Sabtu, 14 Desember 2013

Naskah Teater Monolog "2000 + 25 = S.O.S!"



2000 + 25 = S.O.S.!





Y.S. Agus Suseno


Di ruangan yang suram mencekam dan meruapkan bau kematian, seseorang datang dari masa lalu. Memantulkan jejak kelam masa silam, kesengsaraan seluruh umat manusia seakan tergambar di wajahnya. Tertatih-tatih menyeret sesuatu, memperlakukan benda itu seakan sebuah bangsa mempertahankan martabat dan kedaulatannya.

            Saya harus bicara. Ya, saya harus bicara. Tapi karena manusia tak dapat dipercaya, saya hanya akan bicara kepada Ning Diwata, kepada kalian: serunai bambu dan gendang yang tak lagi bertalu, gong dan giring-giring balian yang tak lagi berpadu, lalaya dan lilihi yang tak ada lagi. Semoga arwah para datu dan leluhur, yang kuburannya tergusur, mendengar... (Duduk, terengah-engah)

            Kami sudah berusaha sekuat daya mempertahankannya. Warga di seluruh balai Pegunungan Meratus, sudah berjuang bahu membahu. Namun, ternyata... (Bangkit dari tempat duduk). Saya ingat, ya, saya masih ingat... Saat itu, saya masih muda. Saya dan anak istri tinggal di balai bersama warga balai lainnya. Sore itu cuaca cerah. Udara segar. Langit bersih. Matahari mengintip di sela dedaunan. Saya merokok dan bercengkerama bersama kawan-kawan, beristirahat setelah sepanjang pagi dan siang membersihkan huma, kebun karet dan kayu manis. Istri saya memasak ikan yang dipancingnya di sungai. Anak-anak saya, bersama anak-anak balai lainnya, bermain di bawah rindang pepohonan. Itu adalah saat-saat yang selalu kami syukuri, seakan surga sendiri hadir di bumi.

            Hasil panen kami tidak melimpah, tapi kebun dan pohon menghasilkan buah. Itu pun cukuplah. Kemurahan hutan dan pegunungan telah menghidupi kami turun temurun. Kami hanya harus merawat dan memeliharanya untuk kelangsungan hidup anak cucu kami.

            Saya dan warga balai lainnya sedang merundingkan rencana berburu untuk melaksanakan aruh, pesta sehabis panen, ketika tiba-tiba Kepala Balai datang tergopoh-gopoh dan memerintahkan kami berkumpul. Dia gugup. “Orang-orang itu telah mengerahkan traktor dan buldozer!” kata Kepala Balai. “Mereka mulai membabat hutan, dan kita harus mencegahnya bila tak mau dikutuk Ning Diwata!”

            Para lelaki geram. Gigi mereka gemeletuk. Perempuan dan anak-anak ketakutan. “Mereka di mana?” tanya saya. “Di perbatasan dusun kita!” jawab Kepala Balai, “Persis di batas wilayah balai kita dengan balai dangsanak kita lainnya di barat, timur, utara dan selatan!”

            Kami segera mempersiapkan upacara: memohon pertolongan Ning Diwata dan menghimpun kekuatan seluruh penguasa alam raya. Lalu, di malam hari, kami, para lelaki, menyergap mereka dengan sumpit, tombak dan mandau. Kami bunuh mereka tanpa suara, meskipun ada yang sempat lari menyelamatkan nyawa.
            (Menghela napas) Sebelum peristiwa itu, kami sudah beberapa kali menemui pimpinan negeri ini dan menyampaikan isi hati. Kami bilang: “Kami tak sudi hutan kami ditebangi, perut bumi dibongkari. Kalau dipaksakan juga, kami siap berkubang darah dan berkubur untuk mempertahankannya!”[1] Tapi mereka tetap bersikeras. Tanah dan hutan warisan nenek moyang kami dirampas!

            Setelah diserang, mereka membalas. Kami mati-matian melawan. Tapi laksana air bah, mereka datang bergelombang dalam jumlah lebih besar, dibantu orang-orang berseragam. Mereka menembaki kami! Sebagian di antara kami, mati, sebagian ditangkapi, sebagian melarikan diri, sebagian mengungsi. Sebagian lagi hilang, mayatnya ditemukan di dasar jurang...

            Saat itu terjadi, beberapa isak rebak, ada bau bunga semerbak, bau dupa semerbak, bau garu semerbak, bau menyan putih semerbak, lalu meruap bau darah...[2] (Tiba-tiba ia tersentak. Diam. Seakan mendengarkan sesuatu. Dengan wajah mencekam, ia berlutut.)  

            Duh... Ning Diwata sesembahan alam raya
            buyut intah Bambang Siwara
            telah bersekutu dengan Datung Sumaliih
            meracuni mata air buyut intah Datung Ayuh
            mereka sumpahi semua menjadi batu
            hingga nurani kami pun mulai berbunga batu
            mereka serakkan ludah-ludah dunia
            dan menghela kami ke penjara kabut
            yang menghalalkan mendaki pundak sesama
            untuk bisa melihat matahari    

            Duh... Sang Jata yang lunggun di Sapta Pertala
            bilas keringat kami yang memupuk tugalan
            pada mulanya bermakna kebersamaan
            kini menjelma mimpi di langit-langit ujuk
            membiuskan nafsu pemilikan kebendaan
            sehingga hati nurani kami mulai memperanakkan macan
            yang menyiapkan cakar dalam keseharian
      
            Duh... Sang Mahatara yang lungguh di Sapta Paksina
            ke mana lagi kami sangkutkan
            cicit anak-anak burung ini
            anak-anak burung yang bakal hilang sarang
            anak-anak burung yang jadi anak jadah kemajuan [3]

            (Bangkit sempoyongan)  Duh... Ning Diwata nang manggaduh tihang aras mula jadi... Nang manggaduh tihang aras mula ada... Turunan di gantang amas di gantang kaca... Turunan di gantang intan di gantang sari... [4]  
            Di mana sekarang istri dan anak-anak saya... Di mana Kepala Balai, damang, balian dan seluruh warga balai... (Termangu dengan wajah hampa)

            Setelah penjarahan besar-besaran itu, kami melata ke mana-mana membawa luka, dilarang hidup di kawasan hutan warisan leluhur kami. Sungai dan lubuk kehilangan ikan, tak ada hutan karena tak ada  pepohonan...

            Setelah pohon-pohon habis ditebangi dan perut bumi dibongkari, banjir besar menenggelamkan dusun-dusun dan kampung di bawah gunung. Kemarau panjang yang menyusul kemudian sungguh mengerikan. Tanpa harapan, warga balai yang terlunta mengungsi menuju matahari terbenam. Kami tak mengerti mengapa bencana melanda. Mungkinkah Ning Diwata murka...

            Saya telah bertemu dengan beberapa warga. Sejumlah Kepala Balai jadi tukang ojek di kota untuk menghidupi keluarganya, damang dan balian berjualan obat di pinggir jalan, yang lain berdagang di kaki lima, sejumlah wanita jadi pelacur. Ada juga yang jadi maling, rampok, penjudi dan pemabuk.

            (Menghela napas panjang) Semua itu terjadi setelah traktor, buldozer dan chainsaw merampok, mengobrak-abrik tanah dan hutan kami. Ada beberapa  bekas warga balai yang bekerja di pertambangan batu bara itu, demi sesuap nasi. Sejumlah perempuan jadi piaraan...

            Malapetaka itu terjadi sekitar tahun dua ribu. Itu sekian tahun yang lalu. Rasanya, baru saja. Kini, semuanya musnah. Saya sendiri menjelma arwah penasaran yang mengembara di alam raya, mencari anak-istri dan warga balai lainnya yang terlunta-lunta...

            Tapi orang-orang itu telah terlaknat! Mereka terkena sumpah dan kutukan nining datung kami. Jadi... Ya, jadi... Siapa pun yang menindas kami, siapa pun yang secara langsung atau tidak langsung menyetujui, atau mendapat keuntungan atas kehancuran dan kesengsaraan kami, terkutuk sampai mati! (Ia berkemas-kemas)

            (Lirih dan parau) Jeram di hulukah yang menghilirkan arus payau, ataukah angin hilir yang mendiruskan risau...[5]

Lampu padam

Banjarmasin, 10 April 2000




[1]pernyataan Makurban, tokoh adat Dayak Meratus dari Balai Kiyu, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Dikutip dari berita Banjarmasin Post  (Senin, 13 Maret 2000),  “Rencana Kodeco Eksploitasi Meratus. Dayak Meratus: Kami Siap Berkubang Darah.”
[2] larik-larik puisi Concerto Balai Bilaran Burhanuddin Soebely
[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar