Jumat, 08 Juni 2012

Esai: Ironisme Seni Budaya Kita


IRONISME SENI BUDAYA KITA

Y.S. Agus Suseno


            Suatu hari, di suatu tempat, sebuah ironisme berlangsung. Sabtu malam, 16 Februari 2008, di Taman Budaya Kalimantan Selatan (TBKS), Banjarmasin.
            Di belakang, di Gedung Balairungsari, ratusan siswa sekolah menengah kabupaten/kota antusias menggelar dan menyaksikan festival teater tingkat pelajar se-provinsi (yang mereka kelola secara swadaya).
            Di depan, di teras kiri Gedung Wargasari, berhadapan dengan jalan raya dan kampus Unlam, digelar wayang kulit Banjar (persembahan TBKS).
            Di gedung belakang, sejak Sabtu (16/2) sore sampai dengan Minggu (17/2) malam, ratusan sepeda motor keluaran terbaru para siswa itu memadati areal parkir. Sabtu malam, mobil mereka hilir-mudik mengangkut pemain, teman-teman pemain, pacar pemain, keluarga pemain, penonton dan  suporter. Harga tiket murah meriah: 3 ribu rupiah. Dan penonton melimpah.
            Di saat yang sama, di depan, di tempat terbuka, ketika langit berawan, bulan separuh tertutupi dan angin bertiup keras sesekali, pukul 21 Wita wayang kulit Banjar Setangkai Bunga di Lembah Maut digelar gratis. Dalang Busrajuddin dari Desa Barikin (Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah) mendalang dengan penonton kurang dari seratus orang -- hingga dinihari, sebelum corong masjid dan langgar menyiarkan suara orang mengaji.
            Selasa (19/2) malam, TVRI Kalimantan Selatan menyajikan Taras Banua, dialog interaktif tentang pariwisata, dengan narasumber Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Disparsenibud) Kota Banjarmasin, Hesly Junianto, dan praktisi pariwisata, Jono.
            Di layar kaca itu, diungkapkan beberapa agenda yang sudah disusun untuk tahun 2008, antara lain Lomba Jukung Hias, Lomba Musik Panting, Lomba Vokal Grup Lagu Banjar dan rencana untuk membuat Kampung Banjar.
            Tidak ada program inovatif dalam pengembangan seni budaya, lebih banyak ide dan strategi tentang bagaimana “menjual” wisata sungai melalui promosi, perbaikan sarana dan prasarana, dan sebagainya.
            Sejumlah acara seni budaya (yang tidak memerlukan banyak biaya) malahan sudah sekian tahun tidak diagendakan. Di zaman Walikota Effendi Ritonga (yang nota bene bukan urang banua), saban tahun (dalam rangka Hari Jadi Kota) diadakan Lomba Cipta Puisi dan Lomba Baca Puisi Bahasa Banjar.
            Dewan Kesenian Kota Banjarmasin malahan tidak jelas lagi keberadaannnya, setelah dua orang ketua umumnya masuk penjara. Sambil bercanda, kadang saya bilang pada kawan-kawan: hati-hati kalau Anda berambisi jadi ketua umum Dewan Kesenian Kota Banjarmasin. Bila nawaitu andika kada lillahi ta’alla, bisa takapanjara. Tamakan sumpah seniman banua...
            Sejak otonomi daerah (dan sejak Kota Banjarmasin dipimpin putra daerah, sejak walikota yang telah meninggal itu, hingga kini), sastra Banjar modern seperti puisi (termasuk sastra tradisi lisan madihin) dan teater tutur balamut, bapandung, bakisah, tidak tersentuh oleh Disparsenibud. Padahal, salah satu identitas etnis adalah bahasa -- dan seni berbahasa adalah sastra, termasuk seni tuturnya.
            Oleh karena itu, terkadang saya berpikir: napa garang nang digawi urang Disparsenibud tu? Maulahakan jukung gasan bubuhan dukuh bajualan (nang kahalusan, paksa dibulikakan)?Maulah tambangan wisata (nang kapanjangan tukupnya, paksa maulah ba’asa)?   
            Kenapa tiga acara seni budaya dan pariwisata itu diceritakan di sini, tak lain karena semuanya mengungkapkan ironi. Seakan mosaik yang pecah. Tidak ada sinergi, masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Memang, barangkali tidak ada kewajiban ketiganya harus bersinergi, meskipun yang satu berkaitan dengan yang lain.
            Tanyakanlah kepada masing-masing pihak yang terlibat dalam tiap kegiatan itu, mungkin satu sama lain tidak saling tahu -- seolah yang satu tidak berkaitan dengan yang lain. Mungkin yang satu beranggapan kegiatannya dilaksanakan instansi pemerintah provinsi, satunya lagi instansi pemerintah kota, hingga satu sama lain tidak perlu saling berkoordinasi.
            Kalau mau dirinci, tanyailah para siswa Banjarmasin yang mengadakan festival teater antarpelajar se-provinsi di Gedung Balairungsari TBKS itu (yang mereka pakai dengan membayar, sesuai Perda Pemprov Kalsel Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah): adakah kegiatan yang menelan biaya jutaan rupiah itu dipantau (apalagi disubsidi) instansi/lembaga terkait? Adakah petugas dari dinas terkait (termasuk dinas pendidikan dan Komite Sekolah), dari provinsi maupun kota (yang sudah jadi tugas dan tanggungjawabnya, sebab untuk itu ia digaji) datang, dengan (apalagi tanpa) diundang?
            Di hari pertama pelaksanaan, Sabtu (hampir tengah malam ketika festival teater pelajar itu usai), iring-iringan kendaraan mereka berlalu meninggalkan TBKS: meninggalkan wayang kulit Banjar yang bergelar 50 meter dari badan jalan, menuju gerbang keluar, tanpa ada yang singgah.
            Meskipun demikian, Busrajuddin terus mendalang, kendati penonton, kian larut malam, kian berkurang. Penonton yang didominasi pria paruh baya itu duduk santai di sepeda motor masing-masing: di kursi plastik, lesehan atau sambil rebahan (di karpet yang terhampar di tanah) di depan layar. Mata yang mulai mengantuk menjadi segar lagi ketika panitia TBKS mengeluarkan kopi, gumbili bajarang, kacang bajarang...
            Ironisme juga berlangsung dalam pergelaran wayang kulit Banjar. Sejak beberapa tahun terakhir, sukar sekali menemukan lakon yang digelar dengan judul “serius”, misalnya (seperti dalam lakon wayang gong) Hanoman Pancasona dan Anggada Balik.
            Tampaknya ada pergeseran orientasi pada wayang kulit Banjar hingga para dalang memilih judul lakon yang “ngepop”, mirip judul lagu Melayu, cerita silat atau sinetron. Agar lebih mudah dipahami dan sesuai selera zaman? Tak dapat dipungkiri, wayang kulit purwa asal Jawa ini (asal muasal wayang kulit Banjar) juga mengalami pergeseran. Namun, pergeseran itu lebih pada teknologi pergelaran dan peralatan karawitan.
            Sejumlah dalang ternama di Jawa tidak lagi menggunakan (yang di sini disebut dengan) lampu balincung, tapi lampu listrik. Karawitan yang digunakan nayaga (penabuh gamelan) pun tidak semata (yang di sini disebut dengan) sarun, babun, agung, kanung, kangsi dan lain-lain, tapi (tidak mengharamkan) alat musik elektrik. Namun, mereka tetap konsisten menggunakan bahasa dengan judul lakon yang “serius” --  diambil dari pakem Ramayana atau Mahabrata. Apakah wayang kulit Banjar mulai kehilangan “inguh”-nya?

*
               
              
                
    
                 
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar