2000 + 25 = S.O.S.!
Monolog
Y.S.
Agus Suseno
Di ruangan yang
suram mencekam dan meruapkan bau kematian, seseorang datang dari masa lalu.
Memantulkan jejak kelam masa silam, kesengsaraan seluruh umat manusia seakan
tergambar di wajahnya. Tertatih-tatih menyeret sesuatu, memperlakukan benda itu
seakan sebuah bangsa mempertahankan martabat dan kedaulatannya.
Aku harus bicara. Ya, aku harus bicara. Tapi
karena manusia tak dapat dipercaya, aku hanya akan bicara kepada Ning Diwata, kepada kalian: serunai
bambu dan gendang yang tak lagi bertalu, gong dan giring-giring balian
yang tak lagi berpadu, lalaya dan lilihi yang tak ada lagi.
Semoga arwah para datu dan leluhur, yang kuburannya tergusur,
mendengar... (Duduk, terengah-engah)
Kami sudah berusaha sekuat daya
mempertahankannya. Warga seluruh balai di
Pegunungan Meratus sudah berjuang bahu membahu. Namun, ternyata... (Bangkit
dari tempat duduk). Aku ingat, ya, aku masih ingat... Saat itu, aku masih muda. Aku dan anak istri tinggal di balai bersama warga balai
lainnya. Sore itu cuaca cerah. Udara segar. Langit bersih. Matahari mengintip di
sela dedaunan. Aku merokok dan bercengkerama bersama kawan-kawan, beristirahat setelah
sepanjang pagi dan siang membersihkan huma, kebun
karet dan kayu manis. Istriku menggoreng ikan yang dipancingnya di sungai. Anak-anakku,
bersama anak-anak balai lainnya, bermain di bawah rindang pepohonan. Itu adalah saat-saat yang selalu kami syukuri, seakan surga sendiri hadir di bumi.
bersama anak-anak balai lainnya, bermain di bawah rindang pepohonan. Itu adalah saat-saat yang selalu kami syukuri, seakan surga sendiri hadir di bumi.
Hasil panen kami tidak melimpah,
tapi kebun dan pohon menghasilkan buah. Itu pun cukuplah. Kemurahan hutan dan
pegunungan telah menghidupi kami turun temurun. Kami hanya harus merawat dan
memeliharanya untuk kelangsungan hidup anak cucu kami.
Aku dan warga balai lainnya sedang
merundingkan rencana berburu untuk melaksanakan aruh, pesta sehabis panen, ketika
tiba-tiba Kepala Balai datang tergopoh-gopoh dan menyuruh kami berkumpul. Dia
gugup sekali.
“Orang-orang perusahaan itu telah mengerahkan traktor dan buldozer!” katanya. “Mereka mulai
membabat hutan, dan kita harus mencegahnya bila tak mau dikutuk Ning Diwata!”
Para lelaki geram. Gigi mereka
gemeletuk. Perempuan dan anak-anak ketakutan. “Mereka di mana?” tanyaku. “Di perbatasan dusun
kita!” jawab Kepala Balai, “Persis di batas wilayah balai kita dengan balai
dangsanak kita lainnya di barat, timur, utara dan selatan!”
Kami segera mempersiapkan upacara:
memohon pertolongan Ning Diwata dan menghimpun kekuatan seluruh penguasa
alam raya. Lalu, di malam hari,
kami menyergap orang-orang
itu dengan sumpit, tombak dan mandau. Kami bunuh mereka tanpa suara,
meskipun ada yang sempat lari menyelamatkan nyawa.
(Menghela napas) Sebelum peristiwa itu,
kami sudah beberapa kali menemui penguasa
negeri ini dan menyampaikan isi hati. Kami bilang: “Kami tak sudi hutan
kami ditebangi, perut bumi dibongkari. Kalau dipaksakan juga, kami siap
berkubang darah dan berkubur untuk mempertahankannya!”[1] Tapi
mereka tetap bersikeras. Tanah dan hutan warisan nenek moyang kami dirampas!
Setelah diserang, mereka membalas.
Kami mati-matian melawan. Tapi laksana air bah, mereka datang bergelombang
dalam jumlah lebih besar, dibantu orang-orang berseragam. Mereka menembaki
kami! Sebagian di antara kami, mati, sebagian ditangkapi, sebagian melarikan diri, sebagian
mengungsi. Sebagian lagi hilang, mayatnya ditemukan di dasar jurang...
Saat itu terjadi, beberapa isak
rebak, ada bau bunga semerbak, bau dupa semerbak, bau garu semerbak, bau menyan
putih semerbak, lalu meruap bau darah...[2]
(Tiba-tiba ia tersentak. Diam. Seakan mendengarkan sesuatu. Dengan wajah
mencekam, ia berlutut.)
Duh... Ning Diwata sesembahan alam raya
buyut
intah Bambang Siwara
telah
bersekutu dengan Datung Sumaliih
meracuni
mata air buyut intah Datung Ayuh
mereka
sumpahi semua menjadi batu
hingga
nurani kami pun mulai berbunga batu
mereka
serakkan ludah-ludah dunia
dan
menghela kami ke penjara kabut
yang
menghalalkan mendaki pundak sesama
untuk
bisa melihat matahari
Duh...
Sang Jata yang lunggun di Sapta Pertala
bilas
keringat kami yang memupuk tugalan
pada
mulanya bermakna kebersamaan
kini
menjelma mimpi di langit-langit ujuk
membiuskan
nafsu pemilikan kebendaan
sehingga
hati nurani kami mulai memperanakkan macan
yang
menyiapkan cakar dalam keseharian
Duh...
Sang Mahatara yang lungguh di Sapta Paksina
ke
mana lagi kami sangkutkan
cicit
anak-anak burung ini
anak-anak
burung yang bakal hilang sarang
anak-anak
burung yang jadi anak jadah kemajuan [3]
(Bangkit
sempoyongan) Duh... Ning Diwata nang manggaduh tihang aras mula jadi... Nang manggaduh
tihang aras mula ada... Turunan di gantang amas di gantang kaca... Turunan di
gantang intan di gantang sari... [4]
Di
mana sekarang istri dan anak-anakku... Di mana Kepala Balai, damang, balian dan seluruh
warga balai...?
(Termangu dengan wajah hampa)
Setelah penjarahan besar-besaran
itu, kami melata ke mana-mana membawa luka, dilarang hidup di kawasan hutan
warisan leluhur kami. Sungai dan lubuk kehilangan ikan, tak ada hutan karena
tak ada pepohonan...
Setelah pohon-pohon habis ditebangi
dan perut bumi dibongkari, banjir besar menenggelamkan dusun-dusun dan kampung
di bawah gunung. Kemarau panjang yang menyusul kemudian sungguh mengerikan.
Tanpa harapan, warga balai yang terlunta-lunta mengungsi menuju matahari terbenam. Kami tak
mengerti mengapa bencana melanda. Mungkinkah Ning Diwata murka...
Aku telah bertemu dengan beberapa warga. Sejumlah
Kepala Balai jadi tukang ojek di kota untuk menghidupi keluarganya, damang
dan balian jualan obat di pinggir jalan, yang lain berjualan di kaki lima, beberapa wanita jadi
pelacur atau piaraan orang-orang
perusahaan. Ada juga yang jadi maling, rampok, penjudi dan
pemabuk.
(Menghela napas panjang)
Semua itu terjadi setelah traktor, buldozer dan chainsaw merampok,
mengobrak-abrik tanah dan hutan kami. Ada beberapa bekas warga balai yang bekerja di pertambangan
batu bara dan perkebunan kelapa
sawit itu, demi sesuap nasi. Sejumlah warga menjadi gila
dan berkeliaran
di jalan...
Malapetaka itu terjadi sekitar tahun dua ribu. Itu beberapa tahun yang lalu.
Rasanya, baru saja. Kini, semuanya musnah. Aku sendiri menjelma arwah penasaran yang mengembara di alam raya,
mencari anak-istri dan warga balai lainnya yang terlunta-lunta...
Tapi orang-orang itu telah
terlaknat! Mereka terkena sumpah dan kutukan nining datung kami. Jadi...
Ya, jadi... Siapa pun yang menindas kami, siapa pun yang secara langsung
atau tidak langsung menyetujui, atau mendapat keuntungan atas kehancuran dan
kesengsaraan kami, terkutuk sampai mati! (Ia berkemas-kemas)
(Lirih dan parau) Jeram di hulukah yang menghilirkan arus payau,
ataukah angin hilir yang mendiruskan risau...[5]
Lampu padam
Banjarmasin, 10 April 2000
“X” (IBNU HADJAR) DLL
Monolog
Y.S.
Agus Suseno
Pentas berupa
ruang tamu sederhana dengan seperangkat meja kursi sederhana. Di dinding,
terpajang foto-foto lama dalam bingkai lama, beberapa tanda penghargaan,
sertifikat dan jam dinding tua. Di samping bendera merah-putih dan lambang
burung garuda, tampak foto Presiden
Soekarno dalam bingkai besar. Suasana mengesankan masa
lalu, seperti pria uzur yang ada di ruangan itu.
Semakin tua aku, makin banyak yang
tidak kupahami tentang manusia, kian banyak yang mesti kupelajari tentangnya.
Tapi aku sudah bau tanah, anak-cucu-buyut tak ada lagi yang tinggal
serumah. Istri sakit-sakitan, seakan menunggu maut di ranjang kematian. Rumah
ini seperti kuburan...
Apakah aku kecewa karena orang tak
lagi menghargaiku? (Tertawa mengejek) Tidak. Aku tak lagi kecewa, sudah
bosan dengannya. Aku hanya tak mengerti, mengapa tidak ada lagi rasa hormat,
alih-alih menghargai, pada orang tua... (Terbatuk) Padahal seharusnya
mereka tahu, nang tuha dituhaakan, nang anum disayangi...
Kemarin pagi, saat bertemu di kantor
pos untuk mengambil tunjangan veteran yang hanya cukup untuk hidup seminggu
itu, A mengeluh lagi. Istrinya sudah sepuluh tahun meninggal. Dia
terpaksa tinggal di rumah anak-cucu dan merasa diperlakukan sebagai pembantu.
“Kau masih ingat gadis dusun yang jadi rebutan dulu, ketika kita bergerilya di
pedalaman?” katanya. “Gadis yang sempat membuat beberapa kawan kita berkelahi,
memperebutkan gadis yang matanya mancar mancararat mancarunung, mambintang
siang, nangkaya amas hanyar dituang? Dia kini tinggal di rumah mewah,
karena putranya jadi pejabat penting. Kau tahu, putranya itulah yang menolak
bertemu kita, ketika kita ingin bertemu dengannya. Sewaktu jadi pejabat di
tempat lain, dia membangun gedung veteran yang megah, padahal banyak di antara
kita tak punya rumah...”
(Tertawa kecil) Sejak dahulu,
A memang lucu dan suka bicara. Itu pula yang membuatnya tertembak di
kaki, karena tak mau diam saat kami mengintai Belanda di tangsi. Serdadu
Belanda tahu posisi kami! Malam itu, kami ditembaki membabibuta! Kami lari
kocar-kacir dan A kena tembakan di kaki kiri. Sejak itu, dia pincang dan
berjalan dengan tongkat.
A orang baik. Dia juga
bercerita tentang... (Mendengarkan) Ada apa, sayang? (Mendengarkan)
Oh, belum! Dokter belum datang! Mungkin sebentar lagi! Ya, aku menunggunya
di sini. Kemarin sudah kukatakan agar dia kemari untuk memeriksa kesehatanmu,
sekaligus membawakan obat... Kenapa? (Mendengarkan) Oh, ya, sebentar,
sayang. Akan kuambilkan... (Exit)
(Muncul) Istriku... minta
minum. Dia telah memberiku enam anak, limabelas cucu dan empat buyut. Perempuan
yang baik dan setia. Penyakit telah menggerogoti tubuhnya hingga tak berdaya.
Yah... Anak-cucu dan buyut kami tak ada yang mau tinggal di sini. Katanya,
ingin mandiri. Beberapa minggu sekali mereka datang, menengok. Kalau cucu-cucu
dan buyutnya datang, istriku seperti hidup lagi. Tapi sudah beberapa pekan
mereka tak kemari, katanya sibuk sekali... (Terbatuk-batuk)
(Tercenung) A... B...
C... D... Ah... X! Sudah berapa lama X tiada?
Lelaki yang pemberani dan ditakuti, tapi garis tangan lain menggariskan jalan
hidup yang juga lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya dahulu. Apa yang
salah dengan pilihan jalan hidup? Seseorang takkan menanggung dosa orang lain.
Orang bebas menentukan jalan hidupnya sendiri dan, bagiku, asalkan tidak
melanggar norma adat, budaya dan agama, kenapa tidak? Manusia cuma tidak bisa
memilih orangtuanya ketika dilahirkan. Yang agak kusesalkan adalah... kami
sudah seperti saudara kandung. Waktu anak-anak, sarantang-saruntung.
Kenangan mudah dilupakan, tapi tak bisa dihapuskan...
“Mau tahu alasanku tidak memihak
republik dan memberontak?” kata X waktu itu. Saat itu, aku kebetulan
bertemu dengannya di sebuah dusun, di kaki Pegunungan Meratus. Malam hari. Aku
pulang dari rumah saudaraku di dusun itu dan hendak kembali ke kota. Di warung
pinggir jalan, dalam temaram cahaya lampu damar, aku bertemu dengannya. Dia,
bersama beberapa kawannya, memaksaku ke hutan dan bertanya apakah aku masih
menganggapnya dangsanak? Apakah aku akan melaporkan posisi mereka ke
pihak republik?
Kukatakan: aku tidak tahu, dan tidak mau tahu,
tempat persembunyian mereka dan, walau bagaimanapun, tetap menganggapnya dangsanak,
tidak peduli di pihak republik atau pemberontak. Aku memang memilih pihak
republik, tapi bukan penjilat atasan yang tega mengkhianati kawan sendiri... (Terbatuk)
X dan kawan-kawannya tampak
lega dan tak terlalu mencurigaiku lagi. Mereka menyandarkan senapang dumdum di
batang pohon tempat kami bicara itu, tapi tangan tetap memegang mandau di
pinggang. “Republik tidak adil! Pemerintah pusat tidak menghargai perjuangan
kita yang bergerilya melawan penjajah. Setelah proklamasi kemerdekaan,
proklamasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dan demobilisasi, berapa banyak
gerilyawan yang ditolak jadi TNI? Karena kami tak punya ijazah, badan kurang
tinggi dan tidak sehat? Tapi kenapa banyak mantan KNIL yang diangkat jadi
tentara? Sebagai orang republik, kau bisa jawab itu?” X bicara
berapi-api sambil manggiling timbaku berkali-kali.
Aku tak bersuara. Kawan-kawan X tetap
waspada, memandangiku dengan mata menyala, bagai mata musang pandan di
kegelapan. Sebagian berjaga-jaga dan mengawasi jalan... (Menghela nafas) Apalagi yang dapat
kukatakan? Aku bukan perwira tentara, hanya gerilyawan biasa. Hassan Basry
telah dikirim ke Mesir. Kabarnya, disekolahkan pemerintah pusat. Tapi kami
tahu, itu cuma taktik pemerintah pusat untuk menghindari konfrontasi, mengingat
pengaruhnya terhadap kami. Walau bagaimanapun juga, sebagian besar di antara
kami, di pihak republik atau pemberontak, adalah bekas anak buahnya...(Terbatuk-batuk)
(Terdengar ketukan di pintu.
Suara orang mengucapkan salam) Oh... Wa’alaikum salaaam...!
Mari, silakan masuk! Sudah
ditunggu dari tadi. Apa kabar? (Bersalaman. Mendengarkan) Oh, aku sehat
saja, cuma istriku yang harus diperiksa. (Mendengarkan) Ya. Begitulah.
Dia tidak mau, tetap tak mau dirawat di rumah sakit! Katanya, kalau pun sampai
juga umurnya, dia mau meninggal di rumah saja. (Mendengarkan) Ya, ya...
Silakan! Periksalah! Mari kuantar... (Exit)
(Muncul lagi. Merapikan bingkai
foto yang miring di dinding. Menurunkan bingkai foto yang lain, membersihkannya
dari debu. Mengeluarkan emblem, wing, pin dan kartu anggota LVRI dari laci,
meletakkannya di atas meja dan membersihkannya. Menurunkan lambang burung
garuda dan menyekanya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca, seolah lawan
bicara.) Aku tak menyalahkanmu, X. Katamu, rumput ma’alahakan
banua. Itu benar waktu itu, sekian tahun kemudian, dan mungkin sekarang
masih.
Kukatakan, sebaiknya dia menyerahkan
diri. Dia marah sekali. “Banganga dahulu, hanyar baucap. Upung mamadahi
mayang!” serapahnya. Matanya merah menyala. Lalu, “Awas, jangan bilang
siapa-siapa tentang pertemuan ini. Jangan anjur atar. Jangan adu asah.
Pergilah!” Sambil mengembalikan senapang yang pelurunya telah diambil,
dimintanya rokok yang tadi kubeli di warung... (Terbatuk-batuk)
Kami
berpisah malam itu. Aku kembali ke dusun, mereka menghilang di kegelapan.
Itulah pertemuan terakhir kami. Kudengar, X dan gerombolannya berpindah-pindah
tempat persembunyian di sepanjang hunjuran Pegunungan Meratus, menghindari
pengejaran tentara republik. Dia amat taat beribadah dan mewajibkan semua anak
buahnya shalat. Bagi yang melanggar, hukumannya amat berat. Orang-orang Dayak Meratus yang
bersimpati, tidak tahu, atau tak peduli pada apa yang terjadi, memberi perlindungan dan makan.
Tentara republik tak mampu menangkapnya! Waktu berlalu. Tahun berganti. Setelah
kelompok gerilya kami dibubarkan, aku menyunting gadis dusun tempat bergerilya
dahulu, pindah ke tempat lain dan berjualan pancarikinan, sambil bahuma.
Lalu, kudengar kabar... Sekembali
dari Mesir, Hassan Basry diminta pemerintah pusat membujuk X yang
menolak menyerah dan keluar dari hutan. Dengan janji akan diampuni, juga karena
yang datang menemui mantan pimpinan sendiri, X keluar hutan. Dia dan
anak buahnya turun gunung dan menjalani pemeriksaan di kota.
Tapi pemerintah pusat berkhianat!
Menggunting dalam lipatan, telunjuk lurus kelingking berkait! X ditangkap,
senjatanya dilucuti... (Mendesah, geram) Kabarnya, dia ditembak mati di
Lapangan Merdeka, di bekas Port Tatas, yang pernah jadi markas Belanda, musuh
yang sangat dibencinya. Ada juga yang bilang dia dibawa ke Jakarta dan ditembak
mati di sana...
(Menerawang) X...
Mungkin lebih baik begitu...
Lebih baik kau mati
lebih dulu, daripada menjalani masa-masa sukar seperti yang kemudian aku dan
kawan-kawan lainnya alami, bertahun-tahun kemudian. Kata orang, kau tak bisa
diampuni karena telah bergabung dengan DI/TII, bersama Kartosuwiryo di Jawa
Barat, Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Makassar. Kata pemerintah
pusat, kau ingin mendirikan NII bersama mereka. Apakah itu benar? Wallahu
a’lam...
Kehidupan keluargaku sendiri,
setelah peristiwa itu, tidak berjalan mudah. Di zaman sulit itu, setelah pembubaran
kelompok-kelompok gerilya, perampok merajalela dan pembunuhan terjadi di
mana-mana. Untuk mencari penghidupan yang lebih baik, kami pindah tempat
berkali-kali, sebelum kemudian menetap di sini.
Pada suatu hari, saat bahan makanan dan
kebutuhan pokok lain sukar didapat, aku terpaksa membuat lanting dan
tinggal di pinggir sungai. Itu setelah sebelumnya aku terpaksa harus menjual
rumah untuk mengobati istriku yang mulai sakit-sakitan, juga untuk biaya
sekolah anak-anak... (Terbatuk lagi)
Aku menghidupi keluarga dengan
mencari ikan, menjadi nelayan. Kalau liburan sekolah, anak-anak yang beranjak
remaja menjadi pambatangan. Syukurlah, keadaan kemudian berubah menjadi
lebih baik. Kawan-kawan sesama mantan gerilyawan masih mengingatku, tiap bulan
kadang kami bertemu di kantor pos itu.
(Terperanjat saat menyadari ada
yang datang) Oh! Eh... Bagaimana keadaannya, Dok? Sudah disuntik? (Mendengarkan)
Ya, ya, ya... Obat-obatan yang dokter berikan selalu diminumnya. Aku
sendiri yang meminumkannya. (Mendengarkan dengan saksama) Kenapa? (Terkejut)
Mengapa tidak bisa? (Air mukanya berubah panik) Bukan saya yang
tidak mau, tapi dia!
(Mendengarkan) Oh, jadi tetap harus dibawa ke
rumah sakit? Sekarang? Sekarang juga? (Panik) Aduh, bagaimana ini... (Berjalan
hilir-mudik)
Baiklah, Dokter. Pergilah. Panggillah
ambulans! (Terbatuk-batuk) Ya! Aku akan menemaninya, tapi mau menyiapkan pakaian yang akan dibawa
dulu! (Exit)
(Terdengar suaranya dari ruangan
lain) Tunggu sebentar, ya, sayang! Dokter sudah pergi memanggil ambulans.
Mungkin tak lama lagi mobilnya datang. Aku sedang mengumpulkan pakaian yang
akan dibawa. Sebentar lagi aku ke sana! Selimut biru kesayanganmu sudah
kumasukkan dalam koper. Kita tak sempat lagi mengabari anak-cucu. Nanti saja
kalau sudah di rumah sakit! (Terbatuk-batuk keras sekali)
(Muncul. Tersengal-sengal
mengangkat koper. Matanya menyipit. Berjingkit, mengarahkan pandangan ke jalan)
Kenapa lama sekali dokter itu pergi? (Tiba-tiba sadar) Eh, bagaimana
keadaan istriku? (Exit)
(Dari dalam, terdengar jeritan
tertahan)
(Muncul dengan sempoyongan) Tolong... Toloong... Tolooong...! (Roboh)
Lampu padam
Banjarmasin, 2007
TUKANG OBAT
Monolog
Y.S. Agus Suseno
Di
keramaian pasar. Di antara lalu lalang orang. Di bawah tenda. Siang hari.
Saat lampu
panggung menyala, ia sudah hadir. Hilir mudik, sibuk menata berbagai barang
yang terletak di depannya: tengkorak buaya besar, tengkorak-tengkorak
kecil, kulit ular, jimat, kalung dari
gigi binatang, tombak, mandau dan sumpit
yang disandarkan pada sebuah perisai;
jaring besar, butah, tali nilon dengan mata kail besar di
ujungnya, biji-biji buah kering, akar-akar kayu dan ratusan botol besar-kecil
berisi cairan aneka warna. Ada juga kliping koran bergambar orang-orang
berpenyakit kulit, kliping foto pejabat penting, sertifikat dan tiket pesawat bekas pakai. Di satu sisi, tampak onggokan benda yang ditutupi kain hitam. Di sudut lain, lebih
besar dan paling mencolok, tampak sebuah benda yang diselimuti kain kuning,
bertabur melati dan kenanga.
(Ceria dan bersemangat) Ayooo...!
Mari... Mari kemari, bapak, ibu dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi
pudak harum melati. Ini minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali! (Tertawa)
Mari! Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!
Ya.
Mari, saudara-saudara... Mau cari sahabat? Mari mendekat. Mau cari musuh? Harap
menjauh. Saya ada di sini, khusus untuk Anda. Untuk silaturahmi, demi kebaikan
bersama.
Bapak-bapak,
ibu-ibu dan saudara-saudara... Hari ini saya tidak jualan obat, tapi ingin berbagi pengalaman.
Percayalah, saya tidak akan
mengambil uang Anda. Jadi, jangan ragu-ragu. Mendekatlah! Anda beruntung sekali
hari ini, karena akan bertemu dengan sesuatu yang belum pernah Anda lihat
seumur hidup! Boleh percaya, boleh tidak: ketika benda ini saya tunjukkan di
tempat lain di kota lain, beberapa orang pingsan, yang lain kesurupan! Jadi,
saya mau mengingatkan: bagi Anda yang tidak kuat mental alias lamah bulu,
jangan terlalu dekat! Silakan agak ke belakang. Soalnya, reaksi awal bagi yang
pertama kali melihat biasanya adalah
dada berdebar, badan gemetar!
(Tersenyum lebar) Tapi jangan khawatir! Karena
saya yang membawanya, tentu cuma sayalah yang mampu mengendalikannya (Tertawa).
Jadi, tenang saja! Selama bersama saya, Anda aman. Dijamin! Sekarang... Apa yang saya maksud sebagai
benda yang belum pernah Anda lihat seumur hidup itu? Anda ingin tahu?
(Dengan mimik serius, menunjuk benda yang diselimuti kain kuning) Anda lihat ini? (Mendekati benda itu) Inilah benda yang saya maksud. Anda
tahu, ketika benda ini saya buka di tempat lain di kota lain, turis asal Malaysia dan Brunei berebut
ingin membelinya, karena dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia! Mereka
mendatangi hotel tempat saya menginap dengan membawa uang sekoper! Anda tahu,
berapa mereka berani bayar? Satu miliar! Tapi tidak saya jual. Anda pasti tidak percaya: ditawar
satu miliar, tapi tidak dijual. Apa saya sudah gila? Apa saya tak perlu uang? (Tertawa)
Bapak-bapak,
ibu-ibu dan saudara-saudara, maaf... Saya bukan sombong, tidak takabur! Anda
lihat tiket-tiket pesawat bekas pakai itu? Tiap bulan saya bepergian ke kota lain dengan pesawat terbang.
Jadi, bagi saya, uang bukan soal. Maaf.
Tapi
bukan itu intinya. Anda tahu, tanah warisan kakek saya saja di Pegunungan
Meratus sudah ditawar perusahaan tambang seratus miliar! Kenapa? Sebab, di dalam tanah itu isinya
batu bara
semua! Jadi, apa artinya uang semiliar bagi saya? Yang ingin saya katakan adalah:
berapa pun benda ini mau dibeli, tidak
akan saya jual. Kenapa? Karena benda ini sendiri dan sejarah yang melatarbelakanginya.
Saya akan mengisahkan sejarah ditemukannya benda ini kepada Anda. Tetapi,
sebelumnya, maaf, saya haus. Jadi, saya minum dulu... (Tertawa, mengambil
botol air mineral dan meminumnya)
(Meletakkan botol air mineral) Anda sudah tidak
sabar ingin melihatnya, setelah mendengar cerita saya tentang benda ini? (Tertawa)
Sabar, sabar... Benda ini tidak akan
ke mana-mana. Dia tidak boleh jauh dari saya. Soalnya, kalau benda ini lepas dari saya dan jatuh ke
tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, akan terjadi bencana! Saya
akan mendapat sanksi luar biasa dari suku pedalaman yang memercayai saya untuk
menjaganya.
Suku pedalaman? Ya! Anda
tahu, saya telah mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini. (Mengubah
ekspresi, menjadi lebih serius dan dramatis) Anda lihat ini? (Kepada
penonton, memperlihatkan goresan
bekas luka di sepanjang lengan dan leher) Inilah harga yang harus saya bayar untuk mendapatkan benda ini. Tapi hasilnya sepadan!
Saya dan banyak orang sudah membuktikan keampuhan benda ini, meskipun, sebagai
akibatnya, kepala saya hampir lepas dari badan. Anda mau bukti? Maaf, saya
tidak bermaksud pamer. Bagi Anda yang punya ilmu sama atau lebih tinggi
daripada saya, tolong jangan diganggu. Dilihat, boleh. Diganggu, jangan!
Maaf... (Mengambil mandau dan
menghunusnya. Membacokkannya ke lengan, leher dan sekujur badan, lalu mengiris
lidahnya) Anda melihat luka? (Memperlihatkan bekas bacokan dan irisan) Ada
darah? Tidak? (Melemparkan mandau, mengambil tombak dan
menyodorkannya kepada penonton) Ada yang berani menombak saya, lalu gantian saya yang menombak
Anda? Jangan takut! Tak apa-apa. Kalau saya luka, saya tidak akan menuntut Anda! (Kepada
penonton tertentu) Anda berani? Tidak? Oh. (Tertawa) Ya. Sudah. Tak apa-apa.
(Kepada penonton tadi) Tak perlu pucat dan berkeringat begitu... (Tertawa,
menaruh tombak)
(Serius lagi) Tadi sudah saya katakan: kepala
saya hampir lepas dari badan untuk mendapatkan benda ini. Betul! Asal Anda tahu,
sejak remaja saya sudah melanglang buana, merantau ke mana-mana, terutama ke
pedalaman. Bila di antara Anda ada yang berasal dari suku yang akan saya
sebutkan nanti, tolong maju ke depan. Saya akan bicara dalam bahasa suku Anda, agar
Anda yakin bahwa saya tidak bohong. Di setiap suku di mana saya pernah tinggal,
saya punya satu istri. Jadi, silakan hitung sendiri berapa jumlah istri saya, sebab
saya sendiri lupa jumlah persisnya! (Tertawa)
Saya
pernah tinggal dengan suku Dayak Meratus di Loksado, di Halong, dengan orang
Maanyan di Warukin, orang Bukit di Labuhan. Juga, saya punya istri dari Suku Bakumpai, Ot Danum,
Lawangan, Deyah, Ngaju, Kenyah, Benuaq...
Ada
di antara Anda yang berasal dari suku-suku itu? Mau bicara dengan saya dalam
bahasa suku Anda, untuk membuktikan bahwa saya benar-benar pernah tinggal di
sana? Ada yang berani maju? (Tangan kanan memegang mandau,
tangan kiri mengambil botol air mineral dan mereguknya. Mata nyalang mengedari penonton.)
Tidak?
Tidak ada di antara bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang berasal dari salah
satu suku yang saya sebutkan tadi? Baiklah... (Menaruh mandau dan
botol air mineral) Saya hanya mau mengatakan... (menunjuk benda berselimut kain kuning) benda ini bukan berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi, tapi dari
suku terasing tak dikenal yang belum diketahui. Mereka tak mengenal, dan tidak dikenal,
oleh masyarakat umum, tinggal di gua pegunungan angker yang tak
terjamah orang-orang
beradab
seperti kita. Mereka tak punya nama, tak punya bahasa, tinggal di tempat yang tak ada
di peta. Mereka tanpa busana,
dan masih hidup di zaman batu. Dari lima orang yang pernah
ke sana, cuma saya yang selamat. Yang lain... (dengan jari tangan,
melakukan gerakan memotong leher). Cuma saya yang tahu
tempatnya. Tapi, maaf, saya tak bisa mengatakannya kepada Anda, sebab ini rahasia...
Namun,
sebelum saya melanjutkan cerita tentang suku tak dikenal itu dan benda keramat
mereka yang nanti akan saya buka, saya mau menyampaikan rahasia lain.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara semua mungkin bertanya: kenapa saya
bisa selamat saat bertemu suku terasing tak dikenal, pengayau dan kanibal,
yang masih tinggal dalam gua dan tak bernama itu? (Lebih rileks) Saya
akan membuka rahasianya. Orangtua angkat saya, yang berasal dari salah satu suku yang saya
sebutkan tadi, sebelum saya pergi, membekali saya dengan minyak. Minyak? Ya! (Mengambil
bungkusan kain kuning) Mungkin selama ini Anda kenal dengan minyak sinyongnyong, minyak
kuyang, minyak wayang, minyak kukang, minyak bintang, minyak bubut, minyak rambut dan
minyak... kulanjar (Tertawa).
Nah, berbeda dengan minyak-minyak tadi, yang
kegunaannya kita semua tahu, ini minyak yang sama sekali lain! Bila minyak sinyongnyong, minyak wayang dan minyak kukang untuk pekasihan, seperti
pelet di Jawa, minyak kuyang
dan minyak bintang untuk
kesaktian, dan minyak bubut
untuk pengobatan, maka minyak timpakul
yang saya bawa ini adalah untuk keselamatan dan kemakmuran.
Minyak timpakul? Ya! Saya ulangi: m-i-n-y-a-k t-i-m-p-a-k-u-l. Ya, betul! Anda tak salah
dengar. Menurut saudara ipar dari sepupu keponakan istri saya yang makan
sekolahan, Djebar Hapip, timpakul itu i-k-a-n b-u-t-a. Entah apa maksudnya, padahal
matanya sebesar mata kodok. Katanya, manimpakul adalah sifat orang yang
mudah berubah, tidak tetap pendirian,
sedangkan timpakul
janjan adalah sifat orang yang jelek kelakuannya. Tapi itu kata Djebar Hapip! (Ketawa
ngakak.). Nah, kalau timpakul berhabitat di rawa-rawa, di pinggir sungai
atau di kayu apung, ada juga hewan lain yang kelakuannya mirip, tapi tinggal di pepohonan. Apa
itu? Angui. Saya ulangi: a-n-g-u-i.
Tapi,
berbeda dengan timpakul yang tak ada persamaan namanya dengan binatang
sejenis dalam bahasa Indonesia, angui punya, yaitu b-u-n-g-l-o-n. Lalu, menurut Djebar Hapip tadi, angguk angui
adalah ungkapan untuk orang yang selalu mengiyakan, tapi kerjanya juga yang
jalan.
Baiklah,
saya tidak akan bicara panjang lebar
tentang angui atawa bunglon,
tapi khusus tentang timpakul saja. Anda tahu, setelah orangtua angkat
saya itu memanggil ruh timpakul dengan upacara khusus, sesuai dengan adat istiadat dan
kepercayaannya, proses pembuatannya pun dimulai. Empat puluh satu ekor timpakul
dimasak tepat tengah malam Jumat, saat langit tak berbulan tak berbintang. Dengan minyak
yang dibuat dari
kelapa gading dempet tiga, dicampur ramuan khusus, dikerjakan setelah orangtua
angkat saya itu berpuasa empat puluh satu hari, dan selama itu tak boleh menikmati makanan
yang dimasak dengan api, ditambah mantra-mantra rahasia, jadilah saripati timpakul:
muncul dalam bentuk minyak, seperti yang akan Anda lihat.
(Perlahan dan hati-hati mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari
dalam bungkusan kain kuning, meletakkannya di telapak tangan) Anda lihat? Ini adalah s-a-r-i-p-a-t-i
alias i-n-t-i atawa h-a-k-i-k-a-t jiwa timpakul. Tepat tengah malam
Jumat, olesi jari manis Anda dengan minyak ini. Tanpa menarik napas, tekan jari
manis Anda tiga kali ke langit-langit mulut. Selesai. Keselamatan dan kemakmuran menanti
Anda. Mengapa? Karena Anda sudah menyatu dengan jiwa timpakul, sudah manimpakul, mambatang
timbul! (Ketawa ngakak)
Manimpakul tidak jelek. Itu cermin kemampuan
bertahan hidup yang luar biasa. Kita tahu, timpakul biasanya tinggal di
tebing-tebing sungai atau di kayu apung yang hanyut. Bila gelombang datang
menyapu tebing atau kayu apung tempat timpakul berada, dengan gesit ia
melompat ke tebing atau ke kayu apung lain untuk menyelamatkan diri. Tebing
atau kayunya tenggelam, dia tidak. Begitu seterusnya. Nah, mengapa cara
bertahan hidup yang luar biasa itu dimaknai jelek? Apa salah timpakul? (Ketawa ngakak)
(Mengambil handuk kecil dekat bangku, menyeka keringat yang membanjiri
wajahnya) Timpakul tidak bersalah! Andalah yang
salah kalau hari ini, pada hari baik bulan baik ini, tidak memiliki minyak ini,
karena belum tentu kita akan bertemu lagi. Kalau Anda berminat, silakan.
Jumlahnya terbatas. Ini hanya untuk sepuluh orang. Jadi, Anda harus cepat kalau
mau dapat. Apakah saya menjualnya? Berapa harganya? Eit, maaf! Sejak
awal sudah saya katakan: saya tidak berjualan.
Kalau tetap memaksa, Anda bisa
mendapatkannya, maharnya hanya mengganti ongkos transportasi saya dari-pedalaman-kemari. Dan minyak ini
saya hadiahkan kepada Anda. Anda ikhlas memenuhi permintaan saya?
(Tersenyum lebar) Baik, baik, baik... Anda
ikhlas. Anda ingin langsung menebus minyak ini? Baiklah. Tapi, sebelumnya saya akan menyampaikan kisah sukses orang-orang yang sudah menggunakan minyak
ini.
Seperti
dapat dilihat, di depan ini adalah foto-foto dan kliping berita surat kabar.
Anda tahu, siapa mereka? Mereka adalah pedagang, pengusaha, kontraktor, ulama,
guru, dosen, pegawai, karyawan, wartawan, seniman, jaksa, hakim, polisi, tentara, pejabat dan
wakil rakyat yang sukses karena sudah menggunakan minyak timpakul
alias manimpakul. Karyawan rendahan yang ingin selamat dan disukai
atasan, siapa pun atasannya, gunakan minyak
timpakul!
Lurah, camat, kepala
bagian atau kepala dinas yang ingin disayangi bupati atau walikota, gunakan minyak timpakul. Kasi, kabag, kasubag, kasubdin, kabid, kepala dinas, kepala perwakilan atau
asisten yang ingin selamat dan disayangi gubernur, gunakan minyak timpakul. Bupati, walikota atau gubernur yang ingin
lancar berurusan dengan Menteri
Dalam Negeri atau Presiden, gunakan minyak timpakul. Sekjen, Dirjen atau Menteri yang ingin selamat dan disayangi Presiden, tidak dicopot
walau bagaimanapun kondisi rakyat, bangsa dan
negara, gunakan minyak timpakul.
Anda
tahu, yang terbukti sukses karena sudah
manimpakul adalah wakil rakyat
di parlemen: di kabupaten, di kota, di provinsi, apalagi di pusat... (Ketawa ngakak)
(Ceria dan bersemangat) Ayooo...! Mari... Mari
kemari,
bapak, ibu, dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak
harum melati.
Ini minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali. (Tertawa)
Mari! Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!
Lampu padam
Banjarmasin, 2007
[1]pernyataan Makurban, tokoh adat Dayak Meratus dari Balai Kiyu,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Dikutip dari berita Banjarmasin
Post (Senin, 13 Maret
2000), “Rencana Kodeco Eksploitasi
Meratus. Dayak Meratus: Kami Siap Berkubang Darah.”
[2] larik-larik puisi Concerto Balai Bilaran Burhanuddin Soebely
mantap..........mkasih.
BalasHapus