasin (2009), dan 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta
Puisi ASKS VI di Kabupaten Barito Kuala (2009). Puisinya terdapat dalam
antologi bersama Darah Penanda
(2008), Ziarah Pelangi Balangan Menari
(2008) dan Nyanyian Akar Rumput
(2009).
Eza Thabry Husano, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 3 Agustus 1938. Pendiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha di
Kota Banjarbaru. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, esai sastra,
dipublikasikan di media cetak lokal maupun nasional. Antologi puisi tunggalnya Rakit
Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993),
dan Aerobik Tidur (1996). Sejumlah antologi bersama juga memuat
puisinya, antara lain Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama
Hamami Adaby, 1982), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah
Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Wasi
(1999), Datang Dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000), Jakarta
Dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001),
Narasi Matahari (2002), Sajadah
Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de Kandangan (2004),
Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004),
Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (DKJ,
2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur
Kalimantan Selatan (1985), Penghargaan Sastra Bupati Barito Kuala (1987) dan
Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004).
Hatmiati
Masy’ud, lahir di
Paran, 6 April 1975. Alamat: Komplek CPI 1 Blok H Nomor 9, Desa Kotaraja,
Kecamatan Amuntai Selatan, Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Herlianti, lahir di Astambul, Kabupaten Banjar, 30 Mei
1991. Siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Martapura, Kelas XII (Alam),
Semester I (Ganjil). Alamat: Jalan A. Yani Km 47, Desa Astambul Seberang
(Sungai Langsat), RT 01 RW 01 Nomor 018, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar.
H.
Fahmi Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 3 Agustus 1964.
Bekerja di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Balangan. Saat kuliah di Fakultas
Syariah IAIN Antasari Banjarmasin aktif di bidang sastra dan teater,
mengkoordinir acara kesenian dan sekretaris Teater Pena Banjarmasin
(1987-1990). Puisi ketua Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai
Tengah ini masuk Nominasi 5 Besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar Kalimantan
Selatan (2000). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris
Barantai (2006), Tarian Cahaya di
Bumi Sanggam (2008) dan Bertahan di
Bukit Akhir (2008).
H.
Muhaimin, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 22 Mei 1979.
Pembina seni di Pondok Pesantren Istiqamah, Barabai. Menulis puisi sejak di
sekolah menengah. Karya pengurus Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu
Sungai Tengah dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah
ini dimuat dalam antologi bersama Bertahan
di Bukit Akhir (2008).
Jaya
Ginmayu (Jauhar Yamani), lahir di Kabupaten Tabalong, 16 Oktober 1974.
Bermukim di Kelurahan Jangkang, Tanjung. Alumnus STIPER Amuntai dan FKIP JPOK
Universitas Terbuka (UT). Selain mengajar di SDN Palanjungan Sari, Banjang,
Kabupaten Hulu Sungai Utara, juga mengajar di SMP Hasbunallah, Tanjung.
Menggeluti olah raga beladiri, seni musik, tari, lukis, sastra dan, terutama,
teater. Ketua Sanggar Pusaka Tabalong ini juga aktif di Sanggar Langit,
Tanjung, dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya terdapat dalam antologi
bersama Tarian Cahaya di Bumi Sanggam
(2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas
(2009).
Jakaria Kastalani, lahir di Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, 7 November 1975.
Menggeluti seni baca puisi, teater dan tari. Bekerja di lingkungan Dinas
Pendidikan Kabupaten Barito Kuala di Marabahan.
Komariah Widyastuti, lahir di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 18 Desember
1989. Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan Konseling,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin. Juara Lomba Cipta Puisi ASKS VI di Kabupaten Barito Kuala (2009).
Alamat: Jalan Kecubung II RT 013 RW 004 Nomor 20, Kelurahan Handil Bakti,
Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala.
Muhammad Rifqi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 1 Februari
1988. Mahasiswa Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin. Alamat: Jalan Pangeran Antasari RT 12 Nomor 20,
Barabai.
M.
Fuad Rahman (Kayla Untara), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai
Selatan. Bermukim di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Menulis puisi,
cerpen, dan berteater di Posko La Bastari, Kandangan. Puisi, cerpen dan artikelnya
dipublikasikan di Tabloid Gerbang, Serambi Ummah, Banjarmasin Post dan Radar
Banjarmasin. Cerpennya dimuat di Orkestra
Wayang -- antologi cerpen sastrawan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2007).
Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama La
Ventre de Kandangan (2004) dan Doa
Pelangi di Tahun Emas (2009).
M.
Nahdiansyah Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 29 Juni 1979.
Bekerja dan bermukim di Kota Banjarbaru. Sering mengulas karya sastra dari
sudut psikologi, sesuai pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta (2003). Puisinya dipublikasikan di Radar Banjarmasin dan antologi bersama Bumi Menggerutu (2005), Melayat
Langit (2006), Kau Tidak Akan Pernah
Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Jejak-jejak
Angin (bersama Hajriansyah, 2007), Darah
Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau
(2008), Bertahan di Bukit Akhir
(2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam
(2008), dan Konser Kecemasan (2010). Pistol Air (2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (2009)
adalah dua antologi puisi tunggalnya.
Nasrullah, lahir di Bantuil, Kabupaten Barito Kuala, 6
Februari 1989. Alamat: Jalan H.M. Ruslan RT 006, Kelurahan Bantuil, Kecamatan
Cerbon, Kabupaten Barito Kuala.
Nur
Hidayah, lahir di Banjarmasin, 11 Agustus 1991. 10 Besar Finalis
Galuh Banjar (2009), mahasiswi Jurusan Ilmu Komputer di Fakultas MIPA
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sering menjuarai lomba tulis puisi,
cerpen, lomba bakisah bahasa Banjar,
lomba model dan pemilihan Diang Barito di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala.
Puisinya dipublikasikan di Banjarmasin
Post dan Radar Banjarmasin.
Bergabung dengan Sanggar Seni Rindang Bahalap di Marabahan.
Rahman
Rijani, lahir di Kandangan,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1987. Bergiat di Teater Kantawan dan
CPA Meratus Hijau, Kandangan. Sering membacakan puisi dan menampilkan happening art pada momen-momen tertentu
di kota Kandangan. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).
Randi Arma Prayuda, lahir di Murung Pudak, Kabupaten Tabalong, 4 April 1986.
Mahasiswa. Alamat: Jalan Brigjen. H. Hassan Basry, Komplek Kayu Tangi II Jalur
3 Banjarmasin.
Sudarni,
lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara,
30 Juli 1948. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar
Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin dan Banjarmasin
Post. Juara II Lomba Penulisan Pantun Berkait Kalimantan Selatan (1988), 10
Nominasi Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan (1991), Juara I Lomba Cipta Puisi
Kabupaten Hulu Sungai Utara (1995) dan Juara III Sayembara Penulisan Cerita
Rakyat Porseni PGRI HSU (1996). Puisinya dimuat dalam Mahligai Junjung Buih (2007) -- antologi puisi bersama penyair
Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Syarifuddin, lahir di Bantuil, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito
Kuala, 17 November 1987. Alamat: Jalan H.M. Ruslan RT 005, Kecamatan Cerbon,
Kabupaten Barito Kuala.
Tri Restu Panie, lahir di Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, 19 Februari
1988. Pernah ikut lomba baca puisi dan teater. Operator di Pixel Digital Printing. Alamat: Jalan Kecubung II RT 13 Nomor 24,
Komplek Griya Permata, Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak, Kabupaten
Barito Kuala.
Zurriyati
Rosyidah (Sisy), lahir di Mandiangin, Kabupaten Banjar, 28 Mei 1988. Berdarah
campuran Palembang-Banjar. Aktif di komunitas sastra di Kota Banjarbaru. Sering
menjuarai lomba penulisan karya sastra. Puisinya dimuat dalam antologi bersama,
antara lain Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Wajah Deportan (2009), Menggoda Kehidupan (2009), dan Nyanyian Akar Rumput (2009). Memiliki
dua alamat: di Kecamatan Karang Intan (Kabupaten Banjar) dan Sungai Ulin (Kota
Banjarbaru).
[1]
Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh
Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[3] Juara III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[4] Juara Harapan I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[5] Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[6] Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[7]
Juara I Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[8] Juara II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[9] Juara III Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII 2010
[10] Juara Harapan I Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS)
VII 2010
[11] Juara Harapan II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS)
VII 2010
[12]Juara
Harapan III Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar