“X” (IBNU
HADJAR) DLL
Monolog Y.S. Agus Suseno
Pentas berupa
ruang tamu sederhana dengan seperangkat meja kursi sederhana. Di dinding,
terpajang foto-foto lama dalam bingkai lama, beberapa tanda penghargaan,
sertifikat dan jam dinding tua. Di samping bendera merah-putih dan lambang
burung garuda, tampak foto Soekarno dalam bingkai besar. Suasana mengesankan
masa lalu, seperti pria uzur yang ada di ruangan itu.
Semakin tua aku, makin banyak yang
tidak kupahami tentang manusia, kian banyak yang mesti kupelajari tentangnya.
Tapi aku sudah bau tanah, anak-cucu-buyut tak ada lagi yang tinggal
serumah. Istri sakit-sakitan, seakan menunggu maut di ranjang kematian. Rumah
ini seperti kuburan...
Apakah aku kecewa karena orang tak
lagi menghargaiku? (Tertawa mengejek) Tidak. Aku tak lagi kecewa, sudah
bosan dengannya. Aku hanya tak mengerti, mengapa tidak ada lagi rasa hormat,
alih-alih menghargai, pada orang tua... (Terbatuk) Padahal seharusnya
mereka tahu, nang tuha dituhaakan, nang anum disayangi...
Kemarin pagi, saat bertemu di kantor
pos untuk mengambil tunjangan veteran yang hanya cukup untuk hidup seminggu
itu, A mengeluh lagi. Istrinya sudah sepuluh tahun meninggal. Dia
terpaksa tinggal di rumah anak-cucu dan merasa diperlakukan sebagai pembantu.
“Kau masih ingat gadis dusun yang jadi rebutan dulu, ketika kita bergerilya di
pedalaman?” katanya. “Gadis yang sempat membuat beberapa kawan kita berkelahi,
memperebutkan gadis yang matanya mancar mancararat mancarunung, mambintang
siang, nangkaya amas hanyar dituang? Dia kini tinggal di rumah mewah,
karena putranya jadi pejabat penting. Kau tahu, putranya itulah yang menolak
bertemu kita, ketika kita ingin bertemu dengannya. Sewaktu jadi pejabat di
tempat lain, dia membangun gedung veteran yang megah, padahal banyak di antara
kita tak punya rumah...”
(Tertawa kecil) Sejak dahulu,
A memang lucu dan suka bicara. Itu pula yang membuatnya tertembak di
kaki, karena tak mau diam saat kami mengintai Belanda di tangsi. Serdadu
Belanda tahu posisi kami! Malam itu, kami ditembaki membabibuta! Kami lari
kocar-kacir dan A kena tembakan di kaki kiri. Sejak itu, dia pincang dan
berjalan dengan tongkat.
A orang baik. Dia juga
bercerita tentang... (Mendengarkan) Ada apa, sayang? (Mendengarkan)
Oh, belum! Dokter belum datang! Mungkin sebentar lagi! Ya, aku menunggunya
di sini. Kemarin sudah kukatakan agar dia kemari untuk memeriksa kesehatanmu,
sekaligus membawakan obat... Kenapa? (Mendengarkan) Oh, ya, sebentar,
sayang. Akan kuambilkan... (Exit)
(Muncul) Istriku... minta
minum. Dia telah memberiku enam anak, limabelas cucu dan empat buyut. Perempuan
yang baik dan setia. Penyakit telah menggerogoti tubuhnya hingga tak berdaya.
Yah... Anak-cucu dan buyut kami tak ada yang mau tinggal di sini. Katanya, ingin
mandiri. Beberapa minggu sekali mereka datang, menengok. Kalau cucu-cucu dan
buyutnya datang, istriku seperti hidup lagi. Tapi sudah beberapa pekan mereka
tak kemari, katanya sibuk sekali... (Terbatuk-batuk)
(Tercenung) A... B...
C... D... Ah... X! Sudah berapa lama X tiada?
Lelaki yang pemberani dan ditakuti, tapi garis tangan lain menggariskan jalan
hidup yang juga lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya dahulu. Apa yang
salah dengan pilihan jalan hidup? Seseorang takkan menanggung dosa orang lain.
Orang bebas menentukan jalan hidupnya sendiri dan, bagiku, asalkan tidak
melanggar norma adat, budaya dan agama, kenapa tidak? Manusia cuma tidak bisa
memilih orangtuanya ketika dilahirkan. Yang agak kusesalkan adalah... kami
sudah seperti saudara kandung. Waktu anak-anak, sarantang-saruntung.
Kenangan mudah dilupakan, tapi tak bisa dihapuskan...
“Mau tahu alasanku tidak memihak
republik dan memberontak?” kata X waktu itu. Saat itu, aku kebetulan
bertemu dengannya di sebuah dusun, di kaki Pegunungan Meratus. Malam hari. Aku
pulang dari rumah saudaraku di dusun itu dan hendak kembali ke kota. Di warung
pinggir jalan, dalam temaram cahaya lampu damar, aku bertemu dengannya. Dia,
bersama beberapa kawannya, memaksaku ke hutan dan bertanya apakah aku masih
menganggapnya dangsanak? Apakah aku akan melaporkan posisi mereka ke
pihak republik?
Kukatakan: aku tidak tahu, dan tidak mau tahu,
tempat persembunyian mereka dan, walau bagaimanapun, tetap menganggapnya dangsanak,
tidak peduli di pihak republik atau pemberontak. Aku memang memilih pihak
republik, tapi bukan penjilat atasan yang tega mengkhianati kawan sendiri... (Terbatuk)
X dan kawan-kawannya tampak
lega dan tak terlalu mencurigaiku lagi. Mereka menyandarkan senapang dumdum di
batang pohon tempat kami bicara itu, tapi tangan tetap memegang mandau di
pinggang. “Republik tidak adil! Pemerintah pusat tidak menghargai perjuangan
kita yang bergerilya melawan penjajah. Setelah proklamasi kemerdekaan,
proklamasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dan demobilisasi, berapa banyak
gerilyawan yang ditolak jadi TNI? Karena kami tak punya ijazah, badan kurang
tinggi dan tidak sehat? Tapi kenapa banyak mantan KNIL yang diangkat jadi
tentara? Sebagai orang republik, kau bisa jawab itu?” X bicara
berapi-api sambil manggiling timbaku berkali-kali.
Aku tak bersuara. Kawan-kawan X tetap
waspada, memandangiku dengan mata menyala, bagai mata musang pandan di
kegelapan. Sebagian berjaga-jaga dan mengawasi jalan... (Menghela nafas) Apalagi yang dapat
kukatakan? Aku bukan perwira tentara, hanya gerilyawan biasa. Hassan Basry
telah dikirim ke Mesir. Kabarnya, disekolahkan pemerintah pusat. Tapi kami
tahu, itu cuma taktik pemerintah pusat untuk menghindari konfrontasi, mengingat
pengaruhnya terhadap kami. Walau bagaimanapun juga, sebagian besar di antara
kami, di pihak republik atau pemberontak, adalah bekas anak buahnya...(Terbatuk-batuk)
(Terdengar ketukan di pintu.
Suara orang mengucapkan salam) Oh... Wa’alaikum salaaam...!
Mari, silakan masuk! Sudah ditunggu
dari tadi. Apa kabar? (Bersalaman. Mendengarkan) Oh, aku sehat saja,
cuma istriku yang harus diperiksa. (Mendengarkan) Ya. Begitulah. Dia
tidak mau, tetap tak mau dirawat di rumah sakit! Katanya, kalau pun sampai juga
umurnya, dia mau meninggal di rumah saja. (Mendengarkan) Ya, ya...
Silakan! Periksalah! Mari kuantar... (Exit)
(Muncul lagi. Merapikan bingkai
foto yang miring di dinding. Menurunkan bingkai foto yang lain, membersihkannya
dari debu. Mengeluarkan emblem, wing, pin dan kartu anggota LVRI dari laci,
meletakkannya di atas meja dan membersihkannya. Menurunkan lambang burung
garuda dan menyekanya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca, seolah lawan
bicara.) Aku tak menyalahkanmu, X. Katamu, rumput ma’alahakan
banua. Itu benar waktu itu, sekian tahun kemudian, dan mungkin sekarang
masih.
Kukatakan, sebaiknya dia menyerahkan
diri. Dia marah sekali. “Banganga dahulu, hanyar baucap. Upung mamadahi
mayang!” serapahnya. Matanya merah menyala. Lalu, “Awas, jangan bilang
siapa-siapa tentang pertemuan ini. Jangan anjur atar. Jangan adu asah.
Pergilah!” Sambil mengembalikan senapang yang pelurunya telah diambil,
dimintanya rokok yang tadi kubeli di warung... (Terbatuk-batuk)
Kami
berpisah malam itu. Aku kembali ke dusun, mereka menghilang di kegelapan.
Itulah pertemuan terakhir kami. Kudengar, X dan gerombolannya berpindah-pindah
tempat persembunyian di sepanjang hunjuran Pegunungan Meratus, menghindari
pengejaran tentara republik. Dia amat taat beribadah dan mewajibkan semua anak
buahnya shalat. Bagi yang melanggar, hukumannya amat berat. Orang-orang Dayak Meratus yang
bersimpati, tidak tahu,
atau tak peduli pada apa yang terjadi, memberi perlindungan dan makan. Tentara
republik tak mampu menangkapnya! Waktu berlalu. Tahun berganti. Setelah
kelompok gerilya kami dibubarkan, aku menyunting gadis dusun tempat bergerilya
dahulu, pindah ke tempat lain dan berjualan pancarikinan, sambil bahuma.
Lalu, kudengar kabar... Sekembali
dari Mesir, Hassan Basry diminta pemerintah pusat membujuk X yang
menolak menyerah dan keluar dari hutan. Dengan janji akan diampuni, juga karena
yang datang menemui mantan pimpinan sendiri, X keluar hutan. Dia dan
anak buahnya turun gunung dan menjalani pemeriksaan di kota.
Tapi pemerintah pusat berkhianat!
Menggunting dalam lipatan, telunjuk lurus kelingking berkait! X ditangkap,
senjatanya dilucuti... (Mendesah, geram) Kabarnya, dia ditembak mati di
Lapangan Merdeka, di bekas Port Tatas, yang pernah jadi markas Belanda, musuh
yang sangat dibencinya. Ada juga yang bilang dia dibawa ke Jakarta dan ditembak
mati di sana...
(Menerawang) X...
Mungkin lebih baik begitu... Lebih
baik kau mati lebih dulu, daripada menjalani masa-masa sukar seperti yang
kemudian aku dan kawan-kawan lainnya alami, bertahun-tahun kemudian. Kata
orang, kau tak bisa diampuni karena telah bergabung dengan DI/TII, bersama
Kartosuwiryo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di
Makassar. Kata pemerintah pusat, kau ingin mendirikan NII bersama mereka.
Apakah itu benar? Wallahu a’lam...
Kehidupan keluargaku sendiri,
setelah peristiwa itu,
tidak berjalan mudah. Di zaman sulit itu, setelah pembubaran kelompok-kelompok
gerilya, perampok merajalela dan pembunuhan terjadi di mana-mana. Untuk mencari
penghidupan yang lebih baik, kami pindah tempat berkali-kali, sebelum kemudian
menetap di sini.
Pada suatu hari, saat bahan makanan dan kebutuhan pokok lain sukar didapat, aku
terpaksa membuat lanting dan tinggal di pinggir sungai. Itu setelah
sebelumnya aku terpaksa harus menjual rumah untuk mengobati istriku yang mulai
sakit-sakitan, juga untuk biaya sekolah anak-anak... (Terbatuk lagi)
Aku menghidupi keluarga dengan
mencari ikan, menjadi nelayan. Kalau liburan sekolah, anak-anak yang beranjak
remaja menjadi pambatangan. Syukurlah, keadaan kemudian berubah menjadi
lebih baik. Kawan-kawan sesama mantan gerilyawan masih mengingatku, tiap bulan
kadang kami bertemu di kantor pos itu.
(Terperanjat saat menyadari ada
yang datang) Oh! Eh... Bagaimana keadaannya, Dok? Sudah disuntik? (Mendengarkan)
Ya, ya, ya... Obat-obatan yang dokter berikan selalu diminumnya. Aku
sendiri yang meminumkannya. (Mendengarkan dengan saksama) Kenapa? (Terkejut)
Mengapa tidak bisa? (Air mukanya berubah panik) Bukan saya yang
tidak mau, tapi dia!
(Mendengarkan) Oh, jadi tetap harus dibawa ke rumah sakit?
Sekarang? Sekarang juga? (Panik) Aduh, bagaimana ini... (Berjalan
hilir-mudik)
Baiklah, Dokter. Pergilah.
Panggillah ambulans! (Terbatuk-batuk) Ya! Aku akan menemaninya, tapi mau menyiapkan pakaian yang akan dibawa
dulu! (Exit)
(Terdengar suaranya dari ruangan
lain) Tunggu sebentar, ya, sayang! Dokter sudah pergi memanggil ambulans.
Mungkin tak lama lagi mobilnya datang. Aku sedang mengumpulkan pakaian yang
akan dibawa. Sebentar lagi aku ke sana! Selimut biru kesayanganmu sudah
kumasukkan dalam koper. Kita tak sempat lagi mengabari anak-cucu. Nanti saja
kalau sudah di rumah sakit! (Terbatuk-batuk keras sekali)
(Muncul. Tersengal-sengal
mengangkat koper. Matanya menyipit. Berjingkit, mengarahkan pandangan ke jalan)
Kenapa lama sekali dokter itu pergi? (Tiba-tiba sadar) Eh, bagaimana
keadaan istriku? (Exit)
(Dari dalam, terdengar jeritan
tertahan)
(Muncul dengan sempoyongan) Tolong...
Toloong... Tolooong...! (Roboh)
Lampu padam
Banjarmasin, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar