Sabtu, 14 Desember 2013

Naskah Teater Monolog, "Tukang Obat"



TUKANG OBAT

Monolog Y.S. Agus Suseno


(Di keramaian pasar. Di antara lalu lalang orang. Di bawah tenda. Siang hari.)

Saat lampu panggung menyala, ia sudah hadir. Hilir mudik, sibuk menata berbagai barang yang terletak di depannya: tengkorak buaya besar, tengkorak-tengkorak kecil,  kulit ular, jimat, kalung dari gigi binatang, tombak, mandau dan sumpit yang disandarkan pada sebuah perisai;  jaring besar, butah, tali nilon dengan mata kail besar di ujungnya, biji-biji buah kering, akar-akar kayu dan ratusan botol besar-kecil berisi cairan aneka warna. Ada juga kliping koran bergambar orang-orang berpenyakit kulit, kliping foto pejabat penting, sertifikat dan tiket pesawat bekas pakai. Di satu sisi, tampak onggokan benda yang  ditutupi kain hitam. Di sudut lain, lebih besar dan paling mencolok, tampak sebuah benda yang diselimuti kain kuning, bertabur melati dan kenanga.
  
            (Ceria dan bersemangat) Ayooo...! Mari... Mari kemari, bapak, ibu dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak harum mewangi. Ini minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali! (Tertawa.) Mari! Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!

Ya. Mari, saudara-saudara... Mau cari sahabat? Mari mendekat. Mau cari musuh? Harap menjauh. Saya ada di sini, khusus untuk Anda. Untuk silaturahmi, demi kebaikan bersama.

Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara... Hari ini saya tidak jualan obat, tapi ingin berbagi pengalaman. Percayalah, saya tidak akan mengambil uang Anda. Jadi, jangan ragu-ragu. Mendekatlah! Anda beruntung sekali hari ini, karena akan bertemu dengan sesuatu yang belum pernah Anda lihat seumur hidup!
Boleh percaya, boleh tidak: ketika benda ini saya tunjukkan di tempat lain di kota lain, beberapa orang pingsan, yang lain kesurupan! Jadi, saya mau mengingatkan: bagi Anda yang tidak kuat mental alias lamah bulu, jangan terlalu dekat! Silakan agak menjauh. Soalnya, reaksi awal bagi yang pertama kali melihat biasanya dada berdebar, badan gemetar!

(Tersenyum lebar.) Tapi jangan khawatir! Karena saya yang membawanya, tentu sayalah yang mampu mengendalikannya (Tertawa.). Jadi, tenang saja! Selama bersama saya, Anda aman. Dijamin! Sekarang... Apa yang saya maksud sebagai benda yang belum pernah Anda lihat seumur hidup itu? Anda ingin tahu?

(Dengan mimik serius, menunjuk benda yang diselimuti kain kuning.) Anda lihat itu? (Mendekati benda itu.) Inilah benda yang saya maksud. Anda tahu, ketika benda ini saya perlihatkan di tempat lain di kota lain, turis asal Malaysia dan Brunei berebut ingin membelinya, karena dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia! Mereka mendatangi hotel tempat saya menginap dengan membawa uang sekoper!

Anda tahu, berapa mereka berani bayar? S-a-t-u  m-i-l-i-a-r! Tapi tidak saya jual. Anda pasti tidak percaya: mau dibeli semiliar, tapi tidak dijual. Apa saya sudah gila? Apa saya tak perlu uang? (Tertawa.)

Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara, maaf... Saya bukan sombong, tidak takabur! Anda lihat tiket pesawat bekas pakai itu? Tiap bulan saya ke kota lain dengan pesawat terbang. Jadi, bagi saya, uang bukan soal. Maaf.

Tapi bukan itu intinya. Anda tahu, lahan warisan kakek saya saja di Pegunungan Meratus sudah ditawar perusahaan tambang s-e-r-a-t-u-s  m-i-l-i-a-r! Kenapa? Sebab, di lahan itu isinya b-a-t-u  b-a-r-a semua! Jadi, apa artinya uang semiliar bagi saya? Yang ingin saya katakan adalah: berapa pun benda ini mau dibeli, t-i-d-a-k  a-k-a-n  s-a-y-a     j-u-a-l. Kenapa? Karena b-e-n-d-a ini sendiri dan s-e-j-a-r-a-h yang melatarbelakanginya. Saya akan mengisahkan sejarah ditemukannya benda ini kepada Anda. Tetapi, maaf, saya haus. Jadi, saya minum dulu... (Tertawa, mengambil botol air mineral dan meminumnya.)

(Meletakkan botol air mineral.) Anda sudah tidak sabar ingin melihatnya, setelah mendengar cerita saya tentang benda ini? (Tertawa.) Sabar, sabar... Benda ini tidak akan ke mana-mana. Dia tidak boleh jauh dari saya. Soalnya, kalau benda ini lepas dari saya dan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, akan terjadi bencana! Saya akan mendapat sanksi luar biasa dari suku pedalaman yang memercayai saya untuk menjaganya.

S-u-k-u  p-e-d-a-l-a-m-a-n? Ya! Anda tahu, saya telah mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini. (Mengubah ekspresi, menjadi lebih serius dan dramatis.) Anda lihat ini? (Kepada penonton, memperlihatkan goresan bekas luka di sepanjang lengan dan leher.) Inilah harga yang harus saya bayar untuk mendapatkan benda itu. Tapi hasilnya sepadan! Saya dan banyak orang sudah membuktikan keampuhan benda itu, meskipun, sebagai akibatnya, kepala saya hampir lepas dari badan. Anda mau bukti? Maaf, saya tidak bermaksud pamer. Bagi Anda yang punya ilmu sama atau lebih tinggi daripada saya, tolong jangan diganggu. Dilihat, boleh. Diganggu, jangan!

 Maaf... (Mengambil mandau dan menghunusnya. Membacokkannya ke lengan, leher dan sekujur badan, lalu mengiris lidahnya.) Anda melihat luka? (Memperlihatkan bekas bacokan dan irisan.) Ada darah? Tidak? (Melempar mandau, mengambil tombak dan menyodorkannya kepada penonton.) Ada yang bersedia menombak saya, lalu gantian saya yang menombak Anda? Jangan takut! Tak apa-apa. Kalau saya luka, saya tidak akan menuntut Anda! (Kepada penonton.) Anda berani? Tidak? Oh... (Tertawa.) Ya, sudah. Tak apa-apa. (Kepada penonton tadi.) Tak perlu pucat dan berkeringat begitu... (Tertawa, menaruh tombak.)

(Serius lagi.) Tadi sudah saya katakan: kepala saya hampir lepas dari badan untuk mendapatkan benda itu. Betul! Asal Anda tahu, sejak remaja saya sudah melanglang buana, merantau ke mana-mana, terutama ke pedalaman. Bila di antara Anda ada yang berasal dari suku yang akan saya sebutkan nanti, tolong maju ke depan. Saya akan bicara dalam bahasa suku Anda, agar Anda yakin bahwa saya tidak bohong. Di setiap suku di mana saya pernah tinggal, saya punya satu istri. Jadi, silakan hitung sendiri berapa jumlah istri saya, sebab saya sendiri lupa jumlah persisnya! (Tertawa.)

Saya pernah tinggal dengan suku Dayak Meratus di Loksado, di Halong, dengan orang Maanyan di Warukin, orang Bukit di Labuhan. Juga, saya punya istri dari suku Bakumpai, Ot Danum, Lawangan, Deyah, Ngaju, Kenyah, Benuaq...

Ada di antara Anda yang berasal dari suku-suku itu? Mau bicara dengan saya dalam bahasa suku Anda, untuk membuktikan bahwa saya benar-benar pernah tinggal di sana? Ada yang berani maju? (Tangan kanan mengambil mandau, tangan kiri mengambil botol air mineral dan mereguknya. Mata nyalang mengedari penonton.)

 Tidak? Tidak ada di antara bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang berasal dari salah satu suku yang saya sebut tadi? Baiklah... (Menaruh mandau dan botol air mineral.) Saya mau mengatakan... (Menunjuk benda berselimut kain kuning.) benda itu bukan berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi, tapi dari suku terasing tak dikenal yang belum diketahui.

Mereka tak kenal, dan tidak dikenal, oleh masyarakat umum, tinggal di pegunungan angker yang tak terjamah orang-orang beradab seperti kita. Mereka tak punya nama, tak punya bahasa, tinggal di tempat yang tak ada di peta. Mereka tanpa busana, dan hidup di zaman batu. Dari lima orang yang pernah ke sana, cuma saya yang selamat. Yang lain... (dengan jari tangan, melakukan gerakan memotong leher.). Cuma saya yang tahu tempatnya. Tapi, maaf, saya tak bisa mengatakannya kepada Anda,  sebab ini rahasia...

Tapi, sebelum saya melanjutkan cerita tentang suku tak dikenal itu dan benda keramat mereka yang nanti akan saya buka, saya mau menyampaikan rahasia lain. Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara semua mungkin bertanya: kenapa saya bisa selamat saat bertemu suku terasing tak dikenal, pengayau dan kanibal, yang masih tinggal dalam gua dan tak bernama itu? (Lebih rileks.) Saya akan membuka rahasianya.

Orangtua angkat saya, yang berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi, sebelum saya pergi, membekali saya dengan minyak. M-i-n-y-a-k? Ya! (Mengambil bungkusan kain kuning.) Mungkin selama ini Anda kenal minyak sinyongnyong, minyak kuyang, minyak wayang, minyak kukang, minyak bintang, minyak bubut, minyak rambut dan minyak...  kulanjar (Tertawa.).

Nah, berbeda dengan minyak-minyak tadi, yang kegunaannya kita semua tahu, ini minyak yang sama sekali lain! Bila minyak sinyongnyong, minyak wayang dan minyak kukang untuk pekasihan, seperti pelet di Jawa, minyak kuyang dan minyak bintang untuk kesaktian, dan minyak bubut untuk pengobatan, maka minyak timpakul yang saya bawa ini adalah untuk keselamatan dan kemakmuran.

Minyak timpakul? Ya! Saya ulangi:  m-i-n-y-a-k  t-i-m-p-a-k-u-l. Ya, betul! Anda tak salah dengar. Menurut saudara ipar dari sepupu keponakan istri saya yang makan sekolahan, Djebar Hapip, timpakul itu i-k-a-n  b-u-t-a. Entah apa maksudnya, padahal matanya sebesar mata kodok. Katanya, manimpakul adalah sifat orang yang mudah berubah, tidak tetap pendirian. Sedangkan timpakul janjan adalah sifat orang yang jelek perilakunya. Tapi itu kata Djebar Hapip! (Ketawa ngakak.). Nah, kalau timpakul tinggal di rawa-rawa, di pinggir sungai atau di kayu apung, ada juga hewan lain yang perilakunya mirip, tapi tinggal di pepohonan. Apa itu? Angui. Saya ulangi: a-n-g-u-i.

Nah, berbeda dengan timpakul yang tak ada persamaan namanya dengan binatang sejenis dalam bahasa Indonesia, angui punya, yaitu b-u-n-g-l-o-n. Lalu, menurut Djebar Hapip tadi, angguk angui adalah ungkapan untuk orang yang selalu mengiyakan, tapi kerjanya juga yang jalan.

Baiklah, saya tidak akan bicara panjang lebar tentang angui atawa bunglon, tapi khusus tentang timpakul saja.
Anda tahu, setelah orangtua angkat saya itu memanggil ruh timpakul melalui upacara khusus, sesuai dengan adat dan kepercayaannya, proses pembuatannya pun dimulai.

Empat puluh satu ekor timpakul dimasak tepat tengah malam Jumat, saat langit tak berbulan tak berbintang. Dengan minyak yang dibuat dari kelapa gading dempet tiga, dicampur ramuan khusus, dikerjakan setelah orangtua angkat saya itu berpuasa empat puluh satu hari, dan selama itu tak boleh menikmati makanan yang dimasak dengan api, ditambah mantra-mantra rahasia, jadilah saripati timpakul: muncul dalam bentuk minyak, seperti yang akan Anda lihat.

(Perlahan dan hati-hati mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari dalam bungkusan kain kuning, meletakkannya di telapak tangan.) Anda lihat? Ini adalah  s-a-r-i-p-a-t-i alias i-n-t-i atawa h-a-k-i-k-a-t jiwa timpakul. Tepat tengah malam Jumat, olesi jari manis Anda dengan minyak ini. Tanpa menarik napas, tekan jari manis Anda ke langit-langit mulut. Selesai. Keselamatan dan kemakmuran menanti Anda. Mengapa? Karena Anda sudah menyatu dengan jiwa timpakul, sudah manimpakul, mambatang timbul! (Ketawa ngakak.)

Manimpakul tidak jelek! Itu cermin kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Kita tahu, timpakul biasanya tinggal di tebing-tebing sungai atau di kayu apung yang hanyut. Bila gelombang datang menyapu tebing atau kayu apung tempat timpakul berada, dengan gesit ia melompat ke tebing atau ke kayu apung lain untuk menyelamatkan diri. Tebing atau kayunya tenggelam, dia tidak. Begitu seterusnya. Nah, kenapa cara bertahan hidup yang luar biasa  itu dimaknai jelek? Apa salah timpakul? (Ketawa ngakak.)

(Mengambil handuk kecil dekat bangku, menyeka keringat yang membanjiri wajahnya.) Timpakul tidak bersalah! Andalah yang salah kalau hari ini, pada hari baik bulan baik ini, tidak memiliki minyak ini, karena belum tentu kita akan bertemu lagi.
Kalau Anda berminat, silakan. Jumlahnya terbatas. Ini hanya untuk sepuluh orang. Jadi, Anda harus cepat kalau mau dapat. Apakah saya menjualnya? Berapa harganya? Eittt... Maaf! Sejak awal sudah saya katakan: saya tidak berjualan.

Eit...! Eit, eit,  eit...! Sabar, sabar...! Jangan saling dorong begitu! Sabar saja. Kalau memang jodoh, Anda pasti kebagian. Dengar... Dengarkan saya! Saya tidak menjual minyak ini. Kalau tetap memaksa, Anda bisa mendapatkannya, tapi dengan maharnya: mengganti ongkos transportasi saya dari-pedalaman-kemari. Anda tentu tahu, berapa tarif angkutan umum dari sana ke sini. Itu saja. Dan minyak ini saya hadiahkan kepada Anda. Anda ikhlas memenuhi permintaan saya?

(Tersenyum lebar.) Baik, baik, baik... Anda semua ikhlas. Baiklah. Tapi nanti dulu! Sabar. (Menunjuk benda yang ditutupi kain kuning.) Anda ingin saya membuka benda itu sekarang? Atau, nanti saja? Anda ingin buru-buru menebus minyak ini? Baiklah.

(Bertepuk tangan, memanggil seseorang di antara penonton.) Ini asisten saya. Silakan berhubungan dengan dia untuk menebus minyak timpakul dan, jangan lupa, serahkan maharnya. Dia akan berkeliling untuk membagikannya pada bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang beruntung. Sementara itu, saya akan menyampaikan kisah sukses orang-orang yang sudah menggunakan minyak ini.

Seperti dapat dilihat, di depan ini adalah foto-foto dan kliping berita surat kabar. Anda tahu, siapa mereka? Mereka adalah pedagang, pengusaha, kontraktor, ulama, guru, pegawai, karyawan, wartawan, seniman, jaksa, hakim, polisi, tentara, pejabat dan wakil rakyat yang sukses karena sudah menggunakan kehebatan minyak timpakul alias manimpakul. Karyawan rendahan yang ingin selamat dan disukai atasan, siapa pun atasannya, gunakan minyak timpakul!

Lurah, camat, kepala bagian atau kepala dinas yang ingin disayangi bupati atau walikota, gunakan minyak timpakul. Kasi, kabag, kasubag, kasubdin, kabid, kepala dinas, kepala perwakilan atau asisten yang ingin selamat dan disayangi gubernur, gunakan minyak timpakul. Bupati, walikota atau gubernur yang ingin lancar berurusan dengan Mendagri atau Presiden, gunakan minyak timpakul. Sekjen, dirjen atau menteri yang ingin selamat dan disayangi presiden, tidak dicopot walau bagaimanapun kondisi rakyat, bangsa dan  negara,  gunakan minyak timpakul.

Anda tahu, yang terbukti sukses karena sudah manimpakul adalah wakil rakyat di parlemen: di kabupaten, di kota, di provinsi, apalagi di pusat...  (Ketawa ngakak.)

(Ceria dan bersemangat) Ayooo...! Mari... Mari kemari, bapak, ibu, dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak harum mewangi. Ini minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali. (Tertawa.) Mari! Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!


Lampu padam

Banjarmasin, 2007








Tidak ada komentar:

Posting Komentar