Sabtu, 14 Desember 2013

Naskah Teater Monolog "X" (Ibnu Hadjar) Dll"



“X” (IBNU HADJAR) DLL


Monolog Y.S. Agus Suseno

Pentas berupa ruang tamu sederhana dengan seperangkat meja kursi sederhana. Di dinding, terpajang foto-foto lama dalam bingkai lama, beberapa tanda penghargaan, sertifikat dan jam dinding tua. Di samping bendera merah-putih dan lambang burung garuda, tampak foto Soekarno dalam bingkai besar. Suasana mengesankan masa lalu, seperti pria uzur yang ada di ruangan itu.

            Semakin tua aku, makin banyak yang tidak kupahami tentang manusia, kian banyak yang mesti kupelajari tentangnya. Tapi aku sudah bau tanah, anak-cucu-buyut tak ada lagi yang tinggal serumah. Istri sakit-sakitan, seakan menunggu maut di ranjang kematian. Rumah ini seperti kuburan...

            Apakah aku kecewa karena orang tak lagi menghargaiku? (Tertawa mengejek) Tidak. Aku tak lagi kecewa, sudah bosan dengannya. Aku hanya tak mengerti, mengapa tidak ada lagi rasa hormat, alih-alih menghargai, pada orang tua... (Terbatuk) Padahal seharusnya mereka tahu, nang tuha dituhaakan, nang anum disayangi...

            Kemarin pagi, saat bertemu di kantor pos untuk mengambil tunjangan veteran yang hanya cukup untuk hidup seminggu itu, A mengeluh lagi. Istrinya sudah sepuluh tahun meninggal. Dia terpaksa tinggal di rumah anak-cucu dan merasa diperlakukan sebagai pembantu. “Kau masih ingat gadis dusun yang jadi rebutan dulu, ketika kita bergerilya di pedalaman?” katanya. “Gadis yang sempat membuat beberapa kawan kita berkelahi, memperebutkan gadis yang matanya mancar mancararat mancarunung, mambintang siang, nangkaya amas hanyar dituang? Dia kini tinggal di rumah mewah, karena putranya jadi pejabat penting. Kau tahu, putranya itulah yang menolak bertemu kita, ketika kita ingin bertemu dengannya. Sewaktu jadi pejabat di tempat lain, dia membangun gedung veteran yang megah, padahal banyak di antara kita tak punya rumah...”

            (Tertawa kecil) Sejak dahulu, A memang lucu dan suka bicara. Itu pula yang membuatnya tertembak di kaki, karena tak mau diam saat kami mengintai Belanda di tangsi. Serdadu Belanda tahu posisi kami! Malam itu, kami ditembaki membabibuta! Kami lari kocar-kacir dan A kena tembakan di kaki kiri. Sejak itu, dia pincang dan berjalan dengan tongkat.

            A orang baik. Dia juga bercerita tentang... (Mendengarkan) Ada apa, sayang? (Mendengarkan) Oh, belum! Dokter belum datang! Mungkin sebentar lagi! Ya, aku menunggunya di sini. Kemarin sudah kukatakan agar dia kemari untuk memeriksa kesehatanmu, sekaligus membawakan obat... Kenapa? (Mendengarkan) Oh, ya, sebentar, sayang.  Akan kuambilkan... (Exit

            (Muncul) Istriku... minta minum. Dia telah memberiku enam anak, limabelas cucu dan empat buyut. Perempuan yang baik dan setia. Penyakit telah menggerogoti tubuhnya hingga tak berdaya. Yah... Anak-cucu dan buyut kami tak ada yang mau tinggal di sini. Katanya, ingin mandiri. Beberapa minggu sekali mereka datang, menengok. Kalau cucu-cucu dan buyutnya datang, istriku seperti hidup lagi. Tapi sudah beberapa pekan mereka tak kemari, katanya sibuk sekali... (Terbatuk-batuk)

            (Tercenung) A... B... C... D... Ah... X! Sudah berapa lama X tiada? Lelaki yang pemberani dan ditakuti, tapi garis tangan lain menggariskan jalan hidup yang juga lain. Aku tak pernah menyesali keputusannya dahulu. Apa yang salah dengan pilihan jalan hidup? Seseorang takkan menanggung dosa orang lain. Orang bebas menentukan jalan hidupnya sendiri dan, bagiku, asalkan tidak melanggar norma adat, budaya dan agama, kenapa tidak? Manusia cuma tidak bisa memilih orangtuanya ketika dilahirkan. Yang agak kusesalkan adalah... kami sudah seperti saudara kandung. Waktu anak-anak, sarantang-saruntung. Kenangan mudah dilupakan, tapi tak bisa dihapuskan...

            “Mau tahu alasanku tidak memihak republik dan memberontak?” kata X waktu itu. Saat itu, aku kebetulan bertemu dengannya di sebuah dusun, di kaki Pegunungan Meratus. Malam hari. Aku pulang dari rumah saudaraku di dusun itu dan hendak kembali ke kota. Di warung pinggir jalan, dalam temaram cahaya lampu damar, aku bertemu dengannya. Dia, bersama beberapa kawannya, memaksaku ke hutan dan bertanya apakah aku masih menganggapnya dangsanak? Apakah aku akan melaporkan posisi mereka ke pihak republik?

             Kukatakan: aku tidak tahu, dan tidak mau tahu, tempat persembunyian mereka dan, walau bagaimanapun, tetap menganggapnya dangsanak, tidak peduli di pihak republik atau pemberontak. Aku memang memilih pihak republik, tapi bukan penjilat atasan yang tega mengkhianati kawan sendiri... (Terbatuk)

            X dan kawan-kawannya tampak lega dan tak terlalu mencurigaiku lagi. Mereka menyandarkan senapang dumdum di batang pohon tempat kami bicara itu, tapi tangan tetap memegang mandau di pinggang. “Republik tidak adil! Pemerintah pusat tidak menghargai perjuangan kita yang bergerilya melawan penjajah. Setelah proklamasi kemerdekaan, proklamasi ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dan demobilisasi, berapa banyak gerilyawan yang ditolak jadi TNI? Karena kami tak punya ijazah, badan kurang tinggi dan tidak sehat? Tapi kenapa banyak mantan KNIL yang diangkat jadi tentara? Sebagai orang republik, kau bisa jawab itu?” X bicara berapi-api sambil manggiling timbaku berkali-kali.

            Aku tak bersuara. Kawan-kawan X tetap waspada, memandangiku dengan mata menyala, bagai mata musang pandan di kegelapan. Sebagian berjaga-jaga dan mengawasi jalan...  (Menghela nafas) Apalagi yang dapat kukatakan? Aku bukan perwira tentara, hanya gerilyawan biasa. Hassan Basry telah dikirim ke Mesir. Kabarnya, disekolahkan pemerintah pusat. Tapi kami tahu, itu cuma taktik pemerintah pusat untuk menghindari konfrontasi, mengingat pengaruhnya terhadap kami. Walau bagaimanapun juga, sebagian besar di antara kami, di pihak republik atau pemberontak, adalah bekas anak buahnya...(Terbatuk-batuk)

            (Terdengar ketukan di pintu. Suara orang mengucapkan salam) Oh... Wa’alaikum salaaam...! Mari, silakan masuk! Sudah ditunggu dari tadi. Apa kabar? (Bersalaman. Mendengarkan) Oh, aku sehat saja, cuma istriku yang harus diperiksa. (Mendengarkan) Ya. Begitulah. Dia tidak mau, tetap tak mau dirawat di rumah sakit! Katanya, kalau pun sampai juga umurnya, dia mau meninggal di rumah saja. (Mendengarkan) Ya, ya... Silakan! Periksalah! Mari kuantar... (Exit)

            (Muncul lagi. Merapikan bingkai foto yang miring di dinding. Menurunkan bingkai foto yang lain, membersihkannya dari debu. Mengeluarkan emblem, wing, pin dan kartu anggota LVRI dari laci, meletakkannya di atas meja dan membersihkannya. Menurunkan lambang burung garuda dan menyekanya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca, seolah lawan bicara.) Aku tak menyalahkanmu, X. Katamu, rumput ma’alahakan banua. Itu benar waktu itu, sekian tahun kemudian, dan mungkin sekarang masih.

            Kukatakan, sebaiknya dia menyerahkan diri. Dia marah sekali. “Banganga dahulu, hanyar baucap. Upung mamadahi mayang!” serapahnya. Matanya merah menyala. Lalu, “Awas, jangan bilang siapa-siapa tentang pertemuan ini. Jangan anjur atar. Jangan adu asah. Pergilah!” Sambil mengembalikan senapang yang pelurunya telah diambil, dimintanya rokok yang tadi kubeli di warung... (Terbatuk-batuk)

            Kami berpisah malam itu. Aku kembali ke dusun, mereka menghilang di kegelapan. Itulah pertemuan terakhir kami. Kudengar, X dan gerombolannya berpindah-pindah tempat persembunyian di sepanjang hunjuran Pegunungan Meratus, menghindari pengejaran tentara republik. Dia amat taat beribadah dan mewajibkan semua anak buahnya shalat. Bagi yang melanggar, hukumannya amat berat. Orang-orang Dayak Meratus yang bersimpati, tidak tahu, atau tak peduli pada apa yang terjadi, memberi perlindungan dan makan. Tentara republik tak mampu menangkapnya! Waktu berlalu. Tahun berganti. Setelah kelompok gerilya kami dibubarkan, aku menyunting gadis dusun tempat bergerilya dahulu, pindah ke tempat lain dan berjualan pancarikinan, sambil bahuma.

            Lalu, kudengar kabar... Sekembali dari Mesir, Hassan Basry diminta pemerintah pusat membujuk X yang menolak menyerah dan keluar dari hutan. Dengan janji akan diampuni, juga karena yang datang menemui mantan pimpinan sendiri, X keluar hutan. Dia dan anak buahnya turun gunung dan menjalani pemeriksaan di kota.

            Tapi pemerintah pusat berkhianat! Menggunting dalam lipatan, telunjuk lurus kelingking berkait! X ditangkap, senjatanya dilucuti... (Mendesah, geram) Kabarnya, dia ditembak mati di Lapangan Merdeka, di bekas Port Tatas, yang pernah jadi markas Belanda, musuh yang sangat dibencinya. Ada juga yang bilang dia dibawa ke Jakarta dan ditembak mati di sana...

            (Menerawang) X... Mungkin lebih baik begitu... Lebih baik kau mati lebih dulu, daripada menjalani masa-masa sukar seperti yang kemudian aku dan kawan-kawan lainnya alami, bertahun-tahun kemudian. Kata orang, kau tak bisa diampuni karena telah bergabung dengan DI/TII, bersama Kartosuwiryo di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Makassar. Kata pemerintah pusat, kau ingin mendirikan NII bersama mereka. Apakah itu benar? Wallahu a’lam...

            Kehidupan keluargaku sendiri, setelah peristiwa itu, tidak berjalan mudah. Di zaman sulit itu, setelah pembubaran kelompok-kelompok gerilya, perampok merajalela dan pembunuhan terjadi di mana-mana. Untuk mencari penghidupan yang lebih baik, kami pindah tempat berkali-kali, sebelum kemudian menetap di sini.

            Pada suatu hari, saat bahan makanan dan kebutuhan pokok lain sukar didapat, aku terpaksa membuat lanting dan tinggal di pinggir sungai. Itu setelah sebelumnya aku terpaksa harus menjual rumah untuk mengobati istriku yang mulai sakit-sakitan, juga untuk biaya sekolah anak-anak... (Terbatuk lagi)

            Aku menghidupi keluarga dengan mencari ikan, menjadi nelayan. Kalau liburan sekolah, anak-anak yang beranjak remaja menjadi pambatangan. Syukurlah, keadaan kemudian berubah menjadi lebih baik. Kawan-kawan sesama mantan gerilyawan masih mengingatku, tiap bulan kadang kami bertemu di kantor pos itu.

            (Terperanjat saat menyadari ada yang datang) Oh! Eh... Bagaimana keadaannya, Dok? Sudah disuntik? (Mendengarkan) Ya, ya, ya... Obat-obatan yang dokter berikan selalu diminumnya. Aku sendiri yang meminumkannya. (Mendengarkan dengan saksama) Kenapa? (Terkejut) Mengapa tidak bisa? (Air mukanya berubah panik) Bukan saya yang tidak mau, tapi dia! 

(Mendengarkan) Oh, jadi tetap harus dibawa ke rumah sakit? Sekarang? Sekarang juga? (Panik) Aduh, bagaimana ini... (Berjalan hilir-mudik)

            Baiklah, Dokter. Pergilah. Panggillah ambulans! (Terbatuk-batuk) Ya! Aku akan menemaninya,  tapi mau menyiapkan pakaian yang akan dibawa dulu! (Exit)

            (Terdengar suaranya dari ruangan lain) Tunggu sebentar, ya, sayang! Dokter sudah pergi memanggil ambulans. Mungkin tak lama lagi mobilnya datang. Aku sedang mengumpulkan pakaian yang akan dibawa. Sebentar lagi aku ke sana! Selimut biru kesayanganmu sudah kumasukkan dalam koper. Kita tak sempat lagi mengabari anak-cucu. Nanti saja kalau sudah di rumah sakit! (Terbatuk-batuk keras sekali)

            (Muncul. Tersengal-sengal mengangkat koper. Matanya menyipit. Berjingkit, mengarahkan pandangan ke jalan) Kenapa lama sekali dokter itu pergi? (Tiba-tiba sadar) Eh, bagaimana keadaan istriku? (Exit)
            (Dari dalam, terdengar jeritan tertahan)
            (Muncul dengan sempoyongan) Tolong... Toloong... Tolooong...! (Roboh)

Lampu padam


Banjarmasin, 2007
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar