2000 + 25 =
S.O.S.!
Y.S. Agus Suseno
Di ruangan
yang suram mencekam dan meruapkan bau kematian, seseorang datang dari masa
lalu. Memantulkan jejak kelam masa silam, kesengsaraan seluruh umat manusia
seakan tergambar di wajahnya. Tertatih-tatih menyeret sesuatu, memperlakukan
benda itu seakan sebuah bangsa mempertahankan martabat dan kedaulatannya.
Saya harus bicara. Ya, saya harus
bicara. Tapi karena manusia tak dapat dipercaya, saya hanya akan bicara kepada Ning
Diwata, kepada kalian: serunai bambu dan gendang yang tak lagi bertalu,
gong dan giring-giring balian yang tak lagi berpadu, lalaya dan lilihi
yang tak ada lagi. Semoga arwah para datu dan leluhur, yang kuburannya
tergusur, mendengar... (Duduk, terengah-engah)
Kami sudah berusaha sekuat daya
mempertahankannya. Warga
di seluruh balai Pegunungan Meratus, sudah berjuang bahu membahu. Namun, ternyata... (Bangkit dari
tempat duduk). Saya ingat, ya, saya masih ingat...
Saat itu, saya masih
muda. Saya dan anak istri tinggal di balai bersama warga balai
lainnya. Sore itu cuaca cerah.
Udara segar. Langit bersih. Matahari mengintip di sela dedaunan. Saya merokok
dan bercengkerama bersama kawan-kawan, beristirahat setelah sepanjang pagi dan
siang membersihkan huma,
kebun karet dan kayu manis.
Istri saya memasak ikan yang dipancingnya di sungai. Anak-anak saya, bersama
anak-anak balai lainnya, bermain di bawah rindang pepohonan. Itu adalah
saat-saat yang selalu kami syukuri, seakan surga sendiri hadir di bumi.
Hasil panen kami tidak melimpah,
tapi kebun dan pohon menghasilkan buah. Itu pun cukuplah. Kemurahan hutan dan
pegunungan telah menghidupi kami turun temurun. Kami hanya harus merawat dan
memeliharanya untuk kelangsungan hidup anak cucu kami.
Saya dan warga balai lainnya
sedang merundingkan rencana berburu untuk melaksanakan aruh, pesta sehabis panen, ketika
tiba-tiba Kepala Balai datang tergopoh-gopoh dan memerintahkan kami berkumpul.
Dia gugup. “Orang-orang itu telah mengerahkan traktor dan buldozer!” kata
Kepala Balai. “Mereka mulai membabat hutan, dan kita harus mencegahnya bila tak mau dikutuk Ning
Diwata!”
Para lelaki geram. Gigi mereka
gemeletuk. Perempuan dan anak-anak ketakutan. “Mereka di mana?” tanya saya. “Di
perbatasan dusun kita!” jawab Kepala Balai, “Persis di batas wilayah balai
kita dengan balai dangsanak kita lainnya di barat, timur, utara dan selatan!”
Kami segera mempersiapkan upacara:
memohon pertolongan Ning Diwata dan menghimpun kekuatan seluruh penguasa
alam raya. Lalu, di malam hari,
kami, para lelaki, menyergap mereka dengan sumpit, tombak dan mandau. Kami bunuh mereka tanpa suara, meskipun ada yang
sempat lari menyelamatkan nyawa.
(Menghela napas) Sebelum peristiwa itu, kami
sudah beberapa kali menemui pimpinan negeri ini dan menyampaikan isi hati.
Kami bilang: “Kami tak sudi hutan kami ditebangi, perut bumi
dibongkari. Kalau dipaksakan juga, kami siap berkubang darah dan berkubur untuk
mempertahankannya!”[1]
Tapi mereka tetap bersikeras. Tanah dan hutan warisan nenek moyang kami
dirampas!
Setelah diserang, mereka membalas. Kami
mati-matian melawan. Tapi laksana air bah, mereka datang bergelombang dalam
jumlah lebih besar, dibantu orang-orang berseragam. Mereka menembaki kami!
Sebagian di antara kami,
mati, sebagian ditangkapi, sebagian melarikan diri, sebagian mengungsi.
Sebagian lagi hilang, mayatnya ditemukan di dasar jurang...
Saat itu terjadi, beberapa isak
rebak, ada bau bunga semerbak, bau dupa semerbak, bau garu semerbak, bau menyan
putih semerbak, lalu meruap bau darah...[2]
(Tiba-tiba ia tersentak. Diam. Seakan mendengarkan sesuatu. Dengan wajah
mencekam, ia berlutut.)
Duh... Ning Diwata sesembahan
alam raya
buyut intah Bambang Siwara
telah bersekutu dengan Datung
Sumaliih
meracuni mata air buyut intah Datung
Ayuh
mereka sumpahi semua menjadi batu
hingga nurani kami pun mulai
berbunga batu
mereka serakkan ludah-ludah dunia
dan menghela kami ke penjara kabut
yang menghalalkan mendaki pundak
sesama
untuk bisa melihat matahari
Duh... Sang Jata yang lunggun di
Sapta Pertala
bilas keringat kami yang memupuk
tugalan
pada mulanya bermakna kebersamaan
kini menjelma mimpi di langit-langit
ujuk
membiuskan nafsu pemilikan kebendaan
sehingga hati nurani kami mulai
memperanakkan macan
yang menyiapkan cakar dalam
keseharian
Duh... Sang Mahatara yang lungguh di
Sapta Paksina
ke mana lagi kami sangkutkan
cicit anak-anak burung ini
anak-anak burung yang bakal hilang
sarang
anak-anak burung yang jadi anak
jadah kemajuan [3]
(Bangkit
sempoyongan) Duh... Ning Diwata nang manggaduh tihang aras mula jadi... Nang
manggaduh tihang aras mula ada... Turunan di gantang amas di gantang kaca...
Turunan di gantang intan di gantang sari... [4]
Di
mana sekarang istri dan anak-anak saya... Di mana Kepala Balai, damang, balian
dan seluruh warga balai... (Termangu dengan wajah hampa)
Setelah penjarahan besar-besaran
itu, kami melata ke mana-mana membawa luka, dilarang hidup di kawasan hutan
warisan leluhur kami. Sungai dan lubuk kehilangan ikan, tak ada hutan karena
tak ada pepohonan...
Setelah pohon-pohon habis ditebangi
dan perut bumi dibongkari, banjir besar menenggelamkan dusun-dusun dan kampung
di bawah gunung. Kemarau panjang yang menyusul kemudian sungguh mengerikan.
Tanpa harapan, warga balai yang terlunta mengungsi menuju matahari
terbenam. Kami tak mengerti mengapa bencana melanda. Mungkinkah Ning Diwata
murka...
Saya telah bertemu dengan beberapa
warga. Sejumlah Kepala Balai jadi tukang ojek di kota untuk menghidupi
keluarganya, damang dan balian berjualan obat di pinggir jalan,
yang lain berdagang di kaki lima, sejumlah wanita jadi pelacur. Ada juga yang
jadi maling, rampok, penjudi dan pemabuk.
(Menghela napas panjang)
Semua itu terjadi setelah traktor, buldozer dan chainsaw merampok,
mengobrak-abrik tanah dan hutan kami. Ada beberapa bekas warga balai yang bekerja di pertambangan batu bara itu,
demi sesuap nasi. Sejumlah perempuan jadi piaraan...
Malapetaka itu terjadi sekitar tahun dua ribu. Itu sekian tahun yang lalu. Rasanya, baru saja. Kini, semuanya
musnah. Saya sendiri menjelma
arwah penasaran yang mengembara di alam raya, mencari anak-istri dan warga balai
lainnya yang terlunta-lunta...
Tapi orang-orang itu telah
terlaknat! Mereka terkena sumpah dan kutukan nining datung kami. Jadi...
Ya, jadi... Siapa pun yang menindas kami, siapa pun yang secara langsung
atau tidak langsung menyetujui, atau mendapat keuntungan atas kehancuran dan
kesengsaraan kami, terkutuk sampai mati! (Ia berkemas-kemas)
(Lirih dan parau) Jeram di
hulukah yang menghilirkan arus payau, ataukah angin hilir yang mendiruskan
risau...[5]
Lampu padam
Banjarmasin, 10 April 2000
[1]pernyataan
Makurban, tokoh adat Dayak Meratus dari Balai Kiyu, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah, Kalimantan Selatan. Dikutip dari berita Banjarmasin Post (Senin, 13 Maret 2000), “Rencana Kodeco Eksploitasi Meratus. Dayak
Meratus: Kami Siap Berkubang Darah.”
[2]
larik-larik puisi Concerto Balai Bilaran Burhanuddin Soebely
[3]
ibid
[4]
ibid
[5]
ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar