IRONISME SENI BUDAYA KITA
Y.S. Agus Suseno
Suatu hari, di suatu tempat,
sebuah ironisme berlangsung. Sabtu malam, 16 Februari 2008, di Taman Budaya
Kalimantan Selatan (TBKS), Banjarmasin.
Di belakang, di Gedung
Balairungsari, ratusan siswa sekolah menengah kabupaten/kota antusias menggelar
dan menyaksikan festival teater tingkat pelajar se-provinsi (yang mereka kelola
secara swadaya).
Di depan, di teras kiri
Gedung Wargasari, berhadapan dengan jalan raya dan kampus Unlam, digelar wayang
kulit Banjar (persembahan TBKS).
Di gedung belakang,
sejak Sabtu (16/2) sore sampai dengan Minggu (17/2) malam, ratusan sepeda motor
keluaran terbaru para siswa itu memadati areal parkir. Sabtu malam, mobil
mereka hilir-mudik mengangkut pemain, teman-teman pemain, pacar pemain,
keluarga pemain, penonton dan suporter.
Harga tiket murah meriah: 3 ribu rupiah. Dan penonton melimpah.
Di saat yang sama, di depan,
di tempat terbuka, ketika langit berawan, bulan separuh tertutupi dan angin
bertiup keras sesekali, pukul 21 Wita wayang kulit Banjar Setangkai Bunga di
Lembah Maut digelar gratis. Dalang Busrajuddin dari Desa Barikin (Kecamatan
Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah) mendalang dengan penonton kurang dari
seratus orang -- hingga dinihari, sebelum corong masjid dan langgar menyiarkan
suara orang mengaji.
Selasa (19/2) malam,
TVRI Kalimantan Selatan menyajikan Taras Banua, dialog interaktif
tentang pariwisata, dengan narasumber Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Disparsenibud)
Kota Banjarmasin, Hesly Junianto, dan praktisi pariwisata, Jono.
Di layar kaca itu, diungkapkan
beberapa agenda yang sudah disusun untuk tahun 2008, antara lain Lomba Jukung
Hias, Lomba Musik Panting, Lomba Vokal Grup Lagu Banjar dan rencana
untuk membuat Kampung Banjar.
Tidak ada program
inovatif dalam pengembangan seni budaya, lebih banyak ide dan strategi tentang
bagaimana “menjual” wisata sungai melalui promosi, perbaikan sarana dan
prasarana, dan sebagainya.
Sejumlah acara seni
budaya (yang tidak memerlukan banyak biaya) malahan sudah sekian tahun tidak diagendakan.
Di zaman Walikota Effendi Ritonga (yang nota bene bukan urang banua),
saban tahun (dalam rangka Hari Jadi Kota) diadakan Lomba Cipta Puisi dan Lomba
Baca Puisi Bahasa Banjar.
Dewan Kesenian Kota
Banjarmasin malahan tidak jelas lagi keberadaannnya, setelah dua orang ketua
umumnya masuk penjara. Sambil bercanda, kadang saya bilang pada kawan-kawan:
hati-hati kalau Anda berambisi jadi ketua umum Dewan Kesenian Kota Banjarmasin.
Bila nawaitu andika kada lillahi ta’alla, bisa
takapanjara. Tamakan sumpah seniman banua...
Sejak otonomi daerah (dan
sejak Kota Banjarmasin dipimpin putra daerah, sejak walikota yang telah
meninggal itu, hingga kini), sastra Banjar modern seperti puisi (termasuk
sastra tradisi lisan madihin) dan teater tutur balamut, bapandung,
bakisah, tidak tersentuh oleh Disparsenibud. Padahal, salah satu identitas
etnis adalah bahasa -- dan seni berbahasa adalah sastra, termasuk seni
tuturnya.
Oleh karena itu,
terkadang saya berpikir: napa garang nang digawi urang Disparsenibud tu?
Maulahakan jukung gasan bubuhan dukuh bajualan (nang kahalusan, paksa
dibulikakan)?Maulah tambangan wisata (nang kapanjangan tukupnya, paksa maulah
ba’asa)?
Kenapa tiga acara seni
budaya dan pariwisata itu diceritakan di sini, tak lain karena semuanya mengungkapkan
ironi. Seakan mosaik yang pecah. Tidak ada sinergi, masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Memang, barangkali tidak ada kewajiban ketiganya harus bersinergi, meskipun
yang satu berkaitan dengan yang lain.
Tanyakanlah kepada
masing-masing pihak yang terlibat dalam tiap kegiatan itu, mungkin satu sama
lain tidak saling tahu -- seolah yang satu tidak berkaitan dengan yang lain.
Mungkin yang satu beranggapan kegiatannya dilaksanakan instansi pemerintah
provinsi, satunya lagi instansi pemerintah kota, hingga satu sama lain tidak
perlu saling berkoordinasi.
Kalau mau dirinci,
tanyailah para siswa Banjarmasin yang mengadakan festival teater antarpelajar
se-provinsi di Gedung Balairungsari TBKS itu (yang mereka pakai dengan
membayar, sesuai Perda Pemprov Kalsel Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Retribusi
Pemakaian Kekayaan Daerah): adakah kegiatan yang menelan biaya jutaan rupiah
itu dipantau (apalagi disubsidi) instansi/lembaga terkait? Adakah petugas dari
dinas terkait (termasuk dinas pendidikan dan Komite Sekolah), dari provinsi
maupun kota (yang sudah jadi tugas dan tanggungjawabnya, sebab untuk itu ia
digaji) datang, dengan (apalagi tanpa) diundang?
Di hari pertama
pelaksanaan, Sabtu (hampir tengah malam ketika festival teater pelajar itu usai),
iring-iringan kendaraan mereka berlalu meninggalkan TBKS: meninggalkan wayang
kulit Banjar yang bergelar 50 meter dari badan jalan, menuju gerbang keluar,
tanpa ada yang singgah.
Meskipun demikian,
Busrajuddin terus mendalang, kendati penonton, kian larut malam, kian
berkurang. Penonton yang didominasi pria paruh baya itu duduk santai di sepeda
motor masing-masing: di kursi plastik, lesehan atau sambil rebahan (di karpet
yang terhampar di tanah) di depan layar. Mata yang mulai mengantuk menjadi segar
lagi ketika panitia TBKS mengeluarkan kopi, gumbili bajarang, kacang
bajarang...
Ironisme juga berlangsung
dalam pergelaran wayang kulit Banjar. Sejak beberapa tahun terakhir, sukar
sekali menemukan lakon yang digelar dengan judul “serius”, misalnya (seperti dalam
lakon wayang gong) Hanoman Pancasona dan Anggada Balik.
Tampaknya ada
pergeseran orientasi pada wayang kulit Banjar hingga para dalang memilih judul
lakon yang “ngepop”, mirip judul lagu Melayu, cerita silat atau sinetron. Agar
lebih mudah dipahami dan sesuai selera zaman? Tak dapat dipungkiri, wayang
kulit purwa asal Jawa ini (asal muasal wayang kulit Banjar) juga mengalami pergeseran.
Namun, pergeseran itu lebih pada teknologi pergelaran dan peralatan karawitan.
Sejumlah dalang ternama
di Jawa tidak lagi menggunakan (yang di sini disebut dengan) lampu balincung,
tapi lampu listrik. Karawitan yang digunakan nayaga (penabuh gamelan)
pun tidak semata (yang di sini disebut dengan) sarun, babun, agung, kanung,
kangsi dan lain-lain, tapi (tidak mengharamkan) alat musik elektrik. Namun,
mereka tetap konsisten menggunakan bahasa dengan judul lakon yang “serius” -- diambil dari pakem Ramayana atau Mahabrata.
Apakah wayang kulit Banjar mulai kehilangan “inguh”-nya?
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar