Selasa, 21 Februari 2012

"Manyanggar Banua", Puisi dan Cerpen Bahasa Banjar, Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, Tanjung, Kabupaten Tabalong (2010)


MANYANGGAR BANUA


Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar
Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII
Kabupaten Tabalong 2010

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KTD)
Manyanggar Banua
Kalimantan Selatan: Pemerintah Kabupaten Tabalong
dan Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010

Cetakan ke-1: Oktober 2010
132 + xviii halaman; 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-98149-1-10

Manyanggar Banua
Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar
Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII
Kabupaten Tabalong 2010

Editor: Abdus Sukur MH, Hajriansyah, Y.S. Agus Suseno
Desain isi: Indrian Koto
Desain cover: Nur Wahida Idris
Lukisan cover: Aswin Noor

Diterbitkan oleh:
Pemerintah Kabupaten Tabalong
Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
Jalan Tanjung Selatan RT VII Pembataan
Telepon (0526) 2021596 Tanjung
bekerja sama dengan
Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit



Sambutan
Bupati Tabalong

Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
            Saya menyambut gembira terbitnya dua buah buku sastra dalam Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII yang dilaksanakan di Tanjung, Kabupaten Tabalong, 26 s.d. 28 November 2010. Pertama, Menyampir Bumi Leluhur, bunga rampai puisi karya sastrawan Kalimantan Selatan; kedua, Manyanggar Banua, bunga rampai puisi dan cerpen bahasa Banjar. Buku yang kedua menghimpun puisi dan cerpen pemenang Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, yang telah dilaksanakan sebelumnya, yang merupakan rangkaian kegiatan.
            Penerbitan buku ini adalah bagian dari acara lain: Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, Sidang Pleno ASKS VII, ziarah ke makam sastrawan/budayawan Kabupaten Tabalong dan anjangsana ke objek wisata.
            Menurut catatan, perkembangan kesenian, bahasa, sastra daerah dan sastra Indonesia di Kalimantan Selatan cukup menggembirakan. Hal itu tampak dari maraknya karya sastra ciptaan sastrawan -- berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah Banjar -- yang terbit dalam bentuk buku, atau dipublikasikan di media cetak, elektronik dan dunia maya, di tingkat lokal maupun nasional.
            Pemerintah Kabupaten Tabalong menyampaikan penghargaan dan terima kasih tak terhingga kepada sastrawan dan budayawan kabupaten/kota Kalimantan Selatan yang berpartisipasi dalam acara ini. Karena dilaksanakan menjelang 1 Desember 2010 -- Hari Jadi Kabupaten Tabalong ke-45 -- acara ini menjadi lebih istimewa.
            Semoga kegiatan yang positif ini memberikan banyak manfaat.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.  


Tanjung, 26 November 2010
Drs. H. Rachman Ramsyi, M.Si


Sambutan
Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
             
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
            Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya jualah Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata, bekerja sama dengan Panitia Pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII, dapat menerbitkan buku ini. Kehadiran buku ini memperkaya khazanah pustaka sastra dan budaya di Tanjung, Kabupaten Tabalong, khususnya; dan di Kalimantan Selatan, umumnya.
            Menurut catatan, ASKS I dilaksanakan di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2004), ASKS II di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu (2005), ASKS III di Kotabaru, Kabupaten Kotabaru (2006), ASKS IV di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (2007), ASKS V di Paringin, Kabupaten Balangan (2008), dan ASKS VI di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala (2009).
            Mengingat Provinsi Kalimantan Selatan memiliki 13 kabupaten/kota, maka -- dengan ASKS VII 2010 -- berarti ajang perhelatan sastrawan ini telah menjalani lebih separuh putaran. Artinya, tersisa enam kabupaten/kota yang belum disinggahi kegiatan yang dilaksanakan secara bergantian ini. Barangkali ada baiknya para sastrawan mengkaji ulang hal-hal yang telah, sedang, belum atau akan dilakukan dalam ASKS -- misalnya melalui Sidang Pleno, yang telah menjadi agenda wajib dalam ASKS.
            Kendati demikian, segala sesuatunya terpulang kembali kepada para sastrawan Kalimantan Selatan sendiri, sebab ASKS adalah oleh sastrawan dan untuk sastrawan. Dalam ASKS, pemerintah daerah yang mendapat giliran sebagai tuan rumah lebih berperan sebagai fasilitator.
            Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak. Semoga penerbitan buku ini dan pelaksanaan ASKS VII 2010 di Tanjung, Kabupaten Tabalong, menimbulkan kesan yang manis: semanis madu dan langsat Tanjung.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.  

  Tanjung, 26 November 2010
                     Drs. H. Birhasani Ismail, M.Si


“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama
Pengantar Panitia Pelaksana

            Menjadi tuan rumah sebuah perhelatan seni berskala provinsi bukanlah perkara mudah, termasuk untuk Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) yang, sebelum ini, telah berlangsung enam kali di enam kabupaten. Bagi publik sastra yang setia menghadirinya, enam kegiatan di enam tempat itu mungkin telah menimbulkan kesan, catatan, dan bahkan perbandingan tersendiri; yang satu dinilai lebih baik daripada yang lain, misalnya, dan sebagainya.
            Sebagai pihak yang tak pernah absen menghadiri ASKS di kabupaten lain, timbul pertanyaan di hati: mampukah kami, yang tahun ini menjadi penyelenggara, memenuhi harapan kawan-kawan sastrawan dan budayawan yang diundang sebagai peserta, dalam pelayanan maupun materi acara?
            Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, kami memutuskan bekerja sejak jauh-jauh hari. Juni 2010 kami telah menyusun panitia pelaksana, merancang program dan materi kegiatan; mengerjakan administrasi, mendistribusikan undangan dan jadwal acara/edaran/pengumuman lomba penulisan karya sastra -- sekaligus pengumpulan puisi untuk antologi, dalam undangan kepada sastrawan dan budayawan perorangan, dengan batas waktu sampai dengan 20 Agustus 2010 -- publikasi di media cetak lokal dan dunia maya, serta menyerahkan pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan kegiatan kepada satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan lembaga terkait di seluruh kabupaten/kota Kalimantan Selatan.
***
             “Saraba Kawa”: Menjunjung Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah sengaja diusung sebagai tema utama. Saraba Kawa adalah motto Kabupaten Tabalong, yang berarti “serba bisa”, meskipun tidak dimaksudkan sebagai harat -- apalagi marasa paharatnya -- dan jauh dari niat arogansi. Kami ingin memotivasi komitmen bersama agar kita “serba bisa” dan paharatnya dalam mengapresiasi kesenian, bahasa dan sastra daerah yang kian terpinggirkan akibat perkembangan budaya global.
            Dengan tema utama itu, dirancang 9 materi kegiatan: (1) Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, (2) Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan, (3) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi dan Cerpen Pemenang Lomba, (4) Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan, (5) Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan, (6) Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah, (7) Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional, (8) Sidang Pleno Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII, dan (9) Ziarah dan Anjangsana.
            Dalam pedoman umum dan petunjuk pelaksanaan dapat dilihat, bahwa seluruh rangkaian kegiatan melibatkan (dan dikerjakan oleh) sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan yang mumpuni di bidangnya. Selaku Panitia Pelaksana, kami lebih menempatkan diri sebagai mediator dan fasilitator.
            Untuk menilai puisi peserta Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (berlangsung sejak Juni sampai dengan 20 Agustus 2010), kami menyerahkan penjuriannya kepada Arsyad Indradi (Kota Banjarbaru), Ali Syamsudin Arsy (Kota Banjarbaru) dan Zulfaisal Putera (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 119 judul puisi (56 peserta).
            Untuk Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang dilaksanakan bersamaan), Dewan Juri-nya Aliman Syahrani (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan), Jamal T. Suryanata (Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut) dan Nailiya Nikmah JKF (Kota Banjarmasin). Lomba diikuti 67 judul cerpen (54 peserta).
            Setelah melalui penjurian, 6 puisi pemenang utama (bersama 19 puisi nominasi) dan 6 cerpen pemenang utama dibukukan dalam antologi -- dilengkapi catatan dewan juri lomba bersangkutan, sebagai semacam “pertanggungjawaban penilaian”.
            Mengacu pada tema utama, antologi puisi dan cerpen bahasa Banjar pemenang lomba tersebut diberi judul Manyanggar Banua -- dari judul puisi Erika Adriani, Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan ASKS VII 2010. Secara harafiah, manyanggar banua adalah nama ritual “tolak bala” -- upacara adat masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus yang, di masa lalu, rutin dilaksanakan di Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Karena berbagai faktor, ritual itu sudah lama tidak dilaksanakan.  
            Penerbitan Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan pun kami serahkan kepada kurator/editor yang kredibel dan berkompeten, yang sudah ditetapkan zona/wilayah kewenangannya: Burhanuddin Soebely untuk Banua Anam (Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Tapin), Micky Hidayat (Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala) dan Y.S. Agus Suseno (Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru).
            Selaras dengan tema utama, Buku Kumpulan Puisi Sastrawan Kalimantan Selatan diberi judul Menyampir Bumi Leluhur -- dari judul puisi R. Syamsuri Sabri. Menyampir hampir mirip dengan makna ritual manyanggar. Bedanya, masyarakat tradisional di hunjuran Pegunungan Meratus maupun Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito lazimnya melaksanakan upacara menyampir (dengan menanggap wayang sampir) -- dengan pelbagai variasi ritual -- setelah “kaul” atau “hajat”-nya terkabul.
            119 judul puisi karya 70 penyair yang karyanya terhimpun merupakan cermin kecil dari banyaknya penulis puisi di Kalimantan Selatan -- ini jumlah terbanyak sepanjang penerbitan antologi puisi ASKS.
            Menurut data, penyair yang diminta mengirim 2 s.d. 3 judul puisi untuk antologi (walaupun yang “lolos seleksi” kemudian hanya 1 atau 2 puisi saja), sekaligus diundang sebagai peserta ASKS VII, jumlahnya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Mereka dipilih dengan kriteria yang amat longgar: dari publikasi karyanya di rubrik sastra media cetak lokal, dari antologi puisi pribadi, antologi puisi bersama (yang diterbitkan organisasi/lembaga/komunitas sastra kabupaten/kota penyair bersangkutan); penyair yang memiliki dedikasi dan loyalitas berkarya -- atau, meskipun baru muncul, memiliki prestasi dan reputasi menonjol.
            Menariknya, ternyata ada pengirim puisi yang, setelah dicek, namanya tak tercantum dalam daftar penerima undangan asal kabupaten/kota bersangkutan. Koordinator penerima puisi -- sebelum diserahkan kepada kurator/editor -- terpaksa harus menyingkirkan puisi-puisi tersebut. Bukan hanya tidak memenuhi kriteria di atas, di antara pengirim puisi itu bahkan ada yang masih siswa SMP. Sebaliknya, sebagian penyair yang diundang dan diminta berpartisipasi -- barangkali karena tak ada puisi baru, atau (karena kesibukan) lupa dengan tenggat waktu -- di saat akhir justru tidak mengirimkan karyanya.
            Di masa depan, kalau kita sepakat ingin meningkatkan kualitas, seyogianya dilakukan seleksi yang lebih ketat (oleh kurator/editor yang berkompeten) sebelum sebuah puisi diputuskan untuk dimuat dalam antologi ASKS. Ketika melihat puisi yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital, misalnya, kurator/editor yang jeli akan tahu, bahwa penulisnya masih pemula -- amat ironis kalau kemudian puisi itu dibukukan sesuai aslinya. Dengan kata lain, jangan sampai karya seseorang yang tidak jelas jejak rekamnya, “tidak berkeringat” di jalan sastra, dengan mudah dimuat dalam antologi. Jika hal itu berlangsung terus menerus, antologi puisi ASKS takkan pernah menjadi prestisius.
***
            Berbeda dengan Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (yang terbuka untuk umum dan boleh diikuti oleh perorangan), Lomba Basyair dan Lomba Madihin Kalimantan Selatan hanya dapat diikuti oleh wakil/utusan resmi kabupaten/kota, yang penunjukan dan pengiriman pesertanya dikoordinir SKPD dan lembaga terkait -- Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, bersama Dewan Kesenian/komunitas sastra di kabupaten/kota masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar ada koordinasi, sinergi dan komitmen bersama antarinstansi dan lembaga/komunitas terkait di kabupaten/kota masing-masing dalam membina, mengembangkan dan memajukan kesenian.
            Masih terkait dengan tema utama, Seminar Kesenian, Bahasa dan Sastra Daerah membahas Perda Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah dan Perda Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Bagaimana implementasi dan implikasi Perda itu -- berlaku Juli 2010 -- terhadap pembinaan dan pengembangan kesenian, bahasa dan sastra daerah, diseminarkan, dengan narasumber Drs. Abdul Karim, MM (Ketua Umum Dewan Kesenian Kotabaru), Prof. Dr. H. Djantera Kawi (Guru Besar FKIP Unlam Banjarmasin) dan Kepala Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Provinsi Kalimantan Selatan.
            Ceramah/Dialog Sastra Bersama Sastrawan/Budayawan Nasional adalah salah satu agenda penting dalam ASKS. Dengan topik Khazanah Budaya Lokal Sebagai Sumber Inspirasi Penulisan Karya Sastra, semula direncanakan Ahmad Tohari (yang dikenal dengan novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk) sebagai narasumber. Namun, karena Ahmad Tohari tahun ini pergi haji, kehadirannya digantikan Raudal Tanjung Banua, sastrawan muda kelahiran Sumatera Barat, yang bermukim di Yogyakarta.
            Sidang Pleno adalah bagian yang tak kalah penting dalam agenda ASKS. Peserta (sastrawan, budayawan, pengamat budaya, pengurus Dewan Kesenian, pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seluruh kabupaten/kota) dapat mendiskusikan isu-isu aktual tentang sastra, seni dan budaya (lokal maupun nasional); menyampaikan seruan, maklumat atau resolusi sastra (yang ditandatangani bersama), sekaligus menyerahkan amanat, mandat atau rekomendasi (yang ditandatangani bersama) kepada kabupaten/kota pelaksana ASKS tahun mendatang.
***
            Akhirul kalam, tak ada gading yang tak retak. Kami sadar, harapan terkadang berbeda dengan kenyataan. Rencana baik terkadang belum tentu bisa berjalan dengan baik pula. Meskipun demikian, Insya Allah seluruh rencana akan berjalan dengan baik dan lancar apabila sastrawan dan budayawan Kalimantan Selatan memiliki tekad dan komitmen bersama: saraba kawa dalam hal menjunjung kesenian, bahasa dan sastra daerah.

                        Lilies MS (Ketua)
Bambang Rukmana (Sekretaris)


Daftar Isi
Sambutan Bupati Tabalong
Sambutan Kepala Dinas Sosial Kebudayaan dan Pariwisata
“Saraba Kawa” dan Komitmen Bersama
Daftar Isi

6 Puisi Terbaik
Dilema “Keberadaan” Bahasa Banjar Sebagai Bahasa Tulis
Manyanggar Banua/Erika Adriani
Diang Hirang/Syarifuddin
Mambuang Tantajuk, Manggantung Tajak/Aria Patrajaya
Maratus/East Star From Asia
Madam/Rahmatiah
Sapanjadi/M. Nahdiansyah Abdi

19 Puisi Nominasi
Karasmin Sungai/Apriadi Darmawan
Bubur Habang Bubur Putih/Aria Patrajaya
Kariau/Arif Rachman
Sajak Panjual Kalakai/Arief Al Rifany
Syair Mangganang Paguruan/A. Rahman Al Hakim
Kumarau Landang/Eza Thabry Husano
Kamarau Lingkah Dapatnya Banyu/Herlianti
Ada Masigit di Hatiku/H. Fahmi Wahid
Wawarah Pikurat/H. Fahmi Wahid
Gasan Mamanya Nabil/H. Muhaimin
Lalakun/Jaya Ginmayu
Handak Waras/Jakaria Kastalani
Tihang/Nasrullah
Karindangan Saurangan/Komariah Widyastuti
Mahayabang/Rahman Rijani
Kunci Naraka/Randi Arma Prayuda
Mandulang Intan/Sudarni
Papat Pitutur Panglima Wangkang/Trie Restu Panie
Marasnya Bumiku/Zurriyati Rosyidah

6 Cerita Pendek Terbaik
Manampi, Mangikihi, Mamutiki
Tagaian/Erika Adriani
Bapintaan/M. Fuad Rahman
Kada Tamakan Habar Lagi/Komariah Widyastuti
Manggantang Sayang/Muhammad Rifqi
Kada Bakasudahan/Nur Hidayah
Jujuran/Hatmiati Masy’ud
Tentang Penulis


6 Puisi Terbaik
Dilema “Keberadaan” Bahasa Banjar
Sebagai Bahasa Tulis
Catatan Dewan Juri

            Pemahaman terhadap “puisi bahasa Banjar” adalah sesuatu yang memang dalam kondisi ‘bermasalah’, terutama tentang ‘ada atau tidak adanya kebakuan bahasa Banjar itu sendiri’. Kadang berhadapan dengan situasi di mana segala kemungkinan dapat saja terjadi, apakah bahasa Banjar itu yang telah sering didengar sebagai pembicaraan masyarakat secara luas ataukah memang harus menggunakan idiom-idiom bahasa secara khusus, apakah bila menggunakan beberapa istilah yang sangat ‘langka’ atau sangat jarang -- tetapi ada -- maka itulah cara pengungkapan yang paling diutamakan, ataukah sesuatu yang ringan dan telah sangat sering dikemukakan dalam percakapan sehari-hari di masyarakat Banjar itu sendiri.
            Berkaitan dengan pertanyaan terakhir pada kalimat di atas, biasanya ekspresi bahasa Banjarnya telah berbaur dengan struktur bahasa lain, walau ini pun tidaklah benar sepenuhnya pula, bahasa Indonesia terutama. ‘Dilema’ ini berdampak kuat pada situasi ketika ada yang menilai sebuah ‘puisi bahasa Banjar’. Tetapi memang harus diakui bahwa pembeda yang kuat dengan jenis atau ragam puisi lain adalah di sisi bahasanya, yaitu bahasa Banjar, dan otomatis jadilah ia sebagai ‘puisi bahasa Banjar’.
***
            Boleh jadi unsur tema yang melekat di dalam unsur pesan, sebagai fungsi untuk apa puisi itu diciptakan, tidaklah menjadi ukuran yang dikuatkan, ia akan menjadi biasa saja atau bahkan sama saja dengan jenis atau ragam puisi yang lain yang banyak bertebaran di ruang-ruang penciptaan. Jadi, sebagai alat pengukur utama ketika adanya sikap apresiatif-kritis terhadap keberadaan sebuah ‘puisi bahasa Banjar’ adalah, kita menggunakan bahasa Banjar yang bagaimana.
            Kita pun sampai sekarang tidak atau belum memiliki semacam ‘tokoh atau figur panutan’  yang mampu dijadikan ‘tolak-ukur’ bahwa pemakaian atau pengucapannyalah yang dijadikan dasar, apakah keberadaan ‘tokoh’ ini sedang berdomisili di daerah Tanjung dengan tata-cara berbahasanya, atau berada di Kandangan dengan tata-cara berbahasanya, atau bahkan sedang berada di daerah aliran Sungai Barito dengan tata-cara berbahasanya, bahkan mungkin saja dengan tata-cara berbahasa orang yang ada di wilayah Kotabaru-Batulicin-Pagatan. Jadi, dilema besarnya adalah ‘di mana kedudukan bahasa Banjar yang ideal itu’ dalam konteks sebagai bahasa tulis sementara bahasa Banjar tidak (belum) memiliki aksaranya sendiri.
            Berangkat dari dilema di atas, bukan berarti tidak dapat menentukan sikap dalam menilai puisi-puisi (yang oleh penulis/pengirimnya diakui sebagai “inilah puisi bahasa Banjar” itu; menurut masing-masing tentunya). Maka ketiga dewan juri lomba cipta puisi bahasa Banjar dalam agenda besar Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-7 tahun 2010 yang dilaksanakan di kota Tanjung, ibukota Kabupaten Tabalong, adalah dengan jalan kesepakatan diambil berdasarkan musyawarah-mufakat.
            Ada beberapa langkah telah ditempuh, yaitu (1) masing-masing juri melakukan pembacaan sendiri-sendiri, (2) masing-masing juri mengajukan 10 puisi unggulan. Dari unggulan masing-masing itu akhirnya didapatlah 6 buah puisi yang disepakati bersama oleh ketiga anggota dewan juri sebagai juara 1, 2, 3, harapan 1, harapan 2, dan harapan 3. Hasil puncak itu didapat setelah seluruh anggota dewan juri melakukan rapat khusus dalam diskusi yang intens.
***
            Secara umum pembahasan lebih fokus pada “inguh” atau boleh jadi “greget” atau “nuansa” kebanjarannyalah yang dalam hal ini berkaitan juga dengan, (a) kebahasaannya dengan pengetahuan atau teori-teori sesuai kemampuan para penilai, (b) bentuk, batang tubuh atau tipografi puisi, (c) bentuk-bentuk metafora, pencitraan serta kekuatan bunyi atau rima, dan (d) orisinalitas karya.
  1. Secara umum pembahasan lebih fokus pada ‘inguh’ atau boleh jadi ‘greget’ atau pun ‘nuansa’ kebanjarannya, dengan kata lain tidak menitikberatkan apakah harus dialek Banjar Kuala atau Banjar Hulu.
  2. Memperhatikan kebahasaannya seperti penulisan huruf, yakni dalam bahasa Banjar, baik Banjar Kuala maupun Banjar Hulu tidak mengenal hurup / f /, / q /, / v /, / z / dan yang terdapat pada posisi akhir seperti / b / pada  kata ‘adab’ – ‘adap’, kata ‘ahad’ – ‘ahat’.
  3. Bentuk puisi, batang tubuh atau tipografi puisi.
  4. Bentuk-bentuk metafora, pencitraan serta kekuatan bunyi atau rima.
  5. Orisinalitas.

            Uraian di atas disepakati oleh dewan juri untuk dikemukakan sebagai catatan ketika melaksanakan penilaian seluruh puisi yang masuk, berjumlah 119 puisi. Kami pun menyarankan agar pelaksanaan lomba semacam ini (Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar) ke depan lebih sering dilakukan, karena dengan intensitas yang tinggi pada saatnya akan ditemukan bentuk kebahasaan bahasa Banjar yang diinginkan oleh semua pihak, walau kita tahu pula bahwa perkembangan bahasa itu sangat cepat dan semua bergantung kepada masyarakat pemakainya sebagai pendukung utama terhadap keberadaan, pertumbuhan serta perkembangan bahasa itu sendiri, bahasa Banjar tentu begitu pula adanya. (Arsyad Indradi, Zulfaisal Putera, Ali Syamsudin Arsi)



Erika Adriani
Manyanggar Banua[1]

tumatan subalah gunung di Hulu Banyu
tandik balian mahantak balai
kanjar wan babangsai mamasung malam
garincing galang hyang mangariau alam patilarahan  
uu, bubuhan dangsanak malapas kukus dupa
baharum banua

umai, manyanggar di bawah hindau bulan
di bawah garirap ribuan bintang
di palinjangan Garuntung Manau, basuluh undayang
manggantar alam mambang
hutan-hutan takurijat 
sungai-sungai manguliat
angin mangaji daun
kadap mangaji ambun

karasmin gaib di alam bumi lamah
mamang balian mambasuh wisa
gamal panjulang mamajah bara
andak sasaji di langgatan, banih wan lamang
supaya alam banua daham rusak
supaya hidup tarasa nyaman

cuh!
bajauh tukang bulangkir banua
daham barurusak lagi di sia
kaina kami humbalang
kaina kami riwas
kaina kami damak
kami handak jua guring nyanyak
kami handak jua manyambung hinak

Banjarmasin, 30 Juli 2010

Keterangan :
-          Hulu Banyu :  nama lain kawasan hunian suku Dayak Meratus.
-          kanjar :  tarian yang dibawakan kaum laki-laki.
-          babangsai : tarian yang dibawakan kaum perempuan.
-          galang hyang :  gelang keramat untuk upacara adat.
-          patilarahan :  alam roh para nenek moyang.
-          manyanggar : upacara agar terhindar dari musibah dan rasa syukur diberikan rezeki serta keselamatan.
-          Garuntung Manau :  seorang datuk sakti pembasmi kejahatan dalam kepercayaan suku Dayak Meratus.
-          mamang : doa, mantera.
-          panjulang :  penabuh gendang.
-          langgatan :  tempat meletakkan sesaji.


Syarifuddin
Diang Hirang[2]

Diang Hirang bajalan lajang malalui kahinipan padang jalan
Malingkang bulangkiran batu tahambur
Maliung rungkang lucak – lunan

Kuring gatalan aspal takuyak

Batingkuluk kandal tapih buruk
Manjunjung bungkalang kahidupan
Manjaja untung tuah pucuk kalakai
Nang diputik di pinggir jalan ganangan

Diang Hirang bajalan lajang
Malalui hahihipnya sampaliring
Barisan galam bacampur karamunting
Maracap lingkang batis batilanjang
Bajajak di bulangkiran batu timbuk
Kuring gatalan aspal takupak takulipah

Batingkuluk kandal tapih buruk lapik duduk bungkalang
Manjunjung bungkalang kahidupan
Manjaja untung tuah pucuk kalakai
Nang diputik di pinggir jalan ganangan
Nang sawat tarakam dalam ingatan
Matan kakanakan lacit naik ka bujang


Aria Patrajaya
Mambuang Tantajuk, Manggantung Tajak[3]

Kugilir tantajuk wan tajak
tahun kalawan tahun
sasala tagah kumpai minyak
banta kangkung basiraput
Kasisiur tarabang ka hulu ka hilir
hari panas manggantang
tajak mangacipak tantajuk manciruk
tanah liat kuning
kakanakan balumpang
mahadangi Abah tuntung marincah
Uma tuntung malacak

Kugilir tantajuk wan tajak
tahun kalawan tahun
sasala paluh daki manguriping
Ratik palastik bungkus mi
higa mahiga parumahan
tanah hirang balamuk
bau gangsung tahiut

Ui, masih juakah Gambut
bagalar Kindai Limpuar
Ui, masih juakah Kartak Hanyar
batanah subur
lamun pahumaan baganti parumahan
lamun tantajuk dibuang tajak digantung

Manangis sisigan baurut dada
awak ringkut silau maningadah
pahumaan nang wayah-wayah hijau kuning
rapun wan buah banih
baganti tihang ulin atawa batun
Kindai puang
paluh karing
banyu mata umpat jua karing


East Star From Asia
Maratus[4]

(Hagan pian, nang mangaku maangkat dangsanak.
Put lalak, kaputingannya mahantak)

            DI BANUA. Habar nang manggaliwayang. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Di tambang nangitu, kadangaran puhun kayu pukah. Kadangaran buldozer ngaur-ngaur mahambur tanah. Tagal kadada siapa-siapa.
            Di lain. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis, di kanturan ganal nangitu. Kadangaran batu dihawar bagadangkar. Kadangaran urang kajar. Kada lawas tadangar urang kuciak papar. Tagal kadada siapa-siapa. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Kadangan di kanturan ganal nangitu. Hiii.

(Rak-rak gui, bincul mumui!
Akayah. Nangapa banua dilincai kumpai?)

Amun batang kayu pahabisan hudah habis
Banyu mata baah kada habis-habis
Amun batu bara pahabisan hudah habis
Biar banyu mata darah kada habis-habis
Dalas balangsar dada nangapa nang handak dikais?
Sabakas sayup, salawasan siup

Pian handak baisian kahandak
Ulun takutan baisian katakutanan
Dangsanak kada dangsanak mun balum anyak
Kibit urang sakit saurang.

(Pung pang halu, tapangkung waru!
Akayah. Wani maambung wani manyambut)

Amun hutanan pahabisan hudah habis
Banyu baah kada habis-habis
Amun gunung pahabisan hudah habis
Labar kabun pahumaan bangai kada habis-habis
Dalas bahantak batis nangapa nang handak dipais?
Sabakas sayup, salawasan siup

Ulun handak baisian kahandak
Pian takutan baisian katakutanan
damak kada damak mun balum disumpitakan
Siapa manyurung apinulat dicancang

Ulun itihi, pian kalumpanan
Ulun tagur, pian kapiragahan
Ulun haga, pian karasukan
Amun pahatian pahabisan hudah habis
Muar ulun kada habis-habis

Kuluh, baribu kuluh
Dibulihakan manatak cakang, pian manabang puhun kayu
Dibulihakan manabang puhun kayu, pian manabas hutanan
Dibulihakan manabas hutanan, pian mahambur gunung
Dibulihakan mahambur gunung, pian mangipai bubuhan kulaan
Pina baadat kada baadat, baadat musti baadat
Amun muha aasaan batampungas, ulun kada aasaan manapas

Handak gantung sarinditkah?
Handak tundikkah?
Handak balah saribukah?
Ulun, ulun, ulun kawa maulah parang maya
Cah, pian urang manakah. Urang badahikah. Urang haratkah!
Amun di banua tapakai kupiah purun
Ulun amparakan tikar purun
Nang kada kawa dikukut sabarataan
Daham dikuluh sabarataan

(Pus pus mura, bubus bakul purun!
Akayah. Umbayang gin dipatuk mun tajajak)

Amun muar pahabisan hudah habis
Banyu tawar sambur kada habis-habis
Amun sabar pahabisan hudah habis
Biar mata luka darah kada habis-habis
Dalas batimpas jual siapa nang handak manukari?
Sabakas sayup, salawasan siup

Ulun handak baisian kahandak
Pian takutan wan katakutanan:
Cuh, cuh! Ulun ludahi talapak tangan.
Talunjuk manunjuk langit rakungan.
“Aku tahu asal ikam, sangiang gararak.
Hai urang jauh, lanah lunuh
Kusumpit sumangat rabah rubuh
Sumpit ka batu, batu manggarapak
Sumpit ka angin, angin tacandak
Sumpit ka awak, awak ramak
Parang maya tarabang bang,
tarabang tuju ka ampun buldozer di manakah
Ina ana abu dana, puaaah!”

(Nuna nuni, lampah turun di agung!
Akayah. Tambang mati bungkam gunung)

            DI BANUA. Habar nang manggaliwayang. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Di tambang nangitu, kadangaran puhun kayu pukah. Kadangaran buldozer ngaur-ngaur mahambur tanah. Tagal kadada siapa-siapa.
            Di lain. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis, di kanturan ganal nangitu. Kadangaran batu dihawar bagadangkar. Kadangaran urang kajar. Kada lawas tadangar urang kuciak papar. Tagal kadada siapa-siapa. Isuk ari saikung nang tatuhanya kadapatan kana wisa. Hiii.


Keterangan:
1.       Rak-rak gui, pung pung, pus pus, cuh cuh dan puah puaaah (kata tiruan bunyi)
2.       Akayah dan cah (kata seru)
3.       Sangiang (dari kata Sang Hyang) dan put (dari karamput)
4.       Apinulat (kata sumpah-serapah, kualat)
5.       Ina ana abu dana dan nuna nuni (mantra guna-guna)


Rahmatiah
Madam[5]
            (gasan Uma)

Amun nasib balum takisah alamat bulik
Maka biar ai sudah kita relaakan nang kaya itu
Sabujurannya ulunlah jukung
                        nang tasasat di hunjuran padang ilung
Manyasah hujan batu
mambawa nasib bakayuh ka hilir ka hulu
maumpati pasang banyu.
Hilang jua sudah kancur jariangauku
lawas kada bacuur lawan datu.
Magin balabuh ka muhara
                        bamagin tarasa ditampur anginnya.
sasar jauh matan banua
sasar banyak tatamui ular lawan buhaya.

Umai, titik jua banyu mata
kaganangan kampung asal muasal jukung
mun pariannya nang ulun tamui
tatinggal jalan bulik ampah ka gunung.


M. Nahdiansyah Abdi
Sapanjadi[6]

Hidup sapanjadi, nang sampadaan kada kawa baindah
Bakisut dihaga waktu: hussa... hussa...
Alam saraba baharu, taudak saling cinikan

dalam butahnya jaman. Aku bajuju mahija Andika
Kasadakan kada sing ampihan. Mangganang

wayah-wayah batamuan. Asa raum panjanak!
Nginging di talinga, gadangkaran dalam jauk

Kur sumangat, lakasi, lakasi ambili
Dunia sudah hanta, sudah buntat, kapidaraan!

Hidup sapanjadi, hidup sapanjadi
Manating kada saapa, kada saapa

2010


19 Puisi Nominasi

Apriadi Darmawan
Karasmin Sungai

Bakayuh ka hilir maminggir kabut
di sungai nang manguliat
jukung mandusur mambawa bungkalang nasib
di karungkung ari nang tarasa likat

siapa nang bagamal di muhara
ada dangung kuriding mangariau mambang
ada tuhui sarunai mambuhul angin
ada katipak babun manampa dingin
ada lalakun mahayabang di banua junjang

siapa nang baigal di atas tangis galumbang
di atas ilung wan ratik-ratik larut nang dibuang
langit basisigan
mandangar nyanyian marista di bawah jambatan

umai, raminya karasmin di muhara sungai
balantak kada maingat ari
kada maingat diri
kada mangganang lawan bubuhan dangsanak
nang bapangsar dada
mancari panyambung hinak

Banjarmasin, 9 Agustus 2010


Aria Patrajaya
Bubur Habang
Bubur Putih

Tuah gunung tuah hutan
hilang mahalimunan wayah siang
Baras kuning bahamburan
bubur habang bubur putih di atas ancak
gunung jadi danau
danau jadi lautan
sumangatnya tarabang
Tuah tanah tuah datu-datu
hinip dingin kanyap
Kambang rampai basapai
bubur habang bubur putih di atas ancak
puhun ulun jadi batu bara
batu bara jadi kakuasaan
wanasnya tarabang
Ui, bubuhan pambakal
jangan disalungkar gunung
Ui, bubuhan kapala padang
jangan dibulangkir tanah wan hutan
kasian anak-cucu
kasian datu-datu maraju

Tuah bubur habang tuah bubur putih
sasala lamang wan hintalu
ancak tatilungkup
puhun kariwaya baguyang
ulin rabahan
batu bara habisan
anak-cucu manangisan


Arif  Rachman
Kariau

Halang kulik-kulik baputar mangariau
Kamana lagi mambari tanda
Siapa jua nang ampun ulah
Balumba-lumba maulah tabala
Bausaha bacari kada tahu dibasa
Anak cucu nang manyandangnya

Halang kulik-kulik mangariau
Kamana lagi mambari tanda
Mambantas rajaki urang piragah buta, piragah tuli
Mamarah alam sampai luka
Mamuja amas hirang mangadang wisa

Halang kulik-kulik mangariau
Kamana lagi mambari tanda
Sanja sudah alam taalamat
Kamana kayu hagan batinggir
Tanah baluang-luang kada barupa
Jangan maniwas mun aku hamuk
Tarima rata kada basisa

Halang kulik-kulik mangariau
Kamana lagi mambari tanda
Hadang ha!


Arief Al Rifany
Sajak Panjual Kalakai

Subuh manguliat marut
Maipii rimah tinjau
Manalapak talapak pajar

Batis batilanjang maracap lingkang
Malibas hahinipnya sampaliring
Sasala patung galam baambun
Maliung lubak manggurau
Bulangkiran batu gatalan
Kuriping kuring aspal takuyak

Nasib buruk bantal kacil
Lapik duduk bungkalang hidup
Balikap sayang di kapala
Manjaja untung tuah kalakai
Mandi paluh tilasan ambun
Matan hunjuran padang tawakal
Balantak ka jantung Pasar Wangkang


A. Rahman Al Hakim
Syair Mangganang Paguruan
                        (gasan ayah guru sakumpul)

ini kisah jadi pundukan
urusan dunia ditinggalakan
ahirat nang diutamakan
kada baisukan kada kamarian
kada siang kada malam urang guringan
hibak lawan pangajian
manuntut ilmu sambil maamalakan
balajar ilmu syariat lawan ilmu haqiqat kayakinan
banyak kitab nang dibacaakan
matan kitab tafsir hadis sampai tafsir al qur’an
matan ihya ulumuddin sampai sabilal muhtaddin
matan sirah nabi sampai sirah ulama nang hibak kamuliaan
matan manaqib kalampayan sampai manaqib syaikh samman

batahun-tahun mairingi paguruan
kamana sidin ka situ jua basimpuh badudukan
maingkuti kitab sambil mandabit nang dibacaakan

tapi ujian kahidupan kada sing rantian
sampai di mana hati kuat manahanakan
malapas paguruan atawa manyasahi kaduniaan

simpun mangaji sampai sidin maninggalakan
dipasani manggawi apa nang sudah dilajarakan
rasa sadih jasad ditinggalakan
tapi jar sidin kaina kuambiliakan
bila ikam sampai janji nang ditantuakan
hujung hinak nang pahabisan

Juli 1010


Eza Thabry Husano
Kumarau Landang

            Kumarau landang lintuhut karing pada upih
burung halang gin bahinip di cikang jingah
napang panjanak sasain kadap. Kada kawa lagi
tarabang manyubarangi sungai, manggah-mukuh
umai, ngalihnya bacari tumat sarang baurak halar
maniruk ka subarang
batis licit tagintas matahari saling panasan
mangikih tumat baisukan hampai malam kada pakulihan
wayahini, umanya ai, rajaki karing pada kalaras

            Kumarau landang lintuhut karing pada upih
pabila garang sampian pacangan sugih?
Tumbang-tumbalik bacari dalas balangsar dada
Lingsak patuk lawan halar tagintas kumarau
                                                marinyut padihnya

ibarat jukung tiung badampul, pananjak paringtali
patah dua, baangkut banih sakarung dua
ngitu pang kulihan satahun, ding ai
                                                akai, sakitnya

umai, ding ai. Mayulah manyuapi anak-bini
di burinik lamuk kumarau landang, sungai kada bawatas
Sungai Martapura pabanyuan lawas banua kita

            maraha, tulai bajuntai mangayuh nasib
di jukung rumbis. Mahadang garambuak anak-cucu
matan buritan hampai palabuhan banyu mataku


            ayuha, balangsar dada
                                                dalas hangit!

palimbaian lipah, 9 Juni 2010


Herlianti
Kamarau Lingkah Dapatnya Banyu

Wayah pang sudah musim kamarau
Abahku malingkur taguring di parabahan
Munnya hujan mandarau
Sidin balisah sambil maigau
“Kamarau nang di hadapan kada kawa jadi harapan,
banih tinggalaman, aku lucut pacangan parai bahuma,
kadada gawian.”

Kaya itu pang nasib Abah
Maumpatakan hari, maumpatakan musim
Hanyar kawa bacari

Astambul sugih lawan banyu
Maramalakan bubuhan patani
“Tahun ngini kada kawa bahuma pulang.
Tatanaman calap, untungnya kalambuai.”

Gumbili habis kana cabuti
Waluh putih malancar, tamandak mati
Lumbuk-lumbuk diputiki
Jagung wan tarung ditabangi
Kadada lagi papagan sagan hari dudi

Tagal pang kada habis pangharapan
Mudahan tahun nang di hadapan
Abah kawa bakamarau pulang


H. Fahmi Wahid
Ada Masigit di Hatiku

Ada masigit di hatiku
Wayah aku maukur tafakur
Maitung palalahan di pamadaman
Gasan manapas garitik hati
Malicinakan iman
Mambuangi pungkala barhala diri

Ada masigit di hatiku
Wadah aku majurai zikir
Mamatut syahadat
Mahampar sajadah
Manyulam rampai salawat
Mamalas tubat
Maharap simbar ampunan diri

Ada masigit di hatiku
Wadahku manyanggul hari
Bapiruhut ka akar tauhid
Gasan aku mahaga
Mamatak
Kahandak diri nang hakiki


H. Fahmi Wahid
Wawarah Pikurat

Kungkung, pikurat, samunyaan banyanyi
Sapat, kalatau, papuyu, kulacingan, sanggiringan
Habang isangnya
Hijau, kuning, minglau sisiknya
Kalikikan tatawa
Bacangkurak
Bakunyung
Malulur diri nang lawas marista
Maambili banyu nang miris matan langit

Hanyar tuntung basimbai, bapapai
Batapung tawar mahiyau sumangat
Kada di pawayah
Banyu lilibakan, talaga, bulanat
Pina likat, kadap

Marasnya ai
Sapat, kalatau, papuyu, kulacingan, sanggiringan
Kada kahantuan
Kauran matanya
Lacit bukahan
Barampak papadaan
Tabulantingan samunyaan
Nang batianan hintalunya tahambur jadi hampas
Mati mudar wan anak-anaknya

Ayu pang bubuhannya jangan lagi diparang maya
Jangan maulah ungkara
Kada usah dijahati
Kawani pang
Biarakan inya basuka-suka
Wan anak-bininya
Mun handak jua jabak wan lukah
Babuat ai
Pang rasanya babuat ka rukit
Marasai tulakan ka bulan ampat walas


H. Muhaimin
Gasan Mamanya Nabil

Umanya
Aku suah bakisah lawan ikam
Parihal angin tutus nang mahiris waktu
Di sanja kadap nang basah
Diri jua dipinandui
Di sasala sadikit kahandak nang tasia-sia

Umanya
Kupadahakan sudah
Parigal humbayang baisukan nang pudar
Wan rindu dandamku maram ditampar fitnah
Nang kaya kukus bukah maingar
Di buncu umbak rasa nang tingka

Umanya
Suah jua karungkung hati kuungkai
Parihal manyanggul bungunan kahandakku
Maraha tatukup padih pangrasaku
Kadada akai
Aduh
Kadada tadangar tangis

Umanya
Kita basyukur kalawan Tuhan
Kawa mahadapi cacala kahidupan
Kita jua nang kawa mnyatuakan
Ruh kacintaan nang kada suah kubas


Jaya Ginmayu
Lalakun

Alaliya, sindinan alam pawayangan
Dibatak raga basasuluh jiwa
Mambair batis bakunjang samistawa
Kadangaran habar badindang bahindala

I lala, sidin ai... sakalinya
Hinip kadap malam manimburu bulan
Tumbur lalak urahakan kadan
Umai, asa kapingan marantas banyu
Imbah tajinguk licak baruh baubah habu
Akai, asa handak mamisuh muru
Tatingau ilun pucuk para sain landu
Tatiring mungkur tahambur ramuk pasai

Alahai, ladunan buhan pamandaan
Takilar sakirapan napa wahana
Pasti kada jauh marga lalakun andika
Napa mun raup barait baharung di higa

Bulih dangar, pituan padatuan
Jangan buku mariga uncitnya marista
Ibarat paribasa paaliran sambar buhaya
Iwak lamas dalam banyu
Nangkaya tikus mati di karambas banih
Bagaritik hati mamusuti daki wan kasai
Bagamatan cuba luluri kunat wan tapal
Kur sumangat, kahandaknya
manurut pamikiran diaku nang jaba
Dimapa akal maliung bancana
Ulayat jaga lambakan tatap dibina
Tapung tawar dilapai tulak bala
Bapalas jua sagan sangga banua


Jakaria Kastalani
Handak Waras

Bahampas bapangkung tadadar tagulung
Maambah tagah padang sampahiring
Mangayabang hirang di luar kandang
Basuluh gadang batang pisang
Manarangi guha manggarunggang
Langit hangit bibintang hilang
Garabakan langkah sapatu ladung
Barisan hujan marista badan
Tinggalam dalam nyanyian sitan
Malam mambambam lumus bulan

Hanyar tahabar kambang halalang
Tahambur dingin angin sanja
Darah hirang manyayat jantung
Tatangis guha garunggang dada
Handak batatamba jar habar burung?

Rahat ingat halat baduri kawat
Rahat ringkut manyayat-nyayat
Batinggi matahari makin basakit
Panyakit malaut di buih duit
Matan kakanakan kada baarit
Tapajam tabuncilak maarit sakit
Bapapantang jangan malihat ubat
Mambarasihi putih parut lilit
Habar burung handak batubat?


Nasrullah
Tihang

Tihang...! Ngaranku tihang
Tihang...! Kada sambarang tihang
Nang diambil matan Mustawan

Tihang ilmu tihang aturan
Tihang cagat tihang sariat
Tihang diambil matan Mustawan

Tihang tujuh balas turus
Turus tawing tatulak iblis
Lima kali saarianan-samalaman
Manuhur daki di batis tangan
Barasih rambut lacit ka tumit
Muha mangkunung tambus ka jantung
Bapikir haning banyu basaring
Turun di babun bajajak di agung

Tihang! Ngaranku tihang!
Cagatakan saban hari
Jangan sawat rabah ka tanah
Jangan balang-kambingan
Kaina kapala kuhangkupakan
Ka batu bara api naraka


Komariah Widyastuti
Karindangan Saurangan

Nang bangaran karindangan
Liwar sakit handak kada taarit
Padih tasayat sambilu
Padih lagi luka pikiran
Luka baampik sabalah tangan
Raat ringkut takapik angin

Mandi banyu yasin pitung sanja
Mandi banyu kambang pitung rupa
Mangalutuk dagu di malam buta
Mandi di burit jamban tujuh subuh
Manggatar-gitir manggigil dingin
Sadingin luka putih mambaku darah
Makin pisit barikit sasain marut
Bangkai marayang manyasah bayang
Jaka kada dibawa baistiharah
Di atas sajadah babarasih darah
Maminta lawan nang tukang ulah
Di hujung sujud hajat
Di hujung sujud tahajud
Tubat sahadat barandam di banyu mata
Hati bahalulung patir manyambar
Bibir babisik basarah mantah
Tawakal bulat mahantai tangan

Barakat maminta lawan ampun-Nya
Limbukut tarabang hilang miang
Kada sawat batangkup bulan
Nyaman pada mambuang kalimpanan


Randi Arma Prayuda
Kunci Naraka

Mamang sambang kata sambaga
Isim pirunduk Bagawan Durna
Papat mamang kunci naraka
Siapa mandangar hancur imannya

Biar sahibar tikus kantur
Asal pintar jadi kuruptur
Santan bagula pamanis bibir
Samunyaan nyaman diatur

Batitir aruh ganal sambahyang hajat
Ampat puluh malam Jumahat
Niat anggur darah di cangkir rangat
Malaikat rahmat supan malihat

Suap suguk nafsu durjana
Nang turun di kukus dupa
Kawan setan kawan Sangkala
Akal tumpul badan binasa

Biar dikias diulah fatwa
Bajubah sadakah batuping darma
Nang mambari wan nang manarima
Sama kakal dalam naraka


Sudarni
Mandulang Intan

salawat nang bahambus di tanah pandulangan
adalah ucapan sukur urang nang barajaki mangganggam intan
maurak jadi habar nang barinda-rinda
batiti matan bibir ka bibir ka buncu mambuncu

tanah pandulangan
kilau cahayanya adalah nyanyian nang manis lamak sintal
manawari harapan ka punduk-punduk
atawa nang gawi kada batantu-tantu
ujar, maangkat nasib nang akai aduh
makan babagi lawan tangis
maingui di bawah ruda kahidupan

lamun tabarung banasib baik
untung tuah manggampir diri
ganal intan nang dihaga
badindang hati kahimungan
hidup tamama labih pada cukup
nyaman batis mangitik marandam tumit
napa nang dikacah landas kada takalang
tapi, mustikah upah lapah maraup pakulih
takana nasib sial turui batantan
padahal manggah-mukuh hinak di bumbunan
rakai sudah awak dirawa
nang diharap hambayang katia hambayang
siapa salah siapa ditiwas
barangkali saurang nang tarumpak papantang
atawa tabawa lagu cakah
bakacak pinggang batapak dada pina paundasnya
maundang murka bubuhan datu
intan sintup bahantak linjam
kada rigi maungkai girapnya

mandulang intan ujar urang pandulang
mangarti hakikat pamali nang tasirat
lambang kahalusan budi parangai
nang rasuk saimbang wan alam pandulangan
tata karama nang dijunjung dihurmati

mandulang intan ujar urang pandulang
adalah ihtiar mahahar ujud kahandak hati
malabuh tawakal di kadalaman laut
laut rahasia si ampun intan


Trie Restu Panie
Papat Pitutur Panglima Wangkang

Rahat manyayat tangking pusat
Bidan batakun wan Damang Kendet
Anak lalakian siapa dibari ngaran
Jagauku nang pamulaan
Wangkang kubari ngaran
Damang Kendet bacalatun kahimungan

Matan kaluar baimbai tambuni
Lacit baganap ampat puluh hari
Mandi banyu hidup banyu jaranih
Banyu yasin banyu salawat
Panghalat ruh jahat nang sasat
Kuyang bukang hantu pulasit

Badiri alif badiri di hulu hati
Balimbai haning banyu udu
Sahaning pancur talaga ilmu
Di hunjuran lubuk balukar
Kabun ilmu kasampurnaan
Ilmu dikjaya ilmu laduni
Babuah ikhlas amal ibadah

Barajah ilat kata Daud
Buhul jajarat anasir ampat
Api angin tanah banyu
Kata Musa pamanis bibir

Masin pandir nyaman didangar
Kata Yusuf babungas rupa
Kasih sayang umat manusia
Mamakai amalan kata Sulaiman
Makan pakai hidup tajamin
Binatang satwa kawan sajalan
Basahabat jin kaya bawarga

Bamudal cangkal tawakal
Babatis tangan ka tarikin
Bamata talinga di mana-mana
Mandau di pinggang tumbak di tangan
Bahulu sumpitan damak baracun
Baisim pirunduk parikit hati
Saganap kampung mamatri janji
Bahu mambahu maharagu tanah banyu

Bapuput sumangat sambung nyawa
Mancucul api halalang karing
Mandidih darah kawan barunding
Dalas hangit tatinggal tambingkar
Manyarang benteng Pulau Tatas
Manyanggul kapal bakantan kapir
Karam tinggalam di Balandean
Gigir-gampar kapal Bargas
Di muhara Sungai Badandan
Amuk Dayak panyayat hirang
Mandau bakilat sasambar maut
Pisang rabah basambur darah
Api sindawa pistul mariam
Mamacah kahinipan malam badarah

Kalu napsu kada diharagu
Ibarat langit laut lapas
Silau tapandang pancar dunia
Kula sadarah sakaturunan
Manggunting kain dalam lipatan
Papatin Wangkang dipadahakan
Kaalah panjajah laknatullah

Rahat batampur di benteng sasar
Pilur amas umpat bapandir
Maambil darah satitik di matahagi
Asa tacabut urat tulang
Malakal maut manuntut janji
Babantal ambul amal ibadah
Sambil takarinyum lihum dikulum
Tulak balapas ka alam barjah


Rahman Rijani
Mahayabang
                        (sagan Lita)

Duduk taungut di palataran
Maitihi bulan nang bagantung
Hanyut, asa dinyanyiakan jangkrik wan sawak-sawak
Batandik-tandik basasahutan wan si burung buak:

Pak pak bung...
Bunyi babun ditapak dimainakan
Diiringi bunyi agung nang manggaung
Sarun wan kanung ning nang ning nung

Ulun marasa himung
Wayah kita badua diusung
Hibak urang mahurung
Buhan pamantulan umpat turun
Panggipangan bakuliling maigalakan kuda purun
Di usungan kita diigalakan disanjung-sanjung
Ini sudah adat bapangantinan di kampung
(Sakalinya samuaan nitu wara hayabang...)

Ding...
Mun hayabang jadi kanyataan
Pian wan ulun bapingkut tangan
Duduk batatai bapidudukan
Karasmin banua tatap kita gaduhakan...


Zurriyati Rosyidah
Marasnya Bumiku

Kabut baisukan ngini mahinyik awak-awak liar bubuhan kananakan dalam hutan

Kabut baisukan ngini mahinyik awak-awak liar bubuhan alalang bilut nang bataduh di bawah matahari,

sakalinya matahari sudah pina mambarangat wayah tangah hari

buntut alalang kaya kalayangan pagat, layu manguning dihurung siput japang

punai di atas dahan parau bakuciak, kapulingaan abut mancarii sarang
akayah, alayung baaduh sambil bacarian pina kasunyian, kakawalan sakampung bahamburan
tapaksa mahirup banyu peceran

sampiankah nang hakun manimbaakan sumur di tangah harungan umpama karing sumur di pahumaan

itihi pang sakalumpuk kananakan nang tuhuk mamagut andayang di tangah batang-batangnya
nang hambur kaut umpama mayit kada bangaran, tagalam inya masih mambari maras gasan dunia nang mangulibi

pucuk-pucuk dalam ketiak saitu-saini takutan mamburu rakun nang magin pucat, tagal harta nang tasisa tinggal salambar daun lawan akar babungkus kasupanan

umai dangsanak... jangan kada semperaka batata hidup, batis siapa nang kawa balingkang di
rumah hibak paku batilantang, halilipan bairingan, anai-anai bajogetan

            rahat matahari pina bapaluhan

            aku badadas mahancap ilalang nang bukah maninggalakan padang



6 Cerita Pendek Terbaik
Manampi, Mangikihi, Mamutiki:
Semacam Pertanggungjawaban Dewan Juri

            Agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, entah mengapa, Panitia Aruh Sastra Kalsel VII Tahun 2010 yang kali ini dilaksanakan di Kabupaten Tabalong telah menentukan tema “Saraba Kawa”: Menjunjung Kesenian, Bahasa, dan Sastra Daerah sebagai spirit dalam pelaksanaan even temu-sastra tahunan di Banua Banjar ini. Padahal, sudah enam kali putaran pelaksanaan Aruh Sastra Kalsel (2004-2009) selalu mengusung tema yang boleh dikata “agak asing” — sebutlah dalam konteks keindonesiaan yang universal, kendati persoalan lokalitas tetap menjadi perhatian dan asas bersama.
            Bagi kalangan sastrawan-budayawan Banjar yang idealis, perkembangan baru (yang sesungguhnya tidak benar-benar baru) dalam Aruh Sastra ini tentunya sangat menggembirakan, setidaknya dapat dimaknai sebagai even untuk bernostalgia-ria. Sebab, sebagai wujud apresiasi, di bawah payung tema besar tersebut panitia memang menggelar beberapa cabang lomba kesastraan dengan sastra daerah (Banjar) sebagai jantungnya. Maka, muncullah cabang-cabang lomba cipta puisi, mengarang cerpen, basyair, dan madihin yang semuanya berbasis pada kreativitas olah bahasa dan sastra (daerah) Banjar.
            Dari keempat cabang lomba tersebut, catatan singkat ini hanya akan difokuskan pada cabang Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar. Hal ini sesuai dengan kapasitas kami bertiga yang oleh panitia telah diberi mandat dan tugas khusus sebagai Dewan Juri untuk cabang lomba yang satu ini.
***
            Dalam sastra Banjar, cerpen (selanjutnya secara alih-alih disebut kisdap; bentuk singkat dari kisah handap; sepadan dengan makna kata Inggris, short story) merupakan salah satu genre sastra modern yang secara historis diperkirakan baru muncul di sekitar awal dekade 70-an. Akan tetapi, sejauh data yang dapat kami lacak, tradisi lomba penulisan kisdap sendiri baru dimulai pada paro dekade 80-an dengan digelarnya Sayembara Penulisan Cerpen Bahasa Banjar oleh Himpunan Sastrawan Indonesia Kalimantan Selatan (HIMSI Kalsel) pada tahun 1985. Sayembara penulisan kisdap pertama ini kemudian disusul dengan beberapa even lanjutan, kendati tidak teragendakan secara tetap (misalnya sebagai lomba tahunan).
            Setidaknya, sebelum even Aruh Sastra Kalsel VII ini, ada empat kali lagi pelaksanaan lomba serupa: Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan (1993), Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Dewan Kesenian Kalimantan Selatan (1999), Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Provinsi Kalimantan Selatan (2007), dan Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar oleh Disporabudpar Provinsi Kalimantan Selatan (2008).
            Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa even lomba penulisan kisdap sesungguhnya bukan lagi sesuatu yang baru dalam tradisi penulisan sastra Banjar modern. Selain itu, kreativitas penulisan kisdap juga pernah didorong dan didukung oleh lima kali pelaksanaan Lomba Baca Cerpen Bahasa Banjar oleh Radio Nirwana Banjarmasin (1988-1992) yang mau tidak mau tentu akan menuntut tersedianya beberapa naskah kisdap sebagai materi lomba. Kemudian, sebagai pemantik lainnya dalam rangka terus menumbuhsuburkan kreativitas penulisan kisdap adalah kesediaan Radar Banjarmasin yang selama bertahun-tahun telah memberikan ruang cukup leluasa untuk pemuatan karya-karya kisdap baru melalui rubrik “Cakrawala Sastra & Budaya” (bersama-sama dengan karya sastra berbahasa Indonesia) sejak tahun 2003 melewat. Dengan kata lain, kendati tidak sebagaimana cerpen Indonesia yang bernasib lebih mujur, tradisi penulisan kisdap boleh dikata cukup menggembirakan. Akan tetapi, pada kenyataannya, tradisi penulisan kisdap selama ini masih saja bercorak “sastra dalam rangka” (ya, dalam rangka lomba itulah!).
***
            Dalam Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalsel VII kali ini, pihak panitia telah menerima 67 naskah kisdap dari 54 pengarang (cerpenis; boleh disebut kisdapis?). Menurut pengamatan Y.S. Agus Suseno — ketika membandingkannya dengan dua kali lomba penulisan sebelumnya (2007, 2008) — secara kuantititas jumlah tersebut menunjukkan terjadinya penurunan. Namun, bagaimanapun, sebagai sastra daerah yang kehidupannya selalu saja “bagai kerakap tumbuh di batu”, hal ini tentunya tetap patut kita syukuri. Sebab, hal yang sama bahkan juga dirasakan oleh para pendukung sastra Jawa dan sastra Sunda yang dari aspek kesejarahan dan eksistensinya jauh lebih mumpuni dibandingkan dengan sastra Banjar.
            Sebagai Dewan Juri, kami sangat menyadari bahwa pada saatnya kami tidak akan punya pilihan lain kecuali harus bertindak dan memerankan diri sebagai “kritikus sastra paling otoriter” di dunia ini karena dari sekian naskah yang masuk kami mesti menentukan beberapa naskah saja sebagai pemenang. Oleh karena itulah, guna mengurangi “rasa berdosa” terhadap para pengarang maupun masyarakat sastra Banjar pada umumnya, dalam proses penyeleksian naskah kami mencoba mengenakan kriteria tertentu sebagai rambu-rambu kerja. Dalam hal ini, kami telah bersepakat pada definisi sastra Banjar yang pernah dirumuskan Jamal T. Suryanata dalam beberapa esainya, antara lain pernah dimuat dalam buku Sastra Banjar Kontekstual (2006). Dengan demikian, sebagai kriteria lapis pertama adalah aspek bahasanya (definisi normatif), sedangkan integritas unsur bentuk dan isinya akan menjadi kriteria lapis kedua (definisi ideal).
            Berdasarkan kriteria pertama, kami telah menemukan sekian banyak naskah yang kurang memenuhi syarat untuk disebut kisdap (baca: cerpen berbahasa Banjar). Sebab, banyak di antara pengarang yang terjebak pada tradisi “penerjemahan” naskah cerpen (berbahasa) Indonesia ke dalam bahasa Banjar atau minimal mereka menulis dengan pola pikir bahasa Indonesia. Hal ini sangat kentara dari aspek penggunaan kosakata (terutama dalam kata bentukan; derivasi) maupun struktur kalimatnya.
            Kekeliruan yang paling banyak dilakukan pengarang adalah dalam proses afiksasi (pengimbuhan), antara lain pada penggunaan prefiks (awalan) me- (misalnya dalam kata mengaji), be- (misalnya dalam kata beimbai), dan ke- (misalnya dalam kata kesugihan) —kadang-kadang juga berlaku untuk bentuk preposisi (kata depan) ke (misalnya dalam kata ke pahumaan). Kekeliruan ini terjadi karena pengarang cenderung menyamakan saja antara kaidah bahasa Banjar dengan bahasa Indonesia. Padahal, dalam kaidah bahasa Banjar (dialek Banjar Hulu maupun Banjar Kuala) tidak dikenal prefiks me-, be-, ke-, atau preposisi ke (bentuk yang benar adalah mangaji, baimbai, kasugihan, dan ka pahumaan).
            Dari 67 naskah kisdap yang masuk, setelah diseleksi berdasarkan kriteria pertama, hanya sekitar dua puluhan naskah yang kami anggap layak untuk dimasukkan dalam karya-karya yang akan diseleksi dengan mengenakan kriteria kedua. Proses seleksi dalam level kedua ini tentunya akan lebih rumit karena di samping menuntut pembacaan yang lebih cermat dalam usaha menangkap kesegaran dan orisinalitas gagasan, secara kontinu aspek bahasa tetap harus menjadi perhatian pula.
            Dari segi bentuk, hal pertama yang kami lakukan (sekaligus sebagai “pisau bedah” penyeleksian) adalah dengan mengembalikan karya pada konsep kisdap (short story; cerita pendek) sebagai salah satu genre sastra modern. Dari sini, jika ingin dipilah-pilah, setidaknya ada tiga corak atau teknik bercerita yang dapat kami simpulkan. Pertama, kelompok naskah yang bercorak cerita klasik (antara lain ditandai dengan kalimat pembuka seperti “Di kampung Kulipak Tungkul hidup Nini Randa lawan cucunya nang bangaran Ambayau” atau yang sejenisnya). Kedua, kelompok naskah yang bercorak cerita rakyat tradisional sejenis “Si Palui” atau “Si Surawin” (jenis ini ditandai dengan dominannya aspek humor dan kejenakaan). Ketiga, kelompok naskah yang benar-benar bercorak cerita modern (antara lain ditandai dengan keseriusan pengarang dalam mengolah tema, gagasan, konfliks, juga bertolak dari realitas hidup masyarakat, dan bersandar pada “teori” penulisan sastra modern seperti dalam penerapan bentuk sorot balik).
            Dari ketiga corak tersebut, tentunya kelompok yang terakhirlah yang paling representatif sebagai karya sastra Banjar modern (baca: kisdap). Maka, karya-karya jenis inilah yang kemudian kami tentukan sebagai nomanasi 10 besar. Akan tetapi, kami pun harus terus bertarung argumen karena pada akhirnya terpaksa harus menentukan 6 naskah sebagai pemenang utama.
***
            Alhasil, dengan mengenakan kriteria ideal, sampailah kami pada putusan yang paling dilematis dan sangat menggelisahkan. Sebab, menentukan naskah terbaik dari sekian naskah yang baik tentulah bukan perkara yang mudah. Namun, hal itu (baca: tugas yang sangat otoriter itu) tetap harus kami lakukan. Maka, secara runtut dapat kami sebutkan, naskah-naskah yang terpilih sebagai pemenang dari urutan pertama sampai dengan urutan keenam adalah kisdap bertajuk ”Tagaian” (Juara I, karya Erika Adriani, Kota Banjarmasin), ”Bapintaan” (Juara II, karya M. Fuad Rahman, Kabupaten Hulu Sungai Tengah), ”Kada Tamakan Habar Lagi” (Juara III, karya Komariah Widyastuti, Kabupaten Barito Kuala), ”Manggantang Sayang” (Juara Harapan I, karya Muhammad Rifqi, Kabupaten Hulu Sungai Tengah), ”Kada Bakasudahan” (Juara Harapan II, karya Nur Hidayah, Kabupaten Barito Kuala), dan ”Jujuran” (Juara Harapan III, karya Hatmiati Masy’ud, Kabupaten Hulu Sungai Utara).
            Kisdap bertajuk “Tagaian” telah mengungguli 66 kisdap lainnya karena dari aspek bentuk maupun isinya memang relatif tak tertandingi. Di samping penggunaan bahasa Banjar (dialek Hulu)-nya yang terasa sangat kental, juga kesegaran gagasan dan pesan lokalitas masyarakat Banjar yang dikedepankan pengarangnya benar-benar mewakili konsep kisdap itu sendiri. Meski sesungguhnya “Bapintaan” memiliki potensi yang sama, tetapi dari aspek gagasan dan lokalitas kebanjarannya agaknya tidak sekuat dalam kisdap “Tagaian”.
            Di satu pihak kata tagaian (‘tempat wudu dari bambu’ yang khas kampung dan Banjar) itu sendiri sudah cukup mewakili orisinalitas budaya tempatan, di pihak lain tradisi bapintaan (‘meminta sumbangan di pinggiran jalan’ untuk dana pembangunan atau perbaikan tempat ibadah) kini tampaknya sudah menjadi fenomena umum. Lagi pula, meski ide dan teknik ceritanya cukup memukau, tetapi pesan-pesan yang dikemukakan dalam “Bapintaan” terasa didominasi oleh nada berkhotbah. Begitulah kiranya apa yang terjadi pada empat kisdap lainnya, mereka harus rela dijejerkan pada tempatnya masing-masing sesuai dengan kekuatan dan kelemahannya masing-masing pula.
            Akhirnya, kami sangat menyadari bahwa catatan singkat ini tentulah tidak memadai sebagai bentuk pertanggungjawaban Dewan Juri, di samping juga tidak mampu mewakili seluruh pikiran kami yang terus berkembang selama proses pembacaan dan diskusi hangat menjelang detik-detik penentuan terakhir. Maka, anggaplah catatan ini sekadar memperlihatkan sebagian cara kerja kami ketika harus manampi, mangikihi, dan mamutiki (bigi-bigi intan di sasala pasir putih nang tagasnya pina manyahirip jua). Demikianlah, tak ada gading yang tak retak, tak ada gading yang tak retak! (Jamal T. Suryanata, Aliman Syahrani, Nailiya Nikmah JKF)

Banjarmasin, September 2010


Tagaian[7]
Erika Adriani

            Ari parak sanja. Linut dalam katungkang sudah babunyi. Tiga ikung tupai badadas bulik ka sarang di sasala palapah-palapah hanau. Burung kasisikat wan tinjau badadahuluan barabut katinggiran di dahan manggis, manyampuk malam.
            Umbui Mastan bagamat mambuka lawang padangan. Batangkuluk tapih bakurung sidin mamair langkah di tanah nang jijip mantuk hujan baisukan, baampah ka sumur parak rapun buluh, bangsa sapuluh dapa kalu jauhnya pada buncu padangan. Hampai di parak sumur sidin mamaraki tagaian di bawah kanaungan batang langsat. Lalu sidin malapas tangkuluk, manyangkutakannya di papatahan anak balimbing. Imbah itu dicabut sidin sumpal tagaian, balalu banyu nang ada di dalam tagaian mancarurut kaluar. Umbui Mastan baair, handak bamagrib.
            Saban kalian baair di tagaian Umbui Mastan rahat kaganangan lawan Masdar, cucu nang madam jauh ka banua urang. Sudah hitungan parak talu tahun Masdar kadada jua bangsul. Ujar ti tulak ka Malaysia, umpat bagawi di parkabunan kalapa sawit.
            Tuntung baair Umbui Mastan naik ka rumah sambil mangancing lawang padangan. Kada sahapa tadangar bunyi katuk wan dauh nang dicatuk Julak Dalau di langgar.
      
***
            Masdar taungut di palatar bakalubut tapih. Dingin baisukan maulah inya kulir mancari daun rumbia. Dalam hatinya, hatap ulahan samalam banyak haja lagi nang balum bajamur.  Napang, kaya apa handak manjamur amun muha ari maram haja bahaharianan. Baparai ha dahulu mahambit, garunum hatinya.
            Baisukan sasain batarang. Ari kalihatan pina baik, artinya kadada inguh handak hujan. Tupai kaluncatan kaluar pada sarang. Burung kasisikat wan tinjau balalajuan tarabang lalu maniruk ampah ka bawah rapun raman, wadah pambahiraan Masdar.
            “Sudah ka warung ah, Mas,” tagur Umbui Mastan tumatan higa rumah.
            “Balum. Dika hajalah nang ka warung, ulun bakirim lapat dua pundut. Ulun handak mangganti tagaian,” ujar Masdar sambil tangannya mancaluk sasala kupiah mangaluarakan salambar ribuan, lalu diunjuknya ka paniniannya tuti.
            Pina banyak ai hari ini nang mawarung, rawa hati Masdar. Napang, dilihatnya pina jurut-jurutan urang baampah ka warung Acil Minah di subarang langgar.
            Kaya tuti pang saban baisukan di kampung Masdar. Bila baisukan urang kada tapi kipuh baharaguan di rumah. Asal ada duitnya ha, ka warung tuti pang lacitnya. Handak ka baruh, handak tulak manurih, handak tulak maunjun, handak tulak sakulah, bahanu ada jua pagawai nang handak ka kantur, pasti ha basinggah dahulu ka warung. Maka kada samata baisukan haja urang mawarung, kamarian wan malam iya jua. 
            Dasar adat di kampung Masdar nang kaya itu ti. Daham hiran.
            Turun pada palatar Masdar mandahut parang bungkul lawan pahat nang basangkit di tawing padangan, lalu inya bagagas ampah ka rapun buluh parak sumur. Ditabangnya buluh sarapun nang pina baik wan sadang ganalnya. Imbah dihitungnya tikas tujuh ruas lalu ditataknya hujung mahujung. Diambilnya bilah kayu kamuning nang basadai di batang pisang, kira-kira panjang tiga dapa wan ganalnya sapagalangan kakanakan. Lalu dirujak-rujaknya tunggal butingan buku-buku ruas di dalam buluh hampai batatambusan luangnya. Imbah itu ditabuknya lawan pahat ruas buluh nang tibak ka hujung, hampai baluang. Halus haja luangnya, taganal sadikit pada ukuran sabilah ruku. 
            Maulah tagaian tuti sama banar lawan nang masi urang maulah laladuman. Tagasnya gin sama. Amun laladuman diisii minyak gas, tagaian diisii banyu. Wan di hujung buluh subalahnya, ditarah saparu supaya baluang, sadikit bakincung. Itu haja bidanya. 
            “Mas, nginum dahulu. Nih, kuandak di muhara lawang, lah. Lapat ada di pipiringan. Aku handak ka baruh satumat malihati lacakan,” ujar Umbui Mastan mandarihing di muhara lawang padangan.
            Masdar maiihakan sambil manyahan tagaian nang hanyar diulah.
            Digantinya tagaian nang lawas, nang hudah balumut wan hujung mahujungnya hudah rangat. Lalu diandaknya tagaian nang hanyar diulah di atas cakang dua tunggul kayu jambu nang kada sama tingginya. Di tibak nang tatinggi hagan andakan hujung tagaian nang batarah saparu, lalu di tibak tarandah hagan andakan hujung tagaian nang ada luangnya. Jadi andakan tagaian tuti bamiring sadikit. 
            Masdar mambibit imbir upih batali haduk nang basangkut di papatahan palapah anak nyiur gading. Dicibuknya banyu di sumur. Haning banar banyunya wan ganyam. Lalu dituangnya ka dalam tagaian jalan luang tarahan nang baandak di atas cakang tibak nang tatinggi. Kada sahapa tadangar bunyi manggalalak dalam tagaian, bunyi banyu nang mandusur ampah ka hujung nang ada luang halus basumpal bilah kayu. Amun bilah kayu susumpal luang tagaian dicabut, maka mancuraratlah banyu kaluar. Masdar mamacul kupiah, disangkutakannya di cakang tunggul tagaian. Lalu inya baair, mahadang luhur.
            Tagaian, paninggalan urang bahari nang pagun dipakai di kampung Masdar. Saban buahan rumah baisian tagaian. Ada nang baandak di parak sumur, ada di padangan, ada jua nang di higa watun di halaman. Pindik kata, tagaian baguna banar di kampung Masdar. Hagan baair, hagan batimpungas, hagan mambasuh batis, hagan mamandii kakanakan, hagan mambasuh piring wan cangkir, banyak ai lagi kagunaannya. Tapi nang ianya tagaian banyak dipakai hagan baair. Jadi, baisian tagaian manandaakan urang nang ampun rumah panyambihiyang. 
            Siang bagamat bakisut bamasuk ka muhara malam. Kada tarasa tunggal dikitan kadap mamulun alam samista.
            “Ning,” ujar Masdar imbah tuntung bamagrib. Dilikitnya lampu samprung lalu diandaknya di tatangah paharuangan rumah.
            “Napang,” ujar Umbui Mastan, Niningnya Masdar, manyahuti sambil manggulung sajadah.
            “Anu, Ning ai, ada nang handak dipandirakan.”
            “Napang ti, Mas.”
            Umbui Mastan duduk batalimpuh di hadapan cucunya. Sidin asa kada nyaman hati. Masdar pina kaya urang mambuang parangai. Kada nang kaya biasanya.
            “Anu, Ning ai. Ulun ni handak tulak, umpat Abahnya Masnah. Udin anak Makacil Inur umpat jua. Cagaran ti hari Arba, dua hari lagi.”
            “Kamanang, jauh hah?”
            “Iyih, jauh. Umpat rumbungan TKI ka Malaysia.”
            Umbui Mastan takijat, kaya nang mandangar patir. Hati sidin mangguruh balalu.
            “Ubui yalah, kanapang ti ikam. Kadada gawian lagi ah di banua niti jadi handak tulak ka Malaysia, kajajauhan. Napang nang digawi di situ ti. Balawaslah.”
            “Kada tahu lagi Ning ai, pacang balawas ah atau kada. Ujar Abahnya Masnah ti bagawi di parkabunan kalapa sawit, dikuntrak talu tahun,” ujar Masdar maarit sisigan.
            Umbui Mastan kada kawa manahani hati. Asa rawan cagar ditinggal cucu madam. Asa maras mandangar pacucuan nang hanyar baumur pitung walas tahun handak bagawi jauh ka banua urang. Lawan siapang kaina aku di rumah amun Masdar kadada. Siapang kaina nang mahambit hagan mancukupi pakulih hari-hari. Siapang kaina nang tukang cari kumpai hagan kambing nang tatinggal saikungannya lagi. Siapang lagi jua kaina nang maharaguiakan pahumaan nang tasisa dua paju haja lagi.
            Umbui Mastan marista diri.
***
            Labih talu tahun hudah Masdar kada bangsul-bangsul. Sakali haja hingganya ah ada habarnya, itu gin malalui kisah Udin dalam surat hagan umanya. Ujar Udin dalam suratnya, Masdar kada takumpul lagi lawan inya, kada sagawian lagi, sudah baalih gawian jadi pambantu di rumah mandur parkabunan.
            Umbui Mastan kalihatan sasain batuha. Huban di kapala maruput. Bajalan gin sudah kada tapi hingkat lagi. Bagarak kamana-mana basasar dahulu lawan tungkat. Talinga sudah bakurang pandangaran, untung panjanak hawas haja lagi. Kambing sudah lawas tajual. Pahumaan tasanda, kada kawa manahuri lagi. Hagan mancukupi pakulih hari-hari sidin manarusakan gawian Masdar, mahambit. Nang tukang cariakan daun rumbia tapaksa maupahakan lawan kakanakan, upahnya ti mahadang hatap payu.
            Siang itu ti, imbah tangah hari, Umbui Mastan duduk basandar di palatar, batis bahunjuran sambil manginang. Sidin asa ngangal kalu mantuk mahambit batangah harianan.
            “Mbui! Uu, Mbui!”
            Umbui Mastan tulih kiri kanan mancarii asal suara urang mangiau.
            “Mbui, ni nah, surat Masdar!” Umanya Udin cangul tumatan lilindungan rapun pisang, lalu mangincang bajalan manukui Umbui Mastan sambil tangan tating-tating mambawa amplup surat.
            Mandisap balalu hati Umbui Mastan mandangar surat Masdar ada. Gitir-gitir tangan sidin manyambut surat nang diunjuk umanya Udin. Masdar, ubui yalah cucuku, ingat haja sakalinya lawan paninian di banua. Sangkaku ti hudah kada ingat lagi. Hati Umbui Mastan manggarunum, pina ada sadikit asa sangkal.
            Imbah umanya Udin bulik, Umbui Mastan bagamat marihit hujung amplup lalu mangaluarakan isinya, salambar kartas, handap haja tulisannya, wan salambar gambar Masdar batalu baranak.

          “Ning, apa habar dika di banua, bigas haja ah. Ulun bigas haja jua. Ulun sudah  babini, Ning ai, baisian anak saikung, lalakian, hanyar baumur anam bulan. Maap-ampun ulun Ning lah, hanyar haja nah ulun kawa mangirimi dika surat. Ulun kada sagawian lagi lawan Abahnya Masnah wan Udin di Kuantan, ulun jadi pambantu di rumahnya mandur parkabunan, jauh ampah ka Kuala Terengganu.
             Ning, tagaian bagus hajalah lagi. Kaina amun ulun kawa bulik ka banua, ulun gantiakan lawan nang hanyar.
             Ning, ulun kaina ada mangirimi dika duit. Bakirim lawan Udin, inya lawan Abahnya Masnah handak bulikan, hudah habis kuntraknya.
             Tikas di sia haja dahulu Ning lah, kaina ada haja pulang surat ulun kirim. Ulun kaganangan banar lawan dika, Ning ai.”

            Tuntung mambaca surat Masdar, kilir-kiliran banyu mata Umbui Mastan. Dijanaki sidin gambar Masdar batalu baranak nahap-nahap. Langkar, ujar sidin mamuji dalam hati pas manjanaki bini Masdar nang mangilik anak, babaju gamis biru wan bajilbab habang anum.

***
            Pitung ari imbah manarima surat Masdar, pina uyuh Umbui Mastan. Kada kawa lagi kamana-mana. Awak asa sakitan samuaan. Sanunuh kawa bagarak ti, bakisut haja. Badiri hudah kada hingkat lagi. Umanya Udin ai nang tukang atari nasi, bahanu ti Acil Minah maunjuki wadai. Turun baair ka tagaian wan mahambit hudah kada kawa lagi jua.  Nangapang ada, lapah duduk manginang, bagaling sidin.
            Udin wan Abahnya Masnah datangan, kuntrak bagawi di parkabunan kalapa sawit di Kuantan, Malaysia, sudah habis.
            Siang balum tangah hari. Hawa kampung tarasa humap, padahal hindau matahari kada tapi panas. Burung bilatuk lituk-lituk babunyi mamatuki batang nyiur karing. Handak hujan kalu pinanya nih, ujar Udin bapandir saurangan dalam hati sambil bajalan mailangi Umbui Mastan salajur handak maunjuk duit kiriman Masdar wan mambawaakan satangah tangkup nasi, gangan rabung sapipiringan wan iwak pada basanga sahiris, kiriman umanya.
            Umbui Mastan sasain uyuh. Baduduk banar ham lagi hingganya ah. Nang ngarannya sayang banar lawan cucu, Umbui Mastan sambil manangis batakun lawan Udin kanapa Masdar kada kawa datang. “Dandaman banar hudah aku, Din ai,” ujar sidin basisigan.
            “Aur banar kalu inya, Ning ai, jadi kada kawa bulik,” ujar Udin lakun tahu. “Ayuha, Ning ai, isuk ulun kirimi surat mahabarakan dika garing, kalu tagarak jua hatinya handak bulik,” Udin mambari pangharapan lawan Umbui Mastan.
            Sasar sahari Umbui Mastan sasain bauyuh, kada kawa lagi bapuat. Makan gin kada tapi mau lagi. Udin nang marasa bakawan rakat lawan Masdar, sudah maanggap Umbui Mastan nang kaya paniniannya jua. Satumbangan datang bagawi di Malaysia, Udin rahat mailangi Umbui Mastan, wayah-wayah ti mamalami. Pas sidin nang pina uyuh banar niti, Udin ham nang maharagu siang malam, bahanu ti umanya mandangani.
            Dihadang-hadang, kadada jua Masdar datang. Surat nang dikirim Udin kadada jua buriniknya. Urang takun-takunan ai, kanapang Masdar jadi nang kaya itu ti. Mambuang banar lawan banua saurang. Nang manyakitakan hati ti, imbah sudah bisa bacari saurang, sudah pina baduit, bini langkar, balalu ha kada tatahu lagi lawan paninian.
            Durhaka ngarannya kaya itu ti. Sudah marasa nyaman kada ingat lagi lawan nang mahuan tumat halus, ujar urang di kampung kalambisikan.
            Hampai waktunya, kuasa Allah jua nang manantuakan. Umbui Mastan maninggal, siang Jumahat pas urang handak ka masigitan, ganap baumur dalapan puluh dua tahun. Udin nang balantak siang malam batunggu, manangis. Badadas inya mahabari umanya wan urang-urang di kampung, lalu bukah pulang babulik ka rumah Umbui Mastan. Pas handak mangganti bantal Umbui Mastan, kada singhaja tangan Udin tahahari kadut kain hirang di bawah bantal, isinya duit lima ratus ribu rupiah. Kada salah lagi pang, duit lima ratus ribu niti duit kiriman Masdar, garunum Udin marasa yakin.
            Kamatian Umbui Mastan jadi pamandiran urang di kampung. Banyak nang maras lawan sidin. Satumbangan uyuh hampai habis umur, kadada sakali-kali Masdar datang bajanguk. Itu ti nang banyak dikuya urang. Talanjur purun banar Masdar, mambuang banar ka paninian.
            Umbui Mastan dikubur kada jauh pada higa rumah, di bawah kanaungan rapun nangka, batatai lawan kubur Uma-Abahnya Masdar.

***

            Tumatan subuh hampai baisukan hujan labat kada sing rantian mangubui kampung Sungai Tuha. Ari pina mangadap. Angin ribut. Bahanu guntur gagalugur, bunyinya nang kaya handak manggulung bumi. Hujan mandasau-dasau mambilas dadaunan. Dingin.
            Di tatangah hujan labat, di kartak baaspal nang manjalujur pinggir kampung, talihat urang dua laki-bini bajalan ampah ka darat. Nang laki mancakuti payung wan tas, nang bini bakilikan anak.
            “Assalamu’alaikum,” ujar nang laki mambari salam imbah naik ka palatar rumah nang dituju.  “Ning! Uu, Ning!” Ujarnya pulang sambil mangatuk lawang.
            “Wa’alaikum salam,” sahut nang di dalam rumah. Lalu mambuka ka lawang.
            Nang mambukai lawang wan nang dibukai bacangangan satumat.
            “Udin ah?” ujar nang dibukai. “Mana Nining, Din?”
            Nang mambukai lawang, Udin, manarangak. Asa parcaya wan kada.
            “Masdar ah?”
            Balalu Udin manarik pagalangan tangan Masdar masuk ka dalam rumah, nang bini  mairingi. Hujan di luar bamula taduh. Udin kada manyangka Masdar ayungannya datang jua. Masdar gin kada manyangka nang mambukai lawang sakalinya Udin. Kanapa Udin ada di rumah Nining, kamana sidin? Hati Masdar batatangguh.      
            “Kamanang Nining, Din?” Masdar batakun pulang imbah bajanguk ka padangan.
            Udin tumatan tadi kada kawa manyahut. Handak ai manyahut tapi kada taucap, muntung nang kaya disumpal. Lalu inya mambawai Masdar wan nang bini dudukan di padangan balapik tikar purun. Nang anak digalingakan di higa awak balapik lilipatan tapih bahalai. Udin batakun kanapa hanyar haja datang, sudah ditarima ah surat nang dikirim batatangah bulan lalu. Masdar mangaku hanyar haja manarima. Imbah itu ti dikisahakan Udin ai.
            Masdar magahuk imbah mandangar Udin bakisah. Lalu inya bagagas bukah ampah ka bawah rapun nangka di higa rumah, talukup balaluan di atas kubur Umbui Mastan. Asa manyasal kada sakira manguracak hatinya.
            “Umai alah, Ning, dika. Ampuni banar ulun, Ning ai. Ulun durhaka lawan dika, ampuni ulun.”
            Masdar magahuk banar sambil maragap tanah kubur Umbui Mastan. Imbah itu talukup pulang di tanah kubur di subalahnya, kubur Uma-Abahnya nang maninggal diranjah mutur trak haratan basapida bulik batanam anak banih di baruh, wayah Masdar hanyar baumur sambilan tahun.
            Malihat Masdar nang kaya itu, barubuian jua banyu mata nang bini. Udin nang kaya itu jua, umpat kada tahan hati. Umpat marasaakan padihnya kanyataan nang manyayat batin Masdar.
            Hujan tasisa baribisan. Udin mahabari umanya mamadahakan Masdar datang lawan anak-bini. Habar Masdar datang mambawa anak-bini maulah urang jurut-jurutan handak malihat. Langkar banar sakalinya, ujar urang kalambisikan imbah malihat bini Masdar nang bajilbab hijau tuha. Hidung mancung, katurunan Arab kalu, ujar nang lain. Nang anak muntak banar, lalakian, parak satahun umurnya. 
            Manyampuk magrib, imbah kadada lagi urang bailang, Masdar turun baair ka tagaian parak sumur di balakang rumah. Dijanakinya sakulilingan, kada banyak nang baubah. Dijanakinya jua tagaian ulahannya nang ditinggal madam talu tahun. Tabayang balaluan muha paniniannya, Umbui Mastan. Rawan jadinya hati Masdar, lalu tapancar banyu matanya.  
            Tuntung maimami sambihiyang magrib bajamaah lawan bininya wan Udin, Masdar baucap kada lagi babulik ka Malaysia. Inya handak bagana di banua haja.
            “Aku handak bagana di sia haja, di banua saurang. Barang ai, mambuka usaha nangapakah, cagaran ti handak mambuka kikiusan,” ujar Masdar.      
            “Iyih. Hujan amas di banua urang, hujan batu di banua saurang. Nyaman bagana di banua saurang jua ayungannya,” Udin lakun baparibahasa manyahut.
            Isuknya, Masdar maulah tagaian hagan diandak di padangan. Supaya nang bini kada ngalih turun naik baair.

         Banjarmasin, 25 Juli 2010


Bapintaan[8]
M. Fuad Rahman

            Langit mangadap, maram tumat baisukan tadi. Kada jua sing hujanan, ada jua pang rintik banyu siang ti, babaya ada sakadar malapai, cakada ada rakun putih nang kalihatan batampai. Kartak pinda kada sunyi jua wan sapidamutur nang lalu. Apalagi buhan kakanakan wayah ini magin kada tahu dibasa, sing lajuan mambukahakan sapida mutur kaya kahahantuan haja lagi. Kada ingat pada kuitan basanda pahumaan jadi kawa manukarakan sapida mutur. Itu gin mangaridit ha pulang.
            Si Mahran balimbai ampah ka warung Julak Ibas, inya bulik tumat di langgar. Hintadi ada rapat pangurus langgar, ujar Julak Ibas ti pahadring. Si Mahran ni bujur anum tagal tamasuk pangurusnya jua, kada awaknya nang kurus kaya papan satampik pang, tapi tamasuk panitia langgar, makanya umpat hadir wayah rapat.
Rapat tuti nang iyanya ti mamandirakan masalah mambaiki langgar kampung nang sasain hari sasain pinda handak runtuh. Maklum ai, manajak haja tumatan aruah pa-kai-annya si Mahran masih anum. Jadi bilang mamitung puluh tahun jua hudah. Nang ada ni gin langgarnya bilang sudah barapa kali baganti hatap nang rahat miris, mangganti tawing nang pinda bungkas marga papannya japuk. Balum lagi lantai nang bilang mahadang umur haja lagi. Napang, amunnya buhan pacucuan Haji Salman babukahan, bah! Baganangan tupang nang tuhanya. Kalu pinda tabarusuk, bahujung batatamba banar ai kaina.
Talu hari badahulu Guru Duan hudah basaruan cagar pahadring masalah mambaiki langgar niti. Nah, hari ini ti rapatnya, nang si Mahran umpat bahadir jua. Kapuputingannya, diputusakan langgar cagar dibaiki bakurinah. Sabukuan cagar dibungkar, diulah kaya langgar kampung subalah nang sudah tadahulu digawi tumat tahun samalam. Nang kada sing tuntungan jua sabab diganti wan langgar nang basamin. Dimapa handak tuntung lakas amun kababanyakan duitnya.
Buhan Guru Duan lawan pangurus nang lain sapakat marumbak sabukuan, diputusakan jua masalah pancarian dana gasan mambangun langgar niti diadaakan warung saprah amal lawan jua bapintaan di jalan. Malihat nang ada-ada tu pang damintu jua cara bacari duitnya.
Babulik kita ka warung Julak Ibas ti pulang. Rupanya di warung Julak Ibas tuti buhan nang tuhanya kabalujuran takumpulan. Paul-paulan kukus ruku bilang kaya kanalput kabanyakan uli. Napang bilang sabaratan baruku, maka sambung puting ha pulang. 
“Nah, pas banar si Mahran datang nah…,ujar Pakacil Samad babaya malihat Mahran balarut ampah ka warung.
“Napang ti, Pakacil, amun ulun datang niti?” ujar Mahran manyahuti. “Julak, ulun kupi haja, gulanya jangan hibak!” Mahran manyambung salajur batampah kupi wan Julak Ibas sambil maandak burit di babangku paring warung hidin.
“Amun hibak dimapa maharunya, Tuh?” Julak Ibas bagaya jua. Balalu kalikikan ha  hidin tatawa saurangan sambil manampaiakan gigi nang hirang marga hajin banar maisap ruku karitik.
“Masalah langgar kita ti, Ran ai. Dimapa jua manurut ikam? Ikam nang anum nih, dimapa kira-kira?” Pakacil Samad manyahuti sambil malikit ruku pulang nang hanyar haja habis.
“Napa pulang, Pakacil, maka tadi sudah kita pandirakan barataan wayah rapat ti? Amun sapakat haja cagar dibabak sabukuan, ulun akur haja. Bubungannya dasar pinda miris banyu hudah, baluang-luang karancilangan, lantainya pinda garatakan jua, ada nang rungkang parak paimaman. Tawingnya ti hudahnya. Bilang kada kawa dikisahakan lagi…”
“Lamun masalah dibaiki lawan dibabak sabukuan ti, aku akur haja jua. Nang jadi pungkala niti dimapa mancariakan duitnya, maulah langgar hanyar tu cakada sasadikit duit kalu…?!” Pakacil Samad baucap pinda karas sadikit.
“Banaran jar Samad tu, Tuh ai. Kami nang tuha niti handak jua mandangar pandapat ikam nang anum, nang lawas madam ka banua urang. Kaluham lakun ada nang pinda patut pariannya,” Kai Gayan manyambung umpat bapandir. “Kuitihi ikam wayah rapat ti kada sing bunyian, nang kaya ada nang handak diucapakan tagal baranai haja. Kaluham asa ngalih bapandir wayah ada Guru Duan, niti tampulu di warung nah, dimapa?”
Si Mahran unggut-unggut sambil lihum bapair. Wayah rapat hintadi inya dasar kada sing bunyian. Kalupang umpat mausul napakah, kada jua ham. Baranai pang. Inya tuti padahal diharapakan banar kawa umpat mambuka pandir. Napang nang tuhanya  maumpatakan inya jadi pangurus langgar marga lakun anggaran ada jua pancarahan nang taanum. Sakalinya, babaya disaru kada sing bunyian kaya siput dipais. Han, dimapa?
Maambil si Mahran ka cangkir kupi hirang tampahannya hintadi. Dihirupnya hulu sahirupan dua. Hanyar inya manyahuti pandir buhan Pakacil Samad.
“Amun masalah mancariakan duitnya, ulun ti amun manantang buhan nang tuhanya ti kada pang…”
“Dimapa maksud ikam, Ran?” ujar Haji Sani nang hanyar datang ka warung.
“Maksud ulun tu, nang masalah bapintaan di pinggir jalan tu nah, ulun kada satuju!” Mahran manjawab.
Balalu takajutan ai buhan Pakacil Samad mandangar pandir si Mahran nang bapadah kada katuju amun cagar bacari duit bapintaan di jalan. Garunuman balaluan di warung kada kakaruan mandangar pandiran Mahran. Kabalujuran ari pinda makin bakaraut ampah ka sanja, kada lawas kadangaran urang maayat, kada barapa lagi tu, cagar babunyi dauh magrib.           Ada Mahran ti, malihat nang tuhanya garunuman kada kakaruan, balalu handak bulik ai inya. Napang, kalu pang ada nang batakun baastilah alasannya nangapa jadi kada katuju. Kadada jua ham. Nang ada garunuman…
Imbah ditahurinya haraga kupi lawan wadai cincin kanu Julak Ibas, inya balinggang maampah bulik, imbah basalam ka alah buhan nang tuhanya. Maninggal bakas nang jadi pandiran bubuhan nang di warung.

***
Rupanya pandiran Mahran di warung Julak Ibas samalam sampai jua ka talinga Guru Duan. Nang ngaran Guru Duan niti cakada urang jua lawan si Mahran, ada jua kuncur jariangannya. Hidin masih basapupu dua kali wan aruah abahnya Mahran. Nang ngaran masih kamanakan, balalu kada nyaman ai hidin mandangar pandir Mahran kanu urang kampung wayah di warung. Guru Duan niti tahu habar matan Pakacil Samad nang bakurinah datang ka rumah hidin.
”Dimapa garang kisahnya, Mad?” Guru Duan mahimati batakun kanu Pakacil Samad nang basila di hadapan hidin.
Balalu dikisahakan Pakacil Samad dimapa pamandiran Mahran dua hari samalam wayah di warung Julak Ibas. Tumat pamulaan kisah dipadahakan hidin kanu Guru Duan. Hidin mandangarakan sambil babirangutan.
”Napa jadi kadamia si Mahran, samalam wayah rapat di langgar inya umpat kalu, Mad?” ujar Guru Duan batakun imbah tuntung kisah Pakacil Samad.
”Inggih, Guru ai, tagal pian tahu saurang, inya kada sing ucapan wayah rapat tu...”
Balum tuntung Pakacil Samad baucap, Guru Duan manatak pandir balaluan, ”Damhatiku ti, Mahran baranai tuti katuju haja, sapakat haja wan hasil rapat kita...”
”Tuti am, Guru ai. Ganangan ulun damintu jua. Tagal ujar Kai Gayan hidin baparasaan lain imbah malihat muha Mahran, makanya kami bakurinah batakun wayah batamuan di warung samalam tu, imbah mandangar jawaban Mahran nang kada satuju masalah bapintaan di jalan, kami balalu ai takajut, Guru ai. Nang lain garunuman ai jua.
”Imbah, nang jadi pungkala sampat takisah kanu diaku niti napa, Mad?” ujar Guru batakun pulang.
”Pian tahu saurang, nang ngaran Mahran ni tamasuk dituhaakan buhan kakanakan nang rajin duduk di gardu. Nang kami takutanakan niti kalu pinda nang lain tapangaruh pandiran Mahran. Bayanya am kita kaina kadada baurang gasan bapintaan. Nang kakaya itu nah, Guru ai, nang kami hatiakan, burusiah tapandir wan kakanakan nang lain, imbah am kita. Amun maharap nang tuhanya haja, lapah mairit kainanya, kami handak manakunakan nangapa jadi kada satuju, kabalujuran hari sanja banar sudah. Lawan jua pian tahu saurang, Mahran ni karas tumatan kakanakan. Kada hingkat dipandiri amun sudah baisi pandapat...” Pakacil Samad bapandir sambil managuk liur.
Guru Duan takintip satumat, bapikir. Kupiah jangang buruk hidin sudah pinda siwah ka kiwa. Dibujurakan hidin dahulu kupiah, hanyar baucap, “Lamun kaya itu, kaina kupandiri ha si Mahran nangini. Kaina jadi pamandiran nang kada baik di kampung, mambari maras aruah abahnya, bakas Tuan Guru pang di kampung kita niti.  Ayuha, malam ini imbah magrib padahi wan nang lain jangan bulikan hulu, kita bapandiran di langgar. Padahi jua kanu Mahran pada kita malam ini bakumpulan satumat imbah magrib.
“Kahandak ulun ti kaya naitu jua pang, Guru ai. Pian tanyaman jua bapandir wan Mahran ni, inya maasi haja lawan hampian. Amun kaya itu ulun turun haja nah, Guru ai. Assalamu'alaikum…”
“Hi-ih. Ayuha, bagimit Mad ai. 'Alaikum salam…
***
Hari sasain kakayukut ka sanja. Langit bamula bakadap. Kada lawas tadangar suara Jahrani bang di langgar. Kacangulan nang rajin tulak ka langgar. Nang banyak ti buhan kakanakan halus haja pang. Amun nang tuhanya ti kada usah dipandir gin. Jadi pinda takumpul niti marga Pakacil Samad banarai basaruan cagar ada nang handak dipandirakan masalah langgar.
Imbah tuntungan sambahyang magrib, disambung pulang sambahyang sunat. Guru Duan nang dasar dijadiakan imam kampung baduduk di muka pintang paimaman. Hidin mambuka pandir, imbah basalam.
“Samalam kita sabujurannya sudah haja mamandirakan masalah langgar kita ni nang handak dibabak, diganti wan langgar basamin. Aku kada handak bapanjang libar bapandir, jadi langsung haja. Ada habar nang sampai kanu diaku, bahwa si Mahran nang kada lain masih kamanakanku saurang kada katuju lawan cara kita bacari duit sagan mambabak langgar niti, bapintaan di jalan. Anggaran jangan jadi hual wan pamandiran nang kada baik gasan sabarataan, maka malam ini ada baiknya kita sabarataan mandangarakan pandiran Mahran lawan alasannya kanapa maka jadi kada sapandapat. Padahal inya nang diulah mangapalai kakanakan di kampung nang hakun umpat mandangani mananaiakan bakul purun di jalan atawa manjaga cilingan kaina…” Guru Duan manarik hinak dahulu, hanyar manyambung pulang pandir hidin. “Dimapa, Ran? Napa jua ti maksud ikam jadi kada satuju?
Buhan Kai Gayan lawan nang lainnya cangangan ka ampah Mahran nang duduk di subalah kiwa mahadang muntungnya banganga manyahuti tatakunan Guru Duan.
“Sambat haja, Ran ai, jadi kami-kami nang tuha ni kada basangkaan macam-macam wan ikam,ujar Haji Sani baucap badahulu pada Mahran.
“Kalu pang ikam kawa mancariakan jalan nang tapatut atawa ikam ada tabungan pariannya nang kawa diunjuk gasan mancukupi mambaiki langgar niti nah,jar Haji Dullah jua manyambungakan. Nang lain garunuman jua kada kakaruan pulang. Kaya wayah di warung Julak Ibas.
Mahran takurihing simpak mandangar sindiran buhan Haji Dullah. Kada lawas Mahran baucap jua.
“Bujur, ulun kada satuju amun kita bacari duit gasan marumbak langgar kita niti cagar bapintaan di jalan.
“Maka di lain kaya itu jua, Ran ai. Di kampung aruah Abah Guru Sakumpul, Martapura, bilang kaya itu ai jua urang,ujar Haji Sani manatak pandir Mahran.
“Bujur, Ji ai.
“Nah, amun bujur napa nang jadi masalahnya?” Haji Dullah pulang malawanakan pandir Haji Sani. Mahran hanyar sabatik bapandir, hudaham kada katangkisan pandir buhan nang tuhanya.
Nang lain unggut-unggut mandangar Haji Dullah bapandir. Rupanya Guru Duan asa kada nyaman, hidin umpat jua bapandir.
“Dimapa, Ran? Kami mahadang pandiran ikam nah,ujar Guru mancuba maranaiakan nang lain.
“Buhan pian kada ingat ah, wayah aruah Guru Sakumpul masih hidup hidin biasa mamandirakan wan Abah Hubnur, wayah itu Abah Sjahriel Darham, anggaran bapintaan di jalan tu ampih haja sudah digawi…?” Mahran manjawab pulang kisah batakun. Padahal inya tahu ai banyak nang kada tahu pada aruah Guru Sakumpul biasa kada mambariakan lagi bapintaan di jalan.
“Napa nang salah amun gasan manggawi nang baik jua, Ran?” Guru Duan batakun pulang.
“Amun salah atawa kada ti, kada wani ulun mamadahakan kaya itu, Guru ai. Ada nang ini ti, nurani ulun marasa kada pas. Kada Islami, karna agama kita kada maanjurakan umatnya jadi paminta-minta, sadikit atawa banyak, nang ngaran mainta-inta kada cagar manyupanakan kita jualah? Manyupanakan urang Islam. Marandahakan muru’ah ka-Islaman kita. Balum kaina, burusiah ada buhan babinian nang umpat jua mananaiakan bacakutan bakul purun di pinggir kartak. Baik amun bapakaian nang pas, takakana ada haja nang kada bakarudung atawa kada sampurna bapakaian. Nang kaya batuyuk di pinggir jalan tumatan Kandangan sampai ka Banjar tuh, maginnya amun parak Martapura situ, kada kahitungan nang bapintaan, maka banyak babiniannya. Takananya ada haja jua buhan kakanakan nang disuruhakan bapanas di tangah kartak. Mambari supan ada am, mana babahaya kalu pinda tagipak mutur nang lalu lalang,Mahran mancuba mamadahakan alasannya.
“Imbah pang, dimapa lagi kita bacari dana? Lamun kada damintu caranya, siapa nang hakun mambantui manutupi pangaluaran nang kada sadikit tu kaina?” Haji Sani marimbat nyaring hidin bapandir.
“Ran, ikam musti ingat jua, Baginda Rasul mamadahakan: barang siapa nang mambangun masigit atawa langgar gasan Allah, maka Allah cagaran mambangunakan istana gasan inya kaina di surga,” Guru Duan maungkai dalil.
“Bujur tu ujar Guru Duan!” Haji Dullah mambujurakan. “Kada kawa banyak, sadikit barang. Mana urang sambil lalu sambil baamal, salajur mambantui urang nang lalu jua baamal jariah. Jadi kada bakurinah banar urang bacari pahala.”
Asa lacit hati Mahran mandangar ucapan Haji Dullah, padahal hidin tamasuk nang sudah rahat naik haji ka Makkah, amun ampat lima kali ada saku hudah. Ada urang ti, aturannya tahu jua nang mana nang bujur atawa kada. Baluman lagi mandangar garunuman nang lain. Ya, Allah Maka Guru Duan maungkai dalil nang rahat dipakai urang gasan alasan bapintaan di jalan ha pulang. Makinnya ai asa lacit hati Mahran. 
Mahran manarik hinak sakira asa lapang jua maungkai pandiran pulang. Napang, bilang asa kana katiwasan banar inya ulih buhan nang tuhanya.
“Ulun ni Pakacil ai, Ji ai, Guru ai, amun handak mahual buhan pian ti kada pang…”
“Imbahnya napa jua maksud ikam ti, Ran? Amun kada ada nang cagar kawa mambantui, jangan pinda musti ha, Ran ai,” Haji Sani manatak pulang pandir Mahran.
“Hadang hulu, kita dangarakan sampai tuntung nangapa garang nang jadi kahandak Mahran,ujar Guru Duan manangahi.
Nang ngaran Mahran ni inya kada handak mangarasi jua bapandir. Biar dimapakah, inya tahu haja diri pada masih anum. Mana pulang inya kada urang lawan buhan Guru Duan, atawa lawan Pakacil Samad. Masih ada raraitan kaluarga haja. Tagal, lamun sakali baucap cakada baundur burit tu pang!
Imbah pinda ranai nang lain, Mahran kada nyaman jua. Balalu inya banganga pulang bapandir.
“Sakali lagi, Ji ai, ulun amun mahual ti cakada pang. Buhan pian musti ingat ujar Baginda Rasul jua: tangan nang di atas tu baik pada tangan nang di bawah. Ucapan Baginda Rasul ini maisyaratakan, kada mambariakan kita mainta-inta kanu urang. Nah, nang batanai di tangah kartak tu kurang labih iya haja jua kalu amun malihat hadis nangini? Kada tasinggunglah buhan kita nang mangaku baagama Islam nangini? Imbahnya pulang, balum tantu nang lalu lalang di jalan tu urang Islam barataan, lamunnya manyambat buhan kita nang Islam ni nang kada-kada, dimapa? Maka musti padas pada lumbuk parawit tu-a amun basasambat! Kita dianggap buhan kaum paminta-minta, Islam miskin jah, kaiyaannya ti marga kita jua nang manampaiakan kalakuan damintu. Kalakuan nang cagaran maulah urang bapikir kada baik kanu buhan kita…” Cacarincing Mahran bapandir kada sing hinakan.
Tadiam satumat Mahran mambujurakan pahinakan, imbahnya manyambung pulang pandir. “Buhan kita ni, amun sudah Isra Mi’raj, mahaul, atawa Nisfu Sya’ban bilang bahimat hakun haja mangaluarakan duit situ saini. Baluman amun takana bulan Mulud, bah! Liwar tupang! Sakampungan hakun haja manggawi. Maka nang ngaran baaruhan nang kaya niti cakada sasadikit kalu duit nang dipakai gasan batutukar pamakanan lawan macam-macamnya, amun sabuah rumah haja wani sajuta dua, kaliakan ha amun saratus buah rumah. Itu hanyar sabuting. Baluman amun nang pinda sugih di kampung kaya kita ni, bah! Liwar tupang raminya. Amun dua talu juta kada cukup tu pang baaruhan. Napang cagar basaruan sakampungan pang. Ada haja jua nang hakun haja baarisan baastilah gasan manyiapakan duit aruhan kaina. Cuba amun kita kumpulakan tunggal buah rumahan gasan mambaiki langgar kita nang buruk ni, cakada sampat bapintaan di jalan kalu? Ujar Rasul jua, bagi urang nang katuju mainta-inta di dunia, di ahirat kaina inya cagar datang wan muha kada badaging! Han, kada wani ulun! Amun masalah dalil nang manyuruhakan baaruhan nang kaya itu ti, cakada ada jua, manggawinya kalaham bilang bahimat banar. Kada mambadai lawan hikmahnya. Cuntuh haja, buhan pian malihat haja nang kaya apa sumbahyang jamaah di langgar kita ni? Amal nang utama diandak ka lintuhut, kalu! Apa kada tabaliklah itu!? Langgar kada tababaiki, haur bakakancangan urat gulu ha tarus… Nang itu sabuting haja, ada lagi nang lain. Amun ulun sumbahyang zuhur, paling buhan kakanakan nang umpat bajamaah. Asar saurangan pulang, magrib buhan anak Pakacil Duraup lawan Guru Duan nang ada. Isya?! Nang itu-itu jua urangnya. Ada nang baduduaan haja ulun lawan Guru Duan. Lamun subuh, kada kawa dikisah lagi. Ulun nang bang, ulun nang qamat, ulun nang imam, ulun nang makmum! Sakakalinya! Padahal saban bamaulidan atawa Nisfu Sya’ban, nang lalakiankah, babiniankah banyak haja urangnya. Banyak haja nang cungul. Amun mandangar urang bang, kawalah jua manyahuti kaya ka saruan urang aruhan bamulud? Padahal nang manyaru ni Allah ta’ala langsung! ‘Sumbahyang cukup di rumah haja’, jar. Cah! Alasan banar haja. Kulir nang iyanya!”
Bahinak hulu inya, imbahnya manarusakan pulang, ”Sumangat kita ni nah, mambangun langgar kada mambadai wan sumangat mamakmurakannya. Jadi kita mambaiki langgar niti jangan jadi tujuan kita. Itu nang tasalah kaprah ngarannya. Kada langgarnya nang panting wan jadi tujuan. Tagal, dimapa mamanfaatakannya! Damintu, kalu? Jangan handak bapandir mambabak langgar, duitnya haja bapikir bapintaan kanu urang. Imbah, ka mana urang nang katuju baaruhan bahimat, hakun haja dua talu irti basaruan wayah bamuludan kaya nang masi saban tahun?!”  
Bah! Asa ditapas di muha buhan Haji Dulah lawan Haji Sani. Napang, nang masi bahimat manggawi aruhan Mulud ganal ti buhan hidin nang baisian tuku barandak di pasar. Daradaian paluh dingin di kaning Guru Duan mandangar pandiran Mahran. Kada sing ucapan lagi buhan nang tuhanya. Sintup, kaya siput bapais. Kahandak ti, Mahran ni dijarai. Nangini!? Tabalik! Hidin nang asa dimamai. Asa runtuh balaluan awak Haji Dullah wan Haji Sani. Napang, pas banar kana bukunya!
“Han… ti-ya…!!!” 

istana peraduan, Rabu, 160610
    
   
Kada Tamakan Habar Lagi[9]
Komariah Widyastuti

Halin bamban kada babuah
Sanunuh babuah baupung kada
Halin badan kada batuah
Sanunuh batuah bauntung kada

            Isi buku pantun urang bahari naitu, kaya kada hakun batuha. Kada bisa usang, napa lagi mati. Buku pesannya sigar batatarusan. Kada baarti manyindir nasip diriku. Tapi aku kada tahu untung-tuah badanku. Tamasuk nang bauntung, atanapi nang batuah, aku kada tahu. Nang musti kada amun kaduduanya. Kalunya bauntung, baarti kada batuah, atawa babalikannya.
            Aku tamatan sakulah parawat di Banjar. Wayah ini bagawi di Puskesmas Mandastana. Uma, Abah, Nini, Datu, sampai ka muyang tuturunan urang nang banyak bakabisaan. Paling kada, ada lima huaran nang dikatujui urang banua. Dudul, katupat, lamang, garih awan pakasam. Kandangan, cing ai. Barang haja, wani awan kucing barang, wani jua ngarannya.
            Kalu diukur awan gawian, barangkali saurang ni tamasuk nang bauntung. Karidit kandaraan sudah punah, karidit rumah balum pang lagi, tapi sudah baisi rumah kaya urang jua. Nang jadi pikiran, wayah bulik ka kampung, urang kada batakun duit tabungan, barapa buah bisi kendaraan? Nang ditakunakan urang: barapa ikung sudah ulihan? Uma, asa pagat parut maarit supan. Asa kada bamuha. Badiam, kalu dalam hati urang cakah, sumbung, kapiragahan. Tapaksa ai dijawap saadanya.
            “Balum ai lagi,” babaya bakarimut bibirku.
            “Sudahlah bapariksa?” ujar nang saikung manyambar. Tatakunannya bagus haja, wajar banar, maklum lawas kada badapat. Tapi talingaku nang asa hancur mandangar, asa hangkui pada patir.
            “Dudukanlah dahulu...,” aku bagamat maalih pandir.
            “Jangan macam-macam, sarana baulah banyu,” ujar Midah, kawan sakulah dahulu. Inya mairingakan nang laki bagawi di Kotabaru.
            “Ayuha, satumat haja,” Aku balingkang ampah ka padangan. Aku baastilah bacaramin ka kanan, maitihi muha bakas takajut, takibar sumangat. Hanyar baasa mambawa patikuan banyu tih, cangkir puang, wan galas wadai karing.
            Rami ai pandir ka hulu ka hilir, sambil banginginuman. Bakisah wayah sakulah di kampung dahulu. Parak sanja hanyar Midah wan Minah bulikan. Kaduanya menuntun anak, bungas-bungas anak urang, lucu-lucu mambari garigitan. Anak Midah lalakian, anak Minah bibinian. Pina pantar, kaya kambar. Kurang-labih ampat tahunan, kalu, umurnya.

***
            Limbah Isya, hujan nang kaya diluruk, ribut, baguntur lawan patir-patirnya, kilat sambar-manyambar, kadicaran kada sing rantian. Langit umpat manangis nang kaya tahu gundah-gulana di hatiku. Kada kaya paribasa, asa parak lawan kiamat. Balik-kulai saraba salah, asa kadada nang nyamannya. Kupaksa bapijim, hati bagarunum.
            “Sudahlah bapariksa?” Tatakunan Midah, tangiang-ngiang pulang. Aku yakin, musti inya kada tahu, kalu aku balum kawin. Lantaran jauh manyubarang laut, jadi jarang bulik ka banua.
            “Parasaku, asa kada mungkin kalu Midah basinghaja manyindir kawan...” Hatiku bagaritik, tapikirakan nang kada-kada. Padahal nang bangaran buruk sangka naitu, kada pantas timbul di hati kawan.     “Tapi pulang, kalu dipikirakan halus-halus, nangapa nang dipariksa? Bagandak bapasangan haja kada bisa.” Aku makin larut, makin hanyut, manangguh mangira-ngira, napa sabujurnya nang ada dalam pikirannya?
            “Kalu maksudnya, bapariksa wan urang alim, nang hawas, nang bapanglihat. Atawa tabib, nang basahabat jin, basahabat urang halus, nang kawa mambari banyu, mambari minyak, mambari jimat, marajah awak, mamasang susuk, batanam intan lantakan, atanapi bamandi-mandi babuang sial...” Pikiranku sasain kacau, sasain layau, maranyau. Manarawang langit kada batihang. Kada kawa dijangkau akal, tahayul.
            Aku bakalimpusut bapuat turun pada ranjang, bajalan bagamat kaluar kamar, nginum banyu bamati di padangan. Hujan sudah taduh, patir guntur sudah kada tadangar. Kampung Paring Agung guring janak, malam sunyi-sanyinyip. Aku bamandak di hadapan lamari kambar dalam kamar, malihat awak di caramin ganal.
            Kuitihi awakku, matan rambut sampai ka pinggang, asanya nang kakaya urang jua. Muha kada bakunat, kada bajariawat. Kada amun langkar, kada jua mun jahat banar. Kaning, mata, hidung, muntung, biasa-biasa haja. Tinggi sadang haja jua, kada pancau banar kaya jujuluk langit, kada jua amun talalu campa. Ngalih pang mun handak disambat putih kuning, tapi kada kawa jua dipadahakan hirang malutung.
            Aku babulik mangajang pinggang, barabah di ranjang. Ngalihnya mancari kantuk. Mata kada mau kalat. Pambawaan hati nipang. Gugurimit, gagarunum, asa handak bakuciak-bahalulung ha lagi.
            “Bujur haja, nang ngarannya tahayul nitu kada masuk di akal. Tapi nang tabukti banyak jua. Barapa banyak nang mandi lawan Julak Juhan tu, kadada nang kada payu. Balakian barataan. Kada kaya saurang bujang lapuk!” hatiku mulai pulang baidabul.
            “Mandi awan sidin tu saratnya barat banar. Jaka sahibar tilasan kain putih dua mitir, piduduk salangkapnya, tambahi duit sajuta dua... Ampat lima juta, kubayar! Ini bujur ai duit saadanya, saapa kita kawa, ampat lima puluh ribu, paribasanya. Tagal, kita sidin gulak ai, dipakai, dibujangi. Bujur ai kada lisit, kada babakas, tagal dusanya! Dusanya nitu nang tapalampang lawan diriku. Jauhakan bala, tujuh turunan jangan ditamuakan!”
            Kupaksa bakicing, kutukupi pulang muha lawan guguling. Jangan taguringan, makin banyarak saapa.
            “Wayah ini, jangan nang halal, mancari nang haram gin saling ngalihan. Kada sadikit maling hayam, maling pisang, maling limau, maling jamuran nang babincul-bincul, nang badarah-darah, ditangkap, dihukum di panjara. Ada jua nang tapaksa manjual diri di jukung, di bawah jambatan, di warung singgul, di warung jablai, saliwiran di pinggir jalan, baangin baambun bamamalaman, balum tantu ada nang cangang...” Pikiran layau maranyau babulik pulang.
            “Barangkali urang kada parcaya, kalu babujangan nang kursus, nang kuliah di Banjar tu, ada jua nang hakun jadi paurutan di salon atawa di hotel-hotel. Napa lagi amun jauh awan kuitan, jauh lawan kadang warga di kampung. Kiriman talambat, hutang-hutang di kantin, di warung, kada kahitungan. Tapaksa mancari Abah asuh, Amang asuh, atanapi Kaka asuh. Nang panting, asal kawa mangganjal parut. Kawa tuntung kursus, kawa bagawi, hanyar kawin nang kaya urang...” Sasain layau, sasain basigar muha. Di manakah datangnya pikiran nang malayau nangini? Ngalih banar dibuang, dihilangakan.
            “Nang bangaran tapaksa, Tuhan tahu haja. Kalu di padang sana, nang haram bisa jadi halal. Tuhan tu Maha Rahman, Maha Rahim, Maha Pangampun, Maha Sagalanya. Tuhan bajanji, siapa nang batubat, asal bujur-bujur tubat, kada tubat sambal, musti diampuni...”            Hatiku bagaritik, inda tabaik pada nang tadi, kada layau lagi. Aku kada tahu, apa ini bisikan napsu atanapi hati nurani? Baik kubawa baair, baistiharah. Kalu ada pitunjuk, jalan kaluar nang baik.
            Aku kada ingat, pukul barapa aku tanyanyap? Urang di langgar, di masigit, bunyinya sudah bawirit. Aku hanyar tailan, mata paguni asa barat, asa kalat. Kulir banar babungkiat, tapi subuh sudah tuha banar, handak habis, parak hilang, parak singkap siang.

***
            Aku bapuat bagamat, mambasuh muha, mambasuh batis-tangan, bahimat sujut nang bapahimatan, mancium dabu di hujung jariji batis Nang Saraba Maha. “Bahara mambari bakas, barasih sampai ka lubuk hati nang paling dalam. Kada layau, lunau-manggayau nang kaya malam tadi...”
            Imbah badoa sunat Duha, aku basingsat basisimpun.
            Hatiku sudah bulat, sudah mat, sudah miting.
            Aku bulik hari ini. Singgah satumat di Pasar Hanyar, manukar kain putih, baras, nyiur, gula habang, hintalu hayam, banang putih banang hirang awan jarumnya, sagan piduduk salangkapnya. Kalu kawa hari ini aku musti bailang ka rumah Julak Juhan. Handak kusarahakan samuaan. Tasarah sidin ai, handak diapaikah, asal ampih jadi sasambatan urang sabanuaan.
            Tuntung baasar, aku langsung ka rumah sidin. Nang bini mambuka lawang. Balajur mambawa ka padangan, hapal banar rupanya.
            “Ikam ka kamar batisan!” ujar nang bini sambil manjulung kain putih ka tanganku.
            “Inggih,” aku baunggut ampah ka kamar.
            Nang bini pulang nang manyuruh aku duduk di sasanggan, pas di tangah lawang padangan. Julak Juhan mangubui kapalaku talu kali, di bahu kanan talu kali, di bahu kiwa talu kali. Julak bini manjulung handuk sagan mangaringi rambut, hanyar tapih kurung sagan basilih.
            “Ikam ka kamar. Baminyak. Bapupur. Pupuri sabukuan awak, nang kaya urang handak guring laki-bini tupang,” Julak bini babisik.
            Sap... Mandisap burit tundun. Cagatan bulu awak. Panas-dingin kada karuan rasa. Tapi kadada bahawatir-hawatiran handak manulak, tunduk asa kada baurat-batulang, bagamat bakaraut ampah ka kamar. Limbah mamatut diri di hadapan caramin, aku barabah, batilantang di ranjang. Dada galugupan, darah dibar-dibar, turun-naik kada manantu.
            “Kaya inilah rasanya urang handak malapas bujang?” Hatiku batakun dalam dada. Asa mambari takutan ada jua.
            Kada lawas, sidin datang. Mangancing ka lawang, duduk di pinggir ranjang. Cangang ka muha, turun ka dada. Bagarak halukum sidin managuk liur.
            “Labar am, hilang jua bujangku,” ujar hati bagarunum, manggitir katakutanan.
            “Kaya apa, yakinlah ikam manarima banyu panglaris di awakku?” Sidin batakun, kada sing kilipan maitihi dadaku.
            Aku bapajam mangumpulakan kawanian. Supaya nyaman bapandir, supaya jangan tapi kantara awak kalitikan, manggatar saikungan. “Inggih...” Bibir baungap sambil babuncilak, baunggut pupura wani.
            “Amun yakin, duduk di sini!” ujar sidin manapuk tilam di higa punggungku. “Kita nikah dahulu.”
            “Nikah?!” Takajut-taambung awakku salajur taduduk di hadapan sidin. “Dimapa nikah bakakajutan nang kaya ini? Abah jauh di Kandangan, di sini kadada kadang warga nang kawa jadi wali.” Bibirku mancuririt kaya muratal, kada sing gugupan lagi.
            “Kita nikah manurut lalasar Nabi Adam, jadi kada parlu bawali saksi. Wali kita, nang satu. Saksi kita malaikat,” ujar sidin inda musti.
            “Yakinlah pian, kalu malaikat hakun jadi saksi?”
            “Ini rahasia Allah ta’alla, maulah kada parcaya? Ngarannya gin nikah batin, nikah hakikat. Jadi, amun urang duduk di sariat, nang duduk di pakih, di tauhid, kada bakal badapat, kada manyambung. Nang ngaran rahasia tu, andaknya dalam dada, di dalam parut, najis amun sampai takaluar. Ikam turuti haja napa ujarku, aku nang batanggung jawab dunia ahirat.”
            “Inggih, ayuja ulun umpat ujar pian. Anggap haja nikah kita sah, baarti ulun ni bini pianlah?”
            “Mbahnya pang?”
            “Artinya, kita halal guring laki-bini?”
            “Iya hajaah,” Sidin takarinyum pina himung.
            “Kaya apa kalu sabulan dua ini ada nang handak?”
            “Kita musti basukur. Artinya, banyu panglaris di awakku paguni manjing, paguni mayit, paguni bahasiat. Ikam kada bisa manulak, sabab ini sarat.”
            “Umai, Julak. Burusiah cacat atawa mangalilu, kaya apa ulun?”
            “Itulah rahasia Tuhan. Kita kadada nang tahu siapa judu kita. Jadi, tarima haja nangapa nang sudah ditantuakan-Nya. Musti ada hikmahnya,” ujar sidin inda basumangat banar.
            “Inggih, Julak ai. Tapi pian wanilah manjamin, kalu banyu panglaris di awak sampian tu kada bakal tumbuh di parut ulun?” Aku batakun bagamat, tapi sidin kaya takajut, inda wirai muha. Lawas hanyar manyahut.
            “Siapa nang tahu? Itu urusan ampun-Nya. Kadada urang nang wani manjamin.”
            “Burusiah jadi. Kaya apa, Julak?”
            “Biar ai, urang kada tahu jua.”
            “Kada kawa kaya itu, Julak ai. Kalu banyu panglaris nang jadi, baarti laki kami maharami hintalu pian. Sahlah nikah urang nang maharami hintalu urang lain? Kalu kada sah, baarti kami bakal bajinah bapapanjangan. Ulun kada sanggup...” Aku manyurung pandir, inda wani badudi.
            Sidin tatunduk mandam sangiuk. Hanyar haja, kalu, tasusur pinggir tapih? Barapa banyak nang sidin rasani? Nyata, garang, buntat samuaan? Burusiah babalikannya, banyak banar nang taharami hintalu sidin. Napa lagi mun anaknya bibinian, siapa nang mawaliakan? Nang maharamilah? Kada, kalu?
            Rupanya pikiran atawa tatakunan nang kaya itu nang amuk bakacamuh di kapala sidin, nang maulah sidin tunduk, mandam sing lawasan.
            “Bujur, ikam bujur...,” ujar sidin bamangkal-mangkal. Mata sidin bakaca-kaca, ada banyu haning talaga panyasalan di mata sidin. “Aku kada tapikir sampai ka situ. Aku kada sawat mambayangakan buntutnya bakal saganal naitu,” ujar sidin bunyi basisigan. Manyasal banar, pinanya.
            “Jadi, kaya apa, Julak?”
            “Babaju ha ikam! Aku kada sanggup mambayangakan akibatnya nangitu. Napa lagi mananggungakan dusa bubuhan ikam sampai ka buyut, ka intah. Kada, aku kada sanggup,” ujar sidin basingguguk, manukupi muha awan kadua talapak tangan. Sidin badiri mambuka lawang, badadas kaluar.
            “Alhamdulillah...,” ujarku dalam hati, balajur sujud sukur. Nangaran kita nang manjalani, kada tamakan habar lagi, kalu? Nang panting, bujang saurang kada jadi hilang...

Handil Bakti, 9 Agustus 2010


Manggantang Sayang[10]
Muhammad Rifqi

            Rasa himung banar bisa manulungi urang. Asal urang kada marangut, sudah himung. Maginnya amun urang sampai bisa takurihing.
            Waktu tapikir kaya ini, hanyar kawa mambujurakan papadahan kuitan bahari. “Kada usah ikam sugih, tapi asal bisa mahimungi urang, Insya Allah himung hati ikam. Amun hati ikam himung tarus, biar hidup sapatuk sapangikih, Insya Allah ikam nyaman hidup,” ujar kuitan mamadahi.
            Tapi kaya apa rasanya amun rasa himung bacampur wan rasa lain. Misalnya sarik, dandaman atau sangkal. Rasa dada jadi manggah-mukuh. Tacampur-campur kada mangaruan. Kanapa jadi aku tahu rasanya? Sualnya nang kaya itulah nang aku rasaakan.
            Hanyar aku handak tuntung manyimpuni pakakas nang imbah tapakai, balum lagi manutup lawang, kadangaran pulang ada urang datang mamaraki rumah. Kadangarannya abut, rami banar. Pinanya urang nang datang banyak. Mandangar nang kaya itu, bagaritik hati handak malihat ka lalungkang.
            Balum lagi sampai tajinguk, sudah ada nang mangatuk lawang. Sambil mangiau nyaring, “Mantri! Mantri!”
            Marasa aku nang dikiau wan rasa pinandu suaranya, kujinguk ai ka arah lawang. Sakalinya Paman Ruji, urang nang dituhaakan di kampung, nang mangatuk. “Pun? Kanapa, Paman?” ujarku manyahut, sambil mamaraki ka muhara lawang.
            “Itu nah, si Hadran dipukuli urang. Inya kada sadar. Banyak banar darah kaluar di kapalanya,” Paman Ruji bakisah katakutanan.
            Aku lihati ka luar, ada babarapa ikung urang kampung maangkat urang. Pasti nang diangkat Hadran. “Bawa haja dahulu ka sini, Paman ai. Ulun cuba pariksaakan,” ujarku. Padahal kada parlu aku baucap kaya itu, sudah pasti Hadran dibawa ka wadahku.
            Balajur Paman Ruji manyuruhi bubuhan nang maangkat Hadran masuk ka dalam rumah. Maandak Hadran ka atas ranjang. Imbahnya kusuruhi sabarataan kaluar ruang pariksa, tamasuk Paman Ruji. Untungnya hakun sabarataan manurut. Di luar rumah pinanya urang makin galut, napa lagi amun kada mamandirakan Hadran.
            Mahadapi Hadran rasanya hatiku jadi saraba salah. Rasa sarikku timbul, sampai tapikirakan kaya apa caranya supaya langsung kawa mambalas sakit hatiku anu inya. Tapi hati bagaritik, bahwasanya kada mungkin basalajuran mambalasnya. Amun basalajuran, bisa aku dipadahakan baastilah baulah salah.
            Hatiku nang subalahnya bagaritik lain lagi, bahwa maubati inya jadi tanggung jawab gawianku. Amun handak jua mambalas sakit hatiku lawan Hadran, bisa haja kaina bagagamatan. Paling kada, kada talalu dilihat urang galumbang banyunya.
            Maka lakas kuatur hinak, balakas jua kupariksai Hadran. Urang nang jar urang kampung tahan pidakan, di hadapanku ranai garutuk. Muhanya babiru-biru, ditambahi luka di kapala nang batatarusan mangaluarakan darah.

***
            Hanyar sajahitan, ada nang manyingkap kain pambatas ruang pariksa. Aku nang takajut, maitihi. Pas malihat siapa nang manyingkap, makin hatiku batambah takajut. Sualnya aku hapal banar ampun muha nang datang. Muha nang kada kawa hilang di panjanak, nang maulahku dandaman batatarusan. Muha nang maulah diriku tajungkang tahumbaling. Tamasuk sampai aku hakun batugas ka kampung sini. Kampung nang kada suah sadikit-dikit kuhayalakan pacangan aku datangi.
            Saitu saini aku maatur hati. Manyuruh Norma, ngaran babinian nang lamah limambut nintu, supaya mahadangi di luar. Imbah inya hakun manurut papadahanku, kulanjutakan gawian. Sudah manuntung gawianku, hanyar aku mandatangi inya nang dikawani Paman Ruji.
            “Hadrannya kada kanapa-napa. Takajut haja imbah dipukul urang di kapala. Kapalanya luka. Sudah ulun jahitakan, jadi darahnya kada kaluar lagi. Paling satumat lagi inya sadar haja pulang,” ujarku mamadahi.
            Malihat aku ka luar dari ruang pariksa, Norma langsung badiri. Bajalan masuk ka dalam ruang pariksa. Maitihi salajur mamariksai Hadran, lakinya.
            “Jadi, kaya apa baiknya?” Paman Ruji batakun.
            “Tasarah pian haja. Tapi amun hakun, ganaakan di sini haja dahulu. Amun handak dibawa ka rumah jua, mahadang inya sadar haja,” ujarku manyaranakan.
            “Jadi, kaya itu lih. Amun ikam pang kaya apa jua, Nor?” Paman Ruji manakuni sambil pina banyaring.
            Norma nang mulai tadi kada saling pandiran akhirnya manyahut matan dalam ruang pariksa. “Inggih, ulun hakun haja jua, Paman ai,” ujarnya basuara.
            Mandangar suaranya, rasa lamah lintuhut wan hilang panjanak. Sudah lawas banar jua aku kada mandangar suaranya. Labih anam tahun, kada suah jua badapat lawan inya. Tujuh bulan bagana sakampung, hanyar ini jua bahadapan langsung lawan inya.
            “Mun kaya itu aku ada nang handak diurus dahulu, mamadahakan ka pulisi bahwa urang kampung kita ada nang dipukuli urang,” jar Paman Ruji.
            “Anu, Paman...,” ujarku baucap pas sidin handak badiri, “Amun kawa urang nang di luar pian padahiakan supaya kada usah baganaan di muhara sini. Kada kanapa-napa, Paman ai. Amun bakumpulan di sini, kaina bisa disangka urang handak marancanaakan macam-macam. Bisa jadi tumbur sakampungan. Insya Allah Hadran aman haja di sini,” ujarku manyaranakan anu Paman Ruji.
            “I’ih, bujur jua jar ikam, Mantri ai. Ayuhalah, aku ka luar. Ikam hadangi haja di sini, Nor ai. Kaina aku babulik haja pulang,” Paman Ruji mamadahi Norma.
            Mandangar Paman Ruji handak turun, Norma manyingkap tinda ruang pariksa. Pinanya ada nang handak inya padahakan lawan Paman Ruji. Tapi balum sawat Norma bapandir, Paman Ruji sudah ka palatar. Mamadahi bubuhan nang di luar.
            “Kaya apa habar?” ujarku mamulai pandir lawan Norma imbah urang di luar pina bajauhan di halaman. Tanganku masih manyimpuni pakakas nang imbah dipakai maubatiakan Hadran.
            Nang ditakuni kada langsung manyahut. Kulihat inya badiri di higa ranjang, kada saling garakan, sambil marista maitihi lakinya. Pinanya inya bapikir banar dahulu, hanyar banganga, “Amun wayah ini, malihat laki kana musibah, rasa kada nyaman ai hati,” ujar Norma bapandir. Aku lihum mandangar jawabannya. “Tapi untungnya di kampung sini sudah ada duktur nang bisa manulungi maubatiakan,” inya manambahi pandiran.
            “Biar duktur, tatap haja jua dikiau urang mantri,” ujarku manyahut.
            “Napa haja dikiau urang, tatap jua gawiannya maubati urang,” Kaya kadada napa-napa, Norma mulai nyaman bapandir.
            “Biar bisa maubati urang, tapi tatap ai ada nang kada bisa aku ubati,” kusahut pandirannya sambil maarahakan pamandiran. Aku lihat inya badiam. “Nang kada kawa atau mungkin ngalih kuubati sabuting haja. Maubati hati saurang nang kaya dikarukut bidawang ampat puluh ikung ni pang, imbah ditinggalakan urang nang aku dandami. Imbah itu, sakalinya lakinya nang aku ubati. Jadi, rasa hati kaya disimbur banyu uyah maaritakan.”
            “Rasanya ulun kada suah manyuruh pian mandatangi ka kampung sini,” Norma manyahut.
            “Amun aku kada masih sayang lawan ikam, aku kada pacangan bapangsar dada ka kampung sini. Di Banjar gin cukup haja jua aku bacari gasan maisi padaringan,” ujarku manyalajurakan pandir. Norma makin ranai mandangar ucapanku. “Caka urangnya bungas banar atau tapintar pada saurang, bisa kawa ai saku aku mamaklumiakan. Sakalinya urangnya banyak baduit wara. Imbahnya, jar urang kampung, kuitannya urang jagau ha pulang,” sarik awan sangkalku taucap lawan Norma.
            Norma pina makin kada nyaman mandangar. Kada paduli aku napa nang dirasaakannya mandangar ucapanku. Paling kada napa nang kurasaakan, nang tapaja batahun-tahun di hati, takaluar. Tujuanku sabuting haja, supaya inya bapadah kanapa inya hakun mangawini Hadran. Itu nang kada suah inya padahakan.
            Norma kada sing sahutan lagi.
            Aku kada tahu jua lagi napa nang handak dipandirakan. Parahatan diam, tangan Hadran pina bagarak. Inya mulai sadar. Norma nang mulai tadi kada bagarak di higa lakinya, mulai manyika Hadran lawan handuk basah nang kusiapakan.
            Malihat Hadran sadar, supaya Hadran tanang, Norma langsung takurihing di hadapan Hadran. Kaya imbah kada kajadian napa-napa. Malihat sipatnya kaya itu jadi bini, makin hiri aku lawan Hadran.
            Norma bakahandak Hadran dibawa bulik haja. Pinanya inya kada nyaman lawan aku. Lalu, imbah Paman Ruji datang, dibantui urang kampung, Hadran diangkat ka rumahnya. Sual urusan bahitung duit, kupadahi supaya baurusan badudi. Kupadahi jua Norma, dudua hari lagi supaya mambawa Hadran ka Puskesmas atau wadahku.
            Sabalum Norma bulik, aku taucap pandir lawan inya, “Amun Tuhan bakahandak, bisa haja kainanya aku sapambanyuan lawan ikam,” ujarku. Norma kada manyahut, lalu inya badadas turun matan rumahku. Rumah dinas salajur wadahku mambuka praktik.

***
            Mandangar pamandiran urang, Hadran dipukuli urang imbah inya managih hutang. Padahal Hadrannya kada bakakancangan urat gulu managihnya. Tapi urang nang sarik lawan abahnya Hadran, malanjurakan sarik ka anu Hadran.
            Dua hari imbah kajadian, salawas siang, Norma kadada datang mambawa Hadran ka Puskesmas. Kuhadang sampai malam, kadada jua datang ka rumahku. Sakalinya nang datang ka rumah Paman Ruji, mambawa habar lain.
            “Hadran dipariksa ka rumah sakit di Barabai,” ujar Paman Ruji bahabar. “Inya bakirim naya gasan ikam, Mantri ai. Amun kurang, bapadah haja, jar Norma, kaina inya manambahi. Amun labihan, gasan ikam haja, jar, labihannya,” Paman Ruji maunjuk amplok. Kutarima lalu kuitihi isinya, ada duit lawan kartas. Pinanya kartas surat.
            Kuambil isi suratnya wan kulihat tulisannya. Masih hapal bahwasanya itu tulisan tangan Norma. Kada balalawas mahadangi, di hadapan Paman Ruji langsung kubaca dalam hati:

            Kaka Mahfudz Rasyid,
                Caka ulun bisa bakahandak saurang, ulun lajurakan kahandak ulun sampai ka puting. Tapi ulun kada badaya   apa-apa. Dalam kada badaya itulah, ditambah
                macam-macam pamandiran urang, ulun dianggap pian baulah salah. Ulun pun
                sadara mun ulun baulah salah lawan pian.
               
                Sabujurnya, ulun kada handak kisahnya jadi kaya Radin Pangantin. Biarpun
                mungkin bujur ulun jadi kaya Siti Nurbaya, tapi kisah Siti Nurbaya kada kisah   sakit   hati haja, tapi jua kisah bukti patuh lawan kuitannya. Mungkin kaya itu jua nang jadi
                jalan hidup ulun.

                Pian tahu, imbah tuntung sakulah ulun kada kawa malanjutakan kuliah. Dua tahun
                imbahnya, Abah ulun mamadahi bahwa kawan sidin handak mamaraakan anaknya
                lawan ulun. Ulun bingung banar. Bapadah ai bahwa ulun sudah ada tajanji lawan
                pian. Ujar Abah, amun sabulan lagi pian kada badatang baik-baik, tapaksa ulun malapas pian.

                Wayah itu ulun kada wani bapadah ka wadah pian. Takutan banar mangganggu pian
                balajar, apalagi pian jauh di Jawa, sudah talu tahun kuliah. Ulun pikir, tabaik pian
                balajar daripada taganggu lawan kahandak Abah ulun.

                Kaka Mahfudz,
                Sakiranya ulun kada bisa mamanuhi janji lawan pian, ulun minta maap. Kaya apa
                pun jua kaadaan Ka Hadran, inya tatap laki ulun. Biar ujar urang mamadahakan
                almarhum Abahnya jagau di kampung sini, Ka Hadran tatap lain lawan Abahnya.
                Karena laki ulun tahu haja bahwa wayah ini kada jamannya lagi maulur parang.

                Pian tahu jua, tugas ulun wayah ini patuh lawan laki ulun, kaya apa haja kaadaan
                sidin. Ganal harapan ulun, pian kawa bagagamatan mahalusakan sayang gasan ulun. Bahkan amun kawa sakalian dihilangakan. Supaya imbahnya kawa         dibariakan lawan babinian nang bauntung mandapatakan pian.

            Limpasu, Februari 2008
                Norma
           
            “Napa jar, isi suratnya?” Paman Ruji batakun.
            “Kada papa, Paman ai. Ujar Normanya minta maap haja, sualnya kada sawat bapadah lawan ulun amun Hadran dibawanya ka rumah sakit,” aku bakulim pamandiran ka Paman Ruji. Imbah itu balalu ai Paman Ruji turun matan rumahku.

***
            Puskesmas tumbur, ada urang kampung datang mambawa urang nang imbah disuduk urang. Aku takajut mandangar habar. Karena salawas aku batugas di kampung sini, kada suah ada kajadian kaya ini. Aku makin takajut lagi imbah tahu nang disuduk urangnya Hadran.
            Imbah talu bulan inya dipukuli urang, sakalinya inya mambawa habar lain. Padahal aku masih mancuba hati maihlasakan Norma, datang pulang Hadran di hadapanku. Tapi malihat kaadaannya, kada kawa jua amun kada dibawa ka rumah sakit. Jadi, kusuruh bubuhan Puskesmas supaya manyiapakan ambulan.
            Sudah haja jua diihtiarakan, amun dasar Inya bakahandak, tatap haja kada kawa manjauhakan mati. Kada lawas Hadran sampai di rumah sakit, aku dihabari amun inya maninggal dunia. Pinanya, darahnya nang sudah banyak banar kaluar sampai sawat kahabisan darah nang jadi panyabab.
            Biar rancak jua urang nang kuubati habis umurnya, tapi mandangar Hadran nang maninggal dunia, hati jadi kada mangaruan jua jadinya. Hatiku langsung tapikirakan Norma. Kaya apa kaina inya imbah ditinggalakan laki. Aku jadi batakun jua lawan diriku saurang: sanangkah hatiku Hadran lakas mati? Atawa Norma makin sakit hati ditinggalakan laki nang inya sayangi?

***
            Talu hari imbah Hadran maninggal, balum sawat lagi kupu-kupu bahabaran ada urang nang pacangan datang, Norma datang ka rumah. Aku kira inya handak baubat, sakalinya datang handak maatar kisah wan habar lain. Sualnya, ujar inya, inya kada lagi baisian wadah bakisah. Kabalujuran kadada jua nang datang bapariksa, aku hakuni mandangarakan kisahnya.
            Mandangar pamulaan pandiran, biar nang dikisahakannya kisah sadih wan kisah lakinya, tatap ada timbul rasa himung hati. Himung, bahwasanya aku masih kawa diparcayai. Artinya pacangan ada harapan manyambung tali jamuran nang sudah pagat. Tapi sakalinya Norma mambawa habar lain lagi.
            “Pitung tahun kami badua mahadangi anak, hanyar parak talu bulan ulun batianan, sakalinya sidin maninggal badahulu,” ujarnya.
            Mandangar ucapannya, aku takajut. Rasa umpat marasaakan kaya apa sabarnya Norma wan lakinya mahadang anak. Biar rancak haja mandangar pamandiran urang kampung, matan muntung Norma langsung aku mandangar, kaya apa baiknya kalakuan Hadran lawan urang nang jauh balain dari kalakuan almarhum Abahnya. Kaya apa jua sabar lawan baktinya Hadran manarima kalakuan Abahnya. Sampai ahirnya inya jua nang jadi tumbal dandam urang lawan Abahnya Hadran.
            Aku nang ranai, jadi saraba salah. Sampai Norma manyambung pandir, “Amun ulun kawa manangguhi hati pian, kira-kira ulun tahu napa nang pian harapakan,” ujar Norma. “Biar pian kaina badatang ka Abah Mama ulun, imbah itu sidin mahakuni pian jadi laki ulun, ulun kada pacangan langsung mahakuni, biar itu kahandak kuitan ulun. Tapi ulun bapikir dahulu amun handak manarima pian. Sualnya ulun nang manjalani, lain Abah Mama ulun. Wan ulun manjalanakan kawajiban ulun jua dahulu, kawajiban maharagu anak nang ada di dalam parut ulun...” Kaya Norma tahu kahandak hatiku, badahulu inya manyambat kaya itu. “Masalah kaina, kada tahu jua kaya apa lagi kisahnya,” ujar Norma manambahi pandirannya.
            Rasa aku nang jadi kalah lawan inya. Lawan babinian nang dahulu sudah jua mangalahakan hatiku. Maulahku bapangsar dada sampai bapalas darah. Hakun maatur hidup supaya kawa talihat muhanya sampai hakun mandatangi ka kampung sini.
            Kawa juakah di kaadaan nang saraba salah kaya ini mahalusakan hampadalku sampai aku kada lagi mamaksaakan sayang gasan Norma? Bisa haja aku malajurakan kahandakku maajuakan pindah ka dairah lain. Banyak haja lagi dairah padalaman lain, salain di Hulu Sungai sini, supaya aku kawa bujur-bujur mangabdiakan diri gasan urang banyak. Nang kaya dairah lain nang bubujuran jauh, kaya di Tanah Bumbu atawa Kotabaru. Makin jauh lawan Norma, maka aku pikir makin nyaman mahalusi sayangku lawan Norma.
            Pas Norma handak ka luar lawang, masih sawat Norma baucap lawan aku. Ucapan nang suah aku ucapakan lawan inya, “Amun Tuhan bakahandak, bisa haja kainanya ulun sapambanyuan lawan pian...,” ujarnya. Ucapan nang pacangan tatap aku ingat sampai wayah apapun jua.

Ramadan, 2010
           

Kada Bakasudahan[11]
Nur Hidayah

            Aku tahu ai amun baampik sabalah tangan tu lacit ka kiamat kada bakal babunyi. Aku tahu ai amun urang nang kuganang siang malam nangitu kada tahu manahu. Aku maka am ciling-ciling maitung cacak, gulang-gulik bakawan gaguling, ngalih banar mancari guring.    Ganap talu sanja sudah kada ampih jua. Aku bingung kada sakira, dusa nangapa nang maulah aku pina mambungul kaya ini? Badiri barangkat rasa mangulir, makan guring kada karuan pangrasa, dibawa balingkar di kaguringan makin mandalami mata luka haja. Dasar liwar sakitnya hati, kada nyanyamanan.
            Amunnya kada hilap, ari itu ari Jumahat. Napa yu, bubuhannya pina rami handak ka masigitan. Ada jua nang pina ungut-ungutan di buncu warung. Pina habang mata, pina layu, kada basumangat. Luput pulang, kalu.
            “Ka?” ujarku bagamat mangiau inya.
            “Napa, Ding?” ujarnya pulang manyahuti, pina kada tatahu ja muhanya.
            “Kada ai, Ka ai. Pina lawas kada talihat...“ Sambil lihum bapair aku manyahuti rasa saraba salah.
            Takarinyum ha inya, apakah saku nang dipikirakannya. Aku babanaran kagum. Supan saurangan. Inya nitu kalaliwaran bingkingnya. Kada muha haja pang nang bungas, tapi langkar luar dalam, lacit ka parut lilit. Inya kada sarik mandangar aku managur tadi. Asa tatilambung aku kahimungan.
            Dalas tatinggal ngaran, di mana pacah di situ tambikarnya, ujarku dalam hati ka wadah inya. Ditulak inya mantah-mantahkah, aku kada hiran lagi. Kaya apa haja kajadiannya, tatap aku sandang. Nyaman tahu kasudahannya.
***
            Aku sanghaja mamilih ari Ahad bailang ka rumah inya, nyaman pas urangnya takumpul. Pas jua ai, jijingian urang batatawaan di palataran.
            Inya ngitu balima badingsanak. Nang panuhanya sudah babini. Inya ngini anak nang numur dua. Kuitihi adingnya nang bibinian, pina asik badaku lawan nang kaka di palataran. Inya kulihat balogo lawan nang ading numur tiga. Dalam hatiku, wayah ini ada haja nang masih main logo lawan badaku. Babanaran kagum aku lawan kaluarganya ngini, pina ruhui rahayu banar. Inya ngitu jua bisa mambawai paadingan bamainan, padahal umur kaya inya ngitu kada cucuk lagi lawan pamainan balogo.
            Rahatan mandam di muka rumah, takajut aku mandangar ada nang mangiau.
            “Naik! Aida, maapa di situ ?” ujar inya sambil mangawai.
            “Inggih,” ujarku pulang, sambil lihum. Lawas aku tadiam, umpat baduduk di palataran inya, sambil maitihi kuitan bini maulah wadai.
            “Ngaran wadai nangini babalungan hayam. Tagal kada pas banar kaya babalungan hayam nang sabujurannya. Bila handak maulah wadai babalungan hayam, maka nang disadiakan galapung lakatan satangah kilu, daun pudak lima lambar, banyu santan satangah biji nyiur. Banyu kapur tiga sinduk, uyah sadikit, hinti gula habang,“ ujar sidin lancar bapandir manarangakan, padahal aku kada batakun. Tagal sidin tahu kalu aku pina bingung maliat apa nang digawi sidin.
            “Hanyar am ulun tahu ada wadai babalungan hayam. Ngalih ai, kakanakan wayah ini tahunya pizza haja, atawa hot dog.”
            “Bujur jar ikam, Diang ai.” Sidin mangiau aku Diang. Diang ngitu sambatan gasan bibinian bujang di wadahku. Aku ngini badiam di Marabahan. Lamun di Banjar, Diang tu sama lawan Galuh.
            “Ngarannya Aida, Ma ai,” ujar Ka Dani mamadahi. Panjangnya Hamdani. Sambil malirik ha inya lawan diaku.
            “Aida, tulung pang ambilakan wadah gasan maudak adunan ngini di dapur,” ujar sidin.
            “Inggih...” Aku masih bingung, sadadikit kada marasa kulir, nang kaya hadangan ditarik hidung tu pang. Padahal amun disuruh kuitan di rumah, kalaliwaran kulirnya aku. Tagal am ngini nang manyuruh calun mintuha, ujarku dalam hati, sambil jihi-jihi saurangan. Aku bakalimpusut ka dapur.
            Umai, umai, kababagusan dapur urang. Kada tapipirit lawan rumah saurang. Kada jua pang amun harat banar, tapi rasa sanang tu pang bagawian. Pakakasnya kada saraba larang, kada saraba ulin, papan biasa haja, tapi bagus, taatur, barasih pulang. Kaya paribasa: jangan baya balingsar, dijilat gin kawa. Cucuk banar lawan nang maharagu, putih barasih lacit ka hati.
            Mahancap aku maambil nang disuruh sidin. Kalu kalawasan mahadang. Limbah sampai ka palataran, langsung kuunjuk. Tapi sidin kada manyambut.
            “Ikam haja nang manggawi,” ujar sidin.
            “Ulun kada bisa,” ujarku, kulir badusta. Mun dasar kada bisa.
            “Buati galapung lakatan nitu dalam wadah nang ikam ambil tadi, tuangi lawan santan. Tambah banyu parasan daun pudak, banyu kapur lawan uyah, sadikit. Diudak sampai rata, sampai jadi adunan nang sadang likatnya, supaya kawa ditampa. Banyu kapur nitu gunanya supaya ada rasa sintal.”
            “Inggih,” ujarku mahancap manggawi.
            “Umai, umai, adingku ngini bisa jua sakalinya maulah wadai,” ujar Ka Dani sambil baduduk di palatar.
            “Kada, Ka ai. Mama pian nang malajari. Pian gin harat banar sakalinya, Ka lah, balogo.”
            “Aku ni, Aida ai, sahibar mananamakan rasa bangga lawan banua saurang, nang kaya lawan parmainan tradisiunal. Supaya ading-adingku ni kaina bisa malastariakannya. Sakira jangan sampai punah.”
“Ngalih nang ngaran mantan Nanang Banjar nilah,” ujarku pulang, nang disambut lawan karinyum Ka Dani nang maulahku rasa rabah rumpiuh iman.
“Ikamkah jua, Aida, handak kulajari balogo?”
“Ayu nah, Ka, nyaman humpimpah dulu kita...” Sambil tatawaan kami sabarataan.
“Sudahlah, Aida?” ujar Mama Ka Dani.
“Inggih, sudah.”
“Adunan nitu diambil saganggam, lalu diulah nangkaya babalungan hayam. Tagal di dalamnya diisi dahulu lawan hinti.”
“Kaya apa maulah hintinya?”
“Maulah hinti nitu bahannya nyiur baparut nang anum, bacampur lawan gula habang nang basasap. Ada jua nang ditambahi lawan gula putih, tambahi sadikit uyah, gasan manimbulakan rasa. Samunyaan ngitu buat ka rinjing nang batanggar di api, tambahi sadikit banyu. Diudak rata sampai karing.”
Aku takajut. Nang manyahuti lain Umanya Ka Dani, tapi bibinian nang kira-kira 2 tahun di atas aku. Bingking. Putih. Rambutnya panjang maikal mayang. Alis mangumpang parang. Batahi lalat. Matanya cirat-cirat. Managuk banyu liur aku malihat.
“Naik, Nak,“ ujar Umanya Ka Dani.
Mandibar samangatku. Nak? Rasa bagaritik ai hatiku.    
“Aida, ngini ngarannya Rahma. Pacarnya Dani.”
Taritisan banyu mataku kada sadar.
“Aida, ikam kanapa?” ujar Ka Dani.
“Kada, Ka ai. Ulun kalimpanan... Ni diapai lagi? Ulun kada tahu.”
“Disumap sampai masak,” ujar Rahma manyahuti. “Ma, ulun mambawakan pian lawan Abah gangan manis nang isinya kacang panjang, karawila, waluh habang, lawan bayam. Iwaknya papuyu baubar. Miar tupang sasingut Abah,” ujar Rahma.
Rami buhannya tatawaan. Aku kada sanggup lagi, bapikir handak bulik.
Imbah basalaman, aku lalu bagamat handak bulik. Kada jadi manuluskan niat awalku bailang ka rumah Ka Dani .
“Hau, kanapa maka bulik? Wadai kita balum masak,” Umanya Ka Dani managur.
“Anu, ari pina muru. Ulun handak mamutiki tatapasan di rumah. Kalu kahujanan.”
Padahal ari liwar bagusnya. Kadada lalu muru, apalagi handak hujan. Rupanya paham kalu Ka Dani. Mahancap inya manyasah aku.
“Sudah lawaslah lading ikam tu simpak?” ujarnya batakun babaya kadangaran. Sambil bagariwih tangannya mamusuti kapala lawan bahuku.
Kuitihi tanganku. Aku kada mambawa lading. Mambawa plastik banar ai, nang isinya kain sasirangan, gasan umanya Ka Dani. Marigap hatiku, lalu mangarti ai aku, kamana sabujurnya ampah tatakunan inya nangitu.
“Hanyar am...” Aku sahuti sambil manggitir. Awakku panas dingin saikungan. Kada wani maitihi muhanya.
Imbah maunjuk sasirangan nang bamotif  “Dara Manginang”, nang warnanya habang tarang, bagamat ai aku bulik. Sambil ingui-ingui manangis. “Banyak nang handak ulun pandirakan. Tapi asa kasat rakungan. Rasa dijarat, dada asa sasak, rasa ngalih manyintak hinak...” ujarku manutup pandir.
Inya tamandam mancangangi aku. Matanya nang galak nitu pina muru, pina puang, manarawang. Limbah batunduk satumat, inya takurihing bapair sambil bajauh ampah ka palatar.
“Ka, asal pian tahu haja. Cinta ulun ni kadada habis-habisnya gasan pian. Kada bakasudahan...”

Jaruju padang jumampai
Paikat laki dadaian kain
Amun judu baluman sampai
Hakikat hati kada kalain


Jujuran[12]
Hatmiati Masy’ud

             Nurhayati, anak Haji Juhalis, nang bungas langkar, kambang Kampung Pihaung, duduk taungut di muhara lawang padu. Pikirannya galu, kaingatan wan Firmansyah, urang nang handak badatang lawan inya. Sabujurannya inya katuju ai wan Firman nangitu. Napang mun urangnya baik. Lulusan sakulah agama, bagawi mahunur di sakulahan, lawan parawaan wan urang tuha. Bungas ha pulang. Kumplit tu pang dah.
            Nurhayati tu handak ai sarik  wan Abahnya. Tagal kada bulih pang sarik. Pamali anak sarik wan urang tuha. Kalu katulahan, ngalih kaina. Napang mun Abahnya tu pina handak larang bangat mamintai jujuran. Sidin tu talalu bangat. Kadada urang di kampung inya tu jujuran sampai salawi juta. Nyata ai kuwitan Firman wan kula-kulanya tu baundur. Bisa kada jadi, saku. Abahnya tu pinanya kada tahu jua anak sidin ni handak. Habang muha Nurhayati, asa supan kalu ada nang tahu inya katuju wan firman tu.
            “Ui, Diang, nangapa diungutakan di muhara lawang? Kalu pina ditinjak mintuha, kaina...” Kada katahuan Umanya mancungul.
            Takajut Nurhayati. Asa tarabang sumangat. Napa mun Umanya tu managur bakakajutan.
            “Kada napa-napa, Ma ai. Mamikirakan lauk makan tanghari ngini banar ai,” Asa ngalih Nurhayati manyahut.
            ‘Kada usah badusta, Nak ai. Umamu ni tahu ai nang dipikirakan ikam tu. Ikam kaganangan urang nang handak badatang tu, kalu?” Uma Nurhayati salajur manimbak ka sasaran.
            Masam muha Nurhayati disambati Umanya kaya itu. Marangut.
            “Kada napa jua, Nak ai. Uma ni paham haja, suah jua Umamu ni anum, Nak ai. Rabung jua, Diang ai,” jar sidin sambil lihum. Sidin bapandir kada tapi maitihi kada wan Nurhayati, tahu sidin tahu anaknya tu supan.
            Takurihing Nurhayati mandangar Umanya bapandir kaya itu. Asa ampih inya sangkal wan Abahnya.
            “Iya am, Ma ai. Abah tu talalu bangat mun bujuran mamintai salawi juta. Jaka urang sugihkah. Ni kuwitan Firman tu sama haja wan kita, pada ka pahumaan jua,”  Nurhayati pina mangancang bapandir wan umanya.
            “Ayuha, Nak ai. Sabar haja ikam. Kaina Umamu ni nang bapandir wan Abahmu. Hari parak dah tangahari. Lakasi ikam baharaguan, kaina Abahmu datang mulai pahumaan. Iwak baung tu gangan masam haja, buati tarung masam putikan Abahmu sumalam, nyaman rasanya sigar. Jangan kada ingat, ulahakan jua sambal acan. Buati kaminting dudua bigi. Kada usah bapitsin, bagula haja. Sabuting lagi, putik pucuk gumbili di higa rumah tu nah, jarangakan. Jangan talalu linyak, kaina kada nyaman dicacap ka sambal acan.”
            “Inggih, Ma ai. Pian handak ka mana?”
            “Handak mandi ka batang banyu, salajur batatapas,” Uma Nurhayati tulak ka batang banyu. Nurhayati lakas bamasak wan manggangan. Kalu pina Abahnya datang, maras sidin kalapahan wan kalaparan.
***
            Imbah tanghari, Abah wan Uma Nurhayati pina garunuman bapandiran. Nurhayati bajauh. Inya ka padu. Dilihatnya pina ada pisang talas masak. Lakas diulahnya cakuduk, diulahakannya jua banyu tih,  imbah itu diantarakannya gasan Abah wan Umanya. Pas Nurhayati datang, badiaman salajur sidin. Ampih bapandiran, kada hakun sidin kadangaran Nurhayati. Imbah maandak wadai cakuduk wan banyu tih, bajauh ai Nurhayati. Kada handak jua inya mandangarakan pamandiran kuwitannya.
Nurhayati balalu ka kamar. Kada lawas hari sanja, pina habang ha pulang. Asa kada nyaman hati Nurhayati. Dikancingnya lalungkang, lawang padu dipalangnya. Abah Nurhayati tulak ka langgar, Umanya lakas jua basiap handak sambahyang.
Nurhayati ancap baudu, umpat Umanya sambahyang. Imbah magrib, Umanya tarus mambaca Yassin wan Tabarak. Nurhayati umpat jua mairingi Umanya mambaca. Kada lawas, Isya pulang. Nurhayati wan Umanya sambahyangan bajamaah. Imbah umanya badu’a, inya lakas ka padu, mahangati gangan wan nasi. Nyaman pas Abahnya datang mulai langgar, salajur makanan.
***
            Imbah makanan, Abah wan Uma Nurhayati kaluar. Nurhayati basisimpun. Kada lawas, kadangaran Umanya bahiau.
            “Nur, ka sia nah. Abahmu handak bapandir.”
            Nurhayati bajalan manunti Uma wan Abahnya.
            “Duduk di parak Abahmu ni, nah. Abahmu handak batakun.”
            Nurhayati baparak wan Abahnya.
            “Nur, malam isuk kaluarga Firman tu handak badatang. Handak balarangan lawan ikam. Tagal, Abah handak batakun dahulu lawan ikam. Ikam ni katuju hajalah lawan Firman tu? Bila katuju, nyaman Abah manampani. Sabulan imbah itu, ikam dinikahakan. Bila kada katuju, nyaman Abah kada manarima. Kaya apa am?”
            Mandangar takunan Abahnya, Nurhayati mandam. Hinip kada sing burinikan.
            “Napa maka badiam haja?” jar Abahnya pulang. “Atau, ikam ni kada katujukah? Nyaman Abah kada manampani.”
            Sabatik-batik Nurhayati kada manyahut.
            “Abahnya, amun Nurhayati tu kada kawa manyahuti, artinya inya katuju tu wan Firman nangitu,” Umanya umpat jua bapandir.
            Habang muha Nurhayati, sampai ka tatalinga.
            Takurihing Abahnya malihat. Tahu dah sidin. Kada salah lagi, anaknya ni katuju jua wan Firman nangitu. Sidin gin katuju ai jua wan Firman tu, napa mun urangnya panyambahyang. Rancak pang tadapat di langgar. Parawaan wan urang tuha, langkar ha pulang urangnya. Cucuk tu pang lawan anaknya nang bungas nangini. Maraha masih mahunur, kaina kawa haja sasambil disuruh manurih.
            “Abahnya, kada kalaranganlah pian ni cagar mamintai urang tu salawi juta? Di kampung kita ni paling larang sapuluh juta. Ngitu gin anak Haji Adul, nang bajual gatah,” Uma Nurhayati batakun.
            “Bah, kada usah bingung, Umanya ai. Kada bataha kada kawa. Aku kada handak anak kita nang bungas, langkar, baik, pintar bamasak, sayang wan kuwitan, wan jua kuliah di STAI ni, pina diubral banar.”
            “Kada kaya itu, Abahnya ai. Kalu ai kaluarga Firman tu kada kawa. Maras anak kita. Jujuran tu kada jua maulah anak kita bahagia. Biar ha jujuran sadikit, kalu urangnya baik wan anak kita katuju, kadada salahnya kita bakalah,”  Uma Nurhayati bapandir pulang.
             “Aku paham haja, Umanya ai. Wajar haja maintai larang. Kaina bila urang datang malam isuk, hanyar kutakuni barapa garang kasanggupan Firman nangitu. Asal inya bajanji bujur-bujur manjaga anak kita dunia ahirat, nyaman hatiku, Umanya ai. Nurhayati ni anak kita saikungannya. Aku kada handak tasalah malakiakan,” Abahnya manyahut.
            “Nur, sadang dah guring. Hari parak dah pukul sapuluh. Wan jangan kada ingat mamalang lalungkang di kamarmu,” Abahnya manyuruh Nurhayati guring.
            Nurhayati balalu ai ka kamar. Hatinya himung kada sakira mandangar pamandiran Uma wan Abahnya. Malam nangitu, asa lawas bangat hanyar subuh. Napa mun Nurhayati kada taguring. Tangah malam, bangun Nurhayati sambahyang tahajut. Habis nitu hanyar inya barabah pulang, lalu kawa taguring.
***
            Saharian ngitu, Nurhayati gugup kada sakira. Napa mun malamnya kaluarga Firman handak badatang. Imbah isya, kaluarga Nurhayati bakumpulan jua barataan di rumah. Banyu tih disurung, wadai gumpal, gaguduh, apam, bubur baayak, wan jua wadai karing tukaran di warung, disurung jua. Uma Nuryahati maulah sutu, gasan makanannya imbah acara balamaran tu.
Kada lawas, rumbungan Firman wan kula-kulanya datangan jua. Disuruh ai masukan ulih nang ampun rumah, duduk baampar di tikar purun. Kaluarga Nurhayati sudah dudukan mahadang bahadulu. Nang bibinian bajurut masukan ka ruang tangah, tatinggal lalakiannya di luar. Nurhayati bahinip di padu sambil bakakaut.
***
            Imbah kaluarga Firman dudukan barataan, bapandir ai tatuha kaluarga Nurhayati, nang bangaran Julak Imuh.
“Nangapa garang habar sampian barataan nangini datangan ka rumah kami nang buruk ngini?” ujar Julak Imuh batakun.
Kada lawas manyahut ai tatuha kaluarga Firman, Uwa Ulis, “Kami ni datangan sabarataan handak umpat batanam nyiur.”
“Umai lih. Nyiur ampun sampian ni nang kaya apa garang?” ujar Julak Imuh pulang.
“Nyiur ampun kami ni harat bangat. Unggul tu pang. Pambuahan kada sakira. Lawan kami marasa cucuk lawan tanah ampun sampian. Tanahnya subur, kada suah kabanjiran, tarawat, lawan jua sudah bapagar ja pulang. Untung banar tu pang mun kami dapat tanah nangini,” ujar Uwa Ulis manyahut sing panjangan.
“Ayuha, kami hakun ai mun nang kaya itu nyiurnya.”
“Amun buhan pian ni bujuran hakun manarima, nangapa am saratnya?” Batakun pulang Uwa Ulis, pina util bangat sidin nangini.
“Nang kaya urang banyak jua ai, sasuai wan adat banua kita,” Julak Imuh ni pina sambil takurihing ha manyahuti. “Pamulaan kami minta piduduk, imbah ngitu kapala kada. Artinya, wadai ampat puluh satu macam, patalian saraba sabuting, salup, baju, tapih, wan banyak ai lagi. Mangarti ai, kalu? Lawan jua, pangalambuan, saisi kamar. Nang pahabisan, duit salawi juta, gasan mangganii aruh,” ujar Julak Imuh sambil tabatuk-batuk kapanjangan bapandir kada ingat nginum.
Gigir urang sabarataan mandangar. Asa larang bangat, saku.
“Umai lih. Kawakah diundur lagi?” ujar Uwa Ulis manyahut. Asa takajut sidin mandangar salawi juta.
“Nah, amun kaya itu kami ni handak ai jua batakun: barapa garang kasanggupan bubuhan pian ni?” Julak Imuh batakun jua.
“Kami ni sabujurannya satuju haja. Tagal kami ni kada kawa manggawi, kababanyakan. Kaya apa mun kami maunjuk duit haja? Istilahnya tu puntal kadut. Kami hanya manyadiakan barang antaran gasan patalian saraba sadikit. Urusan pangalambuan, kami kada tahu.”
Ranaian barataan mandangar sahutan Uwa Ulis. Kada lawas, umpat bapandir Abah Nurhayati.
“Hadangi dahulu. Sabalum kami manampani, kami ni handak batakun jua wan Firmansyah, anak sampian. Bulih ai, kalulah?” Abah Nurhayati batakun.
Abah Firmansyah garunuman, bapandir lawan kula-kulanya.
“Ayuha, takuni haja Firmansyah,” Abah Firmansyah umpat  manyahut.
“Firmansyah, bujurankah ikam ni handak wan Nurhayati?” Abah Nurhayati batakun.
 Takajut Firman. Asa kada suah inya mandangar urang badatang ditakuni macam itu. Tagal nang ngaran hati handak, disahutinya ai bagimit, “Inggih...”
“Gimitnya ai. Nyaringi pang!” ujar Abah Nurhayati sambil lihum takarinyum.
“Inggih, Bah ai. Handak ai,” Banyaring suara Firmansyah. Takurihing sabarataan nang mandangar.
“Hakunkah ikam bajanji?”
“Bajanji napa, Bah?” Firman takajut pulang.
“Ikam bajanji manjagaakan Nurhayati dunia ahirat, hakun mahadang Nurhayati manuntungakan kuliah, mamadahi kalu inya kada mangarti. Kada disariki bila inya kada paham. Wan nang paling pamulaan: kada manduakan Nurhayati, salawas Nurhayati kawa haja manjadi binimu nang baik. Dimapa?” Abah Nurhayati batakun pulang.
Urang mandam sabarataan mandangar takunan Abah Nurhayati. Kada suah  jua saumur-umur urang badatang ditakuni nang kaya itu. Nurhayati nang mandangar lalamatan matan padu gin takajut.
Firmansyah lawas tadiam. Diucapnya salawat dalam hati. Sambil babismillah, inya manyahut, “Insya Allah, ulun sanggup, Bah ai.”
“Alhamdulillah... Himung aku mandangar ikam bajanji. Amun kaya itu, duit salawi juta nang ikam bawa sagan badatang malam ini, kita jadiakan duit gasan aruhan ikam wan Nurhayati. Jujuran nang kami minta: bacakan Fatihah Ampat di hari ikam manikah wan Nurhayati,” ujar Abah Nurhayati pulang.
Takajut barataan nang mandangar malam nitu. Sakalinya jujuran Nurhayati Surah Fatihah Ampat. Julak Imuh wan Uwa Ulis kurihingan. Nang lain gin lihum, asa kada suah manamu jujuran kaya itu. Tagal nang ngaran sudah disambatkan di hadapan urang banyak, badiaman ai kula-kula nang umpat datangan, kada handak mancacampuri urusan nangitu.
Tuntung pamandiran, dibacakan du’a salamat ulih Haji Subri. Sutu disurung, makanan barataan. Malam nangitu, malam pamulaan Firmansyah balarangan lawan Nurhayati.
***
Sabulan imbah balarangan, Firmansyah lawan Nurhayati dinikahakan. Nang kaya kahandak kaluarga Nurhayati, Firmansyah mambaca surah Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Alaq, wan An Nas sagan jujuran lawan Nurhayati.
Batablig, bajapin, bahadrah, wan kasidahan disiwa Abah Nurhayati gasan karasmin pangantin Fimansyah wan Nurhayati. Masyarakat himung, pangantin jua himung, kasanangan jadi raja wan ratu sahari. Mudahan tuntung pandang, ruhui rahayu salawasan.
Amuntai, awal Agustus 2010


Tentang Penulis

Apriadi Darmawan, lahir di Banjarmasin, 26 April 1991. Alumnus SMA Negeri 2 Banjarmasin (2008), kini mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Puisinya menjadi nominasi Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan yang dilaksanakan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kota Banjarmasin (2009).

Aria Patrajaya, lahir di Banjarmasin, 8 Mei 1962. Bermukim dan mengajar di Kabupaten Banjar. Sering menjuarai lomba tulis puisi dan cerpen Kalimantan Selatan, yang berbahasa Banjar maupun berbahasa Indonesia. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Festival Puisi Kalimantan (1992), Gerbang Pemukiman (1998), Wasi (1999), Cakrawala (2000), Narasi Matahari (2002) dan Konser Kecemasan (2010). Aktif di komunitas Kilang Sastra Batu Karaha Kota Banjarbaru.

Arif Rachman, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 8 September 1975. Bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanah Bumbu di Pagatan. Semasa mahasiswa, aktif di Forum Apresiasi Seni (FAS) Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Bergiat dalam teater tradisi maupun teater modern, sesekali menulis puisi dan cerpen berbahasa Banjar.

Arief Al Rifany, lahir di Banjarmasin, 23 Juli 1986. Guru kelas di SDN Bantuil 1. Puisinya salah satu pemenang Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VI di Kabupaten Barito Kuala (2009).  Alamat: Jalan Kecubung II RT 13 Nomor 24, Komplek Griya Permata, Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala.

A. Rahman Al Hakim, lahir di Sungai Namang, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Wartawan harian Mata Banua Banjarmasin. Puisinya dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010).

East Star From Asia (Qinimain Zain),  lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 21 Mei 1965. Menulis puisi, cerpen, esai sastra dan opini sejak 1980-an, dipublikasikan di pelbagai media cetak lokal, antara lain Radar Banjarmasin. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Taman Banjarbaru (2006) dan Konser Kecemasan (2010).

Erika Adriani, lahir di Banjarmasin, 18 Agustus 1982. Guru SMP Negeri Kecamatan Batu Mandi, Kabupaten Balangan. Tinggal di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kota Banjarmasin. Juara I Lomba Menulis Puisi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan Dewan Kesenian Kota Banjarbaru dan Radar Banjarmasin (2008), Juara III Lomba Menulis Esai Sastra Kalimantan Selatan yang diadakan ruMah Cerita Banjarbaru dan Radar Banjarmasin (2008), 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) V di Kabupaten Balangan (2008), Juara III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan yang dilaksanakan Disbudparpora Kota Banjarmasin (2009), dan 10 Puisi Terbaik Lomba Cipta Puisi ASKS VI di Kabupaten Barito Kuala (2009). Puisinya terdapat dalam antologi bersama Darah Penanda (2008), Ziarah Pelangi Balangan Menari (2008) dan Nyanyian Akar Rumput (2009).

Eza Thabry Husano, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 3 Agustus 1938. Pendiri komunitas Kilang Sastra Batu Karaha di Kota Banjarbaru. Menulis puisi, cerpen, naskah drama, esai sastra, dipublikasikan di media cetak lokal maupun nasional. Antologi puisi tunggalnya Rakit Bambu (1984), Surat Dari Langit (1985), Clurit Dusun (1993), dan Aerobik Tidur (1996). Sejumlah antologi bersama juga memuat puisinya, antara lain Banjarbaru Kotaku (1974), Dawat (bersama Hamami Adaby, 1982), Festival Puisi Kalimantan (1992), Jendela Tanah Air (1995), Getar (1995), Getar II (1996), Bangkit III (1996), Gerbang Pemukiman (1997), Wasi (1999), Datang Dari Masa Depan (1999), Cakrawala (2000), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000), Bahana (2001), Tiga Kutub Senja (2001), Narasi Matahari (2002),  Sajadah Kata (2002), Notasi Kota 24 Jam (2003), La Ventre de Kandangan (2004), Baturai Sanja (2004), Bulan Ditelan Kutu (2004), Anak Zaman (2004), Bumi Menggerutu (2005), Dimensi (2005), Perkawinan Batu (DKJ, 2005), Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009) dan Konser Kecemasan (2010). Menerima Hadiah Seni (Sastra) Gubernur Kalimantan Selatan (1985), Penghargaan Sastra Bupati Barito Kuala (1987) dan Penghargaan Sastra Walikota Banjarbaru (2004).

Hatmiati Masy’ud, lahir di Paran, 6 April 1975. Alamat: Komplek CPI 1 Blok H Nomor 9, Desa Kotaraja, Kecamatan Amuntai Selatan, Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Herlianti, lahir di Astambul, Kabupaten Banjar, 30 Mei 1991. Siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Martapura, Kelas XII (Alam), Semester I (Ganjil). Alamat: Jalan A. Yani Km 47, Desa Astambul Seberang (Sungai Langsat), RT 01 RW 01 Nomor 018, Kecamatan Astambul, Kabupaten Banjar.

H. Fahmi Wahid, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 3 Agustus 1964. Bekerja di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Balangan. Saat kuliah di Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin aktif di bidang sastra dan teater, mengkoordinir acara kesenian dan sekretaris Teater Pena Banjarmasin (1987-1990). Puisi ketua Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini masuk Nominasi 5 Besar Lomba Tulis Puisi Bahasa Banjar Kalimantan Selatan (2000). Puisinya dimuat dalam antologi bersama Seribu Sungai Paris Barantai (2006), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Bertahan di Bukit Akhir (2008).
 
H. Muhaimin, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 22 Mei 1979. Pembina seni di Pondok Pesantren Istiqamah, Barabai. Menulis puisi sejak di sekolah menengah. Karya pengurus Dewan Kesenian Murakata (DKM) Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ini dimuat dalam antologi bersama Bertahan di Bukit Akhir (2008).

Jaya Ginmayu (Jauhar Yamani), lahir di Kabupaten Tabalong, 16 Oktober 1974. Bermukim di Kelurahan Jangkang, Tanjung. Alumnus STIPER Amuntai dan FKIP JPOK Universitas Terbuka (UT). Selain mengajar di SDN Palanjungan Sari, Banjang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, juga mengajar di SMP Hasbunallah, Tanjung. Menggeluti olah raga beladiri, seni musik, tari, lukis, sastra dan, terutama, teater. Ketua Sanggar Pusaka Tabalong ini juga aktif di Sanggar Langit, Tanjung, dan Dewan Kesenian Tanjung (DKT). Puisinya terdapat dalam antologi bersama Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Jakaria Kastalani, lahir di Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, 7 November 1975. Menggeluti seni baca puisi, teater dan tari. Bekerja di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Kuala di Marabahan.

Komariah Widyastuti, lahir di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 18 Desember 1989. Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan, Program Studi Bimbingan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Juara Lomba Cipta Puisi ASKS VI di Kabupaten Barito Kuala (2009). Alamat: Jalan Kecubung II RT 013 RW 004 Nomor 20, Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala.

Muhammad Rifqi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 1 Februari 1988. Mahasiswa Fakultas Teknik, Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Alamat: Jalan Pangeran Antasari RT 12 Nomor 20, Barabai.

M. Fuad Rahman (Kayla Untara), lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Bermukim di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Menulis puisi, cerpen, dan berteater di Posko La Bastari, Kandangan. Puisi, cerpen dan artikelnya dipublikasikan di Tabloid Gerbang, Serambi Ummah, Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Cerpennya dimuat di Orkestra Wayang -- antologi cerpen sastrawan Kabupaten Hulu Sungai Selatan (2007). Puisinya juga dimuat dalam antologi bersama La Ventre de Kandangan (2004) dan Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

M. Nahdiansyah Abdi, lahir di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, 29 Juni 1979. Bekerja dan bermukim di Kota Banjarbaru. Sering mengulas karya sastra dari sudut psikologi, sesuai pendidikannya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (2003). Puisinya dipublikasikan di Radar Banjarmasin dan antologi bersama Bumi Menggerutu (2005), Melayat Langit (2006), Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab (2006), Jejak-jejak Angin (bersama Hajriansyah, 2007), Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Bertahan di Bukit Akhir (2008), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), dan Konser Kecemasan (2010). Pistol Air (2008) dan Pewaris Tunggal Istana Pasir (2009) adalah dua antologi puisi tunggalnya.

Nasrullah, lahir di Bantuil, Kabupaten Barito Kuala, 6 Februari 1989. Alamat: Jalan H.M. Ruslan RT 006, Kelurahan Bantuil, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala.

Nur Hidayah, lahir di Banjarmasin, 11 Agustus 1991. 10 Besar Finalis Galuh Banjar (2009), mahasiswi Jurusan Ilmu Komputer di Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sering menjuarai lomba tulis puisi, cerpen, lomba bakisah bahasa Banjar, lomba model dan pemilihan Diang Barito di Marabahan, Kabupaten Barito Kuala. Puisinya dipublikasikan di Banjarmasin Post dan Radar Banjarmasin. Bergabung dengan Sanggar Seni Rindang Bahalap di Marabahan.

Rahman Rijani, lahir di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 1 Oktober 1987. Bergiat di Teater Kantawan dan CPA Meratus Hijau, Kandangan. Sering membacakan puisi dan menampilkan happening art pada momen-momen tertentu di kota Kandangan. Puisinya dimuat dalam antologi bersama Doa Pelangi di Tahun Emas (2009).

Randi Arma Prayuda, lahir di Murung Pudak, Kabupaten Tabalong, 4 April 1986. Mahasiswa. Alamat: Jalan Brigjen. H. Hassan Basry, Komplek Kayu Tangi II Jalur 3 Banjarmasin.

Sudarni, lahir di Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, 30 Juli 1948. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS) RRI Banjarmasin dan Banjarmasin Post. Juara II Lomba Penulisan Pantun Berkait Kalimantan Selatan (1988), 10 Nominasi Lomba Cipta Puisi Kalimantan Selatan (1991), Juara I Lomba Cipta Puisi Kabupaten Hulu Sungai Utara (1995) dan Juara III Sayembara Penulisan Cerita Rakyat Porseni PGRI HSU (1996). Puisinya dimuat dalam Mahligai Junjung Buih (2007) -- antologi puisi bersama penyair Kabupaten Hulu Sungai Utara.

Syarifuddin, lahir di Bantuil, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, 17 November 1987. Alamat: Jalan H.M. Ruslan RT 005, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala.

Tri Restu Panie, lahir di Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, 19 Februari 1988. Pernah ikut lomba baca puisi dan teater. Operator di Pixel Digital Printing. Alamat: Jalan Kecubung II RT 13 Nomor 24, Komplek Griya Permata, Kelurahan Handil Bakti, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala.

Zurriyati Rosyidah (Sisy), lahir di Mandiangin, Kabupaten Banjar, 28 Mei 1988. Berdarah campuran Palembang-Banjar. Aktif di komunitas sastra di Kota Banjarbaru. Sering menjuarai lomba penulisan karya sastra. Puisinya dimuat dalam antologi bersama, antara lain Darah Penanda (2008), Malaikat Hutan Bakau (2008), Wajah Deportan (2009), Menggoda Kehidupan (2009), dan Nyanyian Akar Rumput (2009). Memiliki dua alamat: di Kecamatan Karang Intan (Kabupaten Banjar) dan Sungai Ulin (Kota Banjarbaru).



[1] Juara I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[2] Juara II Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[3] Juara III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[4] Juara Harapan I Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[5] Juara Harapan II Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[6] Juara Harapan III Lomba Cipta Puisi Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[7] Juara I Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[8] Juara II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII 2010
[9] Juara III Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII 2010
[10] Juara Harapan I Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII 2010
[11] Juara Harapan II Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII 2010
[12]Juara Harapan III Lomba Mengarang Cerpen Bahasa Banjar Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) VII 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar