TUKANG
OBAT
Monolog Y.S. Agus Suseno
(Di keramaian
pasar. Di antara lalu lalang orang. Di bawah tenda. Siang hari.)
Saat lampu
panggung menyala, ia sudah hadir. Hilir mudik, sibuk menata berbagai barang
yang terletak di depannya: tengkorak buaya besar, tengkorak-tengkorak
kecil, kulit ular, jimat, kalung dari
gigi binatang, tombak, mandau dan sumpit yang disandarkan pada sebuah perisai; jaring besar, butah, tali
nilon dengan mata kail besar di ujungnya, biji-biji buah kering, akar-akar kayu
dan ratusan botol besar-kecil berisi cairan aneka warna. Ada juga kliping koran
bergambar orang-orang berpenyakit kulit, kliping foto pejabat penting, sertifikat dan
tiket pesawat bekas pakai. Di satu sisi, tampak onggokan benda yang ditutupi kain hitam. Di sudut lain, lebih
besar dan paling mencolok, tampak sebuah benda yang diselimuti kain kuning,
bertabur melati dan kenanga.
(Ceria dan bersemangat) Ayooo...!
Mari... Mari kemari,
bapak, ibu dan saudara-saudara. Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak
harum mewangi. Ini
minyak bukan sembarang minyak, tapi minyak yang manjur sekali! (Tertawa.) Mari!
Jangan segan, jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!
Ya. Mari, saudara-saudara... Mau cari sahabat? Mari mendekat. Mau cari
musuh? Harap menjauh. Saya ada di sini, khusus untuk Anda. Untuk silaturahmi,
demi kebaikan bersama.
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara... Hari ini saya tidak jualan
obat, tapi ingin
berbagi pengalaman. Percayalah, saya tidak akan
mengambil uang Anda. Jadi, jangan ragu-ragu. Mendekatlah! Anda beruntung sekali
hari ini, karena akan bertemu dengan sesuatu yang belum pernah Anda lihat
seumur hidup!
Boleh percaya, boleh tidak: ketika benda ini saya tunjukkan di tempat
lain di kota lain, beberapa orang pingsan, yang lain kesurupan! Jadi, saya mau
mengingatkan: bagi Anda yang tidak kuat mental alias lamah bulu, jangan
terlalu dekat! Silakan agak menjauh. Soalnya, reaksi awal bagi yang pertama
kali melihat biasanya dada berdebar, badan gemetar!
(Tersenyum lebar.) Tapi jangan khawatir! Karena saya yang membawanya, tentu sayalah yang
mampu mengendalikannya (Tertawa.). Jadi, tenang saja! Selama bersama saya, Anda
aman. Dijamin!
Sekarang... Apa yang saya maksud sebagai benda yang belum pernah Anda lihat
seumur hidup itu? Anda ingin tahu?
(Dengan mimik serius, menunjuk benda yang diselimuti kain kuning.)
Anda lihat itu? (Mendekati benda itu.) Inilah benda yang saya maksud.
Anda tahu, ketika benda ini
saya perlihatkan di tempat lain di kota lain, turis asal Malaysia dan Brunei
berebut ingin membelinya, karena dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia!
Mereka mendatangi hotel tempat saya menginap dengan membawa uang sekoper!
Anda tahu, berapa mereka berani bayar? S-a-t-u m-i-l-i-a-r! Tapi tidak saya jual. Anda pasti
tidak percaya: mau dibeli
semiliar, tapi tidak dijual. Apa saya sudah gila? Apa saya tak perlu uang? (Tertawa.)
Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara, maaf... Saya bukan sombong,
tidak takabur! Anda lihat tiket pesawat bekas pakai itu? Tiap bulan saya ke
kota lain dengan pesawat terbang. Jadi, bagi saya, uang bukan soal. Maaf.
Tapi bukan itu intinya. Anda tahu, lahan warisan kakek saya saja di
Pegunungan Meratus sudah ditawar perusahaan tambang s-e-r-a-t-u-s m-i-l-i-a-r! Kenapa? Sebab, di lahan itu
isinya b-a-t-u b-a-r-a semua! Jadi, apa
artinya uang semiliar bagi saya? Yang ingin saya katakan adalah: berapa pun
benda ini mau dibeli, t-i-d-a-k
a-k-a-n s-a-y-a j-u-a-l. Kenapa? Karena b-e-n-d-a ini
sendiri dan s-e-j-a-r-a-h yang melatarbelakanginya. Saya akan mengisahkan
sejarah ditemukannya benda ini kepada Anda. Tetapi, maaf, saya haus. Jadi, saya
minum dulu... (Tertawa, mengambil botol air mineral dan meminumnya.)
(Meletakkan botol air mineral.) Anda sudah tidak sabar ingin
melihatnya, setelah mendengar cerita saya tentang benda ini? (Tertawa.)
Sabar, sabar... Benda ini tidak akan ke mana-mana. Dia tidak boleh jauh dari saya. Soalnya, kalau
benda ini lepas dari saya dan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, akan terjadi bencana! Saya akan mendapat sanksi luar biasa
dari suku pedalaman yang memercayai saya untuk menjaganya.
S-u-k-u p-e-d-a-l-a-m-a-n? Ya!
Anda tahu, saya telah mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini. (Mengubah
ekspresi, menjadi lebih serius dan dramatis.) Anda lihat ini? (Kepada
penonton, memperlihatkan goresan
bekas luka di sepanjang lengan dan leher.) Inilah harga yang harus
saya bayar untuk mendapatkan benda itu. Tapi hasilnya sepadan! Saya dan banyak
orang sudah membuktikan keampuhan benda itu, meskipun, sebagai akibatnya,
kepala saya hampir lepas dari badan. Anda mau bukti? Maaf, saya tidak bermaksud
pamer. Bagi Anda yang punya ilmu sama atau lebih tinggi daripada saya, tolong
jangan diganggu. Dilihat, boleh. Diganggu, jangan!
Maaf... (Mengambil mandau
dan menghunusnya. Membacokkannya ke lengan, leher dan sekujur badan, lalu
mengiris lidahnya.) Anda melihat luka? (Memperlihatkan bekas bacokan dan
irisan.) Ada darah? Tidak? (Melempar mandau, mengambil tombak dan
menyodorkannya kepada penonton.) Ada yang bersedia menombak saya, lalu
gantian saya yang menombak Anda? Jangan takut! Tak apa-apa. Kalau saya luka,
saya tidak akan menuntut Anda! (Kepada
penonton.) Anda berani? Tidak? Oh... (Tertawa.) Ya, sudah. Tak
apa-apa. (Kepada penonton tadi.) Tak perlu pucat dan berkeringat
begitu... (Tertawa, menaruh tombak.)
(Serius lagi.) Tadi sudah saya katakan: kepala saya hampir lepas
dari badan untuk mendapatkan benda itu. Betul! Asal Anda tahu, sejak remaja
saya sudah melanglang buana, merantau ke mana-mana, terutama ke pedalaman. Bila
di antara Anda ada yang berasal dari suku yang akan saya sebutkan nanti, tolong
maju ke depan. Saya akan bicara dalam bahasa suku Anda, agar Anda yakin bahwa
saya tidak bohong. Di setiap suku di mana saya pernah tinggal, saya punya satu
istri. Jadi, silakan hitung sendiri berapa jumlah istri saya, sebab saya
sendiri lupa jumlah persisnya! (Tertawa.)
Saya pernah tinggal dengan suku Dayak Meratus di Loksado, di Halong,
dengan orang Maanyan di Warukin, orang Bukit di Labuhan. Juga, saya punya istri
dari suku Bakumpai, Ot Danum, Lawangan, Deyah, Ngaju, Kenyah, Benuaq...
Ada di antara Anda yang berasal dari suku-suku itu? Mau bicara dengan
saya dalam bahasa suku Anda, untuk membuktikan bahwa saya benar-benar pernah
tinggal di sana? Ada yang berani maju? (Tangan kanan mengambil mandau,
tangan kiri mengambil botol air mineral dan mereguknya. Mata nyalang mengedari penonton.)
Tidak? Tidak ada di antara
bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang berasal dari salah satu suku yang
saya sebut tadi? Baiklah... (Menaruh mandau dan botol air mineral.) Saya
mau mengatakan... (Menunjuk benda berselimut kain kuning.) benda itu
bukan berasal dari salah satu suku yang saya sebutkan tadi, tapi dari suku
terasing tak dikenal yang belum diketahui.
Mereka tak kenal, dan tidak dikenal, oleh masyarakat umum, tinggal di pegunungan
angker yang tak terjamah
orang-orang beradab
seperti kita. Mereka tak punya
nama, tak punya bahasa, tinggal di tempat yang tak ada di peta. Mereka tanpa
busana, dan
hidup di zaman batu.
Dari lima orang yang pernah ke sana, cuma saya yang selamat. Yang lain... (dengan jari tangan, melakukan
gerakan memotong leher.). Cuma saya yang tahu tempatnya. Tapi, maaf, saya
tak bisa mengatakannya
kepada Anda, sebab ini rahasia...
Tapi, sebelum saya melanjutkan cerita tentang suku tak dikenal itu dan
benda keramat mereka yang nanti akan saya buka, saya mau menyampaikan rahasia
lain. Bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara semua mungkin bertanya: kenapa
saya bisa selamat saat bertemu suku terasing tak dikenal, pengayau dan
kanibal, yang masih tinggal dalam gua dan tak bernama itu? (Lebih rileks.) Saya
akan membuka rahasianya.
Orangtua angkat saya, yang berasal dari salah satu suku yang saya
sebutkan tadi, sebelum saya pergi, membekali saya dengan minyak. M-i-n-y-a-k?
Ya! (Mengambil bungkusan kain kuning.) Mungkin selama ini Anda kenal
minyak sinyongnyong, minyak kuyang, minyak wayang, minyak
kukang, minyak bintang, minyak bubut, minyak rambut dan
minyak... kulanjar (Tertawa.).
Nah, berbeda dengan minyak-minyak tadi, yang kegunaannya kita semua tahu,
ini minyak yang sama sekali lain! Bila minyak sinyongnyong, minyak wayang
dan minyak kukang untuk pekasihan, seperti pelet di Jawa, minyak kuyang
dan minyak bintang untuk kesaktian, dan minyak bubut untuk
pengobatan, maka minyak timpakul yang saya bawa ini adalah untuk
keselamatan dan kemakmuran.
Minyak timpakul? Ya!
Saya ulangi: m-i-n-y-a-k t-i-m-p-a-k-u-l.
Ya, betul! Anda tak salah dengar. Menurut saudara ipar dari sepupu
keponakan istri saya yang makan sekolahan, Djebar Hapip, timpakul itu i-k-a-n b-u-t-a. Entah apa maksudnya, padahal
matanya sebesar mata kodok. Katanya, manimpakul adalah sifat orang yang
mudah berubah, tidak tetap pendirian. Sedangkan timpakul janjan adalah
sifat orang yang jelek perilakunya. Tapi itu kata Djebar Hapip! (Ketawa
ngakak.). Nah, kalau timpakul
tinggal di rawa-rawa, di pinggir sungai atau di kayu apung, ada juga hewan lain
yang perilakunya mirip, tapi tinggal di pepohonan. Apa itu? Angui. Saya
ulangi: a-n-g-u-i.
Nah, berbeda dengan timpakul yang tak ada persamaan namanya dengan
binatang sejenis dalam bahasa Indonesia, angui punya, yaitu
b-u-n-g-l-o-n. Lalu, menurut Djebar Hapip tadi, angguk angui adalah
ungkapan untuk orang yang selalu mengiyakan, tapi kerjanya juga yang jalan.
Baiklah, saya tidak akan bicara panjang lebar
tentang angui atawa bunglon, tapi khusus tentang timpakul saja.
Anda tahu, setelah orangtua angkat saya itu memanggil ruh timpakul melalui
upacara khusus, sesuai dengan adat dan kepercayaannya, proses pembuatannya pun
dimulai.
Empat puluh satu ekor timpakul dimasak tepat tengah malam Jumat, saat langit
tak berbulan tak berbintang. Dengan minyak yang dibuat dari kelapa gading dempet tiga,
dicampur ramuan khusus, dikerjakan setelah orangtua angkat saya itu berpuasa empat puluh satu
hari, dan selama itu tak boleh menikmati makanan yang dimasak dengan api, ditambah
mantra-mantra rahasia, jadilah saripati timpakul: muncul dalam bentuk
minyak, seperti yang akan Anda lihat.
(Perlahan dan hati-hati mengeluarkan botol kecil berisi cairan dari
dalam bungkusan kain kuning, meletakkannya di telapak tangan.) Anda lihat?
Ini adalah s-a-r-i-p-a-t-i alias i-n-t-i atawa
h-a-k-i-k-a-t jiwa timpakul. Tepat tengah malam Jumat, olesi jari manis
Anda dengan minyak ini. Tanpa menarik napas, tekan jari manis Anda ke
langit-langit mulut. Selesai. Keselamatan dan kemakmuran menanti Anda. Mengapa?
Karena Anda sudah
menyatu dengan jiwa timpakul, sudah manimpakul, mambatang timbul!
(Ketawa ngakak.)
Manimpakul tidak jelek! Itu cermin kemampuan bertahan hidup yang
luar biasa. Kita tahu, timpakul biasanya tinggal di tebing-tebing sungai
atau di kayu apung yang hanyut. Bila gelombang datang menyapu tebing atau kayu
apung tempat timpakul berada, dengan gesit ia melompat ke tebing atau ke
kayu apung lain untuk menyelamatkan diri. Tebing atau kayunya tenggelam, dia
tidak. Begitu seterusnya. Nah, kenapa cara bertahan hidup yang luar biasa itu dimaknai jelek? Apa salah timpakul?
(Ketawa ngakak.)
(Mengambil handuk kecil dekat bangku, menyeka keringat yang membanjiri
wajahnya.) Timpakul tidak bersalah! Andalah yang salah kalau hari
ini, pada hari baik bulan baik ini, tidak memiliki minyak ini, karena belum
tentu kita akan bertemu lagi.
Kalau Anda berminat, silakan. Jumlahnya terbatas. Ini hanya untuk sepuluh
orang. Jadi, Anda harus cepat kalau mau dapat. Apakah saya menjualnya? Berapa
harganya? Eittt... Maaf! Sejak awal sudah saya katakan: saya tidak
berjualan.
Eit...! Eit, eit, eit...!
Sabar, sabar...! Jangan saling dorong begitu! Sabar saja. Kalau memang jodoh,
Anda pasti kebagian. Dengar... Dengarkan saya! Saya tidak menjual minyak ini. Kalau tetap memaksa, Anda bisa mendapatkannya,
tapi dengan maharnya:
mengganti ongkos transportasi saya dari-pedalaman-kemari. Anda tentu tahu,
berapa tarif angkutan umum dari sana ke sini. Itu saja. Dan minyak ini saya
hadiahkan kepada Anda. Anda ikhlas memenuhi permintaan saya?
(Tersenyum lebar.) Baik, baik, baik... Anda semua ikhlas. Baiklah.
Tapi nanti dulu! Sabar. (Menunjuk benda yang ditutupi kain kuning.) Anda
ingin saya membuka benda itu sekarang? Atau, nanti saja? Anda ingin buru-buru
menebus minyak ini? Baiklah.
(Bertepuk tangan, memanggil seseorang di antara penonton.) Ini
asisten saya. Silakan berhubungan dengan dia untuk menebus minyak timpakul dan,
jangan lupa, serahkan maharnya. Dia akan berkeliling untuk membagikannya pada
bapak-bapak, ibu-ibu dan saudara-saudara yang beruntung. Sementara itu, saya
akan menyampaikan kisah sukses orang-orang yang sudah menggunakan minyak ini.
Seperti dapat dilihat, di depan ini adalah foto-foto dan kliping berita
surat kabar. Anda tahu, siapa mereka? Mereka adalah pedagang, pengusaha,
kontraktor, ulama, guru, pegawai,
karyawan, wartawan, seniman, jaksa, hakim, polisi, tentara, pejabat dan
wakil rakyat yang sukses karena sudah
menggunakan kehebatan minyak timpakul alias manimpakul. Karyawan
rendahan yang ingin selamat dan disukai atasan, siapa pun atasannya, gunakan
minyak timpakul!
Lurah, camat,
kepala bagian atau kepala dinas yang ingin disayangi bupati atau walikota, gunakan minyak timpakul.
Kasi, kabag, kasubag, kasubdin, kabid, kepala
dinas, kepala perwakilan atau asisten yang ingin selamat dan disayangi
gubernur, gunakan minyak timpakul. Bupati, walikota atau gubernur yang
ingin lancar berurusan dengan Mendagri atau Presiden, gunakan minyak timpakul.
Sekjen, dirjen atau menteri yang ingin selamat dan disayangi presiden, tidak
dicopot walau bagaimanapun kondisi rakyat, bangsa dan negara,
gunakan minyak timpakul.
Anda tahu, yang terbukti sukses karena sudah manimpakul adalah wakil rakyat di parlemen:
di kabupaten, di kota, di provinsi, apalagi di pusat... (Ketawa
ngakak.)
(Ceria dan bersemangat) Ayooo...! Mari... Mari kemari, bapak, ibu, dan saudara-saudara.
Ini pudak bukan sembarang pudak, tapi pudak harum mewangi. Ini minyak bukan sembarang
minyak, tapi minyak yang manjur sekali. (Tertawa.) Mari! Jangan segan,
jangan ragu. Jangan sungkan, jangan malu!
Lampu padam
Banjarmasin, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar